Ka’bah Qolbu |
Seorang Sufi besar, yang bernama Muhammad bin Al Fadl mengatakan : |
“Aku heran pada orang yang mencari Ka’bah-Nya di dunia ini. Mengapa mereka tidak berupaya melakukan musyahadat tentang-Nya di dalam Qalbu mereka ? Tempat suci kadangkala mereka capai dan kadangkala mereka tinggalkan, tapi musyahadat bisa mereka nikmati selalu. Jika mereka harus mengunjungi batu, yang dilihat hanya setahun sekali, sesungguhnya mereka lebih harus mengunjungi Ka’bah Qalbu, dimana Dia bisa dilihat 360 kali sehari semalam.” |
KITA BUKAN MAHLUK MANUSIA DALAM PERJALANAN SPIRITUAL, KITA ADALAH MAHLUK SPIRITUAL DENGAN PERJALANAN KEMANUSIAAN.
Total Tayangan Halaman
Jumat, 14 September 2012
Fana dalam Kebaqaan, Ibrahim al-Dasuqi
Fana dalam Kebaqaan, Ibrahim al-Dasuqi |
30 March 2012, 6:23 pm |
Ibrahim al-Dasuqi, Fana dalam Kebaqaan Tariqat Birhamiyyah didirikan oleh Ibrahim al-Dasuqi, yang nama lengkapnya, Ibrahim al-Dasuqi al-Qursyi, Ibrahim al-Dasuqi meninggal dunia tahun 676 Hijriyyah di Damascus. Tariqat Birhamiyyah tersebar di kawasan Mesir, Syria, Hijaz, Yaman dan Hadhramaut. Ibrahim al-Dasuqi ber kata, “Syariat adalah pokok, sementara hakekat adalah cabang. Jadi Syari’at menghimpun seluruh ilmu yang diwajibkan dan hakekat menghimpun seluruh ilmu yang disembunyikan. sementara semua tingkatan dan keadaan justru berada dibawah keduanya.” Mengenai taubat al-Dasuqi ber kata : taubat golongan istimewa (al-khowash) merupakan penghapusan dari segala sesuatu yang selain Allah. |
Ibrahim al-Dasuqi juga menggubah puisi cinta Ilahi salah satunya ialah : Tampak olehku Kekasih di segala arah yang ada; Aku pun lihat-Nya dalam tiap bentuk dan makna; Dengan menyingkap rahasiaku Dia pun titahkan aku; Kata-Nya: “Tahu kau siapa Aku?” ; “Harapku,” jawabku; “Kau itulah harapku,” bahkan aku adalah Kau selalu; andaikan Kau pun sekarang hakekatku.”; Dan jawab-Nya: “memang begitu adanya, tetapi; kau pun duplikat-Ku andaikan segala yang ada kauamati.”; Dengan penyatuan dzatku sampai pada dzat-Nya; Tanpa hulul, namun merealisasikan nisbatku ada padanya; Maka diriku fana dalam kebaqaan selamanya; pada dzat keabadian yang tanpa hentinya. |
Sementara mengenai gagasan Hakikat Muhammad ataupun Quthb, Ibrahim al-Dasuqi ber kata: Tiada yang kulihat selain-Nya; Yang selain-Nya tiada terlintas pikiranku sekejap jua; Dengan diriku pun tegak Diri-Nya di puncak sana; Di dalam-Nya kubaharui diriku dari masa ke masa;Bahkan cintaku bertumbuh sebelum Adam ada; Sejak itu pun berkembang dalam berbagai alam yang ada; Di keluhuran dengan Cahaya Ahmad aku berada dalam mutiara putih pada sel kupunya; Dalam pandangan jagal aku adalah korbannya; Aku dengan Idris ketika dia sampai ketinggian aku pun tinggal di Firdaus tempat kemuliaan; Aku pun dengan ‘Isa yang dalam buaian berbicara; Dan kepada Daud aku karuniakan merdunya suara; Aku dengan Nuh ketika menempuh prahara lautan gelegar dan topan gelora; Aku yang Quthb adalah tokoh masa atas semua keadaan; Aku yang hamba adalah Ibrahim pendiri tariqat perjalanan. |
Minggu, 03 Juni 2012
Sabtu, 02 Juni 2012
Kurahasiakan dari anak isteri
Kurahasiakan dari anak isteri
Cinta kepada anak-isteri tidak dilarang. Apalagi
menafkahi mereka telah ditetapkan sebagai ibadah. Akan tetapi, yang dimaksudkan
dalam kata kurahasiakan mengandung makna bahwa cinta yang sejati (mahabbah)
itu hanya kepada Allah. Merahasiakan cinta Allah dari anak-isteri bukan berarti
pergi berzikir lalu mengabaikan pengurusan mereka. Setiap rahasia pasti berawal
dari hati. Oleh sebab itu, makna merahasiakan di sini berarti berurusan dengan
amalan hati. Jasad dan hati permukaan untuk anak-isteri dan orang tua,
sedangkan relung hati yang terdalam; ruang paling istimewa di hati hanyalah
untuk Allah. Hanya Sang Raja yang boleh duduk di singgasana hati.
Hati orang mukmin adalah istana Allah. (hadis)
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mengingatkan bahwa
sesungguhnya para kekasih Allah itu ditakdirkan tidak memiliki anak dan isteri.
Maksudnya, meskipun kekasih Allah itu beristeri dan beranak banyak, tetapi ia
tidak akan disibukkan dengan urusan menafkahi anak-isteri dan menjaga mereka.
Karena hati orang itu sibuk dengan Allah, maka ia dibebaskan dari kesibukan
selain Allah. Allah-lah yang mencukupi rezeki dan menjadi penjaga anak-isteri
sesuai dengan cara-Nya yang misterius. Isteri orang itu Allah jadikan isteri
dan ibu yang saleh dan berbakti pada keluarganya. Lalu anak-anaknya tercukupi
dan menjadi generasi yang cerdas, saleh, dan membanggakan meski sedikit saja
bimbingan dari orang tuanya.
Ketika hatimu hanya untuk Allah, maka Allah menjaga dan
menyayangi orang-orang tercintamu. Karena jika kamu tidak melakukan itu, hatimu
akan lalai terlebih ketika melihat anak-isterimu menderita atau menyedihkanmu.
Kekasih Allah itu lahirnya untuk keluarganya, tetapi batinnya untuk Tuhannya.
Dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku. (Q.S. Yusuf:
93)
Yaitu surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya
bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya,
isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke
tempat-tempat mereka dari semua pintu;
Sang “aku” dalam puisi amat menyadari bahwa
sesungguhnya mencintai anak-isteri melebihi cinta kepada Allah justru berarti
ia tidak mencintai mereka. Karena Allah sudah menetapkan bahwa anak-isteri
adalah karunia sekaligus ujian dan bisa menjadi musuh yang menghalangimu untuk
sampai kepada-Nya.
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di
antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi
serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. (Q.S. Taghabun: 14)
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi
seseorang dua buah hati dalam ronggany.a (Q.S. Al-Ahzaab: 4)
Katakanlah: "Jika bapak-bapak,
anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang
kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal
yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
fasik.(Q.S. At-Taubah: 24)
Jika kamu mencintai selain Dia karena kasih sayang,
kelembutan, atau karena nafsu, itu diperbolehkan. Adapun mencintai dengan hati
dan nurani, ini tidak diperbolehkan. Jadikan makhluk di luar hatimu, lalu
hatimu hanya untuk-Nya.
(Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)
Baris ketiga ini terkait erat dengan baris kedua mengenai
Kecemburuan Ilahi. Dalam kitab karya Syaikh Muzaffer Ozak Al-Jerrahi yang
diterjemahkan dengan judul Dekap Aku dengan Kasih Sayang-Mu,
diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah mencium cucu-cucunya, Hasan dan Husain
dengan penuh kasih. Lalu beliau menyadari bahwa ketika itu perasaan cinta
kepada cucu-cucu itu menyamai cintanya kepada Allah. Lalu beliau merasa bersalah
karena telah membuat Allah Cemburu. Lalu Jibril a.s. turun ke bumi dan
menyampaikan pesan dari Allah: “Bagaimana mungkin dia yang mencintai-Ku dan
Kucintai , karib-Ku terkasih, kekasih-Ku, mencium cucu-cucunya, keturunannya,
dengan cinta dan kasih sayang sebesar cintanya kepada-Ku?”
Sang “aku” dalam puisi tampaknya ditokohkan dalam keadaan
telah memahami prinsip-prinsip tauhid serupa di atas sehingga dengan lugas ia
menyatakan kerahasiaan kedudukan Tuhan di dalam hatinya. Dengan demikian, Ia
dapat diinterpretasikan akan menolak nilai-nilai yang bertentangan dengan
tauhid.
Sang “aku” dipastikan menghindarkan hatinya dari problema
keduniaan yang bersumber dari orang-orang tercintanya. Karena telah bertauhid,
ia dipastikan tidak akan mencari rezeki dengan cara yang tidak halal sekadar
untuk membahagiakan anak-isteri. Jika Allah memberinya godaan berupa kesempatan
yang aman untuk melakukan korupsi atau perbuatan maksiat lainnya, ia dipastikan
tidak akan terbujuk oleh rayuan-Nya itu.
Di luar sana dilihat “sang aku” banyak orang yang
mengerahkan segala cara; berjibaku demi “ibadah” menafkahi keluarganya.
Kebodohan ini dalam anggapan mereka semata demi memenuhi perintah Allah yang
mewajibkan menuntut ilmu. Caranya tentu menyekolahkan anak di tempat yang
sesuai dengan status sosial tertentu. Atau demi memberi pakaian yang layak.
Atau demi mengisi rumah mereka dengan barang-barang yang tidak memalukan; tidak
kalah dengan yang dimiliki tetangga. Atau demi memberi anak asupan gizi yang
baik sehingga diharapkan menjadi generasi cerdas dan saleh. Cara apa pun
dilakukan, yang penting tujuan mengangkat derajat keluarga tercapai. Mereka
bahkan dengan tanpa adab di hadapan Allah berkoar,”Zaman sekarang ini mencari
yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal.” Sungguh perbuatan menghina
Allah Sang Mahakaya; Maha Pemberi rezeki.
Barang siapa tidak peduli dari mana datangnya
makanannya, maka Allah tidak peduli dari pintu neraka yang mana orang itu
dijebloskan.” (hadis)
Katakanlah: "Apakah akan Kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Q.S. Al-Kahfi:103-104)
Allah menjadikan bagi kamu
isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri
kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik.
Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah
?(Q.S. An Nahl:72)
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. (Q.S.
At-Takaṡur: 1)
Said Nursi dan Pemikirannya
Asal mula munculnya filsafat sebagai ilmu pengetahuan,
dimulai karena kekaguman (keta’ajjuban) manusia. Kalau manusia sudah merasa
kagum, biasa-nya ia merasa tidak tahu dan hal yang tidak diketahuinya itu
merupakan problema yang harus dicarikan solusi melalui filsafat, dengan
mempergunakan nalar sekuat mungkin, sehingga diperoleh pengetahuan. Pengetahuan
semacam ini, mungkin saja dapat diperoleh yang dimulai dengan pertanyaan: knowledge
of what is yakni apakah sesuatu itu ? dan juga knowledge of what tobe,
yakni tentang apa yang seharusnya diperbuat ? pertanyaan-pertanyaan seperti
ini, tentu membuat manusia untuk berfikir (menalar), sehingga melahirkan suatu
ilmu pengetahuan.
Karena hasil akhir filsafat adalah perolehan ilmu
pengetahuan, maka konsep filsafat tersebut merupakan sesuatu yang sangat urgen
dalam Islam, karena agama Islam tersebut sejak pertama diturunkannya
menggunakan kata iqra yang oleh
sebagai mufassir mengartikan term iqra sebagai perintah untuk menalar.
Di dalam berbagai ayat, juga ditemukan sejumlah term yang mendorong pemikiran
rasional misalnya; afalā ta’qilūn
(apakah kamu tidak menggunakan akal; afalā tubsirūn (apakah kamu
tidak melihat); afalā tanzurūn (apakah kamu tidak meneliti, tidak
menggunakan nalar); yā ulil al-bāb (hai orang yang me-miliki otak dan
akal); dan sebagainya.
Jelaslah bahwa filsafat Islam, bukan jiplakan dari
pemikiran Yunani Kuno, tetapi filsafat Islam tersebut berasal dari interpretasi
ayat-ayat al-Quran yang diwahyukan Tuhan. Ajakan ayat-ayat al-Quran untuk
mengobservasi, meneliti dan mengkaji realitas-realitas di alam semesta,
termasuk diri manusia sendiri, telah mendorong umat Islam pada masa-masa lalu
untuk menggeluti bidang filsafat, sehingga mereka berhasil menjadi mercusuar
dunia, terutama pada abad-abad ke ketujuh sampai sembilan Masehi. Dalam masa
itu, tampil filsuf Islam misalnya al-Kindi (796-873 M), al-Farabi (872-950 M),
Ibnu Sina (980-1037 M), al-Maskawaih (w. 1030 M), al-Ghazali (1058-1111 M), dan
masih banyak lagi selainnya.
Salah satu failosof atau pemikir Islam dan sekaligus
sebagai sufi yang masyhur pasca al-Ghazāli, adalah Said Nursi (1293-1379 H).
Tokoh ini, berasal dari sebuah desa bernama Nursi di perkampungan Khaizan,
wilayah Bitlis yang terletak di sebelah Timur Anatoli. Tanda-tanda sebagai
seorang yang kelak menjadi pemikir, tampak sejak Said Nursi masih kecil. Hal
ini seperti terlihat, bahwa beliau selalu banyak bertanya dan gemar menelaah
masalah-masalah yang belum dimengerti.
Dalam dunia pendidikan, Said Nursi mulai belajar di
madrasah, dan ter-akhir dia sekolah di Bayazid dengan di bawah bimbingan Syaikh
Muhammad Jalali. Di sinilah Said Nursi belajar Nahwu dan sharaf, dan berhasil
membaca seluruh buku yang pada umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama.
Dalam kesehariannya, dia selalu membaca duaratus halaman buku yang bahasanya
sangat sulit dimengerti. Namun demikian, dia mampu memahaminya tanpa harus
merujuk pada catatan kaki atau catatan pinggir, dan tanpa dibantu oleh syaikh.
Tidak lama kemudian, popularitas
Said Nursi tersebar luas. Para ulama silih berganti melakukan berbagai dialog
ilmiah dengannya dan berupaya untuk menyudutkannya dengan berbagai pertanyaan.
Tetapi semua pertanyaan dan masalah yang dikemukakan terjawab dengan sangat
argumentatif, sehingga oleh mereka digelari “Said Masyhur”.
Di masa-masa akhir pemerintahan Usmani dan masa-masa
pembentukan Republik Turki, Said Nursi berkelana dari kota ke kota hingga
pelosok terjauh negerinya. Dari sekian daerah yang dikunjunginya, said Nursi
melihat kekafiran modern berakar dari sains dan filsafat, bukan dari kebodohan
sebagaimana dikemukakan orang-orang sebelum dia. Paradoksnya, ketidak tahuan
umat Islam terhadap sains dan teknologi membuat mereka tertinggal dari Barat di
bidang ekonomi dan militer. Tetapi sains dan teknologi yang telah mendatangkan
kekuatan bagi Barat untuk mencapai superioritas ekonomi dan militer di dunia
membuat orang-orang Barat kehilangan keimanan dan moral tradisional mereka,
sehingga jatuh ke dalam psimisme yang berlebihan. Akibatnya, moralitas sekuler
dan kepentingan diri sendiri menggusur nilai-nilai agama dan nilai-nilai
tradisional lainnya.
Akhirnya, Said Nursi berpendapat bahwa alam adalah kumpulan tanda-tanda Ilahi dan karena itu sains
dan agama bukanlah dua bidang yang berseberangan. Keduanya adalah ekspresi yang
(tampak) berbeda dari satu kebenaran yang sama. Pikiran harus dicerahkan dengan
sains, sedangkan hati harus diterangi dengan agama.
Dalam pemikirannya untuk membuktikan keberadaan dan
keesaan Ilahi, hari kebangkitan, kenabian, asal Ilahiah, al-Quran, alam gaib,
dan para penghuninya atau dimensi-dimensi immaterial, perlunya ibadah,
moralitas, karakter ontologis manusia dan lain-lain, Said Nursi semula mencoba
mem-erkuat Islam dengan filsafat modern barat. Kemudian dia melihat bahwa cara
tersebut sama halnya dengan merendahkan Islam dan bahwa pokok-pokok islami
terlalu dalam untuk dijangkau dengan prinsip-prinsip filsafat manusia. Dia lalu
beralih kepada alquran saja. Namun pada gilirannya, setelah mencermati
ber-bagai ayat al-Quran, justru Said Nursi berpendapat bahwa filsafat adalah
jalur menuju kemajuan dan pencerahan ruhani. Bahkan sempat perpendapat bahwa
pola pikir filsafat Barat bisa digunakan untuk menegakkan dan memperkuat
kebenaran Islam. Dari sini, maka dipahami pemikiran Said Nursi yang secara
lahiriyah terlihat tetap menggunakan filsafat Barat, justeru di sisi lain
dengan pe-mikirannya itu dapat mengkorelasikannya filsafat Islam. Ini berarti
bahwa Said Nursi satu-satu pemikir modern yang telah menemukan konsep baru
filsafat dalam bingkai yang islami.
Dalam The Oxford Encyclopedia of Islami word disebutkan
bahwasejak kelahiran filsafat, maka Filsafat Islam merupakan salah satu tradisi
intelektual besar di dalam dunia Islam, dan telah mempengaruhi serta
dipengaruhi oleh banyak perspektif intelektual lain, termasuk teologi skolastik
(kalām) dan sufisme doktrinal (al-ma’rifah al-irfān). Mungkin
sebab pengaruh-pengaruh intelektual lain, sehingga Ibrahim Madkūr menjelaskan
bahwa kedudukan filsafat Islam sesungguhnya mengalami keraguan dalam suatu
zaman. Sebagai akibatnya adalah di antara mereka yang mengingkari (menolak)
kehadiran filsafat Islam itu, dan sebagian lainnya justru menerimanya, bahkan
telah menyelamatkannya. Dengan penjelasan ini, maka dapat dipahami bahwa
filsafat Islam dalam satu sisi tidak diterima oleh semua orang. Mungkin
alasannya, karena ada anggapan bahwa filsafat Islam terasimilasi dari filsafat
Yahudi (barat).
Meskipun diakui bahwa pemikiran-pemikiran filsofis di
kalangan filosof-muslim yang pesat perkembangannya sejak dulu sampai kini pada
umumnya berkisar pada filsafat Ketuhanan, dan sangat jarang yang mengkhususkan
diri pada masalah alam semesta beserta isinya termasuk. Dengan kata lain,
orientasi filsafat Islam selama ini bersifat vertikal dan jarang yang
menghampiri persoalan-persoalan yang bersifat horizontal (masalah sosial dan
alam semesta). Hal ini, sangat erat kaitannnya dengan situasi yang berkembang
pada waktu itu, di mana masalah Ketuhanan menjadi topik yang selalu aktual
diperbincangkan oleh kaum muslimin. Di lain pihak, kaum muslimin ingin
mempertemukan antara berita-berita wahyu yang diyakini sebagai kebenaran dengan
teori-teori filsafat yang bersumber dari ratio murni itu. Hal inilah yang
dilakukan oleh Said Nursi yang dalam beberapa pernyataanya dipahami bahwa wahyu
Allah yang diturunkan, menurut filsafat Islam adalah mutlak kebenarannya,
sementara ratio yang juga merupakan alat pikir manusia yang diberikan oleh
Allah, bilamana dipergunakan dengan sebaik-baiknya, juga akan mencapai
kebenaran. Hanya saja, dalam konsep filsafat Islam adalah, ada manusia yang
tidak mampu mencapai pada tarap kebenaran yang sempurna, sehingga ia bersifat
nisbi (relatif). Bilamana kebenaran nisbi tersebut tidak bertentangan dengan
wahyu, maka dapat diperpegangi.
Kamis, 03 Mei 2012
Penetapan Wujud Non-Materi
Eksistensi tidak hanya terbatas pada
materi dan realitas yang terindera. Dasar argumentasinya berpijak pada perkara-perkara
yang bersifat universal (al-Kulli),
artinya; "Kita bisa memahami suatu hakikat universal yang memiliki
eksistensi eksternal dengan menelaah hal-hal yang partikular, namun realitas
eksternal ini bukanlah realitas materi yang dapat diindera. Dan terkadang kita
mendengar sebagian orang yang memiliki pikiran keliru dan menyangka bahwa
eksistensi adalah indentik dengan wujud-wujud materi yang terindera. Dengan
demikian, wujud-wujud non-materi tidak memiliki eksistensi hakiki”
Apabila kita menelaah secara serius
dan sistematik benda-benda materi, maka kita akan memahami kesalahan pikiran
kita. Terkadang kita menggunakan kata yang sama untuk sebagian benda, seperti
penggunaan kata manusia yang mencakup individu-individu yang berbeda (iwan,
wawan, zakwan dll). Penggunaan kata ini bukan semata-mata bersifat semantik,
melainkan menceritakan suatu kenyataan hakiki. Apakah hakikat manusia yang
terdapat dalam pikiran yang memiliki wujud eksternal atau bukan?.
Apabila makna universal ini (manusia) kita katakan sebagai maujud non-materi, maka perkataan ini mendukung dan membuktikan suatu hakikat dan wujud non-materi. Namun kalau kita mengasumsikan makna universal (manusia) ini sebagai wujud materi, maka wujud materi ini harus memiliki sifat-sifat tertentu seperti ukuran, tempat, dan kondisi yang dengan sifat-sifat ini ia dapat terindera. Setiap wujud yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu tidak dapat diterapkan pada individu-individu yang berbeda, karena sifat-sifat khusus itu hanya berlaku baginya, bukan untuk wujud yang lain.
Apabila makna universal ini (manusia) kita katakan sebagai maujud non-materi, maka perkataan ini mendukung dan membuktikan suatu hakikat dan wujud non-materi. Namun kalau kita mengasumsikan makna universal (manusia) ini sebagai wujud materi, maka wujud materi ini harus memiliki sifat-sifat tertentu seperti ukuran, tempat, dan kondisi yang dengan sifat-sifat ini ia dapat terindera. Setiap wujud yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu tidak dapat diterapkan pada individu-individu yang berbeda, karena sifat-sifat khusus itu hanya berlaku baginya, bukan untuk wujud yang lain.
Oleh karena itu, makna manusia, dari
sisi bahwa ia merupakan makna dan hakikat universal, merupakan suatu hakikat
yang non-materi. Suatu hakikat yang berada di alam rasional kita. Bahkan semua
hakikat universal merupakan maujud-maujud yang bersifat non-materi”.
Bisa jadi ketika kita mengkaji
realitas alam ini, maka secara hakiki
kita bisa melihat bahwa yang sebenarnya disebut sebagai manusia ialah hal-hal
partikular yang bersifat materi,
yakni yang disebut manusia hanyalah individu-individu yang memilki tangan,
mata, dan telinga lahiriah ini. Namun, jika kita berpikir bahwa manusia hakiki
adalah manusia yang memiliki tangan dan kaki lahiriah. Bagaimana kemudian
manusia universal itu juga memiliki tangan dan anggota badan lain, namun tangan
dan anggota badan ini bersifat universal.
Manusia universal seperti ini ialah wujud non-materi yang memiliki kenyataan
eksternal dan hakiki.
Di samping itu, sebagian sifat-sifat wujud materi
seperti rasa malu, cinta, takut, marah, dan lain-lain, merupakan sifat-sifat
yang tidak dapat terindera dan bukan kategori imajinasi. Seluruh sifat itu
terdapat pada diri manusia. Oleh karena itu, ketika kita mampu mengetahui
sifat-sifat hakiki non-materi yang ada pada makhluk hidup, lantas bagaimanakah
dengan wujud yang sama sekali tidak terkait dengan wujud-wujud materi? Dengan
ungkapan lain, kita memahami keberadaan suatu hakikat yang berhubungan dengan
alam materi, namun tidak bisa dicerap dengan indera dan khayal. Lantas
bagaimana kita bisa mengetahui eksistensi hakikat-hakikat yang sama sekali
tidak terkait dengan alam materi dan tidak berada dalam ruang lingkup materi.
Ibnu Sina menjelaskan bahwa semua wujud yang memiliki eksistensi eksternal dan hakiki, dari sisi
hakikat zatnya sendiri adalah wujud non-materi, bahkan suatu hakikat
tunggal yang non-materi. Dengan demikian, suatu maujud yang memberikan hakikat
(yang non-materi itu) kepada seluruh wujud pastilah merupakan realitas yang
lebih bersifat non-materi.
Wujud sempurna
Wujud sempurna sama sekali tak bergantung pada sesuatu
yang lain sedangkan wujud tak sempurna bergantung pada yang lain. Poin ini
merupakan mukadimah untuk menegaskan bahwa Wâjibul Wujûd (kemestian ada)
tidak berupaya mencapai suatu tujuan tertentu dalam menciptakan. Yang Maha Kuat
dan Maha Kaya (tak membutuhkan sesuatu)?. Suatu wujud bisa dikatakan yang Maha
Kuat dan Maha Kaya, jika tidak bergantung pada selain dirinya dari tiga aspek:
zat, sifat hakiki, kesempurnaan hakiki yang terkait dengan zat. Oleh karena
itu, setiap wujud yang butuh dan bergantung kepada wujud lain dari dimensi zat,
sifat hakiki, dan kesempurnaan (seperti bentuk, ilmu, kodrat, keindahan) ialah
wujud yang tak sempurna, fakir, dan bukan “maha”.
Menurut Ibnu Sina, "Perlu diperhatikan bahwa setiap
pelaku yang apabila melakukan suatu perbuatan maka dia akan menjadi lebih baik
atau mengerjakan sesuatu baginya lebih baik daripada tidak melakukannya, jika
perbuatan itu tidak dilakukan dan dia tak menciptakan sesuatu itu maka secara
riil dia akan kehilangan kebaikan dan kesempurnaan, yakni dia tak memiliki
kesempurnaan tertentu dan untuk memperolehnya ia mesti berusaha. Wujud yang
membutuhkan upaya untuk mencapai suatu kesempurnaan tak bisa dikategorikan
sebagai Wâjibul Wujûd, karena wujud seperti itu adalah wujud yang tak
sempurna dan wujud yang tak sempurna bukanlah Wâjibul Wujûd. Dengan
demikian, hal-hal yang berkaitan dengan Wâjibul Wujûd dan
perbuatan-perbuatan-Nya sama sekali tidak bisa berhubungan dengan pencapian dan
perolehan segala bentuk kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan".
Apabila manusia beranggapan bahwa wujud yang tinggi
dan sempurna berusaha melakukan sesuatu di alam yang lebih rendah bagi
wujud-wujud yang tak sempurna demi mencapai suatu tujuan kebaikan dan
kesempurnaan bagi zat dan dirinya sendiri, maka anggapan itu keliru besar.
Bahwa perilaku seperti itu bagi wujud yang tinggi dan sempurna merupakan suatu
kebaikan, dan wujud sempurna itu akan tergolong sebagai pelaku yang baik,
karena perbuatan seperti itu adalah kebaikan dan keindahan. Dari sisi ini mesti
dipahami bahwa wujud sempurna melakukan sesuatu dikarenakan kelayakan
kesempurnaan, keindahan, dan keagungan zat-Nya.
Jika wujud tinggi itu disimbolkan sebagai “tuhan”,
sangatlah tidak rasional menganggap “tuhan” melakukan atau menciptakan sesuatu
dikarenakan untuk mencapai dan memperolah sesuatu dibaliknya. Terkadang hal itu
dilegitimasi dengan dalil perbuatan-perbuatan yang mesti “tuhan” lakukan karena
mengandung tujuan bagi zat-Nya. Hal ini tidaklah benar, karena kalau demikian
halnya maka Wâjibul Wujûd adalah wujud tak sempurna yang terus mengejar
kesempurnaan dan kebaikan, sementara Wâjibul Wujûd dari sisi zat dan
sifat-Nya sama sekali tidak mengandung kekurangan dan kelemahan. Maka dari itu,
kita tidak bisa memandang keberadaan arah dan tujuan bagi kesempurnaan zat-Nya
dalam segala perbuatan-Nya, bahkan Wâjibul Wujûd `adalah tujuan dan arah
bagi segala wujud alam. Dalam konteks linguistic Dia bukanlah “tuhan” tapi
Tuhan
Perbuatan Tuhan, adalah suatu bentuk "pemberian (al-jaud)"
.Dalam pemberitaan (dalil), Tuhan sama sekali tidak mengandung satu maksud dan
tujuan, karena Dia tidak dikatakan sebagai Maha Pemberi (Jawâd), bahkan
disebut sebagai "Pencari Untung" jika demikian.
Sebagian teolog beranggapan bahwa Wâjibul Wujûd
sebagai Pelaku Sempurna yang walaupun tak membutuhkan segala sesuatu, namun
perbuatan-perbuatan yang dilakukan-Nya disebabkan untuk kepentingan dan manfaat
makhluk-makhluk-Nya, yakni tujuan-Nya adalah memberikan manfaat kepada yang
lain, bukan Tuhan yang mengambil manfaat dan keuntungan dari perbuatan-Nya
sendiri.
Untuk anggapan itu, Ibnu Sina menjawab "Memberikan manfaat
kepada yang lain, jika dipandang sebagai tujuan bagi Wâjibul Wujûd maka
tetap sebagai pertanda akan kelemahan dan kekurangan-Nya. Oleh karena itu,
mustahil Tuhan sebagai wujud maha sempurna memiliki tujuan. Wujud yang tinggi
dan sempurna tak mungkin melakukan sesuatu disebabkan oleh wujud-wujud yang
rendah, sedemikian sehingga perbuatan-Nya itu bagi diri-Nya diletakkan sebagai
tujuan,
Dengan demikian, jika suatu perbuatan mengandung
tujuan maka pastilah mengandung kebaikan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu,
kalau Tuhan melakukan suatu perbuatan untuk manfaat makhluk dan Dia memiliki
itu sebagai suatu kebaikan bagi diri-Nya, maka dipandang Dia mendapatkan
keuntungan dari perbuatan-Nya. Dan bukan sebagai Pemberi Hakiki. Kesimpulannya,
Pemberi Hakiki tidak memiliki tujuan dalam segala perbuatan-Nya dan secara
mendasar wujud sempurna tidak menetapkan wujud rendah itu sebagai tujuan dan
arah bagi perbuatan-perbuatannya".
Lanjut di edisi (2)-nya?
*Dikutip dari berbagai sumber
Lanjut di edisi (2)-nya?
*Dikutip dari berbagai sumber
Ayahku Seorang Tukang Batu
Ayahku Seorang Tukang Batu
Alkisah, sebuah keluarga sederhana memiliki seorang putri yang menginjak
remaja. Sang ayah bekerja sebagai tukang batu di sebuah perusahaan kontraktor
besar di kota itu. Sayang, sang putri merasa malu dengan ayahnya. Jika ada yang
bertanya tentang pekerjaan ayahnya, dia selalu menghindar dengan memberi
jawaban yang tidak jujur. "Oh, ayahku bekerja sebagai petinggi di
perusahaan kontraktor," katanya, tanpa pernah menjawab bekerja sebagai
apa.
Putri lebih senang menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Ia sering berpura-pura menjadi anak dari seorang ayah yang bukan bekerja sebagai tukang batu. Melihat dan mendengar ulah anak semata wayangnya, sang ayahnya bersedih. Perkataan dan perbuatan anaknya yang tidak jujur dan mengingkari keadaan yang sebenarnya membuatnya telah melukai hatinya.
Hubungan di antara mereka jadi tidak harmonis. Putri lebih banyak menghindar jika bertemu dengan ayahnya. Ia lebih memilih mengurung diri di kamarnya yang kecil dan sibuk menyesali keadaan. "Sungguh Tuhan tidak adil kepadaku, memberiku ayah seorang tukang batu," keluhnya dalam hati.
Melihat kelakuan putrinya, sang ayah memutuskan untuk melakukan sesuatu. Maka, suatu hari, si ayah mengajak putrinya berjalan berdua ke sebuah taman, tak jauh dari rumah mereka. Dengan setengah terpaksa, si putri mengikuti kehendak ayahnya.
Setelah sampai di taman, dengan raut penuh senyuman, si ayah berkata, "Anakku, ayah selama ini menghidupi dan membiayai sekolahmu dengan bekerja sebagai tukang batu. Walaupun hanya sebagai tukang batu, tetapi ayah adalah tukang batu yang baik, jujur, disiplin dan jarang melakukan kesalahan. Ayah ingin menunjukkan sesuatu kepadamu, lihatlah gedung bersejarah yang ada di sana. Gedung itu bisa berdiri dengan megah dan indah karena ayah salah satu orang yang ikut membangun. Memang, nama ayah tidak tercatat di sana, tetapi keringat ayah ada di sana. Juga, berbagai bangunan indah lain di kota ini dimana ayah menjadi bagian tak terpisahkan dari gedung-gedung tersebut. Ayah bangga dan bersyukur bisa bekerja dengan baik hingga hari ini."
Mendengar penuturan sang ayah, si putri terpana. Ia terdiam tak bisa berkata apa-apa. Sang ayah pun melanjutkan penuturannya, "Anakku, ayah juga ingin engkau merasakan kebanggaan yang sama dengan ayahmu. Sebab, tak peduli apa pun pekerjaan yang kita kerjakan, bila disertai dengan kejujuran, perasaan cinta dan tahu untuk apa itu semua, maka sepantasnya kita mensyukuri nikmat itu."
Setelah mendengar semua penuturan sang ayah, si putri segera memeluk ayahnya. Sambil terisak, ia berkata, "Maafkan putri Yah. Putri salah selama ini. Walaupun tukang batu, tetapi ternyata Ayah adalah seorang pekerja yang hebat. Putri bangga pada Ayah." Mereka pun berpelukan dalam suasana penuh keharuan.
Pembaca yang budiman,
Begitu banyak orang yang tidak bisa menerima keadaan dirinya sendiri apa adanya. Entah itu masalah pekerjaaan, gelar, materi, kedudukan, dan lain sebagainya. Mereka merasa malu dan rendah diri atas apa yang ada, sehingga selalu berusaha menutupi dengan identitas dan keadaan yang dipalsukan.
Tetapi, justru karena itulah, bukan kebahagiaan yang dinikmati. Namun, setiap hari mereka hidup dalam keadaan was was, demi menutupi semua kepalsuan. Tentu, pola hidup seperti itu sangat melelahkan.
Maka, daripada hidup dalam kebahagiaaan yang semu, jauh lebih baik seperti tukang batu dalam kisah di atas. Walaupun hidup pas-pasan, ia memiliki kehormatan dan integritas sebagai manusia.
Sungguh, bisa menerima apa adanya kita hari ini adalah kebijaksanaan. Dan, mau berusaha memulai dari apa adanya kita hari ini dengan kejujuran dan kerja keras adalah keberanian!
Putri lebih senang menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Ia sering berpura-pura menjadi anak dari seorang ayah yang bukan bekerja sebagai tukang batu. Melihat dan mendengar ulah anak semata wayangnya, sang ayahnya bersedih. Perkataan dan perbuatan anaknya yang tidak jujur dan mengingkari keadaan yang sebenarnya membuatnya telah melukai hatinya.
Hubungan di antara mereka jadi tidak harmonis. Putri lebih banyak menghindar jika bertemu dengan ayahnya. Ia lebih memilih mengurung diri di kamarnya yang kecil dan sibuk menyesali keadaan. "Sungguh Tuhan tidak adil kepadaku, memberiku ayah seorang tukang batu," keluhnya dalam hati.
Melihat kelakuan putrinya, sang ayah memutuskan untuk melakukan sesuatu. Maka, suatu hari, si ayah mengajak putrinya berjalan berdua ke sebuah taman, tak jauh dari rumah mereka. Dengan setengah terpaksa, si putri mengikuti kehendak ayahnya.
Setelah sampai di taman, dengan raut penuh senyuman, si ayah berkata, "Anakku, ayah selama ini menghidupi dan membiayai sekolahmu dengan bekerja sebagai tukang batu. Walaupun hanya sebagai tukang batu, tetapi ayah adalah tukang batu yang baik, jujur, disiplin dan jarang melakukan kesalahan. Ayah ingin menunjukkan sesuatu kepadamu, lihatlah gedung bersejarah yang ada di sana. Gedung itu bisa berdiri dengan megah dan indah karena ayah salah satu orang yang ikut membangun. Memang, nama ayah tidak tercatat di sana, tetapi keringat ayah ada di sana. Juga, berbagai bangunan indah lain di kota ini dimana ayah menjadi bagian tak terpisahkan dari gedung-gedung tersebut. Ayah bangga dan bersyukur bisa bekerja dengan baik hingga hari ini."
Mendengar penuturan sang ayah, si putri terpana. Ia terdiam tak bisa berkata apa-apa. Sang ayah pun melanjutkan penuturannya, "Anakku, ayah juga ingin engkau merasakan kebanggaan yang sama dengan ayahmu. Sebab, tak peduli apa pun pekerjaan yang kita kerjakan, bila disertai dengan kejujuran, perasaan cinta dan tahu untuk apa itu semua, maka sepantasnya kita mensyukuri nikmat itu."
Setelah mendengar semua penuturan sang ayah, si putri segera memeluk ayahnya. Sambil terisak, ia berkata, "Maafkan putri Yah. Putri salah selama ini. Walaupun tukang batu, tetapi ternyata Ayah adalah seorang pekerja yang hebat. Putri bangga pada Ayah." Mereka pun berpelukan dalam suasana penuh keharuan.
Pembaca yang budiman,
Begitu banyak orang yang tidak bisa menerima keadaan dirinya sendiri apa adanya. Entah itu masalah pekerjaaan, gelar, materi, kedudukan, dan lain sebagainya. Mereka merasa malu dan rendah diri atas apa yang ada, sehingga selalu berusaha menutupi dengan identitas dan keadaan yang dipalsukan.
Tetapi, justru karena itulah, bukan kebahagiaan yang dinikmati. Namun, setiap hari mereka hidup dalam keadaan was was, demi menutupi semua kepalsuan. Tentu, pola hidup seperti itu sangat melelahkan.
Maka, daripada hidup dalam kebahagiaaan yang semu, jauh lebih baik seperti tukang batu dalam kisah di atas. Walaupun hidup pas-pasan, ia memiliki kehormatan dan integritas sebagai manusia.
Sungguh, bisa menerima apa adanya kita hari ini adalah kebijaksanaan. Dan, mau berusaha memulai dari apa adanya kita hari ini dengan kejujuran dan kerja keras adalah keberanian!
Hakikat Manusia
Hakikat Manusia
Kontribusi Dari Abu Sangkan
Kesadaran Diri
idalam filsafat kontemporer secara hakiki
terpusat pada pribadi manusia. Boleh jadi, tanpa situasi historis kita tidak
bisa
memahami apa dan esensi diri yang sebenarnya.
Al Qur'an membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran diri secara
berurutan sampai kepada kesadaran yang
universal. Ungkapan ini tidak terikat oleh suatu aliran tertentu, tetapi muncul
ketika manusia dihadapkan pada persoalan
untuk memikirkan eksistensi. Dimana keberadaannya bagaikan terlempar
begitu saja. "Aku" yang kehilangan
arah, berpaling dari dirinya sendiri, ia mawas diri dan menyelidiki dirinya.
Demikianlah
suatu motif yang mula-mula bersifat historis
dan psikologis berubah menjadi suatu pertanyaan filosofis yang mendesak :
"Siapakah aku ini? Dengan kegembiraan
dan harapanku? Apakah tujuan hidup ini? Apakah artinya? Mengapa aku
bereksistensi? Dan bukannya tidak
bereksistensi?"
Mengemukakan masalah mengenai pribadi dalam
ungkapan-ungkapan tersebut, berarti mengemukakan masalah
kebebasan, masalah tanggung jawab. Hal ini
membawa kita kepada penelitian mengenai dasar dari asal usul. Baik dari
sisi kebebasan maupun dari sisi tanggung
jawab. Hal tersebut akhirnya memunculkan masalah ke-Tuhanan. Apakah
Allah itu masuk dalam definisi manusia atau
tidak? Apakah eksistensi manusia itu bersifat teosentris ataupun
antroposentris? Partisipasi ataupun cukup
dalam dirinya sendiri? Ada apakah dengan pernyataan ulama populer "man
arafa nafsahu faqad arafa rabbahu?"
(barang siapa tahu akan dirinya, maka ia tahu akan Tuhannya).
Dalam arti yang sebenarnya, kata
"eksistensi" berarti data kosmis, sejauh manusia yang terlibat secara
aktif di
dalamnya. Hubungan erat antara masalah
manusia dan masalah ke-Tuhanan, terlihat baik pada mereka yang
mengingkari Allah maupun pada mereka yang
mengikuti-Nya. Kecenderungan tersebut pada dasarnya merupakan naluri
manusia yang tidak bisa dipungkiri dan
merupakan fitrah manusia.
Mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki
naluri religiusitas dalam pengertian apapun, baik yang sejati maupun yang
palsu. Sebenarnya adalah sama dengan
mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri untuk berkepercayaan. Dalam
tinjauan antropologi budaya, Naluri itu
muncul berbarengan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup ini
sendiri dan alam sekitar yang menjadi
lingkungan hidup itu. Karena itu setiap orang dan masyarakat pasti mempunyai
keinsafan tertentu tentang apa yang dianggap
"pusat" atau "sentral" dalam hidup seperti dikatakan oleh
Mircea Elidae :
"Setiap orang cenderung, meskipun tanpa
disadari mengarah ke pusat dan menuju pusat sendiri, dimana ia akan
menemukan hakekat yang utuh yaitu rasa
kesucian. Keinginan yang begitu mendalam berakar dalam diri manusia untuk
menemukan dirinya pada inti wujud hakiki itu
di pusat alam, tempat komunikasi dengan langit menjelaskan penggunaan
dimana akan ungkapan pusat alam semesta"
Disini kita akan mencoba menelusuri secara
beruntun dari dasar sekali. Al Qur'an menyebutkan dalam Surat Adz
Dzaariyaat ayat 21:
"Dan juga pada dirimu, maka apakah kamu
tiada memperhatikan" (QS 51:21)
Juga dalam surat Al Hijr ayat 28-29 :
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat : sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang
manusia dari tanah liat kering (yang berasal)
dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya dan telah
meniupkan ke dalamnya Ruh (cipataan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya
dengan bersujud" (QS 15:28-29).
Dalam kerangka ini kita mengambil garis yang
jelas dari peristiwa kejadian manusia, dimana para makhluk baik itu setan
maupun malaikat mempertanyakan kebijakan
Allah yang akan menciptakan manusia, yang menurut pandangan malaikat
"manusia" adalah makhluk yang
selalu membuat keonaran dan pertumpahan darah (QS 2:30). Tidak kalah sengitnya
setan memprotes keberadaan manusia yang
dipandang rendah, yang hanya diciptakan dari unsur tanah, sambil
membanggakan dirinya yang dibuat dari api.
Dalam keadaan ini para malaikat gigit jari
dan begitu terheran-heran : rahasia macam apa ini? Bumi yang hina-dina
dipanggil kehadirat Zat yang maha tak
terjangkau dengan segenap kehormatan dan kemuliaan ini.
Kelembutan ilahi dan kebijakan Tuhan berbisik
lembut ke dalam relung rahasia dan misteri malaikat, "Aku tahu apa yang
tidak kalian ketahui " (QS :2:30).
Raga manusia termasuk kedalam derajat
terendah, sementara ruh manusia termasuk ke dalam derajat tertinggi. Hikmah
yang terkandung dalam hal ini ialah bahwa
manusia mesti mengemban beban amanat pengetahuan tentang Allah.
Karena itu mereka harus mempunyai kekuatan
dalam kedua dunia ini untuk mencapai kesempurnaan. Sebab tidak
sesuatupun di dunia ini yang memiliki
kekuatan yang mampu mengemban beban amanat. Mereka mempunyai kekuatan
dzikrullah.com
http://www.dzikrullah.com Menggunakan Joomla!
Generated: 8 October, 2010, 18:55
ini melalui esensi sifat-sifatnya
(sifat-sifat ruhnya), bukan melalui raganya.
Karena ruh manusia berkaitan dengan derajat
tertinggi dari yang tinggi, tidak satupun di dunia ruh yang menyamai
kekuatannya, entah itu malaikat maupun setan
sekalipun atau segala sesuatu lainnya. Demikian pula, jiwa manusia
berkaitan dengan derajat yang paling rendah,
sehingga tidak sesuatupun di dunia jiwa bisa mempunyai kekuatannya,
entah itu hewan dan binatang buas atau yang
lainnya. Ketika mengaduk dan mengolah tanah, semua sifat hewan dan
binatang buas, semua sifat setan,
tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu
dipilih untuk mengejawantahkan sifat
"dua tangan-Ku". Karena masing-masing sifat tercela ini hanyalah
sekedar kulit
luarnya saja, di dalam setiap sifat itu ada
mutiara dan permata berupa sifat Ilahi.
Penjelasan di atas merupakan urutan ungkapan
mengenai hakekat diri yang sebenarnya, dimana manusia sebagai
makhluk yang sangat lemah dan hina disisi
lain dinobatkan sebagai "khalifah" (wakil Allah). Bertugas mengatur
alam
semesta dan merupakan wakil Allah untuk
menjadi saksi-Nya serta mengungkapkan rahasia-rahasia firman-Nya. Para
mahkluk yang lain tidak melihat ada dimensi
yang tidak bisa dijangkau olehnya, ia hanya mampu melihat pada tingkat
yang paling rendah dalam diri manusia.
Sementara ia terhijab oleh ketinggian derajat manusia yang berasal dari tiupan
Ilahi (QS 15:28-29).
Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada
kecenderungan tertentu secara berurutan dalam memahami manusia.
Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap,
tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan
sesuatu menjadi dirinya sendiri.
Al Ghazaly yang hidup pada abad pertengahan
tidak terlepas dari kecenderungan umum pada zamannya dalam
memandang manusia. Didalam buku-buku
filsafatnya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang
tetap, tidak berubah-ubah yaitu an nafs
(jiwanya). Yang dimaksud an nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak
bertempat dan merupakan tempat pengetahuan
intelektual (al makulat) yang berasal dari alam malakut atau alam amr.
Ini menunjukkan esensi manusia bukan fisiknya
dan bukan fungsi fisik. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai
tempat. Dan fungsi fisik adalah sesuatu yang
tidak berdiri sendiri. Keberadaannya tergantung kepada fisik. Alam al amr
atau alam malakut adalah realitas di luar
jangkauan indra dan imajinasi, tanpa tempat, arah dan ruang. Sebagai lawan
dari alam al khalq atau alam mulk yaitu dunia
tubuh dan aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an nafs
adalah substansi immaterial yang berdiri
sendiri dan merupakan subyek yang mengetahui (Bashirah).
Untuk membuktikan adanya substansi immaterial
yang disebut an nafs, Al Ghazaly mengemukakan beberapa argumen.
Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan
manusia dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya apabila an nafs
tidak ada, sebab seluruh ajaran agama hanya
ditujukan kepada yang ada (al maujud) yang dapat memahaminya. Yang
mempunyai kemampuan bukanlah fisik manusia
sebab apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami,
obyek-obyek fisik lainnya juga mesti
mempunyai kemampuan memahami. Kenyataannya tidak demikian, argumen
bersifat keagamaan ini bagaimanapun tidak
dapat meyakinkan orang yang ragu terhadap kenabian dan hari akhirat.
Karena untuk mempercayai argumen ini orang
terlebih dahulu harus percaya akan kenabian dan hari akhirat.
Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan
pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang
kelihatannya tidak berbeda dengan
argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037 M) untuk tujuan yang
sama, melalui pembuktian dengan kenyataan
faktual. Al Ghazaly memperlihatkan, bahwa diantara makhluk-makhluk
hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang
menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk
hidup dari benda mati adalah sifat geraknya.
Benda mati mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam.
Sedangkan tumbuhan adalah makhluk hidup yang
paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak yang monoton,
juga mempunyai kemampuan bergerak secara
bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa vegetatif. Hewan mempunyai
prinsip yang lebih tinggi dari pada
tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain mampu bergerak bervariasi juga
mempunyai rasa. Prinsip ini disebut jiwa
sensitif. Manusia selain mempunyai kelebihan dari hewan, juga mempunyai
semua yang dimiliki jenis-jenis makhluk
tersebut, disamping mampu berpikir dan mempunyai pilihan untuk berbuat atau
untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia
mempunyai prinsip yang memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut
an nafs al insaniyyat. Prinsip inilah yang
betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.
Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan
seorang manusia menghentikan segala aktivitas fisiknya, sehingga ia
berada dalam keadaan tenang dan hampa
aktivitas. Ketika ia menghilangkan segala aktivitasnya, menurut Al Ghazaly,
ada sesuatu yang tidak hilang di dalam
dirinya yaitu "kesadaran" yakni kesadaran akan dirinya. Ia sadar
bahwa ia ada.
Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Pusat
kesadaran itulah yang disebut an nafs al insaniyyat (diri sejati). Dikatakan
dalam
suatu tafsir shafwatu at tafasir karangan
prof. As Shabuny mengenai surat Al Qiyaamah ayat 14:
"akan tetapi di dalam diri manusia ada
bashirah (yang tahu)"(QS 75:14).
Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu
atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa
menyebut diri (wujud)-nya adalah
"Aku".
Wujud "Aku" yang memiliki sifat
tahu yang memperhatikan dirinya atas perilaku hati, kegundahan, kebohongan,
kecurangan, serta kebaikan. Ia tidak pernah
bersekongkol dengan perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci, sehingga
dzikrullah.com
http://www.dzikrullah.com Menggunakan Joomla!
Generated: 8 October, 2010, 18:55
manusia, setan dan jin tidak bisa menembus
alam ini karena ia sangat dekat dengan Allah sekalipun manusia itu jahat
dan kafir. Adalah pernyataan Allah atas
pengangkatan sebagai wakil Allah, sehingga Allah menyebut tentang
"Aku" ini
sebagai ruh-Ku. Yang oleh As Shabuny sebagai
penghormatan yang maha tinggi seperti penghormatan Allah terhadap
Baitullah (rumah Allah).
Ketika itu yang disadari bukan fisik dan yang
sadarpun bukan fisik. Kesadaran di sini tidak melalui alat, tetapi bersifat
langsung. Oleh karena itu subyek yang sadar
itu jelas bukan fisik dan bukan fungsi fisik melainkan sesuatu substansi
yang berbeda dengan fisik.
Mungkin juga dikatakan di sini tidak bersifat
langsung, tetapi melalui perantara, yaitu melalui perbuatanku. Dalam
perbuatanku ada yang mendahului, yaitu
kesadaran akan aku yang menjadi subyek perbuatan itu. Kesadaran di sini
bagaimanapun bersifat langsung dan terlepas
dari aktivitas fisik. Dengan demikian subyek yang sadar, yang menjadi
esensi manusia itu nyata ada dan merupakan
substansi yang berbeda dengan fisik. Hal ini terbukti ketika manusia
kehilangan aktivitas pada moment menjelang
tidur. Sang "Aku" (kesadaran) mengetahui dengan sadar peristiwa yang
dialami pada saat bermimpi. Begitupun
kehidupan keruhanian dalam mendasari kesadaran ihsan dengan menghentikan
aktivitas fisik sebagai kendali sahwati, maka
yang timbul adalah kesadaran diri yang mampu menembus alam malakut
dan uluhiah. Dimana manusia mencapai puncak
eksistensi yang sejati. Kesejatian inilah yang di tuntut oleh Allah dalam
hal melakukan peribadatan, apakah puasa,
zakat, dan shalat. Dengan konteks "ihklaskanlah peribadatanmu dengan
tidak melakukan kesyirikan sedikitpun"
(QS 39:11&14). Aktivitas ruhani yang diajarkan oleh Allah adalah
peribadatan
saum yang mana manusia dalam sementara waktu
diwajibkan mengendalikan emosinya dan aktivitas keinginan hawa
nafsu selama satu bulan di bulan Ramadhan.
Selama satu bulan penuh menahan rasa dan keinginan ragawi, samarsamar
akan terjadi proses transformasi kejiwaan
yang tadinya emosional berubah menjadi ketenangan, dan fisik seolah
tidak lagi menuruti keinginannya, sehingga
sang fisik mengikuti kehendak-kehendak diri yang sejati. Maka oleh Allah
dikatakan mereka itu telah mendapatkan
karunia lailatul qadar, dimana ia mampu menembus seluruh semesta ruhani
dan kembali sebagai manusia sejati dan
fitrah. Keadaan Fitrah ini diungkap Al Qur'an, bahwa apabila telah terjadi
fitrah
pada diri manusia maka sesungguhnya fitrah
itu sama dengan kehendak Allah seperti pada surat Ar Ruum ayat 30 :
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada Agama (Allah); (tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui" (QS 30:30)
Dalam hal ini manusia tersebut mendapat
karunia kepatuhan dan ketaqwaan seperti patuhnya alam semesta serta
patuhnya tubuh manusia, dimana dimengerti
bahwa tidak pernah dirinya merencanakan ada, kemudian kenapa aku ini
laki-laki? Atau nafas ini mengalir keluar
masuk tanpa aku kehendaki dan bisakah aku menangguhkan jangan keburu tua
dulu. Hal ini merupakan renungan hakiki,
kenapa pikiran ini tidak sepatuh alam dan tubuh yang diselimuti kekuasaan
Allah. Ia tampak begitu jelas dalam gerakan
dan keberadaan alam dan diri ini.
Dengan argumen di atas bahwa an nafs berdiri
sendiri dipertegas bahwa ia tidak bertempat, baik di dalam badan
maupun di luar badan. Karena an nafs bukan
materi maka dengan sendirinya tidak mengambil ruang dan tidak
mempunyai tempat. Sifat dasar an nafs tidak
mengandung kemungkinan bertempat. Artinya pernyataan tempat tidak
sesuai dihubungkan kepada an nafs,
sebagaimana tidak sesuai sifat mengetahui atau tidak mengetahui diletakkan pada
benda mati. Al Ghazaly tidak menerima
pandangan bahwa an nafs berada di luar badan. Sebab an nafs dalam keadaan
demikian, menurutnya tidak mungkin mengatur
badan, tetapi kalau an nafs berada di dalam badan keberatan lain akan
timbul. An nafs bertempat di dalam badan
tidak terlepas dua kemungkinan, yaitu bertempat pada seluruh badan atau
pada sebagiannya saja. Kalau bertempat pada
seluruh badan, an nafs semestinya menyusut atau berpindah, jika
sebagian anggauta tubuh manusia terpotong dan
ini tidak mungkin.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
esensi atau hakikat manusia adalah substansi immaterial yang berdiri
sendiri, bersifat Ilahi (berasal dari alam
amr), tidak bertempat di dalam badan, bersifat sederhana, mempunyai
kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan,
diciptakan (tidak kadim) dan bersifat kekal pada dirinya. Ia
berusaha menunjukkan bahwa kesadaran jiwa dan
sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh melalui akalnya saja, tetapi
dengan akal dan sara'. Untuk itu selain
kutipan ayat 29 surat Al Hijr di atas juga ayat-ayat yang lain yang menerangkan
esensi manusia seperti surat Ali 'Imraan ayat
169 :
"Jangan engkau sangka orang-orang yang
terbunuh pada jalan Allah itu mati, mereka itu hidup dan diberi rezeki disisi
Tuhan" (QS 3:169).
"Katakan jiwa itu dari amr Tuhanku"
(QS 17:85).
Ayat yang pertama menunjukkan kekekalan jiwa
dan ayat yang kedua untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari dunia
yang sangat dekat dengan Allah, alam amr.
Pembangkitan kesadaran akan diri, dikatakan
para ulama kerohanian sebagai ajang mujahadah untuk menemukan
kesejatian, dan dengan kesejatian itu pula
manusia akan mencapai hakikat "diri" serta terbukanya kebenaran
adanya
Allah secara hakiki, yakni makrifatullah.
dzikrullah.com
http://www.dzikrullah.com Menggunakan Joomla!
Generated: 8 October, 2010, 18:55
Periode pertengahan kejayaaan Islam di jawa,
berlangsung semaraknya hidup berkerohanian yang dipelopori para dai
(wali songo) masa itu. Namun kita melihat
kelebihan dan kekurangan metode yang diajarkan, masih banyak
menyesuaikan budaya masyarakat kerohanian
Hindu. Sehingga peribadatan yang masih tersisa sekarang kelihatan
asimilasi peninggalan Hindu dan Budha. Akan
tetapi bila kita lihat dengan jernih, ajaran yang disampaikan oleh beliau
tetap memurnikan ketauhidan kita kepada
Allah. Misalnya dalam mantra berbahasa jawa, tentang perenungan hakiki
manusia serta penyadaran dan pencarian
kesejatian yang dikatakan dalam Al Qur'an sebagai "bashirah" (Aku
yang
mengetahui).
BismIlahirrahmanirrahim (dengan nama Allah
yang maha pengasih dan penyayang).
Melebu Allah..metu Allah (masuknya nafas
karena Allah…keluarnya nafas karena Allah).
Anekadaken urip iku Allah (yang mengadakan
hidup itu Allah).
Utek dunungno kodrate Allah (otak diletakkan
atas kodrat Allah).
Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ...
Allah (ya hu ... Allah ya hu ... Allah ya hu ... Allah).
Nabi Muhammad iku utusane Allah (nabi
Muhammad itu rasullullah).
Artinya : (perlu diketahui dalam membaca
kalimat mantra ini diperlukan penghayatan dan pendalaman makna yang
hakiki).
Masuk dan keluarnya nafas ini adalah kodrat
Allah yang tidak bisa dicegah. Manusia hanya menerima dengan pasrah
atas kekuasaan Allah yang meliputi nafas.
Sehingga fikiran ini diajak patuh dan pasrah bersamaan dengan patuhnya
nafas tanpa kecuali (totalitas). Yang
mengadakan hidup pada manusia (semesta) itu adalah Allah. Dimana seluruh
makhluk, apakah itu binatang, manusia,
tumbuhan serta bumi, matahari semuanya bergerak dinamis atas sifat hidup
Allah (Al Hayyu). Otak adalah merupakan
bentuk kekuasaan Allah atas manusia, yang mana manusia diwajibkan berfikir
dan berkontemplasi untuk menyatakan sebagai
wakil Allah (khalifah) maka dengan itu otak harus sesuai dengan
kehendak-kehendak Allah (perintah Allah).
Wahai zat yang tidak sama dengan makhluknya. Aku bersaksi bahwa nabi
Muhammad itu Rasulullah.
Disini kita melihat sejarah manusia ketika
menyikapi dirinya dalam pencarian diri sejati secara universal. Al Qur'an telah
memaparkan sebelum para pemikir barat
memulai.Kesadaran Universal
Menghayati mulai dari kesadaran fisik sampai
kepada kesadaran transendental dimana kesejatian manusia adalah
sesuatu yang bukan fisik. Dengan kesejatian
inilah manusia menunaikan baktinya kepada Allah sebagaimana fitrahnya
(QS 30:30).
Al Qur'an telah banyak mengungkapkan tentang
apa dan siapa manusia sebenarnya. Namun ungkapan ini tidak akan
menjadi suatu kesadaran apabila fikiran dan
perasaan jiwa kita tidak pernah dibawa ke alamnya secara nyata, bukan
teori tasawuf yang sulit dimengerti.
Kesadaran dimulai dengan yang sangat sederhana.
Adalah seorang bayi yang tiba-tiba lahir
dengan proses alami. Ia lahir bukan karena permintaan dan kehendaknya. Ia
tidak mengerti untuk apa dilahirkan. Ia tidak
punya apa-apa bahkan telanjang serta malupun tidak punya. Kemudian
sekelilingnya memberikan kesadaran secara
bertahap. Mulai dari pemberian nama dan identitas kelamin, dan batasan
kesadaran yang sangat sempit. Ia dikenalkan
dengan dirinya bahwa namanya si Anu dan jenis kelaminnya laki-laki.
Diajarkannya pula nama-nama anggota tubuhnya,
ini telinga, ini kepala, ini tangan, dan seterusnya.
Kesadaran ini membuat terikat kepada sebatas
apa yang ia terima (ketahui). Sehingga sang diri terbelenggu dan
tersesat dalam ketidaktahuan siapa yang
sebenarnya diri ini. Ada ungkapan rasullullah "barang siapa mencintai
sesuatu
maka ia akan menjadi hambanya".
Pakaian atau dodot dalam tembang ilir-ilir
sunan Ampel adalah sesuatu yang menimbulkan ikatan pada jiwa seseorang.
Dalam filsafat perenial, pakaian adalah
sesuatu yang binding (mengikat) dalam jiwa manusia. Jika manusia melakukan
sikap yang "binding" dengan dunia
sekelilingnya, jiwanya akan terkungkung dan kebebasannya (kesadarannya)
terbelenggu. Oleh karena itu manusia dalam
hidupnya harus selalu berusaha melakukan "unbinding" terhadap dunia
sekitarnya. Maksudnya manusia harus mulai
menyadari keterbatasan dirinya yang selama ini dijerumuskan oleh
pengetahuan yang didapatnya, bahwa diri ini
hanya terbatas pada mata, telinga, kaki serta anggauta tubuh yang
kelihatan. Namun hal ini mustahil kalau saya
ungkap secara detail dalam tulisan ini, sebab kesadaran ini harus dilakukan
dengan latihan dan pengisian ilmu pengetahuan
tentang diri secara imanen transendental (pengalaman langsung).
Mari kita perhatikan tentang apa sebenarnya
tubuh ini. Hirupan nafas masuk ke tubuh, lalu sekaligus mengeluarkan zat
residu berupa asam arang. Sekadar bayangan
kesadaran tentang diri agaknya hal-hal di bawah ini akan menolong kita.
Ibaratnya keadaan itu bisa diserupakan dengan
penerangan sebuah kota, yang dialirkan oleh sentral listriknya.
Perbandingan ini menjadi semakin tajam
apabila disadari dengan ilmu bahwa apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari
kita pandang (sadari) bentuk tubuh manusia
adalah terbatas pada garis nyata. Sehingga kenyataan ini membuat orang
dzikrullah.com
http://www.dzikrullah.com Menggunakan Joomla!
Generated: 8 October, 2010, 18:55
tertipu oleh pengetahuan yang ia miliki.
Padahal lebih dari yang ia bayangkan, bahwa baik manusia, logam, tumbuhan
dan gunung adalah sebetulnya terdiri dari
suatu untaian kejadian-kejadian atau proses. Dimana segala alam lahir ini
tersusun oleh senyawa-senyawa kimiawi yang
dinamai zarrah (atom).
Dan atom-atom ini dalam analisa terakhir
adalah satu unit tenaga listrik, yang energi positifnya (proton) berjumlah
sebanyak energi negatifnya (elektron). Di
dalam atom ini, terus-menerus setiap detik terjadi loncatan dan pancaran
(charge and spark). Itulah semburan-semburan
yang tidak ada hentinya dari daya listrik. Semburan atau loncatan yang
tidak putus-putus dengan kecepatan yang
sangat luar biasa ini tidak mampu dilihat dengan mata biasa, kecuali dengan
kesadaran ilmu yang cukup. Sebagaimana Al
Qur'an mengungkapkan tentang gunung yang dianggap oleh orang awam
seperti diam tak bergerak :
"Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu
sangka dia tetap ditempatnya, padahal ia berjalan sebagaimana jalannya
awan" (QS 27:88).
Bagi orang awam sebuah gunung atau pegunungan
memang tampaknya kokoh berdiri di tempatnya masing-masing.
Jadi kalau benda-benda termasuk manusia yang
dalam surat Al Hijr ayat 28-29 diciptakan dari esensi alam. Maka
benarlah apa yang kita namai benda adalah
sebuah bongkahan besar "runtutan peristiwa" loncatan listrik. Maka
disini
sama sekali tidak dijumpai lagi suatu yang
padat atau baku (tetap). Bahan yang dipakai untuk pembentukan alam dan
manusia bukanlah benda atau zat-zat akan
tetapi ialah "aksi" yaitu aliran berangkai dari peristiwa-peristiwa.
Tidaklah
mengherankan bahwa dari bahan-bahan yang
sangat labil ini terbentuklah alam yang selalu berubah-ubah, menjelma
dari bentuk ke bentuk mengikuti suatu proses
evolusi.
Sampai disini kesadaran kita sampai kepada
tahapan yang agak abstrak, dimana penglihatan kita malah seakan-akan
kehilangan penglihatan dimana bentuk tubuh
yang selama ini kita sadari. Jelas hal ini membigungkan kesadaran yang
telah lama terpatri.
Namun kita telah mencoba melakukan pembangkitan
kesadaran yang lebih luas. Yaitu kesadaran dimana tubuh
bukanlah apa yang kita lihat seperti ini.
Tubuh adalah susunan inti materi yang setiap saat berubah dan berganti.
Terbatasnya kesadaran bahwa badan bukan lagi
sekedar tangan, kaki, dan kepala. Akan tetapi berubah meluas menjadi
kesadaran universal, yaitu kesadaran yang
tidak ada batas. Pada tingkat kesadaran ini kita agak bingung, yang mana
sebenarnya wujud ini sebenarnya. Karena
setelah ditelusuri secara rinci, bahwa badan yang tadinya disadari sebagai
sosok laki-laki atau wanita yang punya rupa
cantik dan gagah. Pelan-pelan terhapus oleh kesadaran yang lebih luas,
yaitu kesadaran jagat raya atau disebut
kesadaran makrokosmos. Bahwa wujud badan ini tidak lagi sesempit dulu, aku
tidak lagi sebatas kepala, tangan, dan kaki
saja. Akan tetapi badanku adalah angin yang bergerak, atom-atom yang
bertebaran serta bergantian saling tukar
dengan benda-benda yang lain, badanku adalah butiran-butiran zarrah yang
saling mengikat, ya….. aku saling
ikat dengan tumbuhan, binatang, bumi serta dengan angkasa yang maha luas.
Badanku adalah jagad raya. Dimana kesadaran
sudah berubah luas dan menjadi satu kesatuan dengan lingkugan kita.
Kesadaran ini akan memudahkan
mengidentifikasikan siapa diri sebenarnya. Setelah tahu esensi badan ini. Yaitu
kesadaran hakiki yang menggerakkan dan
mengatur alam semesta. Dikatakan dalam Al Qur'an surat An Nahl ayat 12 :
"Dan Dia menundukkan malam dan siang,
matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan dengan
perintah-Nya. Sesungguhnya dalam
gejala-gejala itu terdapat ayat-ayat Allah -(atau tanda-tanda kekuasaan Allah)
bagi
orang-orang yang mempergunakan akal" (QS
16:12).
Sebenarnya di dalam ayat ini tercantum juga
ungkapan bahwa Allah menundukkan dan mengatur kelakuan matahari,
bintang dan bulan dengan perintah-Nya.
Peraturan inilah yang diikuti oleh seluruh alam semesta (makrokosmos),
bagaimana ia harus bertingkah laku. Ia juga
disebut hukum alam, atau peraturan yang diikuti oleh alam. Lebih jelas lagi
bila kita baca ayat 11 surat Fushilat :
"Kemudian Dia mengarah kepada langit
yang masih berupa kabut lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi :
"Silahkan kalian mengikuti perintah-Ku
dengan suka hati atau dengan terpaksa". Jawab mereka : "Kami
mengikuti
dengan suka hati". (QS 41:11)
Ayat ini membuktikan bahwa alam taat
mengikuti segala perintah dan peraturan sang pencipta. Dan peraturan yang
telah ditetapkan Allah itu tidak berubah
selamanya, seperti yang telah ditegaskan dalam ayat 23 surat Al Fath :
"Sebagai sunatullah (atau peraturan
Allah) yang telah berlaku sejak dahulu, sekali-kali kamu tak akan menemukan
perubahan bagi sunatullah (atau hukum-hukum
yang telah ditetapkan Allah) itu" (QS 48:23).
Apabila zat-zat, tubuh manusia dan
benda-benda dalam alam sudah dipahami sebagai rangkaian kejadian-kejadian,
serta menurut kemauan sunatullah. Maka
sebenarnya atom-atom atau zarrah bergerak bukan atas kemauannya sendiri,
akan tetapi ada sosok yang bukan dirinya.
Dimana atom-atom itu bergerak mengikuti kekuatan yang maha besar. Bendabenda
kecil itu hanya patuh terhadap yang tidak
bisa diperbandingkan dengan sesuatu. Wujud itu begitu absolut, bendabenda
ini ternyata mati. Akan tetapi ia bergerak
dan dihidupkan oleh suatu kuasa yang maha besar. Itulah metakosmos
yang hidup, yang perkasa, yang meliputi
segala benda, ialah Rabbul alamin…..
dzikrullah.com
http://www.dzikrullah.com Menggunakan Joomla!
Generated: 8 October, 2010, 18:55
Pada kesadaran ini sebaiknya kita berhenti
sejenak dan jangan dipahami dengan pemikiran yang berlarut-larut. Biarkan
Allah yang akan menuntun hati dan pengetahuan
tentang ilmu selanjutnya dengan tetap mematuhkan jiwa dan tubuh
kita kehadirat Allah yang Maha Suci. Apabila
kita meluruskan pandangan jiwa dan tubuh kita terhadap perintah-perintah-
Nya (Ad dien) serta menundukkan dan
memasrahkan segala ketaatan. Tubuh ini akan taat seperti taatnya alam semesta
tanpa kita rekayasa, ia akan hidup seperti
hidupnya alam, serta ia akan teratur seperti teraturnya matahari serta
planetplanet
yang tidak berbenturan. Ia akan patuh seperti
patuhnya malaikat. Demikianlah justru menurut pikiran logis, bahwa
adanya diri (mikrokosmos), dan alam semesta
(makrokosmos), telah mengajak kesadaran untuk sampai kepada
pembuktian adanya Allah yang maha ghaib
(metakosmos).
Pada pembahasan kali ini, mungkin ada hal-hal
yang menyulitkan pembaca memahami hakikat diri. Untuk itu maka
selanjutnya penulis akan mengajak para
pembaca masuk ke dalam dunia yang lebih kongkrit, yaitu bagaimana
melakukan dan memasuki dunia rohani dengan
benar. Pada bab-bab berikutnya akan saya untai praktek-prakteknya
dan pembaca bisa mengikuti dengan seksama.
dzikrullah.com
Langganan:
Postingan (Atom)