IBN ARABI:
WAHDATUL WUJUD DAN TAJALI
A. Biografi Ibn Arabi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Ali ibn Ahmad Ibn Abdullahal-Tha’i alhatimi, ia lahir di Murcia, Spanyol tahun 560 H/1165 M, ber lahir di Murcia, Spanyol tahun 560 H/1165 M, berasal dari keluarga berada, ilmuan dan berpangkat. Pada usia 8 tahun ia bersama keluarganya pindah ke Sevilla. Setelah selesai studi di Sevilla, ia pindah ke Tunis dan disana ia masuk aliran sufi. Pada usia 30 tahun ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Ditahun 1202 M ia pergi ke Mekkah Dan akhirnya ia tinggal sampai wafat di Damaskus, Syam tahun 638 H/1240 M.
Ibn Arabi adalah tokoh besar tasawuf yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan pengaruh yang sangat besar di kalangan para sufi setelahnya, baik di Barat maupun di Timur. Selain sebagai sufi Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200 judul.
Kepada pemikir kontroversial asal Murcia, Andalusia ini telah disematkan label ‘sufi liberal’ dan ‘pluralis’. Kepadanya juga dinisbatkan doktrin wahdatul wujud yang telah menimbulkan polemik tak berkesudahan di kalangan ulama maupun ‘sufaha’ hingga hari ini. Peliknya, istilah ‘wahdatul wujud’ sendiri tidak ditemukan dalam karya-karya Ibnu Arabi. Menurut William Chittick, istilah ini kemungkinan besar pertama kali diperkenalkan oleh Shadruddin al-Qunawi (w. 637 H/1274 M), murid setia sekaligus anak tiri Ibnu Arabi.
Kendati istilah wahdatul wujud tidak dijumpai orang pada tulisan-tulisan Ibn Arabi, tidak diragukan bahwa pada karya tulisnya, seperti al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushus al-Hikam dapat dijumpai banyak ungkapan-ungkapan yang mengandung paham itu yang merupakan sebuah antalogy puisinya tentang cinta Ilahi.
Apabila kita baca kitab-kitab tersebut, bagaimanapun tenangnya kita menyelidikinya, tidaklah kita akan segera dapat memahami, kalau kita tidak masuk lebih dahulu kedalam alam tasawuf dan meminta diberi petunjuk oleh guru-guru yang mengerti benar, isyarat da maksud apakah yang terkandung dalam kata-kata yang penuh rumus itu. Sebab kaidah kata-kata yang dipilihnya amat berbeda dengan kuasa kata-kata yang dipakai dalam lapangan ilmu yang lain.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. Ia menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelat-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam. Itulah sebabnya Wahdatul Wujud merupakan suatu ilmu yang tidak disebarluaskan ke orang awam. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah menerimanya.
B. Wahdatul Wujud
Ajaran tasawuf Ibn Arabi titik sentralnya adalah Wahdat al-Wujud (kesatuan wujud). Ajaran ini penuh dengan nuansa simbolik, dan cenderung dekat pada paham Pantheisme, sehingga ajaran ini menimbulkan pro dan kontra. Bagi mereka yang kontra tehadap konsep ini, misalnya kecaman yang datang dari pembela syari’at (terutama terkait dengan masalah tauhid), mengatakan bahwa paham ini sebagai paham sesat dan dapat merusak keimanan masyarakat muslim. Sehingga tidak jarang diantara para pengeritik tasawuf berani mengkafirkan para sufi. Sebaliknya, bagi para pendukungnya menganggap bahwa ajara ini harus dikembangkan, bahkan untuk mengembangkan ajaran ini mereka rela mati sekalipun.
Konotasi negatif yang melekat pada istilah wahdatul-wujud kian menguat sesudah dikritik habis oleh Ibnu Taymiyyah (w. 728 H/1328 M). Bagi ulama yang wafat dalam penjara Damaskus ini, wahdatul wujud bukanlah tauhid, melainkan pantheisme terselubung yang mengingkari eksistensi Tuhan karena menganggap Tuhan ada dimana-mana dan menganggap alam semesta (termasuk manusia) sebagai manifestasinya Inti paham ini, tegasnya, mengidentikkan wujud Tuhan dengan dengan wujud segala yang ada.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap paham ini, satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa ajaran Wahdatul Wujud Ibn Arabi telah memberikan nuansa yang sangat luas bagi perjalanan tasawuf dan tarekat. Pengaruhnya itu tidak saja terlihat di dunia Barat dan Timur tetapi juga dirasakan sampai ke Indonesia.
Wahdat al-Wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu Wahdat dan al-Wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-Wujud artinya ada. Dengan demikian Wahdatul wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Dikalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah sebagai sesuatu yang atnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula para ahli filsafat dan sufistik sebagai satu kesatuan antara materi dan roh, hakikat dan bentuk, antara yang lahir dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikanya adim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjtnya diguakan para sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
Paham ini adalah lanjutan dari paham hulul karena nusut yang ada dalam hulul di ubah oleh Ibn Arabi menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haq (Tuhan). Khalq dan haq adalah dua aspek bagi tiap sesuatu. Aspek yang di sebelah luar disebut khalq dan aspek yang sebelah dalam disebut haq . Kata-kata khalq dan haq merupakan sinonim dari al-’ arad dan al-jauhar, dan dari dahir (lahir) dan al-batin (dalam).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek. Aspek luar yang merupakan ’ard dan khalq yang mempunyai sifat kemakhlukan, dan aspek dalam yang mempunyai jauhar dan haq yang mempunyai sifat ketuhanan. Dengan kata lain dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanandan sifat kemakhlukan. Tetapi aspek yang terpenting adalah aspek batinya dan aspek ini yang merupakan hakikat dari tiap-tiap yang wujud.
Renungan zauq tasawuf yang didasarkan kepada renungan pikir filsafat ini, timbul sebagai kelanjutan dari konsepsinya tentang penciptaan makhluk. Menurut Ibn Arabi alam ini diciptakan Allah dari ‘ain wujudnya sehingga apabila Tuhan ingin melihat diri-Nya maka Tuhan cukup melihat alam ini yang pada hakikatnya tidak ada perbedaan diantara keduanya. Dengan kata lain, walaupun pada lahirnya alam ini kelihatan berbeda-beda tapi pada tiap-tiap yang ada itu terdapat sifat Ketuhanan dan pada hakikatnya Tuhanlah yang menjadi esensi sesuatu itu. Disinilah timbul paham kesatuan wujud dengan pengertian, bahwa alam yang nampak dengan indera yang penuh variasi ini sebenarnya adalah satu.
Dengan kata lain makhluk dijadikan dan wujudnya bergantung pada wujud Tuhan, sebagai sebab dari segala yang berwujud selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan, tak akan mempunyai wujud, sekiranya Tuhan tak ada. Tuhanlah sebenarnya yang mempunya wujud hakiki. Yang dijadikan hanya mempunya wujud yang bergantung pada wujud diluar dirinya yaitu Tuhan. Tegasnya, yang sebenarnya mempunyai wujud hanyalah satu, yaitu Tuhan. Wujud selain dari Tuhan adalah bayangan.
Ia juga menjelaskan bahwa Tuhan segala Tuhan adalah Allah Swt. Sebagai Nama Yang Teragung dan sebagai ta’ayun (pernyataan) yang pertama. Ia merupakan sumber segala nama, dan tujuan terakhir dari segala tujuan, dan arah dari segala keinginan, serta mencakup segala tuntutan, kepadaNya lah isyarat yang difirmankan Allah kepada RasulNya Saw -bahwa kepada Tuhanmulah tujuan terakhir- karena Muhammad adalah mazhar dari pernyataan pertama (ta’ayyun awwal), dan Tuhan yang khusus baginya adalah Ketuhanan Yang Teragung ini. Dan segala nama dari nama-nama Allah merupakan gambaran dalam ilmu Allah yang bernama dengan ‘mahiat’ atau ‘ain sabitah’ (esensi yang tetap). Setiap nama juga memiliki gambaran di luar yang diberi nama dengan mazahir (penampakan atau fenomena) dan segala nama tadi merupakan pengatur dari mazahir (fenomena-fenomena) ini.
Tuhan Imanen dan juga transenden. Ia adalah imanen sejauh Ia menyatu dengan alam; dan Dia adalah satu dengan alam dalam wujud, sebagai mana juga dengan sifat-sifat, tindakan-tindakan, dan pengalaman-pengalaman mengada di alam – yang diyakini dan diketahui, dikehendaki dan dilaksanakan, dinikmati dan dirasakan – yang mana ia merupakan subyek nyata. Ia adalah transenden sejauh ia berbeda dengan alam; dan Ia berbeda dari dunia sejauh dalam sifat-sifat yang tidak dapat menyatu dengan dunia, misalnya bahwa Dia adalah tak terbatas dan abadi, maha pencipta dan sesembahan, mengatur dan menuntun dan lain-lain.
Orang-orang orientalis mengatakan bahwa paham ini adalah Patheistik, tetapi sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara Wahdatul Wujud dengan Pantheisme. Menurut paham Ibn Arabi, hakikat wujud itu hanya satu yaitu Allah sedang wujud yang banyak itu hanya bayangan dari yang satu itu. Dalam Pantheisme essensi Tuhan itu terdapat dalam setiap yang ada. Menurut konsepsi ini, bahwa wujud segala yang ada ini tergantung dengan wujud Tuhan. Andaikata Tuhan tidak ada, maka wujud yang selain Tuhan juga tidak ada.
Ungkapan Ibn Arabi yang menyatakan bahwa wujud Tuhan adalah wujud Tuhan bagi diri-Nya sendiri, sedang wujud alam adalah wujud Tuhan dengan bentuk alam dapat mengundang pertayaan apakah Tuhan dan alam itu menjadi setara atau bukan. Untuk menjawab pertanyaan ini orang perlu mengingat pengajaran Ibn Arabi tentang tanzih (mensucikan-Nya) dan tasybih (menyerupakan-Nya). Menurut Ibn Arabi, syariat Islam datang dengan ayat-ayat al-Quran yang men-tanzih-kan Tuhan dan ayat-ayat yang men-tasybih-kan-Nya. Oleh sebab itu, menurutnya Tuhan haruslah di- tanzih-kan dengan tanzih yang tidak me-nafi-kan (meniadakan) tasybih dan di-tasybih-kan dengan tasybih yang tidak meniadakan tanzih.
Dengan memperhatikan pengajaran Ibn Arabi tentang tanzih dan tasybih diatas, maka wujud alam –kendati dikatakan wujud pemberian Tuhan atau dikatakan wujud Tuhan dalam bentuk alam- tidak dapat dipahami sebagai wujud yang setara dengan Tuhan dan tidak pula dinamakan Tuhan. Alam bisa dipahami memiliki kemiripan dengan Tuhan ata bentuk alam morop dengan bentuk Tuhan, kendati bentuk Tuhan tersebut tetap ghaib (tidak dikenal) oleh selain Tuhan.Pengertin bahwa bentuk alam mirip dengan bentuk Tuhan, selain dapat disimpulkan dari pengakuan bahwa ia adalah mitsl-Tuhan yang diaki dvlam tasybih, juga dapat disimpulkan dari pengajaran-pengajaran yang lain seperti, pengajaran bahwa Adam, segenap manusia, bahkan segenap alam diciptakan Tuhan berdasarkan bentuk-Nya. Karena diciptakan-Nya menurut bentuk-Nya, maka wajar dipahami bahwa bentuk alam itu mirip dengan bentuk Tuhan.
Men- tanzih-kan Tuhan dan sekaligus men-tasybih-kan-Nya dengan alam, bagi Ibn Arabi adalah upaya yang benar. Siapa yang men-tasybih-kan tanpa me-tanzih-kan-Nya, maka orang itu menurut Ibn Arabi jahil (tidak mengenal Tuhan), sedang orang yang men-tanzih-kan tanpa men-tasybih-kan-Nya dengan alam, maka orang itu menurutnya orang itu baru mengenal Tuhan dengan separuh pengenalan. Orang yang sempurna pengetahuannya (pengenalannya) tentang Tuhan, niscaya me-tanzih-kan-Nya di satu pihak dan men-tasybih-kan-Nya di pihak lain.
B. TAJALLI
Kata “tajali” merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan” yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”.
Tajali merupakan poin poros dalam pemikiran Ibn ’Arabi. Sebenarnya, konsep tajali adalah pijakan-dasar pandangan-dunianya. Semua pemikiran Ibn ’Arabi ihwal struktur ontologis alam berkisar pada poros ini, dan dari situ berkembang menjadi sistem kosmik berjangkauan luas. Tidak ada bagian dalam pandangan-dunianya yang bisa dipahami tanpa merujuk pada konsep utama ini. Keseluruhan filsafatnya, secara ringkas, adalah teori tajali.
Konsep tajali beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan, yakni dengan merujuk pada Hadis Qudsi kanzun makhfiyyan (Harta karun yang tersembunyi), bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajali.
Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, ia dengan mudah melihatnya kepada alam karena dalam tiap-tiap benda itu terdapat sifat ketuhanan. Dari sinilah muncul paham kesatuan. Yang ada di alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak ubahnya hal ini seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Didalam tiap cermin ia dapat melihat dirinya dalam jumlah yang banyak tetapi sebenarnya wujudnya hanya satu.
Bagi Ibn Arabi pengertian tajalli tidak terbatas pada penampakan Tuhan bagi orang-orang yang mengalami kasyf (keterbukaan tabir dari mata batin mereka), tapi lebih dari itu. Menurutnya, pengetahuan kasyf memberi informasi bahwa alam adalah tajalli Tuhan dalam bentuk yang beraneka ragam, sesuai denga ide-ide tetap (tentang alam) dalam ilmu Tuhan. Bentuk tajalli dengan tajalli yang lain tidak pernah persis sama, bentuk suatu tajalli tidak pernah berulang, dan tajalli itu akan berlangsung terus tanpa henti.
Pengajaran Ibn Arabi tentang alam sebagai tajalli Tuhan, bila dikaitkan dengan pengajarannya tentang tasybih dan tanzih, niscaya tidak bisa dipahami dengan pengertian banhwa Tuhan menampakkan diri-Nya secara langsung atau dengan pengertian bahwa Dia berkembang sedemikian rupa sehingga mengaktual menjadi alam dengan bentuk-bentuknya yang beraneka ragam. Pengertian seperti ini bertentangan dengan ajaran tasybih dan tanzih. Alam sebagai tajalli Tuhan haruslah dipahami dengan pengertian bahwa alam yang mengaktual dengan bentuk-bentuk yang beranekla ragam merupakan sebagai aktivitas Tuhan dan sekaligus melalui akibat-akibat tersebut Dia menampakkan (menunjukkan) keberadaan diri-Nya kepada alam atau manusia.
Penampakan Tuhan dalam bentuk-bentuk alam haruslah dipahami dengan pengertian penampakkan-Nya secara tidak langsung, yakni melalui bentuk-bentuk aktualitas alam Dia menunjukkan keberadaan dat-Nya, sifat-sifat dan perbuatan-Nya sedang dia sendiri berada di “belakang” dari segala penampakkan atau tajalli-Nya itu. Pengertian seperti ini sebenarnya terkandung dalam tulisan Ibn Arabi yang menyatakan bahwa setivp nama Tuhan memperoleh bentuk-bentuk yang tak berkesudahan dalam tajalli-tajalli dan kita mengetahui bahwa Tuhan berada di belakang semuanya itu. Jadi, apapun dalam alam adalah tajalli Tuhan, tapi bukan Tuhan, kendati Dia memang berada di belakang segala sesuatu dan terus menerus menunjukkan diri-Nya melalui segala sesuatu.
Pengertian diatas juga berlaku pada ungkapan bahwa Tuhan menampakkan dirinya kepada orang-orang yang terbuka matv batin merekasehingga dikatakan juga merekamelihat Tuhan pada waktu kasyf. Melihat Tuhan pada waktu itu tidak lebih dari melihat tajalli (penampakkan-Nya), bukan bentuk diri-Nya langsung sebagaimana ada-Nya. Ibn Arabi menyatakan bahwa Tuhan menampakkan dirinya dalam bentuk yang sesuai denga keyakinan orang yang mengalami kasyf dan ini menurutnya sesuai dengan firman Tuhan dalam hadits kudsi, “Aku seperti persangkaan hamba-Ku. Lebih lanjut dikatakannya bahwa yang dilihat orag yang mengalami kasyf itu tidak lain dari bentuk diri/jiwanya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar