Sejarah Timbulnya
Gagasan Nur Muhammad
SEJARAH TIMBULNYA GAGASAN NUR MUHAMMAD
SAMPAI MASUKNYA KE NUSANTARA
Oleh Nur Fauzan Ahmad, S.S., M.A.
Intisari
Gagasan Nur
Muhammad banyak mendominasi dalam pemikiran para sufi terbukti dari banyaknya
naskah tasawuf yang membicarakannya. Tulisan ini bertujuan mengungkapkan latar
belakang timbulnya gagasan Nur Muhammad dan masuknya ke Nusantara. Dari hasil
kajian studi pustaka yang dilakukan didapatkan hasil bahwa gagasan ini bermula
dari tafsiran filosofis terhadap Al Quran surat An-Nuur: 24 yang dilakukan oleh
Muqattil. Paham Nur Muhammad dalam tradisi sufi bermula dengan
adanya pemujaan dan penghargaan terhadap
manusia agung, Nabi Muhammad saw. Ide itu diperkuat oleh Al
Hallaj dan Ibnu Araby serta Abdul Karim Al Jilli. Sejalan dengan masuknya Islam
ke Indonesia yang dibawa oleh para ahli tasawuf, gagasan Nur Muhammad ini masuk
ke Nusantara dalam pemikiran para sastrawan yang juga para ahli tasawuf seperti
Nurudin Ar Raini, Syamsudin Sumatrani, Abdurrauf Singkeli.
Kata kunci: Nur Muhammad, sejarah, nusantara
Abstract
The idea of Nur Muhammad much
dominate in the thinking of Sufi mysticism is evident from the many texts that
talk about it. This paper aims to reveal the background of the emergence of the
idea of Nur Muhammad and the entry of Nusantara. From the results of studies
conducted literature study showed that this idea stems from a philosophical
interpretation of the Quran An-Nuur letter: 24 performed by Muqattil. The idea
of Nur Muhammad in sufism tradition began with the veneration and respect of
the great man, the Prophet Muhammad PBUH. The idea was reinforced by Al Hallaj,
Ibn Araby and Abdul Karim al-Jilli. In line with the entry of Islam into
Indonesia brought by the experts of sufism, the idea of Nur Muhammad was
entered to Nusantara in the thinking of writers who are also experts like
Nurudin Ar Raini mysticism, Syamsudin Sumatrani, Abdurrauf Singkeli.
Keywords: Nur Muhammad, sejarah, nusantara
Cerita tentang Nur Muhammad
merupakan sastra tasawuf. Di dalam kesusastraan Melayu, khususnya sastra sufi, terdapat banyak
teks yang membicarakan cerita Nur Muhammad ini. Teks ini tersebar di berbagai naskah. Ada yang berdiri
sendiri dalam bentuk satu naskah. Ada pula yang merupakan satubagian dari banyak cerita dalam satu naskah. Naskah ini terdapat di beberapa tempat
penyimpanan/ koleksi. Di Indonesia terdapat di Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia Jakarta, di Belanda terdapat di Perpustakaan Universitas
Leiden, di Inggris terdapat di Bodleian Library, London, serta di pelbagai
koleksi, baik di koleksi pribadi maupun koleksi perpustakaan umum lain.
Di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI)
Jakarta terdapat tujuh buah naskah yang tersimpan di dalam Katalogus Koleksi Naskah Melayu ( Sutaarga: 1972: 172-173 ). yaitu :
1. C.st. 119/ Ml. 644 selanjutnya disebut naskah A
2. v.d.w. 76/ Ml. 643. selanjutnya disebut naskah B
3. Bat. Gen. 96/ Ml. 96. selanjutnya disebut naskah C
4. Bat. Gen. 406 B/ Ml. 406 B. selanjutnya disebut naskah D
5. v.d.w. 75/ Ml. 642. selanjutnya disebut naskah E
6. Bat. Gen. 388 F/ Ml. 388 F. selanjutnya disebut naskah F
7. Bat. Gen. 378 C/ Ml. 378 C. selanjutnya disebut naskah G
Di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, cerita Nur Muhammad dijumpai di dalam berbagai
naskah antara lain
1. Cod. Or. 12. 125/ Oph. 3. 80
2. Cod. 12. 139/ Oph. 17. 120
3. Cod. Or. 12. 132/ Oph. 10A. 120 (Ronkel, 1921: 247-249)
Di Inggris, naskah yang memuat HNM ini terdapat di dalam koleksi Bodleian Library London dengan nomor naskah MS.Jav.c.2 No. 42 M
(Depparpostel, 1991:15)
Di dalam kesusastraan Melayu cerita tentang Nur Muhammad ini terdapat
juga di dalam Hikayat
Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat
Syah I Merdan (Juynboll.1899: 202), Sejarah Melayu, Syair Ikan Tunggal
Bernama Fadhil karya Hamzah Fansuri (Sangidu, 2003a), Hikayat Nabi nomor Ml. 803/ v.d.w. 102 ( hal 1-27), juga pada naskah Akhbar al-Akhirat fil-Akhwal al Qiyamat, nomor Ml. 803/ v.d.w. 48dan naskah yang bernomor Ml.804/ Br. 275 (Sutaarga, 1972: 282).
Cerita tentang Nur Muhammad ini terdapat pula di dalam naskah kitab-kitab tasawuf berikut. Naskah-naskah itu antara
lain Daqaiqul-Akhbar fi - akhwalil-Qiyamah (An Nabhan, tt), kitab Bachrul-Lahut(Abdullah,tt:14). Syajaratul-Kaun (Ibnu Araby), Daqaiqul
-Akhbar fi Dzikril-Jannah Wan-Naar oleh Abdul Rahim bin Ahmad Al
Qadhi dan yang dalam terjemahan Melayunya ditulis oleh Syaikh Ahmad ibn Muhammad Yunus Langka, Al Kaukab ad-Durri fin-Nuuril-Muchammadi oleh Syaikh Muhammad bin Isma’il Daud al-Fatani, Madarijus-Su’ud oleh Nawawi al Bantani, Sirrul
Asraar oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailany, Sabiilul -Iddikar wal- I’tibar oleh Imam Al Haddad, Bad’
Khalq al-Samawat wa al-Ardh karya Syekh
Nuruddin Ar-Raniry, Kasyful
Ghaibiyah oleh Zain al-‘Abidin al-Fatani.
Di dalam kesusatraan Jawa, cerita Nur Muhammad ini pun
disebut dalam beberapa karya sastranya, misalnya Wirid Hidayat Jati, Serat Centhini, naskah-naskah primbon seperti Serat Wirid dan Niti Mani(Zoetmoelder
1991: 115-126).
Adanya gagasan cerita ini tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh Islam yang begitu kental mewarnai cerita. Hal itu terjadi karena gagasan itu lahir dari kalangan sufi (tasawuf). Gagasan ini mirip
dengan pemikiran para filosof Yunani ketika menjelaskan tentang proses terjadinya alam semesta. Proses
kelahiran tasawuf sendiri memang panjang. Ajaran tasawuf memang bersumber dari ajaran Islam
sendiri (dalam batas-batas kewajaran) dan dari luar Islam (khususnya pada
ajaran-ajaran yang ekstrim/ melebihi batas kewajaran. Di antara pengaruh ajaran
di luar Islam itu adalah pengaruh Hindu (India), Persia, khususnya agama
Zoroaster dan Mani. (Nasr, 1995 : 162 -163), agama Nasrani, Filasafat Yunani
khususnya Neo-Platonisme dan Filsafat Mistik Phitagoras (Abdullah, 1982 : 22;
Hamka, 1984: 45-66).
Tulisan ini akan membahas apakah ajaran Nur Muhammad itu dan bagaimana latar belakang timbulnya
gagasan itu. Di sini akan dibahas bagaimana latar konsep Nur Muhammad dalam tasawuf falsafi, bagaimana pandangan tokoh
Al Hallaj, Ibnu Araby dan Abdul Karim AlJilli sebagai pelatak dasar konsep Nur
Muhammad, dan bagaimana doktrin Nur Muhammad ini masuk dan mempengaruhi pemikiran di Nusantara.
1. Latar Belakang Timbulnya Gagasan Nur Muhammad
Nur Muhammad merupakan sebuah paham di dalam tasawuf, falsafi, yang
menganggap bahwa dunia seisinya itu bermula dari Nur Muhammad. Paham Nur Muhammad dalam tradisi sufi bermula dengan
adanya pemujaan dan penghargaan terhadap
manusia agung, Nabi Muhammad saw., yang namanya selalu
disandingkan bersama Allah dalam persaksian (syahadat) seorang muslim. Bermula
dari seorang teolog abad ke-6 M yang bernama Muqattil menafsirkan Al-Qur’an (QS,24:35) yang terkenal dengan “ayat
cahaya” . Ayat tersebut berbunyi:
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya
ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang
(yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dari pohon minyak yang banyak
berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur(nya) dan
tidak di sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi,
walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah
membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
(QS,24:35).
Ayat itu oleh Muqattil dihubungkan dengan Nabi Muhammad saw. Kata mishbach (lampu) itu dianggap sebagai lambang yang tepat bagi Muhammad. Melalui Muhammadlah
cahaya Ilahi dapat menyinari dunia. Melalui Muhammad juga umat manusia dituntun
menuju sumber cahaya itu (Schimmel,1991: 174-175). Kata “tidak dari timur dan dari barat” mengacu kepada tugas kerasulan Nabi Muhammad saw yang rachmatan lil-‘alamin (memberi rahmat/ kasih sayang untuk segenap alam).
Ide Muqattil itu diambil oleh Sahl al-Tustari, tokoh
sufi Irak (wafat th. 896 M) yang mengatakan adanya ”lajur cahaya”, yaitu sejenis timbunan yang terdiri dari segenap jiwa-jiwa yang suci (Atja,
1966:l5). Berdasarkan teori Muqattil di atas, esensi Muhammad menurut Tustari, disebut ‘amud al-nur’ (tiang cahaya), yakni jasad halus dari keyakinan yang diemanasi dari Tuhan sendiri yang
membungkuk kepada-Nya selama satu juta tahun sebelum diciptakan-Nya makhluk-makhluk (Massignon: 283).Tentang peran
Nabi Muhammad Tustari mengatakan:
“Allah dalam keesaan-Nya yang mutlak dan realitas
transenden-Nya ditegaskan sebagai misteri yang tak tertembus dari cahaya illahi
yang bagaimana pun juga, mengungkapkan dirinya sendiri dalam praktek perwujudan
prakeabadian dari “persamaan cahaya-Nya” (matsalu nurihi), yaitu persamaan cahaya Muhammad
(nur Muhammad) dalam prakeabadian dilukiskan sebagai suatu masa bercahaya dari
pemuliaan primordial di haribaan Allah yang mengambil bentuk suatu tiang tembus
cahaya ‘amudcahaya Illahi dan membentuk Muhammad sebagai ciptaan utama Allah”
(Schimmel, 1991;176).
Dalam menjelaskan terminologi ayat cahaya tersebut, Tustari mengatakan bahwa ketika Allah berkehendak
menciptakan Muhammad, Dia memunculkan sebuah cahaya dari cahaya-Nya. Ketika Ia
mencapai selubung keagungan hijabul-’adzamah, Ia membungkuk dan bersujud di hadapan Allah. Allah
menciptakan dari sujudnya itu sebuah tiang yang besar bagaikan kaca kristal
dari cahaya yang dari luar maupun dalam yang dapat tembus pandang” (Schimmel , 1991:176) .
Selanjutnya Tustari mengaitkan cahaya
Muhammad dengan surat An-’Najm (53) ayat 13 yang berbunyi : “Walaqad ra’aahu nazlatan ukhraa” artinya: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya
yang asli) pada waktu yang lain” (QS,53:13) .
Kata ”pada waktu yang
lain” ditafsirkan Tustari dengan ketika tiang cahaya Muhammad berdiri di
hadapan Allah. (Di dalam Hikayat Nur Muhammad diceritakan
tentang Nur Muhammad disuruh bersujud
selama lima puluh tahun di hadapan Allah. Dijelaskan bahwa sebelum dimulai penciptaan selama
sejuta tahun Nur Muhammad itu berdiri di hadapan-Nya untuk memuji-Nya dengan
keteguhan iman dan (kepadanya) diungkapkan misteri oleh “misteri” itu sendiri
di pohon Sidratil-Muntaha (QS, 53:14) yaitu tempat berakhirnya pengetahuan setiap
orang (Bowering via Schimmel, 1991: 177).
Ketika penciptaan dimulai, Allah
menciptakan Adam dari cahaya Muhammad. Cahaya para nabi, cahaya kerajaan langit, cahaya malakut adalah dari cahayanya. Begitu juga cahaya dunia dan dunia yang akan datang berasal dari
cahayanya” (Schimmel, 1991:177).
Akhirnya, ketika kemunculan para nabi dalam alam raya spiritual di dalam prakeabadian
telah sempurna, Muhammad dibentuk tubuhnya dalam bentuk temporal dan
terestrial, dari lempung Adam, yang telah diambil dari tiang Nur Muhammad dalam prakeabadian. Dengan demikian, penciptaan cahaya
prakeabadian telah disempurnakan. Manusia pertama dicetak dari cahaya Muhammad
yang telah terkristal dan mengambil sosok pribadi Adam (Schimmel, 1991:177).
Ide itu ditangkap oleh Al Hallaj yang kemudian
mengembangkannya di dalam faham Nur Muhammad. Konsep al Hallaj tentang Nur
Muhammad selanjutnya diteruskan oleh Ibnu Araby dengan konsepwachdatul wujudnya dan dilanjutkan
oleh Abdul Karim Al Jilli dalam Insanul
kamil.
Manusia mempunyai kecenderungan untuk
berdekatan dengan Tuhan penciptanya. Hal ini merupakan cerminan kerinduan
nurani manusia terhadap Tuhannya. Manusia menyadari bahwa dirinya berasal dari
Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Gejala ini universal
dan konstan tidak terbatas oleh ruang dan waktu, baik di Barat maupun di Timur,
sejak dahulu sampai sekarang dan yang akan datang (Sofwan: 1999: 99).
Perjalanan batin dalam mencapai kesempurnaan hidup yakni berada
sedekat-dekatnya dengan Tuhan bahkan menyatu itu disebut mistik (Gaynor,
1953:119). Dimensi mistik ini terdapat pada setiap agama bahkan juga pada
ajaran-ajaran yang menyerupai agama (pseudo agama). Di
dalam agama Islam, mistik ini dikenal dengan istilah tasawuf.
Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin
dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati karena rohnya dapat bersatu dengan
Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diridengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Mahasuci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekati adalah roh yang suci.
Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan
melalui penyucian rohnya (Nasution dalam Rahman [ed], 1995: 161)
Pada perkembangan awalnya tasawuf
mengambil bentuk zuhud, dalam arti sikap hidup sederhana dan menjauhi
kemewahan duniawi dan untuk memperhalus budi pekerti/ akhlak dalam rangka
mencapaitujuan mendekatkan diri dengan Tuhan. Jadi, awalnya merupakan sebuah gerakan moral untuk
memperhalus akhlak di tengah kekakuan dan
keketatan ajaran syariat. Oleh karena itulah tasawuf semacam ini disebut
tasawuf akhlaki/ sunni (Ardani: 1989: 6) yang
dikategorikan sebagai mistik kepribadian (mysticisme personality) (Schimmel: 1986:3). Disebut tasawuf sunni karena
tasawuf ini dikembangkan oleh golongan sunni (ahlussunnah wal Jamaah) yang tetap berpegang pada ortodoksi Al Quran dan
sunnah Nabi. Disebut mistik kepribadian karena hubungan antara Tuhan dan
manusia tidak sampai pada penyatuan esensi, karena pada dasarnya keduanya
berbeda. Yang terjadi hanyalah upaya mengkonsentrasikan keseluruhan aktivitas
hanya kepada Allah (wahdatusy-syuhud), dan bahwa yang ada hanyalah Allah.
Tasawuf sebagai gerakan kerohanian untuk
mendekatkan diri kepada Allah, pada perkembangan awal memang didorong oleh
ajaran Islam sendiri yaitu Al Qur’an dan contoh kehidupan Nabi Muhammad saw.
Ajaran perilaku kesederhanaan dan zuhud sebagaimana dicontohkan Nabi itu ditiru
oleh para sahabat misalnya Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Al Farisi (Abdullah,
1984:5-14). Bahkan para sahabat Nabi yang akibat hijrah ke Madinah menjadi
miskin sehingga mereka tinggal di masjid Nabi dan tidur di bangku batu dengan
memakai pelana (suffah) sebagai bantalnya itu sering disebut sebagai ahlussuffah.Kata ahlussuffah inilah yang
merupakan salah satu sebab kenapa peri hidup kerokhanian itu disebut dengan
kata tasawuf (Nasution, 1990: 50-51).
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu di
masa tabi’in, lahir penganjur kehidupan tasawuf yang awal yaitu
Hasan Al-Basri yang digelari Abu Sa’id (21-110 H). Beliau mengajarkan khauf (takut) kepada Tuhan. Ketika
beliau wafat (110 H ), lahir Abu Hasyim Shufi al-Kufi yang wafat
pada tahun 150 H/ 761 M (Abdullah, 1982:16-17). Selanjutnya hidup pula para
sufi lain misalnya Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita (714-801 M) yang mengajarkan machabbah/ cinta kepada Allah semata (Nasution, 1990:70-74). Selanjutnya
Sufyan ats-’Tsaury (602-732 M) mengajarkan kehidupan zuhud dan menentang kemewahan (Abdullah, 1982:17) dengan
sikap menjaga muru’ah, berusaha sendiri tidak mengemis kepada raja-raja
(Hamka, 1984:84). Sedangkan Dzun-Nun Al-Mishry (180-245 H) dikenal
sebagaiBapak
Ma’rifat, karena beliau mengajarkan ma’rifah/ gnosis, yang berarti mengetahui Tuhan dari dekat (Nasution,
1990: 74-78).
Dengan berkembangnya Islam pada masa
Khulafaur-Rasyidin (tahun 11-40 H) dan kemudian dipegang oleh dinasti Umayyah
sejak tahun 40-132 H, dunia Islam mulai dimasuki kebudayaan-kebudayaan asing
yang datang dari Parsi, Yunani, India dan
sebagainya. Pada masa pemerintahan
Abasyiyah, khususnya pada masa pemerintahan Al-Makmun
dan Harun Al-Rasyid, umat Islam telah sampai ke puncak
ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang tinggi (Muin, 1986:18). Menurut
Prof. Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam Tarikhul-Islam, pada abad-abad tersebut ilmu tasawuf memang sudah
berkembang dan dalam perkembangannya sudah masuk ke tahap sinkretisme antara
ajaran tasawuf dan ajaran filsafat Neo-Platonisme, ajaran Hindu dan Budha serta
Zoroaster sehingga membentuk suatu metode tasawuf yang dinamakan ”Filsafat
Tasawuf” (Syukur, 1982:65).
Akibat persinggungan dengan filsafat
Yunani khususnya Neo-Platonisme, faham Syi’ah serta aliran mistik Kristen dan
kebudayaan “tempatan” lainnya, tasawuf yang semula bertujuan memperhalus akhlak berkembang
menjadi pandangan hidup yang disistematisir atas dasar pemikiran filsafat.
Corak tasawuf ini bertujuan tidak sekedar mendekatkan diri kepada
Tuhan bahkan juga untuk bersatu dengan-Nya. Oleh karenanya tasawuf ini dikenal
dengan tasawuf non sunni atau tasawuf falsafi (Ardani,
1989:6) dan dapat dikategorikan sebagai misticisme infinity/ tasawuf ketakterhinggaan (Schimmel:
1986:3).
Tasawuf ini menekankan pada tujuan
pencapaian derajat insan
kamil/ manusia sempurna. Insan Kamil merupakan
cermin/ duplikat Tuhan yang
diciptakan atas nama-Nya sebagai refleksi gambaran nama dan sifat-sifat-Nya.
Kondisi ini dapat terwujud apabila manusia sudah dapat mencapai
kesatuan mutlak dengan Tuhannya (wachdatul wujud). Persatuan hamba dan Tuhannya itu diungkapkan dengan
bermacam-macam istilah, misalnya Abu Yazid al Busthami menyebut ittichad, isyraq oleh
as-Suhrawardi, chulul oleh al Hallaj, wachdatul wujud oleh Ibnu ’Araby. Dari sini mulailah berkembang
ektrimitas tasawuf. Beberapa ekstrimitas tasawuf itu antara lain Pantheistis/ wichdatul-wujud,
Non-Formalisme, Asketisr Isolasionis, Fatalistis, Messianistis dan Egoistis (Abdullah,
1982:46-66).
Pada tahun 801 M di Bustam lahir seorang
sufi yang berpandangan ekstrim yaitu Abu Yazid al-Bistami (wafat 847 M) dari
Persia. Beliau mengajarkan fana dan baqa. Menurut beliau, untuk bisa (ittichad)bersatu dengan Allah, seseorang harus menghancurkan
dirinya (fana) yang
diiringi dengan hidup terus (baqa). Di sini Abu Yazid telah dekat benar dengan Allah
bahkan telah mencapai ittichad sehingga ia
sampai mengucapkan kata-kata yang pada intinya mengandung pengakuan bahwa
dirinya adalah Tuhan (Nasution, 1990:79-86).
Paham ittichad ini pada perkembangan selanjutnya menjadi chulul (Tuhan mengambil tempat pada manusia) yang
dikembangkan oleh Hussein Ibnu Mansyur Al Hallaj yang akhirnya dilanjutkan oleh
Muhyiddin Ibnu Araby dalam bentuk wachdatul wujud. Pada ajaran Al Hallaj inilah gagasan NurMuhammad
mulai timbul.
Spekulasi Sahl At-Tustari tentang ayat
cahaya di atas mempengaruhi para sufi berikutnya seperti
Al Hallaj[1]. Di dalam kitabnya Thasin Al-Shiraj yang merupakan bab I dari kitab Al Thawasin (hal 9-11) Al Hallaj mengatakan
“Dia adalah sebuah lampu dari cahaya yang
tak terlihat…. sebuah bulan yang bercahaya di antara bulan-bulan lainnya, yang
rumahnya berada dalam lingkaran segala misteri. Kebenaran Ilahi ( Tuhan )
menyebutnya ummy dikarenakan kesempurnaan aspirasinya yang mulia (Himmah) …
Cahaya-cahaya kenabian, dari cahayanyalah
mereka muncul, dan cahaya-cahaya mereka berasal dari cahayanya, yang tiada
cahaya terang serta mendahului praeksistensi, dari pada cahaya tokoh mulia ini.
Menurut al-Hallaj, Muhammad memiliki dua hakikat,
yakni pertama hakikat cahaya azali yang telah ada sebelum adanya segala sesuatu dan menjadi landasan ilmu
serta ma’rifat (Nicholson, 1975:51). Kedua,hakikat yang baru dalam kedudukannya sebagai seorang
nabi, pada ruang dan waktu tertentu. Cahaya yang pertama itulah yang menjadi
landasan semua para nabi dan para imam/ wali yang lahir sesudahnya. (Mahmud, 1967:379-380) Dalam syair indahnya, al-Hallaj
mengungkapkan:
Tha Sin.
Sinar cahaya
gaib pun tampak dan kembali.
Sinar itu pun
melintasi dan mendominasi segala sesuatu. Sebuah bulan bersinar cemerlang di
antara berbagai bulan, zodiaknya ada dalam bintang rahasia.
Yang Maha Benar
(Tuhan) memberi nama Ummi (yang tidak ditandai dengan huruf) kepada sinar itu, untuk menghimpun aspirasi-Nya dan dia juga diberi nama
Hurmi (Muhammad) karena keagungan karunia-Nya,
serta Makki karena tempat kelahirannya pada kedekatan-Nya (Al Hallaj)
Al-Hallaj adalah salah seorang sufi
pertama yang mengisyaratkan sesuatu semacam logos Islam dan menekankan
kekudusan Muhammad dan bahkan menegaskan keabadian dan praeksistensinya.
Menurut Al-Hallaj (Afifi,1989 : 123) eksistensi Muhammad telah terjadi bahkan
sebelum noneksistensi dan namanya pun ada sebelum pena.
Ia telah dikenal sebelum substansi-substansi dan kejadian-kejadian dan sebelum
realitas-realitas yang belum maupun yang sudah. Ia datang
dari suatu suku yang bukan timur bukan barat (
bandingkan dengan ayat cahaya ).
Bagi Al-Hallaj, Muhammad adalah cahaya yang tak pernah
padam yang terus menerus menerangi hati para sufi. Semua Nabi dan orang suci
mendapatkan cahaya (pengetahuan) mereka dari cahaya Muhammad saja. Cahayanya
lebih cemerlang dan lebih abadi (Aqdam)
dari pada cahaya pena. (Thawasin hal 11-12).
Ada tiga pokok ajaran Al Hallaj yang
menggemparkan ulama fikih yaitu Chulul, al-chaqiqatul-Mucammadiyah dan wachdatul-adyan. Menurut Al Hallaj, kejadian alam ini pada mulanya berasal darial-Chaqiqatul-Muchammadiyah atau
Nur Muhammad, Nur Muhammad itulah asal segala sesuatu. Menurutnya Nabi
Muhammad saw itu terjadi atas dua rupa; rupa yang qadim dan azali. Rupa yang
pertama adalah qadim (dahulu) yang terjadi sebelum terjadinya seluruh yang
ada. Rupa yang kedua berwujud manusia, sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah.
Rupa yang kedua ini menempuh mati. Tetapi rupanya yang qadim tetap ada meliputi alam. Maka dari Nur (cahaya)
rupanya yang qadim itulah diambil segala nur untuk menciptakan segala
nabi dan rasul serta para wali (Syukur, 1982 : 54 ; Hamka, 1984 : 123).
Al Hallaj mengatakan bahwa dalam kejadian,
Nur Muhammadlah yang awal namun dalam kenabian, dialah yang akhir. Al-Chaq adalah sama dengan Nur Muhammad, dengan
dialah hakikat itu. Dia yang pertama dalam hubungan dan yang
akhir dalam kenabian. Dialah yang batin dalam hakikat dan yang
lahir dalam ma’rifat. Nur Muhammad itulah pusat kesatuan alam, dan pusat
kesatuan nubuwwat segala Nabi, dan Nabi-nabi itu nubuwwatnya,
atau pun dirinya hanyalah sebagian saja
dari pada cahaya NurMuhammad itu.
Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran belaka dari sinarnya ” (Hamka, 1984 : 123)
Pemikiran Al-Hallaj tentang al-Chaqiqatul-Muchammadiyah ini tidak bisa dipisahkan dengan fahamChulul-nya. Chulul ialah menjelmanya ruh Ketuhanan (lahut) ke dalam insan (nasut).
Hal ini akan terjadi bilamana kebatinan seseorang insan telah suci bersih di
dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan, maka akan
naiklah pangkat (maqam) hidupnya ke maqam lain, misalnya Muslimin, Mukminin, Shalihindan Muqarrabin. Muqarrabin artinya orang yang paling dekat dengan Tuhan. Di atas Muqarrabin itulah orang sudah sampai puncaknya bisa bersatu
dengan Tuhan sehingga tidak ada perbedaan antara ‘Asyikdan Ma’syuk, sehingga tiada perbedaan antara hamba dan Tuhan (Hamka,1984:120).
Sedangkan menurut Abu Nasr Al-Tusi dalam Al-Luma’, chulul adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah
sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan (Tusi, 2002:689).
Menurut Al Hallaj, sebelum Allah
menjadikan makhluk, Ia hanya melihat dirinya sendiri (tajallil-chaq li nafsihi). Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah
dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang tidak menggunakan
kata-kata atau huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan
ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-Nya lalu Ia jatuh cinta pada
zat-Nya sendiri, Cinta inilah yang menjadikan wujud dan sebab dari yang banyak
ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada (ex nihilo)bentuk/ copy dari diri-Nya. Bentuk/ copy itu adalah Adam. Adam pun lalu dimuliakan dan
diagungkan-Nya. Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuknya, sehingga Allah
menyuruh para malaikat sujud kepada Adam. Hal ini disebabkan pada diri Adamlah
Allah menjelma sebagaimana Ia menjelma dalam diri Isa a.s (Nasution, 1990:89;
Hamka, 1964:120-121).
Di sini bertemulah kepercayaan Kristen
yang menganggap Allah menjelma ke dalam diri Isa al-Masih putera Mariam dengan
kepercayaan Al Hallaj. Bagi Al Hallaj, bukanlah pada Isa al-Masih saja Tuhan
bisa menjelma, tetapi juga pada setiap insan yang telah sanggup mem-fanakan dirinya ke dalam Tuhan sehingga mendapat baqa di dalam Tuhan. Al Hallaj mengutip satu hadis yang
sangat berpengaruh besar bagi ahli sufi “Innallaaha chalaqa Adama ‘alaa suuratihi” (Sesungguhnya Tuhan
menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya) (Nasution, 1990:88-89)
Sepintas pernyataan dan ajaran Al Hallaj
ini berbau pantheisme, namun sebenarnya Al Hallaj sendiri di tempat lain
mengatakan bahwa keinsanannya tenggelam ke dalam ketuhanan, tetapi tidaklah
mungkin ada percampuran. Hal itu disebabkan ketuhanan senantiasa menguasai
keinsanannya. Katanya selanjutnya:
Barang siapa yang menyangkal bahwa
ketuhanan bercampur dengan keinsanan jadi satu, atau keinsanan masuk ke dalam
ketuhanan, maka kafirlah orang itu. Sebab Allah ta’ala itu berdiri dalam
zat-Nya dan sifat-Nya daripada makhluk dan sifat-Nya pula. Tidaklah Tuhan
serupa dengan manusia dalam rupa, dan bentuk yang mana jua pun.”(Hamka,
1984:122)
Pernyataan Al Hallaj yang menggemparkan
yaitu ana
al-haq tidak boleh boleh dipandang sebagai ucapan
manusia, melainkan ucapan Allah yang ada di dalam manusia itu. Allah bagi Al
Hallaj adalah transenden dan imanen. Allah tidaklah identik dengan manusia
(Hadiwiyono, tt:19).
Di lain tempat Al Hallaj sendiri
menyangkal adanya persatuan antara hamba dan Tuhan (sebagaimana ajaran al ittichad dari Abu Yazid al Busthami). Di dalam chulul,
tetap ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh (Nasution, 1990: 90).
Zoetmulder sendiri menyangkal bahwa Al Hallaj adalah seorangpantheis maupun
seorang monis, walaupun tulisan-tulisan dan gagasan-gagasannya turut
mengembangkan faham pantheisme dalam sufi Islam dan sekalipun ucapan-ucapan
yang dilepaskan dari konteksnya dan yang disalahartikan, berbau pantheis
(Zoetmulder, 1991:37-44).
Ajaran Al Hallaj ini
lebih populer dan mencapai titik lebih tinggi dalam dunia tasawuf setelah
dikembangkan oleh Ibnu Araby[2]. Ibnu Araby adalah tokoh peletak dasar
dan pembina hakiki konsepwachdatul-wujud dalam bentuk yang paling sempurna. Ajaran
tasawufnya terdiri atas tiga pokok yaituwachdatul-wujud, Nur Muhammad dan wachdatul-adyan (Syukur,1982:65).
Tentang wachdatul-wujud, Ibnu Araby mengatakan bahwa wujud itu
adalah satu. Wujud makhluk adalah wujud al-khaliq. Pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara keduanya. Pembedaan itu hanya
dalam rupa dan ragam saja. Wujud alam adalah wujud Allah. Allah adalah hakekat
alam. Chaliq (pencipta) danmakhluk (yang dicipta)
adalah satu. Abid (hamba) dan ma’bud (yang disembah) adalah satu. Kita harus memandang chaliq dan wujud itu yang
kelihatan dua padahal satu wujud dari dua wajah (ain) yang satu. Oleh karena itu dia telah menegakkan faham
serbasatu dan menolak faham serbadua (Hamka,1984: 153-155: Syukur, 1982: 66-67;
Afifi, 1989: 27-31).
Ibnu Araby adalah
pengembang ajaran dari Al Hallaj mengenai al-chaqiqatul-muchammadiyah (Nur Muhammad), (Syukur, 1982: 67; Afifi, 1989: 123).
Ibnu Araby juga percaya bahwa Tuhan Allah adalah ”Suatu yang satu”. Dialah
wujud yang mutlak. Nur Allah itu adalah sebagian dari dirinya. Itulah hakekat
Muhammadiyah. Itulah kenyataan pertama dalam uluhiyah. Darinya terjadi segala alam dalam setiap tingkatnya seumpama alam jabarut dan malakut, alam asal, alam ajsam dan alam arwah. Dialah segenap
kesempurnaan ilmu dan amal yang mewujud pada Nabi sejak Adam sampai Muhammad,
sampai kepada para wali dan segala tubuh Insan yang Kamil. Dia tetap ada.
Hakekat Muhammadiyah itulah yang memenuhi tubuh Muhammad. Bila Muhammad telah
mati, ia mati secara tubuh, namun Nur Muhammad/ hakekat Muhammad itu tetap
hidup. Sebab ia adalah sebagian dari Tuhan. Jadi Allah, Adam, dan Muhammad
adalah satu. Insan Kamil adalah Allah dan Adam pula pada hakikatnya.
Dalam aspek mistik logosnya, dia
mengaitkan dirinya dengan Muhammad (seperti Al Hallaj) sebagai kepala herarki
sufi dan rumah dari pengetahuan esoterik mereka. Tetapi Muhammad di sini bukan
Muhammad Nabi, yakni bukan Muhammad yang diidentifikasikan sebagai logos,
tetapi ia adalah realita (hakikat) dari Muhammad yang merupakan prinsip aktif
dalam semua pengetahuan kudus dan esoterik. Hakikat realita Muhammad menurut
doktrinnya adalah intelek pertama, prinsip rasional universal yang terdapat
sepenuhnya dalam kelas orang-orang yang disebut dalam kategori Manusia Sempurna
(Insan Kamil) atau disebut juga Kutub/
kepala spiritual dari herarki Nabi dan para orang suci.
Manusia adalah batang tubuh yang paling
sempurna dari atribut-atribut Tuhan. Manusia Sempurna adalah sebuah mikrokosmos
aktual tempat semua atribut dan kesempurnaan Tuhan termanifestasi. Manusia
Sempurna adalah suatu miniatur realitas. Esensi Manusia Sempurna adalah suatu
ragam dari Tuhan (al-Arsy). Pengetahuannya merupakan salinan atau
cerminan Tuhan. Hatinya berkait dengan model asli Surya dari Ka’bah. Bawaan
spiritualnya berkait dengan malaikat-malaikat. Ingatannya berkait dengan
Saturnus, pemahamannya dengan Yupiter, intelektualnya adalah Matahari, dsb
(Afifi, 1989:119-121).
Manusia Sempurna bukanlah
seorang manusia atau suatu bentuk melainkan suatu prinsip
universal Tuhan itu sendiri yang kesempurnaannya dimanifestasikan dalam
tiap-tiap yang sempurna. Emas adalah logam yang sempurna/ Syajaratul-waq-waq (tanaman
yang paling sempurna). Manusia adalah hewan yang paling sempurna. Manusia Yang
Sempurna telah menambah realitas-realitas hidup kepada realita-realita dunia
karena ia adalah wakil Tuhan (khalifah) yang
diatributkan pada dia.
Pemikiran Ibnu Araby ini, khususnya
tentang logos, bersumber dari Al Hallaj yang menekankan kepada kekudusan
Muhammad bahkan menegaskan keabadian dan praeksistensinya. Baginya Muhammad
adalah cahaya yang telah padam yang terus-menerus menerangi hati para sufi.
Semua Nabi dan wali mendapatkan cahaya (pengetahuan) dari cahaya Muhammad
(Afifi, 1989:124). Menurut Afifi dua sumber utama logosnya adalah sumber-sumber non-Islam, misalnya filsafat Helenistik yang sebagian besar
dipinjam dari Stoics, Philo dan Neo-Platonisme. Unsur-unsur ini sebagian besar mempengaruhi aspek
metafisika dan manusia dari doktrin ini. Selain itu juga dari unsur Islami termasuk seperti Al-Qur’an dan Hadits, Sufi-sufi Pantheistik terdahulu (seperti Al Hallaj, Abu Yasid al-Bistami dan
sebagainya), asketik-asketik Muslim, Theologi-teologi
Skolastik (Asy’ari dan Mu’tazilah), Karmatian dan Ismailliyah/ Syi’ah (terutama
Ikhwanush-Shafa), Aristotelian dan Neo-Platonik Persia, terutama Ibnu
Sina, serta Isyraqi ( Afifi, 1989:256-257).
Unsur Helenistik yang mempengaruhinya
telah dimodifikasi oleh pemikir Kristen dan Yahudi. Rupanya ada kemiripan
logosnya dengan Kristen. Di dalam Kristen, Kristus menempati posisi yang agak
sama dengan realitas Muhammad. Pendapat Ibnu Araby yang menganggap Muhammad
sebagai kutub yang merupakan prinsip rasional yang berdiam di dalam semua nabi
dan santo (orang suci), mempunyai beberapa kesamaan dengan pandangan Macarius
(mengikuti Methodius) tentang “kesatuan Logos (Kristus)” dengan
jiwa-jiwa saleh. Dalam tiap jiwa Kristus lahir. Ibnu Araby menolak
mentah-mentah semua pandangan tentang fusi atau inkarnasi, karena inkarnasi
merupakan basis bagi doktrin Kristen. Realitas Muhammad adalah Tuhan itu
sendiri yang dipandang dari aspek tertentu, bukan orang kedua di dalam
ketuhanan. Selanjutnya Bapak, dalam doktrin
Kristen adalah tidak begitu terpisah dari Dunia Fenomena sebagaimana Yang
Tunggal pantheistiknya Ibnu Araby. Ia masih digambarkan sebagai Cinta Kasih,
Cahaya dan Ruh, sedangkan Yang Esa-nya Ibnu Araby (Esensi) adalah Wujud
transenden yang tidak dapat didekati dan tidak beratribut yang berbuat dan
diketahui hanya melalui penengah yang ia namakan Realitas Muhammad (Afifi,
1989: 124-126).
Ibnu Araby juga mengutarakan adanya teori Qutub, yaitu aspek mistis dari Logos Ibnu Araby yang
merupakan pengaruh Ismailiyah. Ide tentang qutub itu sama tuanya dengan sufisme. Para sufi terdahulu percaya terhadap sumber
umum dari inspirasi dan wahyu dan mengidentifikasikan sumber ini dengan
Muhammad dan pewaris-pewarisnya. Pada Ibnu Arabylah Muhammad (Cahaya atau Ruh
atau Realitas Muhammad) dipandang begitu mantap sebagai yang identik dengan
prinsip universal dari animasi, penciptaan dan inspirasi, atau bahkan dengan
Tuhan sendiri. Qutub Ibnu Araby bukanlah Nabi atau wali melainkan suatu prinsip kosmis. Imam yang maksum (tak pernah salah) di dalam Syi’ahIsmailliyah dan Karmathia adalah sesuatu yang paling
dekat dengan dengan prinsip ini (Afifi, 1989: 126).
Doktrin Ibnu Araby tentang Manusia
Sempurna berbasis dari pemikiran Al Hallaj tentang lahut dannasut. Pernyataan Challaj tentang Tuhan ini sama pemikirannya
dengan pernyataan St. Paul: “Saya hidup, tetapi tidak hidup, melainkan
Kristuslah yang hidup di dalam saya“. Pada al-Hallaj, “Kristus” itu diganti dengan Tuhan (al-Chaq). Menurut Stoa, Manusia itu sendirilah yang membuat logos turun kepadanya
dengan cara sedemikian rupa sehingga personalitasnya bisa dipandang sebagai
bagian aktual dari logos itu. Baik Platonis maupun Stoa mengajarkan bahwa di
dalam jiwa manusia terdapat unsur kudus, suatu pengertian yang nampaknya telah
dikembangkan sepanjang garis-garis berbeda oleh kaum mistik dan filosuf Kristen
dan Muslim seperti St. Paul di atas (Afifi, 1989: 128).
Kesantoan (wilayah) merupakan basis bagi semua pangkat spiritual. Asal mula wilayah merupakan
suatu atribut Tuhan (Tuhan sendiri menamakan Diri-Nya dengan al-Waali), istilah itu hanya berlaku bagi orang-orang yang
telah menyadari kesatuan esensi mereka dengan Tuhan. Istilah wilayah lebih umum
dari pada nubuwwah (kenabian) atau risalah (kerasulan), karena “pengetahuan” yang dipunyainya
identik dengan pengetahuan Tuhan dan pengetahuan Ruh Muhammad, sedangkan
pengetahuan kenabian dan kerasulan adalah terbatas ( Afifi, 1989 : 134) .
Secara khusus Ibnu Araby menjelaskan Nur Muhammad ini di
dalam kitabnya Syajaratul-Kaun. Buku ini memaparkan doktrin Ibnu Araby tentang pribadi
Nabi Muhammad saw. Di situ diulas keunikan Rasulullah Muhammad, saw dalam
hubungannya dengan Allah, manusia dan alam secara keseluruhan yang disimbolkan
dengan “Pohon” yang muncul dari sebutir benih Kun.
Allah memeras benih pohon kun sehingga
menjadi sari. Lalu ditambah sinar hidayah sehingga muncul jauharnya kemdian
ditenggelamkan ke dalam lautan ar-Rahmah sampai keberkahannya merata. Dari
proses ini Allah menciptakan Nur Nabi Muhammad saw. Lalu dihiasi dengan sinar
arwah sehingga bersinar terang dan mulia. Dijadikannya Nur Muhammad sebagai
asal muasal segala cahaya. Dialah orang yang pertama kali tercatat dalam
kitab-Nya, orang yang terakhir muncul, pemimpin di hari kebangkitan, pembawa
kabar gembira, menemui para manusia dengan senang hati.
Pemikiran Ibnu Araby ini selanjutnya dikembangkan
secara lebih jelas oleh Abdul Karim Al-Jilly (1365-1417 M)[3]. Al-Jilli menulis buku yang
berjudul Al-Insan Al-Kamil fi Ma’rifatil-Awachir wal-Awa’il (Manusia
Sempurna dalam Pengetahuan dari Hal yang Terakhir dan yang Pertama), yang biasa
disingkat dengan Insanul-Kamil.
Tentang ajaran Nur Muhammad, Al-Jilli menyatakan bahwa nur itulah
sumber dari segala yang berwujud. Tanpa Nur
Muhammad maka tidak akan ada alam ini, karena hakikat
Muhammadiyah yang disebut dalam istilah falsafah dengan logos pada dasarnya
merupakan arketipe kosmos, termasuk di dalamnya arketipe dari Bani Adam
(Nasr:1968: 347). Penjelasan al-Jilli tentang hakikat Muhammad lebih tegas, ringkas dan sistematis. Menurut al-Jilli, nur Muhammad mempunyai
banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan falaq, bila dikaitkan
dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuatan makhluk yang melebihinya, semua tunduk
mengitarinya, karena ia merupakan kutub dari segenap falaq. Ia disebut al-Chaqul-Makhluq bih (al-Haq sebagai alat
pencipta), karena darinya tercipta segenap makhluk. Ia disebut Amr-Allah, karena hanya
Allah yang lebih tahu tentang hakikatnya secara pasti. Ia juga disebut al-qalamul - a’la (pena yang tertinggi), dan al-‘Aqlul-Awwal (akal pertama),
karena ia merupakan wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan sederetan
nama lainnya, dan akhirnya al-Jilli juga mengatakan bahwa Nur Muhammad pulalah yang mengaktual menjadi sosok ”al-Insanul-Kamil”. (Nasr, 1968: 347)
Menurut Nicholson (via Hadiwijono, tt: 1-22),
dalam pandangan al-Jilli, Allah adalah Zat yang Mutlak atau Pikiran yang Murni.
Sebagai Zat Yang Esa, yang bebas dari segala kualitas dan hubungan. Zat Mutlak
itu digambarkan sebagai kabut (al-a’ma)
yang aspek lahirnya disebut Achadiyah (keesaan
abstrak). Pada keadaan ini Zat Mutlak sadar akan diri-Nya sendiri sebagai
kesatuan. Ahadiyah adalah pendekatan pertama dari Zat Mutlak menuju
penjelmaan. Ia juga dipandang sebagai dua aspek yaituhuwiyyah (ke-Ia-an)
yang menandai kesatuan yang batin di mana Yang Mutlak sadar akan dirinya, dananiyyah (ke-Aku-an)
yang merupakan pengungkapan lahiriyah dari huwiyah.
Penjelmaan berikutnya disebut wachidiyyah (kesatuan yang relatif) yaitu kesatuan di dalam
kejamakan. Di sini Zat Mutlak menyatakan Diri-Nya sebagai satu dengan diri-Nya
sendiri. Selanjutnya disusul penjelmaan Rachmaniyyah, di mana Allah berada di dalam segala sesuatu
yang diadakan. Sebagai penjelmaan terakhir adalah Rububiyyah atau Ketuhanan, yang meneguhkan adanya hubungan antara
Allah dan makhluknya. Menurut Jilly, alam semesta ini adalah aspek lahiriah
dari Zat. Sedangkan aspek batinnya adalah Allah.
Manusia adalah Zat yang Mutlak yang sudah
menjadi daging. la adalah dunia kecil (mikrokosmos) di mana segala sifat Yang
Mutlak dipersatukan. Manusia Sempurna adalah manusia, di mana Yang Mutlak
menjadi sadar akan diri-Nya dalam segala aspeknya. Ia merupakan aliran terakhir
dari penciptaan. Ia adalah alat Allah untuk melihat Diri-Nya sendiri. Ia adalah
tembusan (nuskha) Allah. Secara potensial segala manusia adalah
manusia sempurna, tetapi dalam kenyataannya hanya ada beberapa saja manusia
sempurna itu. Yaitu para nabi dan wali, sedangkan Nabi Muhammad adalah
puncaknya. Hal itu disebabkan Nabi Muhammadlah Manusia
Sempurna (insan
kamil) yang diciptakan pertama kali oleh Allah
sebagai model pertama dari ciptaan. Konsep Manusia Sempurna itu adalah sama
dengan konsep Nur Muhammad (Nasution, 1974:89). Chaqiqah muchammadiyah yang muncul dalam prakeabadian itu diciptakan sebagai yaquta baidha’ (chrysolite putih). Ketika Allah melihatnya, buyarlah ia menjadi
gelombang-gelombang dan zat-zat cair lainnya, yang dari situ muncul dunia
penciptaan (Schimmel, 1991:178).
Al-Jilli
menyatakan bahwa nur itulah sumber dari segala maujud. TanpaNur
Muhammad maka tidak akan ada alam ini, karena hakikatMuhammadiyah yang
disebut dalam istilah falsafah dengan logos pada dasarnya merupakan arketipe
kosmos, termasuk di dalamnya arketipe dari Bani Adam.
Wacana pemikiran Nur Muhammad itu akhirnya
masuk ke dalam alam pemikiran Melayu. Timbulnya gagasan Nur Muhammad di dalam kesusastraan
Melayu ini tak bisa dilepaskan dengan masuknya Agama Islam ke Nusantara
(Melayu). Seminar masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia di Aceh pada
tanggal 10-16 Juli 1978 menegaskan hasil Seminar Sejarah Islam di Medan tahun
1963 bahwa Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I Hijriah yang langsung
dibawa dari tanah Arab, dan daerah yang pertama kali menerima adalah Aceh (Hasymy:
1989: bandingan Daudy,1983: 24; bandingkan juga mis. Arnold,1985:317).
Banyak sarjana yang mengkaji
sejarah perkembangan Islam di Indonesia berpendapat bahwa sufi memainkan peran
utama dalam Islamisasi di kepulauan Indonesia( Huda, 2007: 251). Bahkan, Victor
Tanja menulis, bahwa Islam yang pertama kali berkembang di kepulauan Indonesia
adalah sufisme (Tanja, 1982:21). Anthony H. John juga berpendapat bahwa sufisme,
secara langsung terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Dari abad
XIII-XVIII, menurut John, aktivitas para pendakwah sufi bertindak sebagai motor
dalam penyebaran Islam di Indoesia. Hal ini sesuai dengan pengaruh dominan
tarekat sufi di dunia Islam setelah kejatuhan Baghdad pada 1258 (Zulkifli, 2002:7)
Pentingnya peran sufi dalam Islamisasi
Indonesia didukung oleh fakta kemiripan antara ajaran sufisme dengan kebudayaan
Indonesia pra-Islam. Salah satu alasan utama di balik proses konversi ke dalam
Islam adalah kemampuan para guru sufi menghadirkan Islam dalam bentuk yang
menarik terutama dengan menekankan kontinuitas daripada perubahan dalam
kepercayaan dan praktik tradisi kegamaan lokal. Karenanya model Islam yang
tersebar di kawasan ini selama periode awal Islam di Indonesia adalah model
sufisme-sinkretis yang dalam beberapa hal tidak sesuai dengan ajaran syariah (Azra, 2002:210).
Menurut Alwi Shihab, tasawuf
adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara.
Meski setelah itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat,
apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian. Perbedaan yang
sama terjadi pula mengenai tasawuf falsafi yang diasumsikan sebagai sumber
inspirasi bagi penentuan metode dakwah yang dianut dalam penyebaran Islam
tersebut (Shihab, 2001: 36). Sufisme atau tarekat dalam sejarah perkembangan
Islam di Indonesia memiliki arti penting. “Islam Pertama” yang diperkenalkan di
Jawa, sebagaimana tercatat dalam babad, adalah Islam dalam corak sufi. Islam
dalam corak demikian itulah yang paling mampu memikat lapisan bawah, menengah
dan bahkan bangsawan (Mufid, 1992:29).
Kerajaan Islam yang pertama kali berdiri adalah Perlak di Aceh pada tahun 225 H (abad ke-9 M). Agama Islam yang masuk
ke Indonesia pada awal-awal itu masih asli, karena langsung dari Arab. Snouck Horgronje mengatakan bahwa
watak Islam pada zaman Nabi adalah seperti anak muda yang penuh dengan vitalitas
dan kemauan dan hanya dibekali oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dalam suatu
lingkungan yang terbatas. Pada zaman Khalifah, watak Islam ibarat orang dewasa
malahan sudah orang tua (Abdul Gani dalam Hasymy ed. , 1989:112). Maka boleh
jadi yang masuk adalah pengaruh yang aneh maka biasanya akan menjadi tonggak
yang akan dikenang orang.
Akibat perkenalannya dengan pemikiran-pemikiran
Yunani, sehubungan dengan semakin besar dan jayanya Islam pada abad ketiga
Hijriyah dan kemudian diadakan penerjemah besar-besaran terhadap buku-buku
hasil pemikiran dan pengetahuan Yunani yang dikenal sudah tinggi khususnya
pemikiran filsafat, maka mulailah ajaran Islam kemasukan faham filsafat. Di
samping itu semakin meluasnya Islam ke beberapa kerajaan yang besar dan sudah
maju ilmu pengetahuan serta kebudayaanya semacam Persia, maka Islam sudah
berakulturasi dengan budaya setempat sehingga lahir pemikiran tempatan yang
‘disesuaikan’ dengan Islam.
Aceh adalah yang pertama mula menerima Islam karena memang
sejak abad ke 1-6 M Aceh telah memainkan peranan penting dalam perdagangan
maritim internasional (Daudy,1983:90). Setelah agama Islam masuk di pulau
Sumatra, peranan Aceh dalam perdagangan semakin menonjol , terutama setelah
lahirnya kerajaan Pasai pada abad ke-13 M (Daudy : 10-11). Pada abad ke-16 M, kerajaan Aceh Darussalam
muncul sebagai suatu negara yang kuat dan berkedaulatan di bawah kekuasaan
Sultan Ali Mughayat Syah (Daudy, 1983:16). Kerajaan Aceh mencapai puncak
keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (wafat 1636 M). Peranan ahli sufi semakin
menonjol dalam penyebaran agama Islam di kawasan Asia Tenggara setelah Baghdad
jatuh ke tangan orang Mongol pada tahun 1258 M. Mereka bukan saja terdiri dari
orang-orang Arab tetapi juga orang-orang Persi dan India (Daudy, 1983 :26) yang kedatangan
mereka itu disambut dengan sangat baik oleh berbagai kerajaan.
Sejak jaman Sultan Malik al-Zahir (wafat 1326 M) Pasai
telah menjadi pusat studi dan dakwah Islam. Di istana sering berkumpul para ulama besar Persia,
India, Arab, dll. untuk berdiskusi masalah-masalah agama antara lain masalah
esoterik, pemikiran-pemikiran filsafat juga mistik. Selain itu juga menjadi
pusat pengiriman mubalig ke berbagai tempat seperti di Jawa, Malaka, Patani,
dll ( Daudy, 1983:27-29). Hubungan dengan India sangat erat sehingga istilah
agama seperti gelar Makhdum yang dipergunakandi India untuk guru-guru dan ulama juga digunakan di Pasai.
Sifat kehidupan agama dalam kerajaan Pasai pada abad
ke-14 -15 sangat didominasi oleh ajaran mistik. Diduga ajaran tarikat sufi juga telah berkembang dalam
jaman itu. Itulah yang merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya
kehidupan dan pemikiran keagamaan dalam kerajaan Aceh Darussalam yang lahir
kemudian sekitar abad ke-16 (Daudy, 1983: 30). Aceh kedatangan sufi-sufi dari
berbagai negara yang secara langsung menciptakan iklim kehidupan mistik dan
melahirkan pemikiran terhadap masalah-masalah keagamaan,juga buku-buku tasawuf
yang penting karya Abdul Karim al-Jilli (Insanul-Kalim fil-Ma’rifatil-awakhir wal-awa’il), Ibnu Arabi (Fusushul-Hikam,
Futuhatul-Makiyyah), Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri (at-Tuhfatul-Mursalah ila Ruhin- Nabi). Keempat kitab itu sangat memainkan peranan pentingnya dalam perkembangan
pemikiran agama terutama tentang filsafat mistik wachdatul wujud/ pantheisme yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang dikenal
dengan ajaran wujudiyyah dan teori martabat
tujuh. Akhirnya ajaran mistik Islam ini sangat mendominansi
Aceh.
Orientasi kehidupan keagamaan yang lebih berciri
kepada ajaran mistik telah memberikan peluang luas bagi ahli-ahli sufi. Mereka dijadikan menjadi
penasehat dan mufti, walaupun ia sangat menyimpang dari ajaran resmi yang diakui dan dihayati
kalangan istana dan umum. Contohnya adalah Syamsuddin as-‘Sumatrani. Dia adalah
seorang tokoh yang tasawuf wujudiyyah yang telah memperoleh kedudukan tinggi sebagai orang kedua dalam kerajaan
Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Selain berkedudukan sebagai mufti dengan
gelar Syaichul-Islam, dia juga sering dipercaya Sultan
dalam urusan-urusan kenegaraan. Dengan kedudukannya, menjadikan nya sebagai
tokoh mistik yang dihormati dan disegani. Contoh lain misalnya Nuruddin Arraniry yang datang ke Aceh sebelum 1637 M
dan yang untuk kedua kalinya (1637 M) diberi kesempatan oleh Sultan Iskandar
Tsani sebagai mufti. Dialah yang menyanggah ajaran wujudiyyah-nya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, walaupun sebetulnya dia sendiri adalah
pengikut ajaran wahdatul wujud yang lebih moderat.
Pengaruh tasawuf di dalam kehidupan kerajaan Aceh semakin jaya terutama semasa
berkuasanya Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah (1606/1607-1636). Pada masa
itu banyak ulama-ulama intelek yang berdomosili di Aceh. Pertama, secara
geografis, kerajaan Aceh sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan di Asia
Tenggara. Kedua, sultan Aceh yang bernama Iskandar Muda Mahkota Alam Syah sangat mencintai
Islam, alim ulama,dan ilmu pengetahuan, yang semua itu didukung oleh rakyatnya.
Sementara itu pada masa dahulu orang Islam memang termasuk orang yang ahli
dalam berdagang. Namun, bagi mereka, berdagang bukanlah menjadi tujuan
pokok, tetapi hanya sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam.
Pada saat itu sebagaimana dikatakan di depan,
ulama-ulama yang menganut faham mistik sangat mendapat tempat yang paling
utama. Dari Makkah telah datang Al Alim Allamah Syech Abdul Khair dan Al-Alim
Allamah Syech Muhammad Al-Yamin pada sekitar tahun 990H/1582 M
(Zainuddin,tt:252). Keduanya adalah tokoh sufi yang sealiran dengan ulama
Hidustan seperti Syech Syaifur-Rijal. Faham kedua tokoh dari Mekkah tadi
disokong olah Syech Hamzah Fansuri dan muridnya Syech Syamsuddin As-Sumatrani.
Selain itu Syech Fadhlullah al-Burhanpuri yang menulis kitab memperkuat sokongannya
terhadap dua Syech dari Arab tadi. Kitab Tuchfatul-Mursala tersebut menjadi
pegangan kuat kaum sufiyang menganut ajaran martabat tujuh yang kemudian
disimpulkan di dalam ajaran wachdatul
wujud.
Alam pikiran sufi yang mempunyai pengaruh luas dan
bercorak pantheistik terutama jelas sekali di kalangan ahli-ahli fikir Sumatra Utara semenjak
abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 Masehi. Ada dua orang di antara tokoh-tokoh
sufi itu yang sangat menarik untuk dibicarakan sehubungan dengan aliran pantheistik
ini yaitu Syech Hamzah Fanshuri dan Syech Syamsuddin Sumatrani. Mereka berdua
sangat terpengaruh oleh alam fikiran Ibnu Araby yang terkenal dengan ajaran wachdatul-wujudnya yang oleh penentangnya (misalnya Syech Nuruddin ar-Raniry) disebut wujudiyah. Ajaran lain yang terkenal dari mereka yang juga mempengaruhi pemikiran
tasawuf di Sumatera ini adalah ajaran tentang al-chaqiqatul muchammadiyah/ nur muhammad. Ajaran ini telihat jelas di dalam Hikayat Nur Muhammad.
Hikayat Nur Muhammad adalah bentuk lain dari pengungkapan ajaran Nur Muhammad yang pertama-tama dimunculkan
oleh Al-Hallaj. Di dalam hikayat ini juga terasa adanya unsur Syiah dengan
diletakkan Ali sebagai kepala burung perwujudan Nur Muhammad. Cerita seperti ini juga tidak
ditemukan di dalam riwayat-riwayat Nabi, melainkan memang merupakan cerita yang
berkembang dalam konteks para sufi. Di kalangan para sufi konsep Nur Muhammad telah menjadi konsep sentral
hampir pada semua aliran atau tarekat tasawuf.
Ketertarikan terhadap sufisme
di Kepulauan Melayu-Indonesia tidak terbatas pada kalangan ulama dan awam
Muslim. Para penguasa Melayu di wilayah ini juga tertarik pada konsep sufistik
Islam terutama tentang al-insan al-kamil (manusia sempurna). Mereka
sering menganggap diri mereka sebagai manusia sempurna dengan menggunakan
istilah-istilah sufistik yang terkenal “wali Allah” atau “quthub”.
Ide Nur Muhammad merupakan sebuah paham di dalam tasawuf, falsafi, yang menganggap bahwa
dunia seisinya itu bermula dari Nur Muhammad. Paham Nur Muhammad dalam tradisi sufi bermula dengan
adanya pemujaan dan penghargaan terhadap
manusia agung, Nabi Muhammad saw., yang namanya selalu
disandingkan bersama Allah dalam persaksian (syahadat) seorang muslim. Ide ini bermula dari Muqattil seorang teolog abad ke-6 M yang menafsirkan Al-Qur’an surat An-Nuur 24:35.
Ide Sahl At-Tustari tentang ayat cahaya di atas mempengaruhi para sufi
berikutnya seperti Al Hallajyang kemudian mengembangkannya di dalam faham Nur
Muhammad. Konsep al Hallaj tentang Nur Muhammad selanjutnya diteruskan oleh
Ibnu Araby dengan konsep wachdatul
wujud dan dilanjutkan oleh Abdul Karim Al Jilli dalam Insanul kamil. Selanjutnya konsep itu masuk ke nusantara. Timbulnya gagasan Nur Muhammad di dalam kesusastraan
Melayu ini tak bisa dilepaskan dengan masuknya Agama Islam ke Nusantara
(Melayu). Seminar masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia di Aceh pada
tanggal 10-16 Juli 1978 menegaskan hasil Seminar Sejarah Islam di Medan tahun
1963 bahwa Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I Hijriah yang langsung
dibawa dari tanah Arab, dan daerah yang pertama kali menerima adalah Aceh.
Peranan ahli sufi semakin menonjol dalam penyebaran agama Islam di kawasan Asia
Tenggara setelah Baghdad jatuh ke tangan orang Mongol pada tahun 1258 M. Mereka
bukan saja terdiri dari orang-orang Arab tetapi juga orang-orang Persi dan India yang kedatangan
mereka itu disambut dengan sangat baik oleh berbagai kerajaan.
Kedatangan sufi-sufi dari berbagai negara ke Aceh
secara langsung menciptakan iklim kehidupan mistik dan melahirkan pemikiran
terhadap masalah-masalah keagamaan, juga buku-buku tasawuf yang penting karya
Abdul Karim al-Jilli (Insanul-Kalim
fil-Ma’rifatil-awakhir wal-awa’il), Ibnu Arabi (Fusushul-Hikam, Futuhatul-Makiyyah), Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri (at-Tuhfatul-Mursalah
ila Ruhin- Nabi). Keempat kitab itu sangat memainkan peranan pentingnya dalam perkembangan
pemikiran agama terutama tentang filsafat mistik wachdatul wujud/ pantheisme yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang dikenal
dengan ajaran wujudiyyah dan teori martabat
tujuh. Akhirnya ajaran mistik Islam ini sangat mendominansi
Aceh.
Alam pikiran sufi yang mempunyai pengaruh luas dan
bercorak pantheistik terutama jelas sekali di kalangan ahli-ahli fikir Sumatra Utara semenjak
abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 Masehi. Ada dua orang di antara tokoh-tokoh
sufi itu yang sangat menarik untuk dibicarakan sehubungan dengan aliran
pantheistik ini yaitu Syech Hamzah Fanshuri dan Syech Syamsuddin Sumatrani.
Mereka berdua sangat terpengaruh oleh alam fikiran Ibnu Araby yang terkenal
dengan ajaran wachdatul-wujudnya yang oleh penentangnya (misalnya Syech Nuruddin ar-Raniry) disebut wujudiyah. Ajaran lain yang terkenal dari mereka yang juga mempengaruhi pemikiran tasawuf
di Sumatera ini adalah ajaran tentang al-chaqiqatul muchammadiyah/ nur muhammad. Ajaran ini telihat jelas di dalam Hikayat Nur Muhammad.
Abdullah, Hawasy. 1980. Perkembangan Ilmu
Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya : Al-Ikhlas.
Abdullah,
Imran T, 1999 Hikayat Meukuta Alam: Suntingan Naskah beserta analisis
Struktur dan Resepsi
Abdullah, Samudi. 1982. Analisa Kritis
Terhadap Tasawuf. Surabaya : PT. Bina Ilmu.
———. 1984. “Teori Penciptaan dalam Faham Wahdatul
Wujud Kaum Sufi dan Kebatinan” dalam Walisongo, (No.
10. Januari 1984) : hal 21-26.
Afifi, A.E.1989. Filsafat Mistis Ibnu
Araby terj. Shayrir Mardi dan Nandi Rahman. Jakarta : Gaya Media
Press.
Ahmad, Nur Fawzan. 1995. “Nur Muhammad, Sejarah Timbul
dan Pengaruhnya, Disertai Telaah Struktur atas Hikayat Nur Muhammad” Skripsi
S-1 pada Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Semarang
Ardani, Mohammad. 1989. “Sumbangan Islam
dalam Pembentukan Jatidiri Jawa: Studi Mengenai Suluk dan Serat-serta Piwulang”. Makalah Seminar Jatidiri Jawa Tengah di IAIN Walisongo Semarang, 3
April 1989.
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bnadung: Mizan
Atja. 1966. “Hikayat Nur Muhammad”. Skripsi Sarjana Fakultas
Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.
Bowering, Gerhard. 1979. “The Phrophet of Islam : The
First and The Last Prophet” dalam The Message of The Prophet. Hal :
48-60. Islamabad : Gobernment of Pakistan.
Bruinessen,
Martin van. 1995. KItab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Daudy, Ahmad. 1983. Allah dan Manusia dalam
Konsepsi Syekh Muhammad Nuruddin Ar-Raniry. Jakarta :
Rajawali.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya. Jakarta : Proyek Pengadaan Terjemahan Al Qur’an.
Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi.
1991. Pameran Surat Emas Raja-Raja dan Naskah-Naskah Nusantara.
Booklet. Yogyakarta : 15-21 September 1991.
Gaynor, Frank: 1953. Dictionary of Mysticism.
New York: Philosopical Library
Hadiwijono, Harun. tt. Kebatinan Islam Dalam
Abad Enam Belas.Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Hallaj,
Al Hussein Ibnu Manshur al- . 2002. .Kitab Thawasin. Kitab Kematian. Terjemahan
Aisha Abdurrahman. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Hamka. 1971. Perkembangan Kebatinan di
Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang.
———. 1984. Tasawuf, Perkembangan dan
Pemurniannya. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Hasymi, A. 1989 . Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandng: PT Al
Ma’arif.
Massignon, 1982. The Passion of Al
Hallaj, Mystic and Martir of Islam, vol 3, Translated by Herbert Masson) . New
Jersey: Princenton University Press.
Mufid,
Ahmad Syafii. 1992. “Aliran-Aliran Tarekat di Sekitar Muria Jawa Tengah”
dalam Jurnal Pesantren, 1/Vol IX, 1992. hlm. 29)
Muin, K.H.M. Taib Thahir Abdul. 1986. Ilmu Kalam. Jakarta : Wijaya
Nasr, Sayyid Husein. 1968. Science and
Civilization in Islam, Cambridge, Harvard University Press, 1968
———- 1985. Tasauf Dulu dan Sekarang terj.
Abdul Hadi W.M. Jakarta : Pustaka Firdaus.
——– 2003. Ensiklopedi Tematis, Spiritualitas
Islam, Manifestasi.Bandung: Mizan
Nasution, Harun. 1974. Filsafat Agama.
Jakarta : Bulan Bintang.
———.1987. “Syi’ah, Asal-Usul, Ajaran-ajaran dan
Perkembangannya” makalah dalam Diskusi Buku Agama, Trend Bacaan 1980-an
Cermin Meningkatnya Telaah Keagamaan di Hall D Arena Pekan Raya
Jakarta, tanggal 4 Agustus 1987, dalam rangka HUT ke-16 Majalah Tempo.
———. 1990. Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Natsir, Lies Marcoes, 2008. “Fitnah di Balik Fitnah”
Kolom. Gatra.Nomor 22.
Kamis, 10 April 2008
Nicholson, A. Studies in Islamic Mysticism, New
Delhi: Idarah Adabiyat Delhi.
Ronkel, Ph.S van. 1921. Catalogus
der Maleische Handschriften in Het Museum van Het Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen. Batavia.
Sutaarga, Amir. dkk. 1972. Katalogus Koleksi
Naskah Melayu Museum Pusat. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Kebudayaan Nasional, Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Schimmel, Annimarie , 1982. As Through a
Veil: Mystical Poetry in Islam. New York: Columbia University Press .
————- 1991. Dan Muhammad adalah Kekasih Allah,
Penghormatan Terhadap Nabi Saw dan Islam. terj. Rahmani Astuti &
Ilyas Hasan. Bandung : Mizan.
Sofwan,
Ridin. 1999. Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan. Semarang: CV
Aneka Ilmu bekerjasama dengan IAIN Walisongo Press.
Sudardi, Bani. 2003. Sastra Sufistik:
Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sasta Indonesia.Solo: PT Tiga Serangkai.
Syukur, Asywadi. 1982. Ilmu Tasawuf I. Surabaya
: Bina Ilmu.
al-Tusi,
Abu Nasr as-Saraj. 2002. Al-Luma’ , Lajnah Nasyr at-Turats
Ash-Shufi. diterjemahkan Wasmukan dan Samson Rahmat.Rujukan Lengkap Ilmu
Tasawuf. Surabaya: Risalah Gusti.
Zainuddin, H.M. tt. Tarikh Aceh dan Nusantara.
Medan : Pustaka Iskandar Muda.
Zoetmulder, P.J. 1990. Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: Gramedia
Zulkifli, 2002 Sufism in Java: The
Role of Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java.Leiden-Jakarta: INIS.
DAFTAR ISI
[1] Husain bin Mansur Al-Challaj meninggal tahun 922 M /
309 H di atas tiang gantungan pada masa Khalifah al-Muktadir Billah karena
pernyataan ana al-chaq yang menggemparkan. Al Hallaj sering disebut sebagai peletak dasar lahirnya
gagasan Nur Muhammad (beliau menyebutnya Al-chaqiqatul
Muhammadiyah (Abd Lilian, 1982:19 ; Syukur, 1982 : 53-54 ; Hamka, 1984 ; 122).
[2] Ibnu Araby mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhyiddin
Muhammad bin Araby At-Thai Al-Haitami Al-Andalusi. Dia lahir di Mercia Spanyol
tahun 598 H/ 116 M dan wafat di Damaskus tahun 638 H/ 1240 M. Semula dia
menuntut ilmu fikih, Hadis dan Teologi mazhab Zahiri di Sevilla kemudian
berguru kepada guru-guru yang banyak terpengaruh aliran filsafat Neo-Platonisme
yang sedang berkembang pesat di Andalus (Hamka, 1984:153-154).
[3] Nama lengkapnya Abd
al-Karim ibn Ibrahim ibn Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud
al-Jilli. Ia mendapatkan gelar kehormatan “Syaikh” yang biasa dipakai di awal
namanya. Selain itu ia juga mendapatkan gelar “Quthb al-Din” (kutub/poros
agama), suatu gelar tertinggi dalam hierarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan
al-Jilli karena ia berasal Jilan (Yaqut, 1986:201).