FALSAFAH RANTAU ORANG BUGIS
( Hasil dari Dialog Budaya dalam acara
BUDAYATA’ IKAMI Malang, 28 April 2012)
Oleh : Suryadin Laoddang
Bahwa orang bugis adalah perantau, mungkin
semua orang sudah tahu. Namun, jika pertanyaanya adalah “apakah yang membuat
orang Bugis doyan merantau?” dan “kenapa orang bugis banyak sukses di tanah
rantau?” penulis yakin tidak semua orang akan mampu mengurainya.
Sedikit berkelakar, Jusuf Kalla salah satu Begawan Saudagar Bugis pada
suatu kesempatan mengatakan etos kerja orang Bugis sangat tinggi karena orang
Bugis sangat kompleks kebutuhan hidupnya. Terutama saat ia sudah dewasa,
mulailah berpikir untuk menikah, ingat pernikahan di Bugis tidak murah. Setelah
menikah berpikir lagi untuk memiliki rumah dan kendaraan. Menikah, punya rumah
dan kendaraan tercapai, mereka ingin naik Haji. Naik Haji adalah simbol
religius dan simbol strata sosial ekonomi bagi orang Bugis. Setelah semua
itu tercapai, maka orang Bugis kembali lagi ke kebutuhan dasar tadi.
Ingin menikah lagi, mulai lagi punya rumah baru, kendaraan baru, naik
Haji lagi dan seterusnya. Kebutuhan yang tinggi inilah yang membuat orang Bugis
memiliki etos kerja keras.
(http://umum.kompasiana.com/2009/06/09/etos-kerja-orang-bugis/)
Tak hanya sukses di tanah rantau, orang Bugis di rantau juga mampu
beradaptasi dengan lingkungan dimana mereka berkediaman. Di beberapa daerah
kehadirannya banyak mewarnai dinamika dan eksistensi masyarakat setempat. Di
tanah Jawa mereka mampu hadir ditengah riuh rendah pergolakan di jaman kerajaan
Mataram Islam, sehingga muncullah kampung Bugisan dan Daengan. Di tanah para
Dewa, mereka berbaur dengan masyarakat dan budaya Bali hingga muncullah kampung
Serangan. Di daratan Sumatera, Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara, Papua bahkan
hingga di luar negeri keberadaan mereka juga tercatat dalam sejarah dan benak
masyarakat pribumi. Entah itu catatan bertinta emas dan atau bertinta kelabu.
Secara sepihak penulis berani menekankan bahwa catatan kelabunya tidaklah
sebanyak catatan emasnya. Kemampun mereka beradaptasi dengan masyarakat dan
budaya setempat adalah kuncinya.
Khasanah budaya Bugis sendiri banyak mengajarkan falsafah-falsafah hidup
sebagai kearifan lokal yang menjadi bekal bagi para perantau. Beberapa falsafah
tersebut diantaranya :
§
Palettui alemu riolo tejjokamu
Falsafah ini mengajarkan kepada calon perantau agar tidak “merantau buta”,
merantau tanpa arah dan tujuan yang jelas. Perantu Bugis sejati tidak merantau
dengan mengikuti arah kaki kemana hendak melangkah, tidak boleh
berprinsip tegi monro tallettung ajeku, konatu
leppang (dimana kakiku terantuk, disanalah saya
berhenti). Prinsip ini bermakna dan bersugesti negatif. Merantau harus disertai
dengan kepastian akan tempat yang dituju, apa yang akan dikerjakan di sana,
bahkan calon perantau harus meyakinkah ruh dan jiwanya sudah ada dan menyatu
dengan negeri rantau yang akan dituju.
Seorang perantau dari Sengkang misalnya ketika ingin merantau ke Semarang,
maka ia akan mencari informasi seperti apa kota Semarang itu? Setidaknya
seperti apa keramaian di sana dibandingkan dengan kota Sengkang sendiri. Ketika
ia mendapatkan informasi bahwa kota Semarang empat kali lebih ramai dibanding
kota Sengkang maka ia harus mampu membayangkan seperti apa kota Sengkang jika
keramaiannya berlipat empat kali. Bagaimana jika calon perantau berasal dari
pedalaman Wajo? yang belum pernah melihat kota Sengkang. Solusinya, pertama ia
harus mencari informasi seperti apa keramaian kota Sengkang, lalu membandingkan
dengan keramaian di kampungnya. Misalanya tingkat keramaian di kampungnya
adalah 3 kali lipat dibanding Sengkang maka itu berarti tingkat keramaian kota
Semarang adalah 12 kali lipat dibanding kampungnya.
