Wujud sempurna sama sekali tak bergantung pada sesuatu
yang lain sedangkan wujud tak sempurna bergantung pada yang lain. Poin ini
merupakan mukadimah untuk menegaskan bahwa Wâjibul Wujûd (kemestian ada)
tidak berupaya mencapai suatu tujuan tertentu dalam menciptakan. Yang Maha Kuat
dan Maha Kaya (tak membutuhkan sesuatu)?. Suatu wujud bisa dikatakan yang Maha
Kuat dan Maha Kaya, jika tidak bergantung pada selain dirinya dari tiga aspek:
zat, sifat hakiki, kesempurnaan hakiki yang terkait dengan zat. Oleh karena
itu, setiap wujud yang butuh dan bergantung kepada wujud lain dari dimensi zat,
sifat hakiki, dan kesempurnaan (seperti bentuk, ilmu, kodrat, keindahan) ialah
wujud yang tak sempurna, fakir, dan bukan “maha”.
Menurut Ibnu Sina, "Perlu diperhatikan bahwa setiap
pelaku yang apabila melakukan suatu perbuatan maka dia akan menjadi lebih baik
atau mengerjakan sesuatu baginya lebih baik daripada tidak melakukannya, jika
perbuatan itu tidak dilakukan dan dia tak menciptakan sesuatu itu maka secara
riil dia akan kehilangan kebaikan dan kesempurnaan, yakni dia tak memiliki
kesempurnaan tertentu dan untuk memperolehnya ia mesti berusaha. Wujud yang
membutuhkan upaya untuk mencapai suatu kesempurnaan tak bisa dikategorikan
sebagai Wâjibul Wujûd, karena wujud seperti itu adalah wujud yang tak
sempurna dan wujud yang tak sempurna bukanlah Wâjibul Wujûd. Dengan
demikian, hal-hal yang berkaitan dengan Wâjibul Wujûd dan
perbuatan-perbuatan-Nya sama sekali tidak bisa berhubungan dengan pencapian dan
perolehan segala bentuk kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan".
Apabila manusia beranggapan bahwa wujud yang tinggi
dan sempurna berusaha melakukan sesuatu di alam yang lebih rendah bagi
wujud-wujud yang tak sempurna demi mencapai suatu tujuan kebaikan dan
kesempurnaan bagi zat dan dirinya sendiri, maka anggapan itu keliru besar.
Bahwa perilaku seperti itu bagi wujud yang tinggi dan sempurna merupakan suatu
kebaikan, dan wujud sempurna itu akan tergolong sebagai pelaku yang baik,
karena perbuatan seperti itu adalah kebaikan dan keindahan. Dari sisi ini mesti
dipahami bahwa wujud sempurna melakukan sesuatu dikarenakan kelayakan
kesempurnaan, keindahan, dan keagungan zat-Nya.
Jika wujud tinggi itu disimbolkan sebagai “tuhan”,
sangatlah tidak rasional menganggap “tuhan” melakukan atau menciptakan sesuatu
dikarenakan untuk mencapai dan memperolah sesuatu dibaliknya. Terkadang hal itu
dilegitimasi dengan dalil perbuatan-perbuatan yang mesti “tuhan” lakukan karena
mengandung tujuan bagi zat-Nya. Hal ini tidaklah benar, karena kalau demikian
halnya maka Wâjibul Wujûd adalah wujud tak sempurna yang terus mengejar
kesempurnaan dan kebaikan, sementara Wâjibul Wujûd dari sisi zat dan
sifat-Nya sama sekali tidak mengandung kekurangan dan kelemahan. Maka dari itu,
kita tidak bisa memandang keberadaan arah dan tujuan bagi kesempurnaan zat-Nya
dalam segala perbuatan-Nya, bahkan Wâjibul Wujûd `adalah tujuan dan arah
bagi segala wujud alam. Dalam konteks linguistic Dia bukanlah “tuhan” tapi
Tuhan
Perbuatan Tuhan, adalah suatu bentuk "pemberian (al-jaud)"
.Dalam pemberitaan (dalil), Tuhan sama sekali tidak mengandung satu maksud dan
tujuan, karena Dia tidak dikatakan sebagai Maha Pemberi (Jawâd), bahkan
disebut sebagai "Pencari Untung" jika demikian.
Sebagian teolog beranggapan bahwa Wâjibul Wujûd
sebagai Pelaku Sempurna yang walaupun tak membutuhkan segala sesuatu, namun
perbuatan-perbuatan yang dilakukan-Nya disebabkan untuk kepentingan dan manfaat
makhluk-makhluk-Nya, yakni tujuan-Nya adalah memberikan manfaat kepada yang
lain, bukan Tuhan yang mengambil manfaat dan keuntungan dari perbuatan-Nya
sendiri.
Untuk anggapan itu, Ibnu Sina menjawab "Memberikan manfaat
kepada yang lain, jika dipandang sebagai tujuan bagi Wâjibul Wujûd maka
tetap sebagai pertanda akan kelemahan dan kekurangan-Nya. Oleh karena itu,
mustahil Tuhan sebagai wujud maha sempurna memiliki tujuan. Wujud yang tinggi
dan sempurna tak mungkin melakukan sesuatu disebabkan oleh wujud-wujud yang
rendah, sedemikian sehingga perbuatan-Nya itu bagi diri-Nya diletakkan sebagai
tujuan,
Dengan demikian, jika suatu perbuatan mengandung
tujuan maka pastilah mengandung kebaikan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu,
kalau Tuhan melakukan suatu perbuatan untuk manfaat makhluk dan Dia memiliki
itu sebagai suatu kebaikan bagi diri-Nya, maka dipandang Dia mendapatkan
keuntungan dari perbuatan-Nya. Dan bukan sebagai Pemberi Hakiki. Kesimpulannya,
Pemberi Hakiki tidak memiliki tujuan dalam segala perbuatan-Nya dan secara
mendasar wujud sempurna tidak menetapkan wujud rendah itu sebagai tujuan dan
arah bagi perbuatan-perbuatannya".
Lanjut di edisi (2)-nya?
*Dikutip dari berbagai sumber
Lanjut di edisi (2)-nya?
*Dikutip dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar