DZUNNUN
AL-MISHRY : MA’RIFAT
A. Pendahuluan
Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.
B. Dzunun Al-Mishry dan Konsep Ma’rifatnya
Dzunun Al-mishry adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat dalam ajaran tasawufnya. Nama lengkapnya Abu al-faid Sauban bin Ibrahim al-Mishry, Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi mesir pada tahun 180 H/796 M. Nama Dzunun diambil karena suatu ketika Dzunun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga, dan Dzunun dituduh mencurinya. Karena itu ia disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya , ia mengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang MAha Tahu”. Mendadak muncullah ribuan ekor ikan nun ke permukan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulur masing-masing. Ia lalu mengambil sebuah permatadan menyerahkannya kepada saudagar tadi. Sejak peristiwa aneh itu, ia digelari “Dzunun” artinya “yang empunya ikan nun”.
Walaupun sebelumnya paham ma’rifat sudah dikenal dikalangan sufi, namun dzununlah yang sebenarnya lebih menekankan paham ini dalam taasawuf. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui kecuali bahwa dunun banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah. Daerah yang pernah dikunjunginya antara lain Damaskus, Baghdad, Mekah, Madinah, Suriah, Libanon , dan antiochia. Di samping seorang sufi, ia ahli filsafat, kimia, dan tulisan hieroglif atau tulisan dan abjad mesir kuno.
Dzunun al-Mishry hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqih, ilmu hadist, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti mengajian Ahmad bin Hanbal, ia mengambil hadist dari malik, al-Laits dan lain-lainnya. Guru nya dalam bidang tasawauf adalah Syaqran al-‘Abd atau Israfail al-Maghribi. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.
Dzunun merupakan orang pertama di mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang pertama member definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.pendapat tersebut cukup beralasan mengingat al-Mishry hidup pada masaawal pertumbuhan ilmu tasawuf.
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi dalam bukunya at-Ta’aruf li Mazahib Ahl at-Tasawuf pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf, Dzunun telah sampai pada tingkat ma’rifat, yaitu tingkat tertinggi dalam tasawuf setelah melewatu taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakal ridha, dan cinta atau mahabbah. Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzunun ditanya tentang bagaiman ma’rifat itu diperoleh. Ia menjawa “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama ‘araftu rabbi” yang artinya: Aku mengetahui Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan mengetahui Tuhan. Kata Abu Qasim Abdul KArim al-Qusyairi, Dzunun mengakui bahwa ma’rifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahnya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifat tidak diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Karena ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.
Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Dzunun membagi ma’rifat kedalam tiga tingkatan, yakni
1) Tingkat awam, yaitu mengetahui Tuhan melalui ucapan syhadat
2) Tingkat ulama, yaitu mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal, dan
3) Tingkat sufi, yaitu mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Pengetahuan orang awam tentang Tuhan padad asarnya adalah pengetahuaan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika, sedangkan pengethuan ulama mementingkan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Tuhan disebut ilmu, bukan ma’rifat. Dengan demikian, pengetahuan dalam bentuk ma’rifat menurut Dzunun adalah pengetahuan tentang Tuhan di kalangan kaum sufi yang dapat melihat Tuhan dengan hati sanubarinya. Pengetahuan serupa ini dianugerahkan Tuhan kepada kaum sufi yang dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan. Dengan keikhlasan beribadah itulah Tuhan menyingkap tabir dari pandangan sufi untuk dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Dalam keadaan demikian, seorang sufi dapat melihat keindahan Tuhan yang abadi dan mengetahui keesaan-Nya.
Berikut ini beberapa pandangan Dzunun al-Mishry tentang hakikat ma’rifat:
1. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin , bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutaklimin, dan ahli balagha, tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak di bukakan untuk hamba-hambaNya yang lain.
2. Ma’rifat yang sebenarnya bahwa Allah SWT menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifat yang murni seperti matahari,tidak dapat dilihat kecuali dengan cahnya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah SWT sehungga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaannya, mereka merasa hamba, merka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat engan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Dzunun diatas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Selain ma’rifat, Dzunun jaga mengungkapkan pengalamannya mengenai khauf atau rasa takut akan murka Allah SWT. Menurutnya, apabila keyakinan seseorang benar, benar pulalah rasa takut atau khauf-nya. Dalam syairnya ia mengatakan “Al-khauf rakib al-‘amal wa al-raja’ syafi’ al-muhif’”, yang artinya takut itu penjaga amal sedangkan harap adalah penolong bencana.
Pengalamannya dalam mahabbah terlihat dari ucapannya sebagai berikut: “aku memanggil-Mu di hadapan orang lain dengan sebutan ‘wahai tuhanku atau Ya Illahi’, tetapi manakal aku sendirian aku memanggil-Mu dengan panggilan ‘wahai kekasihku atau Ya habibi’.” Baginya, Tuhan adalah zat yang harus dicintai, bukan ditakuti. Dzunun lebih takut berpisah dari Tuhan sang kekasihnya, daripada masuk neraka. Ketakutannya pada neraka sama kecilnya dengan setitik air dibuang ke dalam samudera. Ketika Dzunun ditanya ttentang mahabbah, ia menjawab, “Mahabbah adalah mencintai ssegala yang dicintai Tuhan dan membenci segala yang dibenci Tuhan, mengerjakan kebajikan secara utuh dan sempurna dan menjauhi segala yang membuat kita berpaling dari Tuhan, tidak takut kecaman orang, bersikap lembut kepada orang mukmin, sebaliknya keras dan tegas terhadap orang kafir, dan mengikuti jejak Rasulullah dalam segala hal”.
Setelah ma’rifat itu dicapai, tujuan dan pengaruhnya dapat diterapkan dalam kehidupan. Dzunu mengatakan bahwa ma’rifat mempunyai jangkauan atau tujuan moral, yakni nilai kemanusiaan seoptimalnya harus berhiaskan akhlak Allah SWT. Dalam hubungan ini,pergaulan orang arif bagaikan pergaulan Allah SWT. Menurut Dzunun ada tiga tanda orang arif, yaiut:
1) Cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya,
2) Tidak mengukuhi secara bathiniah ilmu yang bertentangan dengan hokum lahiriah, dan
3) Nikmat Allah SWT yang banyak tidak mengiringinya untuk melanggar batas-batas larangan Allah SWt.
Tanda-tanda tersebut pada hakikatnya mengacu kepada profil seorang sufi yang memiliki akhlak yang tinggi yakni akhlak illahiah.
Paham ma’rifat yang dikemukakan oleh Dzunun Al-Mishry itu diterima oleh al-Ghazali, sehingga mendapat pengakuan di kalangan Ahlusunah waljamaah karena al-Ghazali adalah salah satu figure yang sangat berpengaruh di kalangan mereka.dengan demikian, al-Ghazali lah yang membuat tasawuf menurut pola piker tersebut menjadi halal bagi kaum syari’at. Penerimaan al-Ghazali terhadap tasawuf pada umumnya dan khususnya ma’rifat dapat difahami dari pendapatnya. Menurut al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Bagi al-Ghazali, alat seorang sufi mendapatkan ma’rifat adalah kalbu, bukan panca indera dan akal. Pengetahuan yang diperoleh kalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf atau ma’rifat dan bukan falsafah.
A. Pendahuluan
Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat orang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.
B. Dzunun Al-Mishry dan Konsep Ma’rifatnya
Dzunun Al-mishry adalah sufi pertama yang banyak menonjolkan konsep ma’rifat dalam ajaran tasawufnya. Nama lengkapnya Abu al-faid Sauban bin Ibrahim al-Mishry, Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi mesir pada tahun 180 H/796 M. Nama Dzunun diambil karena suatu ketika Dzunun menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga, dan Dzunun dituduh mencurinya. Karena itu ia disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya , ia mengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru “Wahai Tuhan, Engkaulah Yang MAha Tahu”. Mendadak muncullah ribuan ekor ikan nun ke permukan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulur masing-masing. Ia lalu mengambil sebuah permatadan menyerahkannya kepada saudagar tadi. Sejak peristiwa aneh itu, ia digelari “Dzunun” artinya “yang empunya ikan nun”.
Walaupun sebelumnya paham ma’rifat sudah dikenal dikalangan sufi, namun dzununlah yang sebenarnya lebih menekankan paham ini dalam taasawuf. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui kecuali bahwa dunun banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah. Daerah yang pernah dikunjunginya antara lain Damaskus, Baghdad, Mekah, Madinah, Suriah, Libanon , dan antiochia. Di samping seorang sufi, ia ahli filsafat, kimia, dan tulisan hieroglif atau tulisan dan abjad mesir kuno.
Dzunun al-Mishry hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqih, ilmu hadist, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti mengajian Ahmad bin Hanbal, ia mengambil hadist dari malik, al-Laits dan lain-lainnya. Guru nya dalam bidang tasawauf adalah Syaqran al-‘Abd atau Israfail al-Maghribi. Ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang alim baik dalam ilmu syari’at maupun tasawuf.
Dzunun merupakan orang pertama di mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqamat para wali dan orang yang pertama member definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.pendapat tersebut cukup beralasan mengingat al-Mishry hidup pada masaawal pertumbuhan ilmu tasawuf.
Menurut Abu Bakar al-Kalabazi dalam bukunya at-Ta’aruf li Mazahib Ahl at-Tasawuf pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf, Dzunun telah sampai pada tingkat ma’rifat, yaitu tingkat tertinggi dalam tasawuf setelah melewatu taubat, zuhud, fakir, sabar, tawakal ridha, dan cinta atau mahabbah. Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari. Dalam buku itu disebutkan bahwa suatu hari Dzunun ditanya tentang bagaiman ma’rifat itu diperoleh. Ia menjawa “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama ‘araftu rabbi” yang artinya: Aku mengetahui Tuhan karena Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan mengetahui Tuhan. Kata Abu Qasim Abdul KArim al-Qusyairi, Dzunun mengakui bahwa ma’rifat yang diperolehnya bukan semata-mata hasil usahnya sebagai sufi, melainkan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifat tidak diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Karena ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.
Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."
Dzunun membagi ma’rifat kedalam tiga tingkatan, yakni
1) Tingkat awam, yaitu mengetahui Tuhan melalui ucapan syhadat
2) Tingkat ulama, yaitu mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal, dan
3) Tingkat sufi, yaitu mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Pengetahuan orang awam tentang Tuhan padad asarnya adalah pengetahuaan yang diterima dari ajaran agama tanpa memerlukan pembuktian melalui logika, sedangkan pengethuan ulama mementingkan logika. Baik pengetahuan orang awam maupun pengetahuan ulama tentang Tuhan disebut ilmu, bukan ma’rifat. Dengan demikian, pengetahuan dalam bentuk ma’rifat menurut Dzunun adalah pengetahuan tentang Tuhan di kalangan kaum sufi yang dapat melihat Tuhan dengan hati sanubarinya. Pengetahuan serupa ini dianugerahkan Tuhan kepada kaum sufi yang dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan. Dengan keikhlasan beribadah itulah Tuhan menyingkap tabir dari pandangan sufi untuk dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan. Dalam keadaan demikian, seorang sufi dapat melihat keindahan Tuhan yang abadi dan mengetahui keesaan-Nya.
Berikut ini beberapa pandangan Dzunun al-Mishry tentang hakikat ma’rifat:
1. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin , bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutaklimin, dan ahli balagha, tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak di bukakan untuk hamba-hambaNya yang lain.
2. Ma’rifat yang sebenarnya bahwa Allah SWT menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifat yang murni seperti matahari,tidak dapat dilihat kecuali dengan cahnya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah SWT sehungga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaannya, mereka merasa hamba, merka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat engan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Dzunun diatas menjelaskan bahwa ma’rifat kepada Allah SWT tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Selain ma’rifat, Dzunun jaga mengungkapkan pengalamannya mengenai khauf atau rasa takut akan murka Allah SWT. Menurutnya, apabila keyakinan seseorang benar, benar pulalah rasa takut atau khauf-nya. Dalam syairnya ia mengatakan “Al-khauf rakib al-‘amal wa al-raja’ syafi’ al-muhif’”, yang artinya takut itu penjaga amal sedangkan harap adalah penolong bencana.
Pengalamannya dalam mahabbah terlihat dari ucapannya sebagai berikut: “aku memanggil-Mu di hadapan orang lain dengan sebutan ‘wahai tuhanku atau Ya Illahi’, tetapi manakal aku sendirian aku memanggil-Mu dengan panggilan ‘wahai kekasihku atau Ya habibi’.” Baginya, Tuhan adalah zat yang harus dicintai, bukan ditakuti. Dzunun lebih takut berpisah dari Tuhan sang kekasihnya, daripada masuk neraka. Ketakutannya pada neraka sama kecilnya dengan setitik air dibuang ke dalam samudera. Ketika Dzunun ditanya ttentang mahabbah, ia menjawab, “Mahabbah adalah mencintai ssegala yang dicintai Tuhan dan membenci segala yang dibenci Tuhan, mengerjakan kebajikan secara utuh dan sempurna dan menjauhi segala yang membuat kita berpaling dari Tuhan, tidak takut kecaman orang, bersikap lembut kepada orang mukmin, sebaliknya keras dan tegas terhadap orang kafir, dan mengikuti jejak Rasulullah dalam segala hal”.
Setelah ma’rifat itu dicapai, tujuan dan pengaruhnya dapat diterapkan dalam kehidupan. Dzunu mengatakan bahwa ma’rifat mempunyai jangkauan atau tujuan moral, yakni nilai kemanusiaan seoptimalnya harus berhiaskan akhlak Allah SWT. Dalam hubungan ini,pergaulan orang arif bagaikan pergaulan Allah SWT. Menurut Dzunun ada tiga tanda orang arif, yaiut:
1) Cahaya ma’rifatnya tidak memadamkan cahaya kerendahan hatinya,
2) Tidak mengukuhi secara bathiniah ilmu yang bertentangan dengan hokum lahiriah, dan
3) Nikmat Allah SWT yang banyak tidak mengiringinya untuk melanggar batas-batas larangan Allah SWt.
Tanda-tanda tersebut pada hakikatnya mengacu kepada profil seorang sufi yang memiliki akhlak yang tinggi yakni akhlak illahiah.
Paham ma’rifat yang dikemukakan oleh Dzunun Al-Mishry itu diterima oleh al-Ghazali, sehingga mendapat pengakuan di kalangan Ahlusunah waljamaah karena al-Ghazali adalah salah satu figure yang sangat berpengaruh di kalangan mereka.dengan demikian, al-Ghazali lah yang membuat tasawuf menurut pola piker tersebut menjadi halal bagi kaum syari’at. Penerimaan al-Ghazali terhadap tasawuf pada umumnya dan khususnya ma’rifat dapat difahami dari pendapatnya. Menurut al-Ghazali, ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah SWT dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada. Bagi al-Ghazali, alat seorang sufi mendapatkan ma’rifat adalah kalbu, bukan panca indera dan akal. Pengetahuan yang diperoleh kalbu lebih benar daripada pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Jalan untuk memperoleh kebenaran adalah tasawuf atau ma’rifat dan bukan falsafah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar