Asal mula munculnya filsafat sebagai ilmu pengetahuan,
dimulai karena kekaguman (keta’ajjuban) manusia. Kalau manusia sudah merasa
kagum, biasa-nya ia merasa tidak tahu dan hal yang tidak diketahuinya itu
merupakan problema yang harus dicarikan solusi melalui filsafat, dengan
mempergunakan nalar sekuat mungkin, sehingga diperoleh pengetahuan. Pengetahuan
semacam ini, mungkin saja dapat diperoleh yang dimulai dengan pertanyaan: knowledge
of what is yakni apakah sesuatu itu ? dan juga knowledge of what tobe,
yakni tentang apa yang seharusnya diperbuat ? pertanyaan-pertanyaan seperti
ini, tentu membuat manusia untuk berfikir (menalar), sehingga melahirkan suatu
ilmu pengetahuan.
Karena hasil akhir filsafat adalah perolehan ilmu
pengetahuan, maka konsep filsafat tersebut merupakan sesuatu yang sangat urgen
dalam Islam, karena agama Islam tersebut sejak pertama diturunkannya
menggunakan kata iqra yang oleh
sebagai mufassir mengartikan term iqra sebagai perintah untuk menalar.
Di dalam berbagai ayat, juga ditemukan sejumlah term yang mendorong pemikiran
rasional misalnya; afalā ta’qilūn
(apakah kamu tidak menggunakan akal; afalā tubsirūn (apakah kamu
tidak melihat); afalā tanzurūn (apakah kamu tidak meneliti, tidak
menggunakan nalar); yā ulil al-bāb (hai orang yang me-miliki otak dan
akal); dan sebagainya.
Jelaslah bahwa filsafat Islam, bukan jiplakan dari
pemikiran Yunani Kuno, tetapi filsafat Islam tersebut berasal dari interpretasi
ayat-ayat al-Quran yang diwahyukan Tuhan. Ajakan ayat-ayat al-Quran untuk
mengobservasi, meneliti dan mengkaji realitas-realitas di alam semesta,
termasuk diri manusia sendiri, telah mendorong umat Islam pada masa-masa lalu
untuk menggeluti bidang filsafat, sehingga mereka berhasil menjadi mercusuar
dunia, terutama pada abad-abad ke ketujuh sampai sembilan Masehi. Dalam masa
itu, tampil filsuf Islam misalnya al-Kindi (796-873 M), al-Farabi (872-950 M),
Ibnu Sina (980-1037 M), al-Maskawaih (w. 1030 M), al-Ghazali (1058-1111 M), dan
masih banyak lagi selainnya.
Salah satu failosof atau pemikir Islam dan sekaligus
sebagai sufi yang masyhur pasca al-Ghazāli, adalah Said Nursi (1293-1379 H).
Tokoh ini, berasal dari sebuah desa bernama Nursi di perkampungan Khaizan,
wilayah Bitlis yang terletak di sebelah Timur Anatoli. Tanda-tanda sebagai
seorang yang kelak menjadi pemikir, tampak sejak Said Nursi masih kecil. Hal
ini seperti terlihat, bahwa beliau selalu banyak bertanya dan gemar menelaah
masalah-masalah yang belum dimengerti.
Dalam dunia pendidikan, Said Nursi mulai belajar di
madrasah, dan ter-akhir dia sekolah di Bayazid dengan di bawah bimbingan Syaikh
Muhammad Jalali. Di sinilah Said Nursi belajar Nahwu dan sharaf, dan berhasil
membaca seluruh buku yang pada umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama.
Dalam kesehariannya, dia selalu membaca duaratus halaman buku yang bahasanya
sangat sulit dimengerti. Namun demikian, dia mampu memahaminya tanpa harus
merujuk pada catatan kaki atau catatan pinggir, dan tanpa dibantu oleh syaikh.
Tidak lama kemudian, popularitas
Said Nursi tersebar luas. Para ulama silih berganti melakukan berbagai dialog
ilmiah dengannya dan berupaya untuk menyudutkannya dengan berbagai pertanyaan.
Tetapi semua pertanyaan dan masalah yang dikemukakan terjawab dengan sangat
argumentatif, sehingga oleh mereka digelari “Said Masyhur”.
Di masa-masa akhir pemerintahan Usmani dan masa-masa
pembentukan Republik Turki, Said Nursi berkelana dari kota ke kota hingga
pelosok terjauh negerinya. Dari sekian daerah yang dikunjunginya, said Nursi
melihat kekafiran modern berakar dari sains dan filsafat, bukan dari kebodohan
sebagaimana dikemukakan orang-orang sebelum dia. Paradoksnya, ketidak tahuan
umat Islam terhadap sains dan teknologi membuat mereka tertinggal dari Barat di
bidang ekonomi dan militer. Tetapi sains dan teknologi yang telah mendatangkan
kekuatan bagi Barat untuk mencapai superioritas ekonomi dan militer di dunia
membuat orang-orang Barat kehilangan keimanan dan moral tradisional mereka,
sehingga jatuh ke dalam psimisme yang berlebihan. Akibatnya, moralitas sekuler
dan kepentingan diri sendiri menggusur nilai-nilai agama dan nilai-nilai
tradisional lainnya.
Akhirnya, Said Nursi berpendapat bahwa alam adalah kumpulan tanda-tanda Ilahi dan karena itu sains
dan agama bukanlah dua bidang yang berseberangan. Keduanya adalah ekspresi yang
(tampak) berbeda dari satu kebenaran yang sama. Pikiran harus dicerahkan dengan
sains, sedangkan hati harus diterangi dengan agama.
Dalam pemikirannya untuk membuktikan keberadaan dan
keesaan Ilahi, hari kebangkitan, kenabian, asal Ilahiah, al-Quran, alam gaib,
dan para penghuninya atau dimensi-dimensi immaterial, perlunya ibadah,
moralitas, karakter ontologis manusia dan lain-lain, Said Nursi semula mencoba
mem-erkuat Islam dengan filsafat modern barat. Kemudian dia melihat bahwa cara
tersebut sama halnya dengan merendahkan Islam dan bahwa pokok-pokok islami
terlalu dalam untuk dijangkau dengan prinsip-prinsip filsafat manusia. Dia lalu
beralih kepada alquran saja. Namun pada gilirannya, setelah mencermati
ber-bagai ayat al-Quran, justru Said Nursi berpendapat bahwa filsafat adalah
jalur menuju kemajuan dan pencerahan ruhani. Bahkan sempat perpendapat bahwa
pola pikir filsafat Barat bisa digunakan untuk menegakkan dan memperkuat
kebenaran Islam. Dari sini, maka dipahami pemikiran Said Nursi yang secara
lahiriyah terlihat tetap menggunakan filsafat Barat, justeru di sisi lain
dengan pe-mikirannya itu dapat mengkorelasikannya filsafat Islam. Ini berarti
bahwa Said Nursi satu-satu pemikir modern yang telah menemukan konsep baru
filsafat dalam bingkai yang islami.
Dalam The Oxford Encyclopedia of Islami word disebutkan
bahwasejak kelahiran filsafat, maka Filsafat Islam merupakan salah satu tradisi
intelektual besar di dalam dunia Islam, dan telah mempengaruhi serta
dipengaruhi oleh banyak perspektif intelektual lain, termasuk teologi skolastik
(kalām) dan sufisme doktrinal (al-ma’rifah al-irfān). Mungkin
sebab pengaruh-pengaruh intelektual lain, sehingga Ibrahim Madkūr menjelaskan
bahwa kedudukan filsafat Islam sesungguhnya mengalami keraguan dalam suatu
zaman. Sebagai akibatnya adalah di antara mereka yang mengingkari (menolak)
kehadiran filsafat Islam itu, dan sebagian lainnya justru menerimanya, bahkan
telah menyelamatkannya. Dengan penjelasan ini, maka dapat dipahami bahwa
filsafat Islam dalam satu sisi tidak diterima oleh semua orang. Mungkin
alasannya, karena ada anggapan bahwa filsafat Islam terasimilasi dari filsafat
Yahudi (barat).
Meskipun diakui bahwa pemikiran-pemikiran filsofis di
kalangan filosof-muslim yang pesat perkembangannya sejak dulu sampai kini pada
umumnya berkisar pada filsafat Ketuhanan, dan sangat jarang yang mengkhususkan
diri pada masalah alam semesta beserta isinya termasuk. Dengan kata lain,
orientasi filsafat Islam selama ini bersifat vertikal dan jarang yang
menghampiri persoalan-persoalan yang bersifat horizontal (masalah sosial dan
alam semesta). Hal ini, sangat erat kaitannnya dengan situasi yang berkembang
pada waktu itu, di mana masalah Ketuhanan menjadi topik yang selalu aktual
diperbincangkan oleh kaum muslimin. Di lain pihak, kaum muslimin ingin
mempertemukan antara berita-berita wahyu yang diyakini sebagai kebenaran dengan
teori-teori filsafat yang bersumber dari ratio murni itu. Hal inilah yang
dilakukan oleh Said Nursi yang dalam beberapa pernyataanya dipahami bahwa wahyu
Allah yang diturunkan, menurut filsafat Islam adalah mutlak kebenarannya,
sementara ratio yang juga merupakan alat pikir manusia yang diberikan oleh
Allah, bilamana dipergunakan dengan sebaik-baiknya, juga akan mencapai
kebenaran. Hanya saja, dalam konsep filsafat Islam adalah, ada manusia yang
tidak mampu mencapai pada tarap kebenaran yang sempurna, sehingga ia bersifat
nisbi (relatif). Bilamana kebenaran nisbi tersebut tidak bertentangan dengan
wahyu, maka dapat diperpegangi.