§
Akkulu peppeko mulao, abbulu rompengku
mulesu
Hukum ekonomi yang meminimalkan modal dan memaksimalkan keuntungan adalah
inti yang diajarkan dalam falasafah ini. Seorang perantau, harus
berangkat dengan bekal sedikit dan kelak jika pulang harus membawa hasil
sebanyak-banyaknya.
Diluar ranah ekonomi, falsafah ini juga bermakna “lihatlah ketika engkau
berangkat merantau engkau bukan siapa-siapa, maka saat engkau kembali nanti
maka engkau harus menjadi orang terpandang”. Pemaknaan ini cocok untuk mereka
yang merantau dengan tujuan menimba ilmu atau mengejar jenjang karir, ataupun
mereka yang merantau karena mengejar cintanya.
§
Engkakotu manguju melle, aja’
mutabbangkakengngi pada pasana Peneki, teggenne balu namele soro.
Niat yang teguh, tekad yang bulat, semangat yang membara harus terus
terjaga, tak boleh luntur dalam perjalan ke negeri rantau bahkan saat berada di
negeri rantau itu sendiri. Seorang perantau harus berpegang pada niat, tekad
dan semangatnya itu. Jika tidak, dikhawatirkan ia akan mundur atau surut jauh
sebelum ia mencapai apa yang diimpikannya, mundur sebelum tiba di negeri
rantau, mundur saat perjalannya bahkan sebelum sampai sepenggalan jalan.
Itu adalah ajaran inti dari falsafah ini yang secara harfiah bisa dialihbahasakan
menjadi “adalah dirimu menuju hajat besar, janganlah jumawa karena bisa saja
engkau seperti pasar di Kampung Peneki, pasar dengan penjual dan barang
jualannya sangat sedikit sehingga tak sampai tengah hari pasarnya sudah bubar”
§
Pura babbara sompeku, pura tangkisi
gulikku, ulebbireng tellengnge natowalia
Falsafah ini menegaskan bahwa seseorang yang telah memilih merantau sebagai
jalan hidup, harus kukuh, kokoh dan kekeh dengan pilihannya. Tidak boleh ada
kata mundur apalagi batal tak jadi merantau, apapun resikonya. Ibarat seorang
pelaut yang telah memasang kemudinya (Pura tagkisi gulikku), sudah kukembangkan
layarku (pura babbara sompeku’), lebih baik saya tenggelam dan tercungkup
perahuku daripada harus surut (ulebbirengngi tellengnge natowalia).
Mundur, mengabaikan, mengingkari sebuah ikrar, janji, sumpah apalagi telah
diumumkan atau diketahui oleh orang banyak adalah aib (siri’) bagi orang Bugis.
Harga diri menjadi jatuh tak berharga, seumur hidup akan dicemooh, dihina
dinakan dan dihujat dengan kata paccocoreng manu’ mate (nyalimu ternyata
hanya serupa kedutan pada dubur ayam yang telah disembelih)
§
Kegasi sanree lopiE kotisu to taro
sengereng
Menggariskan sebuah perintah para perantau Bugis atas tidak jumawa, merasa
dirinya hebat dan bertindak sesuka hati dan sekehendak perut di negeri rantau.
Perantau Bugis harus mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan
barunya. Ia harus mau menerima dan toleransi dengan adat dan budaya setempat,
setelah ia mampu menyakinkan masyarakat setempat untuk menerimanya sebagai
bagian dari masyarakat itu sendiri.
Ibarat pepatah Melayu, dimana bumi di pijak disana langit dijunjung. Maka
falsafah Bugis ini bermakna, dimanapun perahuku kutambatkan, di sanalah saya
menanam budi baik.
Falsafah-falsafah diatas adalah contoh kecil dari beragamanya kearifan
lokal Bugis yang terkait dengan ikhwal rantau dan perantauan. Masih banyak
bentuk kearfikan lokal lainnya yang sekiranya tak cukup ruang untuk diulas pada
tulisan ini. Selain falsafah diatas, masih ada satu falsafah yang jamak ditemui
hingga hari. Berbunyi “angcaji funggawa laloku, muni funggawa farampokmo”
(jadilah engkau pemimpin, meski sekedar pimpinan perampok). Mau coba?
Jangan lupa kunjungi www.suryadinlaoddang.com
Referensi
1. Kesuma, Andi Ima., Migrasi dan Orang Bugis, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2004
2. Hamid, Abu., Passompe Pengembaraan Orang Bugis, Pustaka Refleksi,
Makassar, 2005
3. Ph.D.L. Tobing., Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amana Gappa, Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan dan Tenggara, Makassar, 1961.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar