Kurahasiakan dari anak isteri
Cinta kepada anak-isteri tidak dilarang. Apalagi menafkahi mereka telah ditetapkan sebagai ibadah. Akan tetapi, yang dimaksudkan dalam kata kurahasiakan mengandung makna bahwa cinta yang sejati (mahabbah) itu hanya kepada Allah. Merahasiakan cinta Allah dari anak-isteri bukan berarti pergi berzikir lalu mengabaikan pengurusan mereka. Setiap rahasia pasti berawal dari hati. Oleh sebab itu, makna merahasiakan di sini berarti berurusan dengan amalan hati. Jasad dan hati permukaan untuk anak-isteri dan orang tua, sedangkan relung hati yang terdalam; ruang paling istimewa di hati hanyalah untuk Allah. Hanya Sang Raja yang boleh duduk di singgasana hati.
Hati orang mukmin adalah istana Allah. (hadis)
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mengingatkan bahwa sesungguhnya para kekasih Allah itu ditakdirkan tidak memiliki anak dan isteri. Maksudnya, meskipun kekasih Allah itu beristeri dan beranak banyak, tetapi ia tidak akan disibukkan dengan urusan menafkahi anak-isteri dan menjaga mereka. Karena hati orang itu sibuk dengan Allah, maka ia dibebaskan dari kesibukan selain Allah. Allah-lah yang mencukupi rezeki dan menjadi penjaga anak-isteri sesuai dengan cara-Nya yang misterius. Isteri orang itu Allah jadikan isteri dan ibu yang saleh dan berbakti pada keluarganya. Lalu anak-anaknya tercukupi dan menjadi generasi yang cerdas, saleh, dan membanggakan meski sedikit saja bimbingan dari orang tuanya.
Ketika hatimu hanya untuk Allah, maka Allah menjaga dan menyayangi orang-orang tercintamu. Karena jika kamu tidak melakukan itu, hatimu akan lalai terlebih ketika melihat anak-isterimu menderita atau menyedihkanmu. Kekasih Allah itu lahirnya untuk keluarganya, tetapi batinnya untuk Tuhannya.
Dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku. (Q.S. Yusuf: 93)
Yaitu surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;
Sang “aku” dalam puisi amat menyadari bahwa sesungguhnya mencintai anak-isteri melebihi cinta kepada Allah justru berarti ia tidak mencintai mereka. Karena Allah sudah menetapkan bahwa anak-isteri adalah karunia sekaligus ujian dan bisa menjadi musuh yang menghalangimu untuk sampai kepada-Nya.
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Taghabun: 14)
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam ronggany.a (Q.S. Al-Ahzaab: 4)
Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.(Q.S. At-Taubah: 24)
Jika kamu mencintai selain Dia karena kasih sayang, kelembutan, atau karena nafsu, itu diperbolehkan. Adapun mencintai dengan hati dan nurani, ini tidak diperbolehkan. Jadikan makhluk di luar hatimu, lalu hatimu hanya untuk-Nya.
(Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)
Baris ketiga ini terkait erat dengan baris kedua mengenai Kecemburuan Ilahi. Dalam kitab karya Syaikh Muzaffer Ozak Al-Jerrahi yang diterjemahkan dengan judul Dekap Aku dengan Kasih Sayang-Mu, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah mencium cucu-cucunya, Hasan dan Husain dengan penuh kasih. Lalu beliau menyadari bahwa ketika itu perasaan cinta kepada cucu-cucu itu menyamai cintanya kepada Allah. Lalu beliau merasa bersalah karena telah membuat Allah Cemburu. Lalu Jibril a.s. turun ke bumi dan menyampaikan pesan dari Allah: “Bagaimana mungkin dia yang mencintai-Ku dan Kucintai , karib-Ku terkasih, kekasih-Ku, mencium cucu-cucunya, keturunannya, dengan cinta dan kasih sayang sebesar cintanya kepada-Ku?”
Sang “aku” dalam puisi tampaknya ditokohkan dalam keadaan telah memahami prinsip-prinsip tauhid serupa di atas sehingga dengan lugas ia menyatakan kerahasiaan kedudukan Tuhan di dalam hatinya. Dengan demikian, Ia dapat diinterpretasikan akan menolak nilai-nilai yang bertentangan dengan tauhid.
Sang “aku” dipastikan menghindarkan hatinya dari problema keduniaan yang bersumber dari orang-orang tercintanya. Karena telah bertauhid, ia dipastikan tidak akan mencari rezeki dengan cara yang tidak halal sekadar untuk membahagiakan anak-isteri. Jika Allah memberinya godaan berupa kesempatan yang aman untuk melakukan korupsi atau perbuatan maksiat lainnya, ia dipastikan tidak akan terbujuk oleh rayuan-Nya itu.
Di luar sana dilihat “sang aku” banyak orang yang mengerahkan segala cara; berjibaku demi “ibadah” menafkahi keluarganya. Kebodohan ini dalam anggapan mereka semata demi memenuhi perintah Allah yang mewajibkan menuntut ilmu. Caranya tentu menyekolahkan anak di tempat yang sesuai dengan status sosial tertentu. Atau demi memberi pakaian yang layak. Atau demi mengisi rumah mereka dengan barang-barang yang tidak memalukan; tidak kalah dengan yang dimiliki tetangga. Atau demi memberi anak asupan gizi yang baik sehingga diharapkan menjadi generasi cerdas dan saleh. Cara apa pun dilakukan, yang penting tujuan mengangkat derajat keluarga tercapai. Mereka bahkan dengan tanpa adab di hadapan Allah berkoar,”Zaman sekarang ini mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal.” Sungguh perbuatan menghina Allah Sang Mahakaya; Maha Pemberi rezeki.
Barang siapa tidak peduli dari mana datangnya makanannya, maka Allah tidak peduli dari pintu neraka yang mana orang itu dijebloskan.” (hadis)
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Q.S. Al-Kahfi:103-104)
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?(Q.S. An Nahl:72)
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. (Q.S. At-Takaแนกur: 1)