TASAWUF FALSAFI
29 November 2010
Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi
rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminology falsafi
tersebut berasal dari bermacam-macamajaran filsafat yang telah mempengaruhi
para tokohnya.
Menurut
at-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak
Islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun atikohnya baru dikenal seabad
kemudian.
Ciri umum
tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat
banyaknya istilah khusus yang hanya dapat difahami oleh siapa aja yang memahami
ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai
filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa(dzauq), tetapi tidak
dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena
ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada
panteisme.
Para sufi yang
juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat Yunani
serta berbagai alirannya seperti Socrates, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran
Neo_Platonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka pun cukup
akrab dengan filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang karya-karyanya
sering diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan filsafat-filsafat Timur kuno,
baik dari Persia maupun dari India serta filsafat-filsafat Islam seperti yang
diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Mereka pun dipengaruhi aliran
Batiniyah sekte Ismailiyah aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa.
Objek yang menjadi
perhatian para tasawuf filosof adalah
latihan rohaniyah
dengan rasa, intuisi, serta instroprksi diri yang timbul darinya. Mengenai
latihan rohaniah dengan tahapan Maqam maupun keadaan (hal), rohani serta
rasa(dhauq
Iluminasi atau hakikat
yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat robbani, ‘arty, kursi,
malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib,
maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaannya.
Mengenai iluminasi ini para sufi dan juga filosof tersebut melakukan latihan
rohaniah dengan mematikan kekuatan syhwat serta menggairahkan roh dengan jalan
menggiatkan Dzikir, dengan dzikir menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat
realitas-realitas.
Tokoh-tokoh Tasawuf
Falsafi
1. Ibn Arabi dan
Karyanya
Nama lengkap Ibn
‘Arabi adalah Muhamad bin ‘Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitimi. Ia
lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol pada tahun 560 H, beliau lahir
dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.
[1] Ia
tinggal di Hizaj dan meninggal pada tahun 638H. Di Sevilla (Spanyol) Ia mempelajari
Al-Qur’an, Hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia yakni
Ibn Hazm Az-Zuhri. Di usiannya 30 Ibn Arabi berkelana ke berbagai kawasan
Andalusia dan kawasan Islam bagian Barat dan berguru kepada Abu Madyan,
Al-Ghauts At_Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan
perempuan). Kemudian ia bertemu juga dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib
istana dinasti Barbar dari Alomond, di Kordova
[2].
ia pun dikabarkan mengunjungi Al-Mariyyah, seorang sufi falsafi yang cukup
berpengaruh pada zaman itu.
Di antara karyanya
adalah Al-Futuhat Al-Makiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang
menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asywaq yang ditulisnya
untuk mengenang kecantikan, ketaqwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari
keluarga seorang sufi dari Persia.
[3]Karya
lainnya sebagaimanan dilaporkan oleh Muolvi Al-Abdal, Kimiya
As-Sa’adat,Muhadharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasa’il,
Al-Ilahiyyah, Mawaqi’ An-Nujum, Al-Jam’ wa At-Tafsishil fi Haqa’iq At-Tanzil,
Al-Ma’rifah dan Al-Isra’ila Maqam Al-Atsana.
[4]
c. Ajaran-Ajaran Tasawuf
Ibn Arabi
Ajaran pertama dari
Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang
merupakan ajaran sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal
dari dirinya tetapi dari Ibn Taimiyah yang sekaligus merupakan tokoh yang
mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral tersebut.
Untuk lebih jelasnya
kritikan Ibn Taimiyah atas ajaran Ibn Arabi, terlebih dahulu dapat kita
perhatikan pandangan mereka terhadap wahdat al-wujud; menurut Ibn
Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam.
Menurut penjelasannya orang-orang yang mempunyai pemahamanwahdat al-wujud mengatakan
bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajibul wujud yang dimiliki oleh
khaliq juga mumkinul wujud yang dimiliki oleh makhluk selain itu, kemudian
mereka mengatakan juga bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan tidak ada
perbedaan.
Sedangkan menurut Ibn
Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud mahluk
merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari
segi hakikat. Kalaupun ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluk
ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal
yang terbatas kemapuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya
dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Dari pengertian
tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn Arabi dari aspek
tasybihnya saja (penyerupaan Khaliq dengan makhluq), tetapi belum menilai
dari aspek Tanzihnya (penyucian khaliq).
Terkait dengan ajaran
Ibn Arabi mengenai
wahdat al-wujud kita dapat menilai dari isi
syair dan pandangan atau penafsirannya terhadap isi Al-quran yang berhubungan
dengan
wahdat al-wujuddiantaranya; “Mahasuci Tuhan yang telah
menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”.
[5] Menurut
Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah
hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (Khaliq) dengan
wujud yang baru (makhluk). Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat
yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn arabi mengemukakan lewat syairnya
sebagai berikut;
”
Hamba adalah
Tuhan, dan Tuhan adalah hamba. Demi syu’ur (perasan)ku, siapakah yang mukallaf?
Jika engkau katakan hamba padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau
katakana Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?”
[6]
Dari syair tersebut
timbullah pertanyaan; kalau antara Khaliq dan mahluk bersatu dalam wujudnya,
mengapa terlihat dua? Ibn Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak
memandang dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa
keduanya adalah Khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain.
Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu atau keduanya adalah dua
sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikah
keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah. Sehubungan
dengan hal tersebut, Ibn Arabi pun menyatakan dalam sya’irnya sebagai berikut;
“Pada satu sisi,
Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkannlah. Pada sisi lain, Dia bukan makhluk,
maka renungkannlah. Siapa saja yang menangkap yang aku katakan, penglihatannya
tidak akan perna kabur. Tidak ada yang akan menangkapnya, kecuali orang yang
memiliki penglihatan. Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu
sesungguhnya hanya satu. Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal
(tetap) dan yang tidak pula buyar.”
Dari keterangan di
atas Ibn Arabi terkesan menyatukan wujud tuhan dengan wujud alam yang dalam
istilah Barat disebut Panteisme dan didefinisikan Henry
C.Theissen seperti berikut:
“Panteisme adalah
teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek
modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada denag natural
(alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai
bentuk masa kini yang di antaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik,
politestik, dan teistik.”
[7]
Apabila dilihat dari
segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu
dengan wujud alam, kemudian dibandingkan dengan pengertian panteisme di atas,
perlu diingat bahwa Ibn Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud mutlak, yaitu
wujud Tuhan. Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain
wujud-Nya. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada wujud selain wujud tuhan, adapun
Ibn Arabi menggunakan wujud terhadap selain tuhan yaitu wujud alam, pada
hakikatnya wujud tersebut milik Tuhan yang dipinjamkan kepadanya, untuk hal ini
Ibn Arabi memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya
itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Selanjutnya Arabi
menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya, alam adalah bayangan
Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang
sebenarnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat Tajali dan Mazhar
(penampakan) Tuhan. ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan
sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram
dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan
manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini
merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan difat Allah yang terus-menerus.
Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam
bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang
tidak hanya dikenal oleh siapa pun.
Dalam Fushush
Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan sya’irnya: “wajah
itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda perbanyak cermin ia pun menjadi
banyak.”
[8] Untuk
memperkuat pendiriannya itu, Ibn Arabi merujuk sebuah hadits qudsi: “Aku pada
mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal,
maka Kuciptakan makluk, lalu, dengan itulah mereka mengenal Aku.” Penjelasan
konsep tanzih dan tasbyh dapat kita pahami melalui syairnya sebagai
berikut; “Jika engkau berkata tanzih, engkau mengikatNya.
Jika engkau hanya berkata dengan Tasybih, engkau membatasiNya.
Jika engkau berkata
dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah iman dan tuan dalam
berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang
berkata dengan dualitis Tuhan dan alam adalah musyrik; dan siapa saja yang
berkata dengan pemisahan Tuhan dan alam adalah muwahid. Oleh karena itu,
berhati-hati terhadap tasybih jika engkau mengakui dualitas, dan
berhati-hatilah engkau terhadap tanzih jika engkau mengakui monistis.
Engkau bukanlah Dia,
tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihatnya dalam ‘ain segala sesuatu, baik
sebagai sesuatu yang lepas maupun sebagai sesuatu yang terikat.
Berkaitan dengan
tanzih dan tasybih Ibn Arabi menjelaskan firman Allah,
laisa
kamitslihi syaiinmengandung pengertian, “
Tanzihkan-lah Dia”,
sedangkan firmannya,
wahua samii’ul bashiir, mengandung pengertian,
“Tasybihkan-lah Dia”. Dengan demikian, firman Allah
laisa kamitslihi
syaiin wahua samii’ul bashiir mengandung pengertian, Tasybihkan-lah
Dia dan jadikannlah dualitas, dan tanzih-kanlah Dia dan jadilah monistis”.
[9]
Dari kutipan-kutipan
di atas, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam,
dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi
terkesan menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari
adanya persamaan. Di samping itu, jika kita merujuk pada definisi penteisme
yang telah dirumuskan oleh Norman L. Geisler yang menyatakan tidak ada pencipta
di luar alam, wahdat al-wujud menurut konsep Ibn Arabi tidak dapat dikatakan
sama dengan panteisme, sebab Ia masih mengakui bahwa alam ini diciptakan Tuhan
dan Tuhan itu di luar alam, sedangkan alam hanya merupakan mazhar-Nya, mazhar
asma dan sifat-sifatnya.
Ajaran kedua dari
Ibn Arabi adalah Haqiqah Muhamadiyyah. Dari konsep wahdat al-wujud Ibn
Arabi, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari
konsep tersebut, yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyyah dan konsep wahdat
al-adyan (kesamaan agama). Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah pencipta alam
semesta adapun proses penciptaannya adalah sebagai bertikut:
Tajalli dzat Tuhan
dalam bentuk a’yan tsabitah.
Tanazul dzat Tuhan
dari alam ma’ani kea lam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam
arwah yang mujarrad.
Tanazul kepada
realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir.
Tanazul Tuhan dalam
bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal(ide) atau khayal.
Alam materi, yaitu
alam indrawi.
[10]
Penjelasan berikutnya
dari Ibn Arabi mengenai proses kejadian penciptaan alam dan hubungannya dengan
kedua ajaran tersebut sebagai berikut;
Pertama, wujud Tuhan sebagai
wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun.
Kedua, wujud
Haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan
dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana
yang dikemukakan di atas. Dengan demikian Ibn Arabi menolak ajaran yang
mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihili).
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber
emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang
terealisasikan pada para nabi semenjak Adam sampai Muhamad dan terealisasikan
dari Muhammad pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali dan
person-person insane kamil (manusia sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut
hakikat Muhammadiyyah tersebut dengan Quthb dan kadang-kadang pula dengan ruh
al-khatam.
[11]
Adapun yang berkenaan
dengan konsepnya wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibn Arabi memandang bahwa
sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Konsekwensinya, semua
agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar
arif adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan
kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid
memandang bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang semua apa
saja sebagai bagian dari ruang lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal, Ibn
Arabi Mengemukakan dalam sya’irnya,
“Kini kalbuku bisa
menampung semua ilalang perburuan kijang atau biara pendeta. Kuil pemuja
berhala atau Ka’bah. Lauh Taurah dan mushaf Al-Quran. Aku hanya memeluk agama
cinta kemana pun kendaraan-kendaraanku menghadap. Karena cinta agamaku dan
imanku.
[12]
Para penulis
berpendapat bahwa, Ibn Arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan
yang kuat sebab agama-agama berbeda-beda satu sama lain, dengan ungkapan lain
paham ini menyimpang dari Islam.
2. Al-Jili
(1365-1417)[13]
Nama lengkapnya adalah
Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan (Gilan),
sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama
Al-jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang
terkenal dari Bagdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli
sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan
ke India tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir
Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat
terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarafuddin Isma’il bin
Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.
[14]
a. Ajaran Tasawuf
Al-Jili
- Insan Kamil
Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia
sempurna). Menurut Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili
memperkuatnya dengan hadits; “Allah menciptakan adam dalam bentuk yang
Maharahman.” Hadits lainnya; “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.”
Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai,
mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki
sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan
menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan
Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan
dalam segala hakikat-Nya.
[15] Melaui konsep ini,
kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah
seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat
sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat
Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian
yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak
memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.
Labih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan
insan kamil adalah bagaikan cermin di mana seseorang tidak akan dapat
melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin itu. begitu pula halnya dengan
insan kamil, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin
nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui
cermin insan kamil. Inilah maksud ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”
(Q.S Al-Ahzab: 33). Al-jili berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan)
dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan.
Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi,
termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili
mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-quwah) dan mungkin
pula secara aktual (bi al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan
nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang
paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW sehingga manusia lain, baik
nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan
al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling sempurna) atau al-fadhil
(yang utama) dengan al-afdhal (yang paling utama).
Insan kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah(nuktah
Al-Haqq) melalui proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus
sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhamad SAW.
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul
Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi
sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul
Al-Hallaj dalam paham ittihad, ketika menggambarkan insan kamil sebagai
wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
- Maqamat
(al-Martabah)
Al-Jili dengan filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqam yang
harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah
(jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah:
Pertama, islam yang didasarkan pada
lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual
saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
Kedua, iman yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan
rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga
pertama mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang
mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
Ketiga, ash-shalah, yakni dengan maqam
ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan
penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah
Ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan
memtaati syariat Tuhan dengan baik.
Keempat, ihsan, yakni dengan maqam
ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan
efek(atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa
seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam
ini adalah sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida,
dan ikhlas.
Kelima, syahadah, seorang sufi dalam
maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa
pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang
menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi kedalam dua tingkatan, yaitu
mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling
rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluk-Nya secar ‘ainul yaqin. Ini
adalah yang paling tinggi.
Keenam, shiddiqiyah, Istilah
ini mengagambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh
secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yakin. Menurut
Al-Jili seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan menyaksikan
hal-hal yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui
hakikat diri-Nya.
Ketujuh, qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang
memungkinkan seorang dapat menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati
sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada
Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, “Mengetahui
dzat yang Mahatinggi itu secara kasyaf Ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia
dihapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah
Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya.
[17] Dengan pernyataan ini,
kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan,
ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya.
3. Ibn Sab’in
a. Biografi Singkat
Ibn Sab’in dan Karyanya
Nama lengkapnya Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhamad Ibn Nashr, seorang sufi dan
juga filosaof dari Andalusi. Ia di panggil Ibn Sab’in dan digelari Quthbuddin.
Dan dikenal pula dengan Abu Muhamad dan mempunyai asal-usul Arab, dan
dilahirkan tahun 614 H(1217/11218M) di kawasan Murcia. Dia mempelajari bahasa
Arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu
logika, dan filsafat. Ia mengemukakan gurunya bahwa diantara guru-gurunay
adalah Ibn Dihaq, yang dikenal juga dengan Ibn Al-Mir’ah.
[18] Ibn Sab’in tumbuh
dewasa dalam keluarga bangsawan, hidupnya dalam suasana penuh kemuliaan dan
berkecukupan tetapi beliau menjauhi kesenangan hidup kemewahan dan kepemimpinan
duniawi, lalu hidup sebagai asketis maupun sufi yang mempunyai banyak murid.
Ibn Sab’in meninggalkan karya yang menguraikan tasawufnya secara teoritis
maupun praktis. Sebagian karyanya hilang dan sebagaian risalahnya telah di
sunting Abdurrahman badawi dengan judul Rasa’il Ibn Sab’in (1965 M.) dan karya
yang lainnya; Jawab Shahih
Shiqilliyah, telah disunting oleh Syarifuddin Yaltaqiya. Dapat terlihat jelas dari
karyanya beliau tampak berpengetahuan yang sangatlah luas dan beraneka. Dia mengenal
berbagai aliran filsafat Yunani dan faisafat-filsafat Hermetitisme, Persia dan
India, selain itu dia juga banyak menelaah karya-karya filosof-filosof Islam
dari dunia Islam bagian Timur, seperti Alfarobi dan Ibn Sina, dan filosof
bagian Barat seperti Ibn Bajah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Dan dia menguasai
kandungan risalah-risalah Ikhwanul Ashafa, dan secara rinci mengetahui aliran
Teologi, khususnya aliran sy’ariyah.
Ibn Sab’in mendirikan suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat
As-Sab’iniyyah. Para pengikutnya memakai pakaian khusus yang dikecam para
fuqaha, dan tarekat ini mempunyai sanad yang aneh. Asy-Susytari mengemukakan
bahwa dalam sanad tersebut terdapat antara lain Hermes, Socrates, Plato,
Aristoteles, Iskandar Agung, Al-Hallaj, An-Niffari, Al-Habsyi,Qadhi serta Ibn
Sab’in sendiri. Dari sini kita dapat memperoleh gambaran bahwa tarekat tersebut
bercorak sinkretis dan mengompromikan berbagai aliran, yang diantaranya
bercorak Islam, Yunani, dan Timur kuno. Tampaknya tarekat ini bertahan sampai masa
Ibn Taimiyyah (meninggal pada tahun 728H).
[20] Dari uraian di atas
dapat terlihat bahwa Ibn sab’in sangat berkiblab pada filusuf barat.
c. Ajaran Tasawuf
Ibn SAb’in
1. kesatuan Mutlak
Ibn Sab’in menggagas sebuah faham dalam tasawuf filosofis, yang dikenal
dengan paham kesatuan mutlak, gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah
satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya yaitu wujud yang satu itu
sendiri.
Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Kesatuan
mutlak ini, atau kesatuan murni -atau menguasai- menurut terminologi Ibn Sab’in
pun, hampir tidak mungkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri. Dalam paham
ini, Ibn Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud
Allah-menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun
masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukan pada wujud
mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, berarti paham ini dalam menafsirkan
wujud bercorak spiritual dan bukan material.
Pemikiran Ibn Sab’in ini mengambil rujukan dari Al-quran, yang
diinterpretasikan secara filosofis ataupun khusus. Misalnya firman Allah ”Dia
itulah Yang Awal dan Yang Akhir, yang dzahir dan yang Batin.”(Q.S.Al-Hadid ; 3)
dan firman-Nya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (Q.S Al-Qashas
:28) terkadang dia memperkuat pahamnya dengan hadis-hadis Nabi, di antarnya
dengan hadis Qudsi, “Apa yang pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi.
Maka firman Allah kepadanya, terimalah! Ia pun menerimanya…”. Namun Ibn
Taimiyah menolah menolak dan mengecam keras pendapat Ibn Sab’in tentang
kesatuan mutlak, menjelaskan bahwa interpretasi Ibn Sab’in terhadap nash-nash
agama tidaklah benar. Begitu juga dengan hadits qudsi yang digunakan adalah
hadis maudu’.
Paham kesatuan mutlak Ibn Sab’in ini mirip dengan paham “hakikat Muhamad”
ataupun “Qutb” dari sebagian para sufi yang juga filosof, seperti Ibn Arabi dan
Ibn Al-Faridh, atau paham “manusia Sempurna” dari Abdul karim Al-jalili.
Menurut Ibn Sab’in pencapaian kesatuan mutlak adalah individu yang paling
sempurna. Sempurna yang dimiliki seorang fuqaha, teolog, filosof, maupun sufi.
Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang khusus,
yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian, sosok pribadi yang
dari segi hakikat rohaniahnya justru bersatu dengan nabi, yang mengendalkan
semesta; dan segala sesuatu pun didasarkan padanya.
b. Penolakan
terhadap Logoka Aristotelian
Paham tentang kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristetelian.
Terbukti dalam karnyanya Budd Al-Arif, ia menyusun suatu logika baru yang
bercorak iluminatf, sebagai pengganti logika yang berdaasarkan pada konsefsi
jamak, Ibn Sab’in menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian
kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan
penalaran, tetapi termasuk tembusan Ilahi yang membuat manusia bisa melihat
yang belum pernah dilihatnya maupun mendengar yang belum pernah didengarnya.
Dengan demikian logika tersebut bercorak intuitif. Kesimpulan penting dari
logika Ibn Sab’in tersebut adalah realitas-realitas logika dalam jiwa manusia
bersifat alamiah dan keenam kata logika (gebus, species, difference, proper,
accident, person) yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka,
begitu juga dengan kesepuluh kategori, sekalipun berbeda dan beraneka, tetap
merujuk pada wujud tunggal yang mutlak.
Studi Kritis Paham
Tasawuf Falsafi
1. Aspek Sumber
Ajaran
Ibrahim Hilal menyatakan, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh
filsafat Plato dan Plotinus, seperti wujud, alam semesta atau makrifat.
[21] Begitupun Ibn Masarrah
(tokoh pertamaa tsawuf falsafi) telah menganut paham emanasi yang serupa dengan
Plotinus.
[22] Senada dengan pendapat
tersebut, analisa lain menyatakan, ungkapan Neo-Platoisme, misalnya “Kenalilah
dirimu dengan dirimu”, kemudian diambil oleh para sufi (termasuk sufi falsafi)
menjadi ungkapan, “siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal tuhannya”,
[23] hal ini bisa jadi
mengarah pada munculnya teori
hulul,
wahdah asy-syuhud dan
wahdah al-wujud.[24]
Jika demikian faktanya, seyogyanya kita merenungi sebuah riwayat, ketika
Rasulullah saw. memarahi Umar Ibn al-Khattab ra., karena kedapatan membawa
sobekan taurat, waktu itu beliau saw. bersabda:
مَا هَذَا أَلَمْ آتِ بِهاَ بَيْضَاءَ نَقِيَّةً؟ لَوْ أَدْرَكَنِي أَخِي مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي
“
Apa yang kamu bawa ini,
bukankah aku telah membawa (al-Qur’an) yang jelas dan jernih? Kalau seandainya
saudaraku Musa as. hidup pada zamanku, tentu beliau tidak akan susah-susah
lagi, kecuali mengikutiku.” (HR.
Al-Amidi dalam
Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam)
[25]
Dalam hadits ini dapat dipahami, umat Muhammad saw. wajib mengikuti
tuntunan Rasulullah saw. dan al-Quran. Jika Musa as. saja mesti mengikuti
Rasulullah saw. apalagi umatnya. Sedangkan celaan yang dialamatkan kepada Umar
ra. menunjukan larangan yang bersifat pasti (haram). Artinya umat Islam haram mengambil sumber pemikiran dari peradaban lain
jika perkara tersebut sudah terdapat dalam sumber hukum Islam, hal ini di
isyaratkan dengan ungkapan “bukankah
aku telah membawa al-Qur’an“. Karena itu, dari aspek sumber pemikiran, tasawuf
falsafi melakukan kesalahan, karena mengambil sumber teori tasawuf dari
filsafat yunani. Maka dapat dikatakan teori tasawuf sunni sedikit lebih baik,
karena mengambil teori tasawuf masih dalam sumber Islam, baik al-Quran maupun
as-Sunnah, sedangkan tasawuf falsafi –walaupun terkesan orisinal dengan
istilah-istilah sufi– telah mengambil sumber yang bukan berasal dari Islam,
meskipun mereka pada akhirnya selalu mencoba menjustifikasi teori falsafinya
dengan dalil atau hadits.
2. Aspek Pemikiran
Berbagai paham dalam tasawuf falsafi selalu dipresentasikan dalam
ungkapan-ungkapan ganjil dan aneh (
syathahat) yang meresahkan umat Islam. Karena itu wajar jika para fuqaha merasa
gelisah sehingga mengeluarkan berbagai kritik bahkan kecaman serius terhadap
para sufi falsafi.
[26] Islam adalah agama
yang mudah untuk diamalkan, bukan untuk elit-elit tertentu, ajarannya universal
bagi seluruh manusia, karena itu Rasul saw. bersabda:
إِنَّ دِيْنَ اللهِ فِي يُسْرٍ ثلاثًا يَقُولُهَا
Sesungguhnya
Agama Allah itu mudah (diamalkan), beliau mengucapkannya sampai tiga kali. (HR. Ahmad)
[27]
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا
Mudahkanlah oleh
kalian (pengajaran agama ini), jangan kalian buat sulit; Dan berikanlah kabar
gembira, jangan engkau buat orang-orang menghindar dan menjauh. (HR. Bukhari)
[28]
Disini terlihat bahwa, ungkapan dan isyarat yang digunakan para sufi
falsafi bertentangan dengan ke-universalan Islam itu sendiri,
shalih likulli zaman wal makan, yang pada gilirannya
akan menimbulkan fitnah ditengah umat Islam.
[1] Begitupun dengan
maqamat (
al-martabah), yang mesti dilalui oleh para sufi,
[2] semua martabah hanya
bersifat individualistis, bisa jadi akan menyebabkan Agama Islam menjadi jumud
dan tidak bisa menyelesaikan persoalan hidup yang kian hari kian kompleks.
Bahkan sebagian sufi falsafi selalu meremehkan para fuqaha dengan keilmuannya,
para sufi falsafi menyebut para fuqaha dengan sebutan ahli ilmu kertas
(tekstualis), sedang mereka memuji-muji ilmu laduni. Padahal ejekan para sufi
falsafi tersebut bertentangan dengan hadits Rasul saw.:
“Ikatlah ilmu dengan tulisan“.
[3]