Tundukkan akal pikiran
Pahamilah firmanNya dengan menundukkan
akal pikiran kepada akal qalbu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa
benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman
berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan
larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Akal pikiran adalah hasil kerja otak dan
memori. Otak adalah pemroses hasil atau keluaran dari panca indera.
Pemahaman dengan akal pikiran adalah pemahaman secara logika atau pemahaman
secara ilmiah. Pemahaman dengan akal pikiran semata yang dikatakan sebagai akal
pikiran mendahului firmanNya atau upaya pembenaran atau disebut juga dengan
berdalih.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
telah melarang kita memahami firmanNya bersandarkan kepada akal pikiran semata
atau pemahaman secara ilmiah semata namun pergunakanlah akal qalbu untuk
memahami firmanNya atau pemahaman secara hikmah. Pemahaman secara hikmah yang
dikatakan sebagai akal pikiran mengikuti firmanNya atau upaya mengikuti
kebenaran atau disebut juga dengan berdalil
Firman Allah ta’ala,
afalam yasiiruu fii al-ardhi fatakuuna
lahum quluubun ya’qiluuna bihaa aw aatsaanun yasma’uuna bihaa fa-innahaa laa
ta’maa al-abshaaru walaakin ta’maa alquluubu allatii fii alshshuduuri
“maka apakah mereka tidak berjalan di
muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada” (QS Al Hajj [22]:46 )
Akal qalbu adalah raja atau hakim atau
penguasa dari akal pikiran.
Akal qalbu yang dapat memilih atau
memahami mana yang haq dan mana yang bathil berdasarkan ilham atau petunjuk
atau karunia atau cahaya dari Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (pilihan haq atau bathil) (QS Al Balad [90]:10 )
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS As Syams [91]:8 )
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” ( QS An Nuur [24]:35 )
Seorang anak kecil yang belum baligh ,
mereka tidak dikatakan berakal walaupun mereka sudah dapat menggunakan
logika/rasio/otak nya
“Tidak dikenakan kewajiban atas tiga
golongan orang,yaitu anak-anak sampai baligh,orang gila sampai sadar,dan orang
tidur sampai terbangun” (HR.Bukhori,Abu Daud,At Tirmidzi,An Nasa’I,Ibnu Majah,Daruquthni,dan
Ahmad).
Begitu pula dengan orang gila mereka
dikatakan kehilangan akal walaupun mereka masih mempunyai otak.
Firman Allah ta’ala yang artinya, ‘Fu’aad
(hati) tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS An Najm
[53]:11).
Wabishah bin Ma’bad r.a. berkata: Saya
datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda, “Apakah
engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.”Beliau bersabda,
“Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang
menenteramkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa
dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberi fatwa yang
membenarkanmu.” hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan
Imam Ad-Darami dengan sanad hasan
Nawas bin Sam’an r.a. meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.,
beliau bersabda, “Kebaikan adalah akhlak yang baik,
sedangkan dosa adalah segala hal yang mengusik jiwamu dan engkau tidak suka
jika orang lain melihatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim).
Permasalahan manusia tidak lagi dapat
menggunakan hati mereka untuk memahami firmanNya adalah karena dosa. Keadaan
ini dinamakan buta mata hati.
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari
adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang
mempelajari Al-Qur`ân kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah
dikerjakannya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ (Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri) –Qs asy-Syûra/42 ayat 30- . Sungguh, lupa terhadap Al-Qur`ân
merupakan musibah yang paling besar * (. Fadha`ilul-Qur`ân, karya Ibnu Katsir,
hlm. 147)
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati
(ketiadaan cahaya), sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati
Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) untuk memahami
firmanNya. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Sebagaimana firman Allah ta’ala yang artinya, “Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat
(nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 :
72)
“Media komunikasi” dengan firmanNya
adalah ruhNya (ruhani)
Firman Allah ta’ala yang artinya “Kemudian Dia
menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebagian dari Ruh-Nya dan
Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit sekali
kamu bersyukur” (QS As Sajadah (32):9)
Ruhani (ruhNya) dinamakan akal, hati,
nafsu
Ruh ketika berperasaan seperti sedih,
gembira, senang, terhibur, marah atau sebagainya, maka ia dipanggil dengan
hati.
Ruh ketika ia berkehendak, berkemauan
atau merangsang sama ada sesuatu yang berkehendak itu positif atau negatif,
baik atau buruk, yang dibenarkan atau tidak, yang halal ataupun yang haram, di
waktu itu ia tidak dipanggil hati tetapi ia dipanggil nafsu.
Ruh ketika ia berfikir, mengkaji,
menilai, memahami, menimbang dan menyelidik, maka ia dipanggil akal.
Bahkan menurut Imam Sayyidina Ali r.a.
qalb mempunyai lima nama,
Pertama, disebut shadr, karena ia merupakan tempat terbitnya cahaya Islam
(nuuru-l-islaam). Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Adakah sama dengan mereka yang dibukakan shadrnya untuk Islam….” (QS Az Zumar [39]
:22)’.
Kedua, disebut qalb, karena ia merupakan tempat terbitnya keimanan. Hal ini
sebagaiamana firman-Nya, “Mereka itulah yang ditulis dalam hatinya
terdapat keimanan.” (QS Al Mujaadilah [58]:22)’
Ketiga disebut fu’aad karena ia merupakan tempat terbitnya ma’rifah. Hal
ini sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa ta’ala, ‘Fu’aad tidak pernah mendustai apa-apa yang dilihatnya’ (QS An Najm
[53]:11).
