Eksistensi
tidak hanya terbatas pada materi dan realitas yang terindera. Dasar
argumentasinya berpijak pada perkara-perkara yang bersifat universal (al-Kulli), artinya; "Kita
bisa memahami suatu hakikat universal yang memiliki eksistensi eksternal dengan
menelaah hal-hal yang partikular, namun realitas eksternal ini bukanlah
realitas materi yang dapat diindera. Dan terkadang kita mendengar sebagian
orang yang memiliki pikiran keliru dan menyangka bahwa eksistensi adalah
indentik dengan wujud-wujud materi yang terindera. Dengan demikian, wujud-wujud
non-materi tidak memiliki eksistensi hakiki”
Apabila kita
menelaah secara serius dan sistematik benda-benda materi, maka kita akan
memahami kesalahan pikiran kita. Terkadang kita menggunakan kata yang sama
untuk sebagian benda, seperti penggunaan kata manusia yang mencakup
individu-individu yang berbeda (iwan, wawan, zakwan dll). Penggunaan kata ini
bukan semata-mata bersifat semantik, melainkan menceritakan suatu kenyataan
hakiki. Apakah hakikat manusia yang terdapat dalam pikiran yang memiliki wujud
eksternal atau bukan?.
Apabila makna universal ini (manusia) kita katakan sebagai maujud non-materi, maka perkataan ini mendukung dan membuktikan suatu hakikat dan wujud non-materi. Namun kalau kita mengasumsikan makna universal (manusia) ini sebagai wujud materi, maka wujud materi ini harus memiliki sifat-sifat tertentu seperti ukuran, tempat, dan kondisi yang dengan sifat-sifat ini ia dapat terindera. Setiap wujud yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu tidak dapat diterapkan pada individu-individu yang berbeda, karena sifat-sifat khusus itu hanya berlaku baginya, bukan untuk wujud yang lain.
Apabila makna universal ini (manusia) kita katakan sebagai maujud non-materi, maka perkataan ini mendukung dan membuktikan suatu hakikat dan wujud non-materi. Namun kalau kita mengasumsikan makna universal (manusia) ini sebagai wujud materi, maka wujud materi ini harus memiliki sifat-sifat tertentu seperti ukuran, tempat, dan kondisi yang dengan sifat-sifat ini ia dapat terindera. Setiap wujud yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu tidak dapat diterapkan pada individu-individu yang berbeda, karena sifat-sifat khusus itu hanya berlaku baginya, bukan untuk wujud yang lain.
Oleh karena
itu, makna manusia, dari sisi bahwa ia merupakan makna dan hakikat universal,
merupakan suatu hakikat yang non-materi. Suatu hakikat yang berada di alam
rasional kita. Bahkan semua hakikat universal merupakan maujud-maujud yang
bersifat non-materi”.
Bisa jadi
ketika kita mengkaji realitas alam ini, maka
secara hakiki kita bisa melihat bahwa yang sebenarnya disebut sebagai manusia
ialah hal-hal partikular yang bersifat materi,
yakni yang disebut manusia hanyalah individu-individu yang memilki tangan,
mata, dan telinga lahiriah ini. Namun, jika kita berpikir bahwa manusia hakiki
adalah manusia yang memiliki tangan dan kaki lahiriah. Bagaimana kemudian
manusia universal itu juga memiliki tangan dan anggota badan lain, namun tangan
dan anggota badan ini bersifat universal.
Manusia universal seperti ini ialah wujud non-materi yang memiliki kenyataan
eksternal dan hakiki.
Di samping itu, sebagian sifat-sifat
wujud materi seperti rasa malu, cinta, takut, marah, dan lain-lain, merupakan
sifat-sifat yang tidak dapat terindera dan bukan kategori imajinasi. Seluruh
sifat itu terdapat pada diri manusia. Oleh karena itu, ketika kita mampu
mengetahui sifat-sifat hakiki non-materi yang ada pada makhluk hidup, lantas
bagaimanakah dengan wujud yang sama sekali tidak terkait dengan wujud-wujud
materi? Dengan ungkapan lain, kita memahami keberadaan suatu hakikat yang
berhubungan dengan alam materi, namun tidak bisa dicerap dengan indera dan
khayal. Lantas bagaimana kita bisa mengetahui eksistensi hakikat-hakikat yang
sama sekali tidak terkait dengan alam materi dan tidak berada dalam ruang
lingkup materi.
Ibnu Sina menjelaskan bahwa semua
wujud yang memiliki eksistensi eksternal
dan hakiki, dari sisi hakikat zatnya sendiri adalah wujud non-materi,
bahkan suatu hakikat tunggal yang non-materi. Dengan demikian, suatu maujud
yang memberikan hakikat (yang non-materi itu) kepada seluruh wujud pastilah
merupakan realitas yang lebih bersifat non-materi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar