MENGAPA KITA
BERAGAMA?
|
Mukadimah
Ledakan Revolusi Industri yang terjadi di Barat telah memantik
pemikiran dan gagasan tentang pembebasan manusia dari agama. Sebagian
kelompok beranggapan bahwa alih-alih mendewakan agama sebagai jalan untuk
meraih kebahagiaan dan kesuksesan serta memenuhi segala keinginan dan hajat
manusia, mereka memilih sains dan industri sebagai solusi dan way out baginya. Bahkan pada tingkat kulminasinya,
sebagaimana yang dikukuhkan oleh Marx bahwa agama bagi manusia merupakan
candu dan opium yang meninabobokan mereka.
Akan tetapi dengan
berlalunya sang waktu, gagasan dan pemikiran ini ternyata mandul dan tidak
melahirkan solusi untuk menjawab segala keinginan dan hajat maknawi manusia.
Pembicaraan tentang
hajat manusia terhadap agama atau hajat agama terhadap manusia memang
merupakan sebuah persoalan yang penting untuk dibahas. Mengapa agama
sedemikian perlu bagi kehidupan manusia? Apa saja yang ditawarkan agama untuk
melepaskan manusia dari segala alienasi dan patologi sosial yang semakin
menggurita menghantam kehidupan bani Adam? Apakah manusia secara fitri adalah
insan beragama? Ataukah manusia karena rasa gentar, dungu, faktor kemiskinan
dan kebutuhannya terhadap etika ia memerlukan agama? Banyak lagi pertanyaan
yang dapat diajukan di sini untuk melihat signifikansi persoalan agama pada
diri manusia sebagai komplementer dari pertanyaan inti di atas yang diambil
sebagai judul tulisan ini.
Definisi Agama
Din dalam bahasa Arab
sering diterjemahkan secara leksikal sebagai agamadalam bahasa Indonesia atau
padanannya dalam bahasa Inggris sebagai ‘religion’, atau religio dalam bahasa Latin kerap digunakan untuk
beberapa makna. Dan yang terpenting
dari makna-makna tersebut adalah, ganjaran, ketaatan, kebiasaan, tradisi,
hukum, stipulasi (qaid), dan sebagainya.
Dan yang paling orisinal di antara makna-makna di atas adalah ketaatan dan
loyalitas.
Secara terminologis
agama dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Seperangkat aturan
dan hukum-hukum normatif yang mengatur dan menata kehidupan manusia dalam
rangka mentaati aturan Tuhan.
2. Sebagai komplementer
dari definisi di atas agama dapat didefinisikan sebagai aturan dan stipulasi
yang diterima manusia dalam ranah keyakinan terhadap Tuhan dalam perilaku
kehidupan manusia.
Berdasarkan definisi
di atas, agama memiliki dua rukun asasi, 1. Keyakinan
terhadap Tuhan. 2. Amal dan
perbuatan sesuai dengan tuntutan keyakinan tersebut.
Analisa Beberapa Hipotesa Atas Kemunculan Agama
Kini mari kita
menganalisa atas beberapa hipotesa atas mengapa manusia cenderung kepada
agama dan menjadi pemeluk salah satu agama. Masing-masing hipotesa yang akan
kita bahas masing-masing sarat dengan kritik, lantaran kenyataan sejarah
berbicara sebaliknya.
a. Asumsi Kejahilan
Salah seorang
sosiolog ternama mengatakan, Meskipun ilmu dan sains telah berhasil
menyingkap pelbagai misterius, namun betapa yang telah tersingkap itu masih
kabur di balik tirai ilmu, dan keperluan untuk memahami hal-hal misterius ini
telah menyebabkan kemunculan agama.[1]
Salah seorang filsuf
materialis menambahkan bahwa tatkala manusia menatap kejadian-kejadian
sejarah, dengan alasan yang sangat jelas mereka membayangkan bahwa ilmu
(baca: sains) dan agama adalah dua musuh bebuyutan yang tidak dapat berdamai.
Sebab, tatkala seseorang meyakini hukum kausalitas, pada detik yang sama ia
tidak dapat memberikan peluang kepada akalnya untuk membayangkan bahwa
barangkali terjadi dalam lintasan peristiwa-peristiwa yang menciptakan rintangan
dan kendala atas terjadinya sebuah peristiwa.[2]
Sederhananya, mereka
hendak mengklaim bahwa ketidaktahuan manusia terhadap sebab-sebab alami telah
menyebabkannya berpikir akan adanya kekuatan di luar alam yang menciptakan
dan mengatur semesta raya ini. Dengan demikian, tidak terungkapnya faktor dan
sebab-sebab alami ini menjadi alasan baginya untuk meyakini keberadaan Tuhan
dan agama.
Kesalahan mendasar
para penggagas pendapat ini akan terlihat jelas melalui poin-poin berikut
ini:
Pertama, mereka membayangkan
bahwa beriman kepada keberadaan Tuhan berarti mengingkari hukum kausalitas.
Dan kita berlaku sebagai seorang hakim; apakah kita harus menerima
sebab-sebab alami tersebut atau menerima keberadaan Tuhan?
Padahal dalam
filsafat Islam, meyakini hukum kausalitas dan menyingkap sebab-sebab alami
merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk dapat mengenal Tuhan.
Kita tidak pernah
mengkaji Tuhan di antara ketakberaturan dan kejadian-kejadian yang tak jelas.
Akan tetapi, kita menemukan-Nya di antara keteraturan-keteraturan alam
semesta. Karena, adanya keteraturan ini merupakan penanda jelas atas wujud
satu Sumber Awal bagi alam semesta dan wujud satu Kekuatan yang mengaturnya.
Kedua, mengapa mereka
lalai bahwa sesungguhnya manusia semenjak dahulu hingga hari ini melihat
adanya sistem yang khas yang berlaku atas jagad raya ini. Menafsirkan sistem
ini dengan sebab-sebab irasional tidak mungkin dapat diterima. Dan mereka menganggap
keutuhan sistem jagad raya ini sebagai pertanda wujud Tuhan. Akan tetapi,
pada masa lalu, sistem ini tidak banyak dikenal orang. Dan semakin maju
ilmu-pengetahuan manusia, semakin ia dapat menyingkap seluk-beluk sistem
jagad raya ini. Dengan demikian, ilmu dan kemahakuasaan Sumber Awal bagi
keberadaan semesta ini akan semakin gamblang.
Atas dasar ini, kita
yakin bahwa iman kepada keberadaan Tuhan dan agama relevan dengan kemajuan
ilmu dan pengetahuan. Dan setiap penemuan baru akan rahasia dan aturan-aturan
jagad raya ini merupakan langkah baru untuk pengenalan yang semakin cermat
terhadap Tuhan. Apa yang dapat kita lakukan hari ini dalam rangka mengenal
Tuhan tentu tidak pernah dikenal oleh manusia jaman dahulu, lantaran mereka
tidak menikmati kemajuan ilmu pengetahuan.
b. Asumsi Rasa Takut
Will Durant, seorang
sejarawan kenamaan Barat, di dalam buku sejarahnya, ketika membahas
Sumber-sumber Agama, menukil pendapat Luctrius, seorang filsuf Romawi, bahwa
rasa takut adalah ibu para dewa! Dan bagian rasa takut yang paling penting
ialah rasa takut dari kematian. Atas dasar ini, manusia pertama tidak dapat
meyakini bahwa kematian adalah satu fenomena alam. Oleh karena itu, mereka senantiasa
menganggap bahwa sebab metafisislah yang menjadi penyebab kematian itu.[3]
Senada dengan teori
di atas, B. Russel berkata, Aku berasumsi bahwa sumber agama -sebelum segala
sesuatunya- ialah rasa takut. Rasa takut bersumber dari musibah-musibah alam,
dari peperangan dan sebagainya. Rasa takut dari pekerjaan-pekerjaan salah
yang dilakukan manusia ketika syahwat mendominasi.[4]
Kekeliruan asumsi ini
akan tampak jelas bila para pendukung asumsi ini sepakat bahwa akar keyakinan
kepada Tuhan dan agama tidak memiliki dasar metafisis. Dan tentu saja, harus
ditemukan sebuah faktor di alam semesta ini. Sebuah faktor yang akhirnya
kembali kepada prasangka dan khayalan belaka. Oleh karena itu, mereka
senantiasa melihatnya dalam kerangka cabang dan melupakan kerangka aslinya.
Benar bahwa iman
kepada Tuhan memberikan kekuatan spiritual dan ketenangan kepada manusia.
Benar bahwa manusia akan bersikap prawira dalam menghadapi kematian dan
berbagai peristiwa pelik yang dialaminya; terkadang berupa sikap pengorbanan.
Akan tetapi, mengapa kita lupakan faktor-faktor yang kerap hadir secara
telanjang di hadapan mata manusia, yakni sistem semesta yang berlaku atas
bumi dan langit ini, kehidupan flora dan fauna, dan keberadaan manusia?
Dengan kata lain,
meskipun manusia tidak memiliki ilmu anatomi dan fisiologi atau semisalnya,
seketika mencermati struktur mata, telinga, hati, tangan dan kakinya, ia akan
melihatnya sebagai sebuah bangunan yang menakjubkan dan kokoh. Bangunan kokoh
dan menakjubkan ini niscaya tidak dapat dimengerti bila bersumber dari
gejala-gejala aksidental dan faktor-faktor yang tidak masuk akal. Sekuntum
bunga, seekor lebah, matahari dan bulan dan alurnya yang tertata apik serta
fenomena-fenomena semesta lainnya merupakan contoh gamblang dari kenyataan
itu.
Kenyataan ini
senantiasa hadir di hadapan manusia semenjak dulu hingga kini dan ia
merupakan faktor utama adanya iman kepada Tuhan. Lantaran melalaikan realitas
nyata ini, akhirnya mereka mencari-cari faktor iman kepada Tuhan dan agama,
lalu menyimpulkan bahwa semua itu disebabkan oleh rasa takut dan kedunguan
manusia. Atribut yang dapat kita lekatkan kepada mereka adalah dungu dalam
menghadapi realitas telanjang ini dan takut terhadap kemajuan ideologi agama,
sebab mereka melepaskan jalan utama dan terang ini, menapakkan kaki di jalan
yang tak menentu, serta bersandarkan kepada asumsi-asumsi yang tak berdasar.
c. Asumsi Faktor Ekonomi
Eksponen asumsi ini
adalah mereka yang percaya bahwa kekuatan penggerak sejarah adalah alat-alat
reproduksi. Mereka yakin bahwa seluruh fenomena sosial, seperti budaya, ilmu,
filsafat, politik, bahkan agama muncul sebagai akibat dari perkara ini.
Untuk menghubungkan
kemunculan agama dan masalah-masalah ekonomi, mereka mengajukan penafsiran
yang aneh. Di antaranya, mereka
berasumsi bahwa menurut kaum imperialis dalam lingkungan sosial, dalam rangka
mengenyahkan resistensi dan gerakan massif kaum terjajah, kaum imperialis mencandu mereka dan
menciptakan agama. Kalimat yang terkenal dari Lenin yang tertuang dalam buku Sosialisme
wa Mazhab (Sosialisme dan
Agama) adalah, Agama di tengah masyarakat merupakan candu. Dalam kasus ini
terdapat sederet ungkapan yang serupa; terulang-ulang.
Untungnya, penyokong
asumsi ini (kaum sosialis) telah memberikan jawaban sendiri yang ternyata
kontradiktif. Ketika mereka berhadapan dengan Islam sebagai gerakan sebuah bangsa tertinggal yang dapat
menjungkalkan kaum imperialis seperti kesultanan Sasani, kekaisaran Romawi,
para Fir’aun Mesir dan kesultanan Yaman dari singgasana kekuasaan mereka,
terpaksa mereka mengecualikan Islam pada batasan minimal kasus ini dari fakta
sejarah.
Lebih dari itu,
tatkala mereka menyaksikan gerakan dan aksi-aksi Islam menentang kaum imperialis,
khususnya pada masa kini, dan berhadapan dengan kekuasaan Timur dan Barat,
atau resistensi bangsa Palestina atas kekuasaan Zionisme, mereka tidak
memiliki jalan lain kecuali meragukan analisa-analisa mereka sendiri.
Biarkanlah mereka terjerat dalam pagar-pagar kesulitan, karena tidak mampu
melihat terangnya sinar matahari.
Secara umum, dengan
memperhatikan sejarah kemarin dan hari ini, khususnya sejarah Islam, akan tampak bahwa kemunculan agama tidak
sesuai dengan asumsi mereka. Tidak hanya candu yang menjadi sebab munculnya
gerakan-gerakan sosial yang paling perkasa, akan tetapi masalah-masalah
ekonomi juga membentuk bagian dari kehidupan manusia. Dan mendefinisikan manusia pada dimensi
ekonomi merupakan kesalahan besar dalam mengenal motivasi dan kecendrungan
transendental manusia.
d. Asumsi Kebutuhan kepada Etika
Dalam tema agama dan
sains, Einstein berujar, Dengan sedikit hati-hati, akan menjadi maklum bahwa
agitasi dan perasaan-perasaan insani menjadi penyebab munculnya agama yang
beraneka dan beragam coraknya.. Setelah menyebutkan asumsi takut, ia
menambahkan, tipologi manusia sebagai makhluk sosial juga merupakan salah
satu faktor munculnya agama. Seseorang melihat orang tuanya. Kerabat, para
pemimpin dan orang-orang besar meninggal dunia. Satu demi satu orang-orang di
sekelilingnya berlalu. Setelah itu, harapan untuk terbimbing dengan petunjuk,
menyukai, mencintai, bersandar dan bergantung adalah landasan yang membentuk
keyakinannya kepada Tuhan”.[5] Dengan urutan seperti
ini, Einstein beranggapan bahwa penyebab munculnya agama adalah motivasi
moral dan motivasi sosial.
Mari kita kembali
menelaah pendapat di atas. Orang-orang yang memberikan asumsi akhlak ini keliru
dalam memahami efek dan motivasi. Kita mengetahui bahwa setiap efek tidak
mengharuskan adanya motivasi. Boleh jadi tatkala menggali sebuah sumur yang
dalam kita menemukan hartu karun. Ini adalah efek. Sedangkan penggerak dan
motivasi utama kita untuk menggali sumur ialah untuk mendapatkan air, bukan
untuk menemukan harta karun.
Oleh karena itu,
adalah benar bahwa agama dapat menenangkan keluh dan derita spiritual
manusia. Iman kepada Tuhan dapat melepaskan manusia dari kesendirian tatkala
harus kehilangan orang-orang terkasih, sahabat tercinta dan orang-orang besar
yang dibanggakan. Iman kepada Tuhan dapat memenuhi segala sesuatu yang lepas dari tangannya dan mengisi
kekosongan akibat kehilangan yang dideritanya. Akan tetapi, semua ini adalah
sebuah efek, bukan sebuah motivasi.
Motivasi utama agama
yang tampak paling logis adalah sebagaimana yang disebutkan sebelumnya;
semakin manusia mengamati sistem semesta, semakin ia mengenal kedalaman,
kerumitan dan keagungan semesta ini. Ia sekali-kali tidak akan menerima
begitu saja akan munculnya munculnya sekuntum bunga dengan segala
elegansinya, keajaiban strukturnya, atau matahari dengan seluruh sistem
sedemikian agung dan kompleksnya, yang lahir dari rahim semesta yang tak
berakal dan pelbagai benturan. Dan berangkat dari sini, manusia bergerak
kepada Sumber Awal sistem jagad ini.
Tentu saja kasus lain
dengan maksud yang sama dapat membantu, sebagaimana telah diisyaratkan
sebelumnya.
Dan anehnya, Einstein
sendirilah yang telah mengusulkan asumsi ini. Di tempat lain ia mengubah
pernyataannya. Ia mengekspresikan, dengan bahasa yang berbeda, keyakinannya
yang teguh terhadap penyebab terjadinya fenomena semesta dan imannya kepada
Sumber Awal Yang Agung tersebut. Dan hal ini menunjukkan bahwa ia mengingkari
ideologi yang bergantung kepadakhurafat-khurafat, bukan kepada sebuah
tauhid yang tulus dan bersih dari segala bentuk khurafat.
Ia menuturkan, Sebuah
makna real dari keberadaan Tuhan di balik imaginasi-imaginasi yang secuil telah
ditemukan oleh mereka. Kemudian, Einstein dan para ilmuwan besar lainnya
menamakan keyakinan mereka sebagai sebuah jenis keyakinan yang disebut
perasaan religius penciptaan atau perasaan religius keberadaan. Dan di tempat
lain, disebut sebagai takjub yang mengairahkan dari sistem ajaib dan akurat
jagad raya.
Dan yang lebih
menarik adalah penegasannya, Iman religius adalah suluh bagi jalan pencarian
hidup para cendikiawan.[6]
Tentu saja, dalam
masalah ini banyak pernyataan yang dapat dinukil. Sekiranya kita ingin
melepaskan dari kendali pena, pembahasan kita akan keluar dari pembahasan
tafsir tematik.
Oleh karena itu, kita
kembalikan kepada persoalan utama. Dan pembahasan ini kita akhiri sampai di
sini. Kami ingatkan bahwa untuk mengetahui motivasi atau dorongan munculnya
agama seyogyanya terlebih dahulu menelaah penciptaan semesta (alasan logis
dan rasional), dan selepas itu mengkaji kekuatan magnetis dalam lubuk hati
(motivasi fitri), kemudian mengalihkan perhatian kepada Sumber Awal Yang
Agung, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya mengenai
anugerah-anugerah-Nya yang nir-batas.[7]
Agama adalah Fitrah
Arti dari kata fitrah
adalah manusia dapat menemukan hakikat tanpa memerlukan penalaran atau
argumentasi, (yang sederhana ataupun yang rumit). Manusia dengan gamblang
mendapatkan hakikat tersebut. Umpamanya, jika manusia melihat sekuntum bunga
yang indah dan semerbak baunya, ia mengakui pesona bunga tersebut. Dalam
pencerapan ini, ia tidak melihat adanya penalaran. Dengan serta-merta
berkata, Bunga ini elok rupanya, tanpa memerlukan argumentasi.
Pengenalan terhadap
Tuhan dan keberagamaan juga merupakan bagian dari jenis pengetahuan fitri.
Ketika seseorang menengok ke lubuk hatinya, ia akan melihat cahaya kebenaran.
Ia akan mendengar seruan dari sudut sanubarinya. Seruan yang mengajaknya ke
arah Sumber Awal, menghampiri ilmu dan kemahakuasaan-Nya di jagad raya ini
yang tanpa tandingan; Sumber Awal yang merupakan kesempurnaan mutlak dan
mutlak sempurna. Dalam pengetahuan fitri ini, ia persis seperti melihat
keelokan bunga yang tidak memerlukan argumentasi.
Bukti-bukti Hidup atas Kefitrahan Agama
Barangkali seseorang
mengatakan bahwa semua ini hanyalah klaim-klaim belaka, dan metode-metode
untuk membuktikan kefitrahan agama tidak tersedia. Kita mungkin dapat
mengklaim bahwa kita temukan perasaan seperti ini dalam lubuk hati kita,
namun sekiranya ada seseorang yang enggan untuk menerima ungkapan semacam
ini, bagaimana kita dapat memberikan jawaban kepadanya sehingga ia dapat
menerima dengan puas?
Dalam menjawab
ungkapan tersebut, sebenarnya kita memiliki pelbagai bukti yang tak terbilang
jumlahnya dan dapat dijadikan sebagai dalil yang kuat atas kefitrahan tauhid.
Begitu gamblangnya bukti-bukti tersebut sehingga mulut pengingkarnya dapat
dibungkam.
Bukti-bukti ini dapat
disimpulkan ke dalam enam bagian:
a. Fakta Sejarah
Fakta-fakta sejarah
yang didasari oleh pernyataan para sejarawan klasik dunia menunjukkan bahwa
agama tidak ada di tengah masyarakat. Namun, mereka percaya pada satu Sumber
Awal, Ilmu dan Kuasa di jagad yang mereka sembah. jika kita menerima aksioma
ini, sejarah ini memiliki kaidah universal yang mengatakan bahwa komunitas
manusia sepanjang perjalanan sejarah senantiasa berada pada penyembahan akan
kebenaran yang tidak mendatangkan kerugian bagi mereka. (Pada setiap kaidah
universal, terdapat pengecualian).
Will Durant,
sejarawan Barat dalam History of Civilization, setelah menyebutkan hal-hal berkenaan dengan kondisi tanpa-agama (dalam
banyak masyarakat), mengakui suatu kebenaran, bahwa Dengan adanya
asumsi-asumsi yang telah kami sebutkan, kondisi tanpa-agama adalah sesuatu
yang langka. Dan keyakinan kuno ini menyatakan bahwa agama adalah teladan
yang diyakini oleh masyarakat secara umum dan sesuai dengan kebenaran, dan
ini -menurut pandangan seorang filsuf-merupakan salah satu hukum dasar
sejarah dan psikologi. Ia tidak merasa puas dengan satu teori yang menyatakan
bahwa seluruh agama berasal dari hal-hal sia-sia dan batil. Sebaliknya, ia
tahu bahwa agama senantiasa bersama sejarah sejak dahulu”.[8]
Masih pada pembahasan
yang sama, Durant menambahkan, Di manakah letak sumber keutamaan yang sama
sekali tidak akan pernah hilang dari sanubari manusia ini?[9]
Dalam Pelajaran-pelajaran
Sejarah, berangkat dari rasa
sedih dan geram, Durant berkata lebih tegas lagi, Agama memiliki seribu jiwa.
Setiap kali Anda membunuhnya, ia akan hidup kembali.[10]
jika keyakinan kepada
Allah Swt atau agama memiliki dimensi adat, taklid, dikte atau propaganda
orang lain, niscaya ia tidak bersifat sedemikian umum dan serempak, serta
terus berlanjut sepanjang perjalanan sejarah. Hal ini merupakan sebaik-baik
bukti atas kefitrahan agama.
b. Argumentasi Para Arkeolog
Tanda-tanda forensik
yang masih tersisa (yaitu, kondisi seluruh manusia sebelum adanya invensi
tulisan dan penulisan), menunjukkan bahwa masyarakat pra-sejarah memiliki
agama. Mereka percaya kepada Tuhan, dan bahkan Hari Kiamat atau kehidupan
pasca kematian. Hal itu didasari oleh banyaknya benda-benda kesukaan mereka
yang masih tertimbun, dan dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hidup
setelah mereka seperti; me-mummi-kan jasad orang-orang mati, dan membangun kuburan-kuburan berbentuk
piramida yang dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama untuk
mengantisipasi mayat-mayat tersebut supaya tidak terkubur dan tertimbun.
Semua ini adalah bukti atas kepercayaan masyarakat silam pada Sumber Awal
(Tuhan) dan Hari Akhir (Kebangkitan).
Benar bahwa perilaku-perilaku
yang menunjukkan kepercayaan religius mereka ini banyak tercemari oleh
khurafat dan takhayul. Akan tetapi, karena pembahasan utama kita kali ini
adalah pembuktian adanya kepercayaan religius pada masa-masa pra-sejarah, hal
ini dapat dijadikan sebagai bukti yang tak terbantahkan.
c. Kajian-kajian Psikis dan Temuan-temuan Para Psikoanalis
Dimensi spiritual
manusia dan kecenderungan-kecenderungan dasarnya adalah sebuah bukti yang
gamblang atas kefitrahan kepercayaan religius. Empat perasaan yang popular
(atau empat kecenderungan transendental) dan mendasaryang akhir-akhir ini
diintroduksi oleh sebagian psikolog dan psikoanalis sebagai empat dimensi
spiritual manusia. Empat perasaan tersebut adalah perasaan kognitif atau
kuriositas, perasaan estetik, perasaan etik dan perasaan religius.[11]
Di antara empat
dimensi spritual manusia yang terkadang juga disebut sebagai kecenderungan
kepada kesempurnaan mutlak, kecendrungan terakhir itu mengajak manusia kepada
agama. Meyakini adanya Sumber Awal Yang Agung ini tidak memerlukan dalil terpisah. Barangkali, kepercayaan
religius ini terkontaminasi dengan khurafat-khurafat, dan membuat seseorang
menjadi penyembah berhala, matahari dan bulan. Akan tetapi, pembahasan kita
terfokus pada dasar masalah; (yakni adanya kecenderungan terhadap Tuhan,
Sumber Awal, dan Hari Akhir).
d. Kekecewaan Terhadap Propaganda Penentang Agama
Kita menyaksikan
propaganda intensif anti-agama dalam
lintasan akhir-akhir kurun ini, khususnya yang merebak di belahan bumi Eropa
dan berlangsung gencar. Ditinjau dari sisi penyebaran dan penggunaan pelbagai
sarana, propaganda ini tidak tertandingi.
Tatkala gerakan sains
Eropa (Renaissance) yang diusung oleh
kaum cendikia dan politisi memberikan kekuatan kepada mereka untuk melepaskan
diri dari hegemoni dan dominasi gereja, gelombang anti-agama[12] ini sedemikian hebat
bangkit di Eropa sampai pesan-pesan ateisme muncul ke permukaan. Khususnya
penetrasi yang dilakukan oleh para filsuf dan ilmuwan alam membantu mereka
untuk mengoncang seluruh fondasi agama, sehingga keberadaan gereja menjadi
terpuruk, figur-figur religius Eropa mengasingkan diri, keyakinan kepada
wujud Tuhan, mukjizat, Hari Kebangkitan, kitab-kitab suci dipandang sebagai
bagian dari khurafat. Akhirnya, mereka membagi perkembangan umat manusia ke
dalam empat periode: periode legenda dan mitos, periode agama, periode filsafat,
dan periode sains. Berdasarkan klasifikasi ini, masa agama telah lewat dan
berlalu dari hadapan kita.
Dan sebagai
konsekuensinya, dalam literatur-literatur Sosiologi yang telah mengalami
kemajuan pesat pada masa kini, disebutkan bahwa pada masa tersebut, masalah
ini telah dianggap sebagai sebuah hukum pasti bahwa agama memiliki faktor
natural. Kini faktor-faktor tersebut adalah kebodohan, rasa takut, hajat
terhadap kehidupan sosial, dan atau masalah-masalah ekonomi. Tentunya, dalam hal ini terdapat perbedaan
pendapat di antara para sosiolog.
Benar bahwa agama
yang berkuasa pada masa itu adalah gereja Abad Pertengahan. Karena arbitari
(penghakiman) yang tanpa belas kasihan dan perlakuan-perlakuan buruk mereka
terhadap masyarakat secara umum dan para ahli ilmu alam secara khusus,
ketenggelaman dalam gaya hidup aristokrat dan glamor, melupakan
tekanan-tekanan yang sedang menimpa orang-orang tertindas. Merekalah yang
harus bertanggung jawab atas segala perbuatan tersebut. Akan tetapi, anehnya masalah ini tidak hanya
tertuju kepada paus dan gereja, tetapi malah merasuki seluruh agama dunia.
Kaum komunis juga
-dengan tujuan melenyapkan agama- turun ke kancah dengan segenap kekuatan.
Seluruh sarana propaganda dan pemikiran filsafat mereka dikerahkan untuk
mewujudkan sasaran-sasaran propaganda. Mereka berupaya semaksimal mungkin
memperkenalkan kepada masyarakat dunia bahwa agama adalah candu bagi
masyarakat.
Namun, kita melihat
gelombang raksasa anti-agama ini tidak mampu memadamkan bara dan semangat
agama yang mengakar pada lubuk hati manusia. Kecenderungan religius tumbuh
bersemi, dan bahkan di negara-negara komunis sendiri. Informasi terakhir
menunjukkan adanya peningkatan kecenderungan para penguasa di daerah-daerah
ini kepada agama, khususnya kepada Islam. Bahkan di negara-negara komunis
yang kendati masih berupaya untuk melenyapkan agama, justru menunjukkan hasil
yang sebaliknya, bahwa yang menggejala adalah gerakan penyebaran agama.
Masalah ini
mengindikasikan dengan baik bahwa agama memiliki akar di dalam fitrah setiap
manusia. Oleh karena itu, agama dapat menjaga dirinya dalam menghadapi
gelombang propaganda yang menentang keberadaanya. Kalau bukan karena
mengakarnya agama ini pada diri manusia, niscaya agama hingga kini sudah
dilupakan orang.
e. Pengalaman Pribadi dalam Getirnya Kehidupan
Alangkah banyaknya
orang yang belajar tentang kebenaran dalam kehidupan mereka ketika ia
menghadapi kesulitan-kesulitan yang menyita energi mereka, seperti badai
cobaan hidup yang keras dan keterperangkapan dalam petaka. Dalam menghadapi
semua ini, seluruh gerbang penyelamat lahiriah tertutup di hadapannya. Ketika
itulah ia merasakan sisa-sisa harapan yang hangat dari kedalaman jiwa dan
perhatiannya tertuju kepada Sumber Awal (Tuhan) yang mampu memecahkan seluruh
kesulitan yang sedang dihadapinya. Hati bergantung kepadanya dan berupaya
mencari pertolongan dari-Nya.
Bahkan kondisi ini
pun dapat dirasakan oleh orang-orang yang berada dalam keadaan normal dan
tidak memiliki kecenderungan religius. Mereka juga mengambil manfaat dari
reaksi-reaksi ruh ini tatkala penyakit-penyakit akut dan kekalahan-kekalahan
getir menerpa kehidupan mereka.
Semua ini adalah
bukti nyata atas realitas yang ditegaskan oleh Kitab-kitab Suci tentang
kefitrahan marifatullh dan keorisinilan kecenderungan religius pada diri manusia. Dari sudut
hati dan lubuk jiwa yang paling dalam ia mendengarkan dengan kuat dan
ekspresif seruan lembut dan penuh kasih, yang menuntunnya ke arah Realitas
Agung Yang Mahatahu, Mahaperkasa, dan Mahatinggi, yang bernama Allah atau
Tuhan. Boleh jadi seseorang memberikan nama lain atas-Nya. Persoalannya tidak
terletak pada pemberian nama, tetapi terfokus pada iman kepada realitas
tersebut.
f. Kesaksian Para
Ilmuan atas Kefitrahan Kecenderungan Religius
Masalah kefitrahan
agama bukanlah masalah yang terbatas hanya pada ayat dan riwayat saja.
Ucapan-ucapan para ilmuwan dan filsuf non-Muslim dapat dijadikan sebagai
bahan perbandingan dalam masalah ini.
Sebagai contoh,
Einstein, ketika memberikan penjelasan detail seputar pembahasan ini berkata,
Satu keyakinan dan agama -tanpa kecuali- ada pada setiap orang. Aku
menamakannya Perasaan Religius Penciptaan. Dalam agama ini, manusia merasakan
dirinya begitu kecil-tak berharga, menemukan tujuan-tujuan umat manusia dan
keagungan yang bersemayam di balik (agama) dan fenomena semesta. Ia melihat
dirinya sebagai satu jenis penjara. Terkadang ia ingin terbang meninggalkan
sarang, dan seluruh keberadaan ditemukannya dalam bentuk satu realitas.[13]
Pascal, seorang
ilmuwan ternama, berkata, Hati memiliki argumen-argumen yang tidak dapat
dicapai oleh akal.[14]
William James
berkata, Aku menerima dengan baik bahwa sumber kehidupan adalah religius
(hati). Aku juga menerima bahwa formula dan tuntunan-tuntunan praktis
filsafat tak ubahnya seperti subjek yang telah diterjemahkan dan teks aslinya
diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain.[15]
Max Muller berkata,
Para pendahulu kita, sejak pertama kali menundukkan kepala ke haribaan Tuhan,
mereka bahkan tidak mampu memberikan nama untuk Tuhan.[16]
Di tempat lain,
Muller menyampaikan keyakinannya yang bertentangan dengan pendapat main-stream. Ia berkata, Agama dimulai dengan
penyembahan terhadap alam, benda-benda, dan berhala. Setelah itu, penyembahan
kepada Tuhan yang satu. Paleontologi (ilmu yang mengkaji tentang kehidupan
masa pra-sejarah dengan menggunakan bukti-bukti forensik) membuktikan bahwa
menyembah Tuhan yang satu telah berlangsung semenjak zaman dahulu. [17]
Seorang ahli sejarah
bernama Palutark berkata, Sekiranya Anda memandang pelataran semesta ini,
Anda akan jumpai banyak tempat yang di situ tidak ada data mengenai
rekonstruksi, pembangunan, ilmu, industri,
politik, dan negara. Akan tetapi, Anda tidak akan menjumpai tempat yang di
situ tidak ada Tuhan.[18]
Samuel Kning dalam
bukunya Jme’eh-shinsi (Sosiologi) berkata, Seluruh umat manusia memiliki jenis agama. Meskipun
para etnolog (ahli yang mengkaji tentang etnis), petualang dan muballig
pertama Masehi menyebutkan adanya kaum yang tidak memiliki agama dan
kepercayaan. Akan tetapi, setelah itu diketahui bahwa laporan-laporan mereka
tidak memiliki landasan. Penilaian mereka hanya berdasarkan pada indikasi
yang beranggapan bahwa agama kaum ini serupa dengan agama mereka.[19]
Pembahasan ini kami
akhiri dengan meminjam ucapan Will Durant, sejarawan terkemuka kontemporer.
Ia berkata, Sekiranya kita tidak berpendapat bahwa agama memiliki akar-akar
pada masa pra-sejarah, maka kita tidak akan mengenal sejarah dengan baik
seperti yang kita kenal sekarang ini.[20]
Mengapa Manusia Berhajat kepada Agama?
Setelah mengulas
beberapa asumsi kemunculan agama dan latar belakang sejarah atas hajat
manusia terhadap agama, kini mari kita mendedah, alasan-alasan mengapa
manusia berhajat dan memerlukan agama dengan memaparkan beberapa unsur yang
memantik manusia untuk beragama.
1. Agama
menjawab sense of religion
Menyingkap perasaan keberagamaan pada diri manusia, dan pengakuan
terhadap perasaan ini merupakan salah satu unsur pertama, yang tetap dan
natural pada jiwa manusia. Di samping ketiga naluri dan insting yang ada pada
diri manusia, ia juga memiliki naluri atau perasaan keempat yang bernama
naluri untuk beragama. Keempat naluri tersebut adalah:
a. Naluri Kognitif atau
Kuriositas, yang mengkondisikan manusia semenjak awal penciptaan untuk
mencari dan menelusuri masalah-masalah yang kabur dan buram tentang siapa
yang menciptakan alam semesta ini. Dan perasaan atau naluri ini yang
memotivasi para penemu dan inventor untuk menyingkap tirai yang menyelimuti
alam semesta.
b. Naluri Etis, yang
menumbuhkan etika dan sifat-sifat utama dan transendental pada jiwa manusia.
c. Naluri Estetis, yang
memunculkan seni dan menjadi sebab berseminya berbagai cita rasa kesenian.
d. Naluri Religiusitas
adalah naluri atau perasaan yang dirasakan oleh setiap orang pada awal-awal
masa baligh dan sebuah jenis kecendrungan terhadap alam metafisika. Penemuan
naluri pada abad keduapuluh telah menciptakan perubahan pada pemikiran para
cendikiawan Barat dan memaksa kaum Materialis untuk merubah cara pandang
mereka.
2. Agama
menjawab Kuriositas
Setiap insan menemukan tiga pertanyaan asasi dalam dirinya ihwal: Aku
berasal darimana? Untuk keperluan apa? Akan kemanakah aku melangkah?
Seorang Materialis akan terperangah dan tertunduk dalam menghadapi
pertanyaan-pertanyaan ontologis semacam ini. Karena mereka berpandangan bahwa
keberadaan ekuivalen dengan materi, tentu saja tidak akan dapat menjawab
sesuatu yang sumbernya materi. Dan lantaran mereka berkeyakinan bahwa manusia
dan semesta tidak memiliki pencipta yang bijaksana; mereka tidak dapat
mengintrodusir tujuan dan goal dari keberadaan manusia dan semesta. Dan juga
karena mereka beranggapan bahwa keberadaan idem dito materi dan kematian sebagai akhir dan ujung
dari kehidupan, mereka tidak dapat mempercayai kehidupan pasca kematian.
Tentu saja dalam menghadapi tiga pertanyaan yang disebutkan sebelumnya,
mereka akan terperangah dan tertunduk diam seribu bahasa. Sementara agama
dengan lantang dan kencang dapat memberikan jawaban atas tiga pertanyaan
ontologis di atas. Agama menjawab bahwa manusia dan alam semesta karena
merupakan makhluk Tuhan Mahabijaksana, Mahatahu dan Mahakuasa dan Dialah
sebagai sumber keberadaan manusia dan semesta, karena Dia yang menciptakan
manusia dan semesta tentulah Dia memiliki tujuan penciptaan manusia dan
tujuan tersebut adalah untuk mengenal dan mentaati serta sampai kepada
kesempurnaan diri dimana hasil dari semua itu dapat dituai pada kehidupan
selanjutnya. Kematian dalam perspektif agama merupakan terminal bagi
kehidupan yang lain dan ia tidak memandangnya sebagai akhir dari kehidupan.
Dan agamalah sebagai satu-satunya yang dapat menjawab ketiga pertanyaan
ontologis yang dimaksud.
3. Agama
menjawab Perkara Psikologis
Para psikolog di samping
membahas masalah fenomena-fenomena yang tak terhitung yang berlaku di dunia
ini mereka juga mengurai tentang dimensi kejiwaan manusia. Mereka dalam hal
ini berkata, kembalinya manusia kepada agama memiliki efek-efek yang dapat
memecahkan pelbagai persoalan yang mendera kehidupan manusia, antara lain:
a. Menciptakan pemahaman
dan sikap optimisme di antara manusia.
b. Mengkompensasi segala
derita dan nestapa yang dialami manusia.
4. Agama Mengatur
Urusan Sosial
Manusia secara natural adalah
makhluk sosial (zoon politician). Manusia menghendaki adanya interaksi sosial
di antara sesam jenisnya sehingga ia dapat memecahkan berbagai problematika
yang dihadapinya secara gotong-royong dan saling membantu satu sama lain. Di
samping itu ia juga dapat menghalau berbagai rintangan dan halangan yang
merintangi jalannya untuk sampai kepada kesempurnaan dengan berinteraksi
dengan manusia yang lain.
Tentang sebab mengapa manusia secara natural ingin hidup berdampingan
dengan manusia yang lain terdapat beberapa alasan di balik itu. Akan tetapi
yang lebih penting dari itu adalah konsep dan desain asasi yang diperlukan
manusia untuk berinteraksi dan bergaul secara sosial. Dan agama di sini
memainkan peran untuk mengatur dan menata relasi dan hubungan yang ada dan
seharusnya ada di antara sesama manusia. Peran agama yang mengatur kehidupan
manusia itu antara lain:
Pertama, menjelaskan batasan dan tugas masing-masing individu dalam
interaksi sosialnya. Karena betapapun seorang individu adalah seorang adil
dan tahu akan tugasnya namun jika rule of game tidak ditentukan maka ia tidak akan dapat
menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya.
Kedua, dengan mengimplementasikan serangkaian program kerja yang
bermanfaat dan menjelaskan punish terhadap sikap egosentrik dan tidak tahu
batasan setiap individu.
Dengan peran sentral agama ini, jaminan untuk terciptanya tatanan
masyarakat yang saling menghargai dan tolong menolong dalam rangka mencapai
kesempurnaan maknawi dan mengaktualkan potensi kemanusiaan yang dimiliki oleh
setiap individu dalam masyarakat dapat dicapai.
Kesimpulan
Dengan menjawab
asumsi-asumsi dan hipotesa atas keberagamaan manusia maka dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat tidak beragama dalam
kehidupannya. Agama yang akan mengantarkannya mencapai kesempurnaan maknawi
dan duniawi berkat aturan dan rule of game yang tegas dijelaskan dalam setiap ajaran agama. Melalui agama
pertanyaan-pertanyaan ontologis yang menyangkut persoalan-persoalan eksistensial
dapat terjawab dengan tuntas dan komprehensif dimana orang-orang yang kontra
dengan keberadaan agama dan mencoba memberangus rasa keberagamaan itu dengan
menyajikan industri dan sains. Namun manusia karena dalam dirinya mengandung
dua dimensi, ragawi dan maknawi, kebutuhan dan dahaga maknawinya tidak akan
dapat pernah dapat terpenuhi selain dengan perantara sesuatu yang
trasendental. Oleh karena itu, jelaslah alasan ihwal mengapa kita beragama?
Adapun tentang agama yang mana yang harus kita ikuti dan yakini kebenarannya,
kita akan membahasnya pada kesempatan mendatang.
|
KITA BUKAN MAHLUK MANUSIA DALAM PERJALANAN SPIRITUAL, KITA ADALAH MAHLUK SPIRITUAL DENGAN PERJALANAN KEMANUSIAAN.
Total Tayangan Halaman
Sabtu, 26 Januari 2013
MENGAPA KITA BERAGAMA?
Langganan:
Postingan (Atom)