Keempat disebut lubb, karena ia merupakan tempat terbitnya tauhid. Hal ini
sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit
dan bumi dan pergantian malam dan siang adalah ayat-ayat bagi ulil albaab (sang
pemilik lubb)’ (QS Ali Imran [3]:190).
Kelima, disebut syagf, karena it merupakan tempat terbitnya rasa saling
menyayangi dan mencintai sesama makhluk. Hal ini sebagaimana firman-Nya, ’Sungguh ia (Zulaikha) telah dikuasai oleh rasa cinta yang membara….’ (QS Yusuf [12]:30)
Selain nama-nama yang telah disebutkan, hati pun disebut juga dengan
nama habbah al-quluub. Disebut demikian, karena ia merupakan tempat terbitnya
cahaya, sebagaimana yang diterangkan Allah dalam hadis qudsi-Nya, ’Tiada yang sanggup menampung-Ku, baik bumi maupun langit-Ku. Hanya hati
hamba-Ku yang Mukmin yang dapat menampung-Ku.’
Apa yang diuraikan oleh Imam Sayyidina Ali ra terkait dengan sebuah hadits
qudsi, Allah Azza wa Jalla berfirman: ’Telah Kucipta seorang
malaikat di dalam tubuh setiap anak keturunan Adam. Di dalam malaikat itu ada
shadr. Di dalam shadr itu ada qalb. Di dalam qalb itu ada fu`aad. Di dalam
fu`aad itu ada syagf. Di dalam syagf itu ada lubb. Di dalam lubb itu ada sirr.
Dan di dalam sirr itu ada Aku.”
Jadi yang dapat memahami firmanNya
adalah ulil albab yang sering diterjemahkan sebagai orang-orang yang berakal
atau pemilik lubb (qalbu) atau orang yang memahami firmanNya menggunakan akal
qalbu berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla atau disebut juga
pemahaman secara hikmah.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya “Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan
As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil
Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah
[2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Muslim yang dikaruniai hikmah adalah
muslim yang menundukkan akal pikiran mereka kepada akal qalbu.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka
dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh”
Semakin banyak mengenal Allah
(ma’rifatullah) melalui ayat-ayat-Nya qauliyah dan kauniyah, maka semakin dekat
hubungan dengan-Nya.
Ilmu harus dikawal hidayah. Tanpa
hidayah, seseorang yang berilmu menjadi sombong dan semakin jauh dari Allah
ta’ala. Sebaliknya seorang ilmuwan yang mendapat hidayah (karunia hikmah) maka
hubungannya dengan Allah ta’ala semakin dekat.
Tanda-tanda seorang muslim telah dekat
dengan Allah atau telah mentaati Allah dan RasulNya sehingga mendapatkan
maqom disisiNya minimal adalah mencapai muslim yang sholeh sehingga berkumpul
dengan 4 golongan muslim disisiNya yakni para Nabi (Rasulullah yang
utama), para Shiddiqin, para Syuhada dan muslim yang sholeh.
Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan barangsiapa yang
menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang
yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )
Semakin dekat kita kepada Allah sehingga menjadi kekasihNya (Wali Allah).
Maqom Shiddiqin atau kedekatan dengan Allah diuraikan dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/09/2011/09/28/maqom-wali-allah/
Kemampuan logika atau kemampuan
menggunakan akal pikiran adalah kelebihan yang dikaruniakan Allah ta’ala kepada
kaum Yahudi namun mereka tidak dikaruniakan kemampuan menggunakan akal kalbu
atau pemahaman secara hikmah karena mereka termasuk manusia yang tidak
dikehendaki Allah Azza wa Jalla
Hadits yang diriwayatkan Sufyan bin
Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari Abu
Dzar, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
tentang orang-orang yang dimurkai“, beliau bersabda, ‘Kaum Yahudi.’ Saya
bertanya tentang orang-orang yang sesat, beliau bersabda, “Kaum Nasrani.“
Kaum Yahudi atau yang dikenal sekarang
kaum Zionis Yahudi menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang pemahaman)
kepada kaum muslim untuk memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan akal pikiran
sendiri sehingga menimbulkan perselisihan di antara kaum muslim
Salah satu penghasutnya adalah perwira
Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah
Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat
Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan
dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf.
Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis
buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.
Kaum muslim yang terhasut meninggalkan
pemahaman atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang telah disepakati oleh
jumhur ulama sejak dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin atau imam ijtihad
kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Imam Mazhab yang empat bertalaqqi (mengaji) langsung dengan Salafush
Sholeh.
Imam Mazhab yang empat mengetahui dan mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui lisannya Salafush Sholeh.
Imam Mazhab yang empat melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh.
Imam Mazhab yang empat mengetahui dan mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui lisannya Salafush Sholeh.
Imam Mazhab yang empat melihat sendiri penerapan, perbuatan serta contoh nyata dari Salafush Sholeh.
Mereka yang terhasut merasa telah
mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun kenyataannya mereka tidak lebih dari
mengikuti pemahaman ulama-ulama yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush
Sholeh namun tidak bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh. Dari mana
ulama-ulama tersebut mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh kalau bukan
pemahaman ulama-ulama tersebut dengan akal pikiran mereka sendiri.
Marilah kita kembali mengikuti pemahaman
Salafush Sholeh melalui apa yang disampaikan oleh Imam Mazhab yang empat dan
mengikuti penjelasan-penjelasan yang disampaikan oleh para ulama-ulama
terdahulu yang mengikuti Imam Mazhab yang empat sambil kita merujuk darimana
mereka mengambilnya yakni Al Qur’an dan As Sunnah dengan menggunakan akal qalbu
(akal pikiran yang ditundukkan kepada akal qalbu) berdasarkan karunia hikmah
dari Allah Azza wa Jalla
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar