Situs Wajo, Situs Yang Terlupakan
Wajo, Sulsel - Desa Tosora, Kecamatan Maja Ulang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, hanyalah sebuah desa kecil dengan penduduk sekitar 400 jiwa. Sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo. Desa ini pernah menjadi saksi bisu masa keemasan Kerajaan Wajo, sekitar abad ke-16 dan 17.
Selintas, barangkali tak terbayang, Desa Tosora pernah menjadi ibukota kerajaan yang konon bertahan hingga 45 keturunan tersebut. Berbagai peninggalan yang tersisa dari Kerajaan Wajodi Tosora ini pun telah diresmikan sebagai cagar budaya. Namun, saat ini kondisinya sungguh memprihatinkan.
Barangkali di luar masyarakat Bugis, nama Wajo tidaklah terlalu dikenal. Padahal, kisah kepahlawanan Raja Wajo seperti La Tanrilaik Tosengngeng yang diberi gelar Arung Matowa ke-23, sungguh patriotik. Arung Matowake - 23 inilah yang secara bulat memihak Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa, dan menolak Perjanjian Bungaya 1 November 1667 antara Raja Gowa yang dipimpin Sultan Hasanuddin, dengan VOC yang dibantu Kerajaan Bone dan Sopeng.
Menurut catatan sejarah yang ditulis Prof Dr. Zainal Abidin bagi Kerajaan Wajo, penolakan Perjanjian Bungaya bukan tanpa alasan. Kerajaan Wajo menganggap bersekutunya Bone yang dipimpin Arung Palakka dengan VOC Belanda, telah melanggar perjanjian bersama yang disebut Tellumpoccoe, yang mempersatukan Bone, Wajo dan Sopeng.
Selain itu Arung Matowa yang memerintah dari 1658 sampai 1670 juga merasa terancam dengan tingkah polah Raja Bone, Arung Palakka yang menganut tarikat ekstrim yang lambat laun akan menyerang Wajo.
Akhirnya, Kerajaan Wajo, di bawah kepemimpinan Arung Matowake-23 yang merupakan menantu Sultan Hasanuddin dari Gowa, berperang melawan 2 kerajaan, yakni Bone dan Sopeng, yang mendapat bantuan dari VOC. Terjadilah perang yang memakan waktu berbulan-bulan. Lambat laun, Kerajaan Wajo pun terdesak, digempur oleh kekuatan yang jauh lebih besar. Perlahan beberapa daerah bawahan Wajo berbalik memihak Raja Bone. Arung Matowapun gugur dalam pertempuran ini.
Sejak Wajo kalah bertempur dengan Bone. Itulah, rakyat Wajom engalami kesulitan ekonomi berkepanjangan. Kelaparan dan penderitaan terjadi di mana-mana. Tahun 1949 adalah tahun berakhirnya pemerintahan Kerajaan Wajo, seiring dengan beralihnya sistem kerajaan ke sistem republik. Andi Mangkona ke - 45 menjadi raja terakhir Kerajaan Wajo.
Kini, sisa-sisa Kerajaan Wajo bagai sebuah reruntuhan biasa yang tanpa makna. Hampir semua makam Raja Wajo, tidak memiliki tanda atau semacam tulisan Bugis kuno. hanya sebongkah batu besar sebagai tanda.
Tidak jauh dari makam Arung Matowake - 23, terdapat reruntuhan yang awalnya adalah sebuah mesjid. Dibangun tahun 1621, terbuat dari ribuan putih telur. Menandakan Agama Islam sudah masuk ke Wajo sejak awal abad ke 16. Mesjid yang kini terdapat di belakang kantor Desa Tosora, dengan luas 35 kali 30 meter persegi ini, kini hanya meninggalkan sisa-sisa batu, dimana ribuan putih telur dipakai sebagai perekat batu tersebut. Sementara bangunannya yang terbuat dari kayu sudah habis di makan zaman.
Walaupun sisa peninggalan Raja Wajo tidak semegah seperti peninggalan Sultan Hasanuddin di Gowa, atau Arung Palaka di Bone, raja-raja di Wajo yang bergelar Arung Matowa ini telah menorehkan sebuah kisah perlawanan terhadap kolonialisme di Sulawesi. Namun sungguh sayang Ssitus Wajo di Tosora tidak mendapat perhatian serius dari aparat setempat. Teronggok,tersia-sia.(Idh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar