Ibn al-'Arabi (560-638/1165-1240), salah seorang Sufi
terbesar, mengkritik orang yang memutlakkan, atau, jika boleh,
"menuhankan", kepercayaannya kepada Tuhan, yang menganggap
kepercayaannya itu sebagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan
orang lain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang dipercayainya itu
adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda dengan Tuhan yang dipercayai oleh
orang lain yang dianggapnya salah.
Ibn al-'Arabi menyebut Tuhan yang dipercayai manusia "Tuhan kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai" (al-ilah al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah fi al-i'tiqad), "Tuhan kepercayaan" (al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan yang dalam kepercayaan" (al-haqq al-ladzi fi al-mu'taqad), dan "Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan" (al-haqq al-makhluq fi al-i'tiqad). Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah (peng)ikatan (binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.
Ibn al-'Arabi menyebut Tuhan yang dipercayai manusia "Tuhan kepercayaan" (ilah al-mu'taqad), "Tuhan yang dipercayai" (al-ilah al-mu'taqad), "Tuhan dalam kepercayaan" (al-ilah fi al-i'tiqad), "Tuhan kepercayaan" (al-haqq al-i'tiqadi), "Tuhan yang dalam kepercayaan" (al-haqq al-ladzi fi al-mu'taqad), dan "Tuhan yang diciptakan dalam kepercayaan" (al-haqq al-makhluq fi al-i'tiqad). Bagi Ibn al-'Arabi, "kepercayaan" adalah sebuah (peng)ikatan (binding) dan (pem)batasan (delimitation) Wujud Yang Tak Terbatas, Wujud Absolut (al-wujud al-muthlaq), yang dilakukan oleh dan berlangsung dalam subyek manusiawi.
Kepercayaan seorang hamba kepada Tuhannya ditentukan
dan diwarnai oleh kapasitas pengetahuan
sang hamba. Kapasitas pengetahuan itu tergantung kepada "kesiapan
partikular" (al-isti'dad al-juz'i) masing-masing individu hamba sebagai
bentuk penampakan "kesiapan universal" (al-isti'dad al-kulli) atau
"kesiapan azali" (al-isti'dad al-azali) yang telah ada sejak azali
dalam "entitas-entitas permanen" (al-a'yan al-tsabitah), yang
merupakan bentuk penampakan diri (tajalli) al-Haqq (yaitu Tuhan). Tuhan
menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya sesuai dengan kesiapan sang hamba untuk
mencapai pengetahuan tentang Tuhan yang akhirnya "diikat" atau
"dibatasi" oleh dan dalam kepercayaannya sesuai dengan pengetahuan
yang dicapainya. Baik kalbu maupun mata tidak pernah melihat sesuatu kecuali
bentuk kepercayaannya tentang Tuhan. Tuhan yang ada dalam kepercayaan itu
adalah Tuhan yang bentuk-Nya diliputi oleh kalbu; itulah Tuhan yang menampakkan
diri-Nya kepada kalbu sehingga Dia dikenal. Maka mata tidak melihat selain
Tuhan kepercayaan.
"Tuhan kepercayaan" adalah gambar atau
bentuk Tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentang Tuhan yang
diciptakan oleh akal manusia atau taklidnya. Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan
yang diciptakan oleh manusia sesuai dengan kemampuan, pengetahuan, penangkapan,
dan persepsinya. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang "ditempatkan"
oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, atau gagasannya dan
"diikat"-nya dalam dan dengan kepercayaannya. "Bentuk",
"gambar", atau "wajah" Tuhan seperti itu
ditentukan atau diwarnai oleh pengetahuan, penangkapan, dan persepsi manusia
yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya. Apa yang diketahui diwarnai oleh apa
yang mengetahui. Dengan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-'Arabi berkata:
"Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya" (Lawn al ma' lawn
ina'ihi). Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah hadits qudsi berkata:
"Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku" (Ana 'inda zhann
'abdi bi).164 Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanya
dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan tidak diketahui
dan tidak dapat diketahui. Menarik untuk memperhatikan lanjutan firman Tuhan
dalam hadits qudsi yang dikutip ini, yaitu: "Maka hendaklah hamba
bersangka baik tentang Aku" (Fal-yazhunn bi khayran).
Tuhan
menyuruh agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan melarang
kita bersangka buruk tentang Dia. Kita harus
menjadikan sangkaan kita sebagai pengetahuan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih,
Maha Penyayang, Maha Penolong, dan Maha Pengampun. Kita tidak boleh bersangka
bahwa Tuhan adalah "pengawas yang selalu mencari kesalahan",
"petugas keamanan yang kasar dan galak", atau "tuan besar yang
bengis". Sangkaan baik tentang Tuhan mendorong kita untuk mendekati dan
mencintai-Nya agar kita mendapat rahmat-Nya. Nabi s.a.w. berkata: "Rahmat
Tuhan mendahului (mengalahkan) murka-Nya". Sangkaan buruk tentang Tuhan
membuat kita jauh dari-Nya, menyalahkan-Nya, dan akhirnya berputus asa. Tuhan
tidak menyenangi orang-orang yang berputus asa.
Kritik Ibn al-'Arabi terhadap orang yang memutlakkan
Tuhan dalam kepercayaannya, Tuhan yang diciptakannya dalam kepercayaannya,
mengikatkan kita kepada kritik Xenophanes (kira-kira 570-480 SM), seorang
filsuf Yunani, terhadap antropomorfisme Tuhan, atau tuhan-tuhan. Kritik tokoh
dari Kolophon, Asia Kecil, ini berbunyi sebagai berikut:
Seandainya sapi, kuda, dan singa mempunyai tangan dan
pandai menggambar seperti manusia, tentu kuda akan menggambarkan tuhan-tuhan
menyerupai kuda, sapi akan menggambarkan tuhan-tuhan menyerupai sapi, dan
dengan demikian mereka akan mengenakan rupa yang sama kepada tuhan-tuhan
seperti terdapat pada mereka sendiri. Orang Etiopia mempunyai tuhan-tuhan hitam
dan berhidung pesek, sedangkan orang Trasia mengatakan bahwa tuhan-tuhan mereka
bermata biru dan berambut merah. Sebagaimana dikatakan di atas, "Tuhan
kepercayaan" adalah Tuhan ciptaan manusia. Barang siapa yang memuji
ciptaannya memuji dirinya sendiri.
Ibn al-'Arabi berkata: Tuhan kepercayaan adalah
ciptaan bagi yang mempersepsinya. Dia adalah ciptaannya. Karena itu, pujiannya
kepada apa yang dipercayainya adalah pujiannya kepada dirinya sendiri. Itulah
sebabnya mengapa ia mencela kepercayaan orang lain. Jika ia menyadari persoalan
yang sebenarnya, tentu ia tidak akan berbuat demikian itu. Tidak diragukan
bahwa pemilik obyek penyembahan khusus itu adalah bodoh tentang itu karena
penolakannya terhadap apa yang dipercayai oleh orang lain tentang Allah. Jika
ia mengetahui apa yang dikatakan oleh al-Junayd, "Warna air adalah warna
bejana yang ditempatinya", ia akan memperkenankan apa yang dipercayai
setiap orang yang mempunyai kepercayaan dan mengakui Tuhan dalam setiap bentuk
dan dalam setiap kepercayaan.
Teori Ibn al-'Arabi tentang "Tuhan
kepercayaan" didasarkan pula kepada sebuah hadis Nabi s.a.w. tentang
penampakan diri Tuhan (tajalli al-haq) pada hari kiamat. Nabi menceritakan
bahwa pada hari kiamat, Tuhan akan menampakkan diri-Nya kepada umat manusia
dalam berbagai bentuk, yang tiap-tiap bentuk akan ditolak oleh setiap orang
yang tidak mengenalnya dan akan diterima oleh setiap orang yang mengenalnya.
Akhirnya, semua orang atau kelompok akan menyadari bahwa sebenarnya Tuhan yang
menampakkan diri-Nya dalam berbagai bentuk itu adalah satu dan sama; itu juga,
tidak lain. Pandangan Ibn al-'Arabi ini sesuai dengan larangan Nabi saw agar
para sahabatnya tidak menyalahkan seorang awam yang pernah mengatakan kepada
beliau di hadapan mereka bahwa Tuhan berada di langit, nun jauh di atas.
Para sahabat mempersoalkan kepercayaan orang awam itu
karena Tuhan berada di mana saja, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak
berbentuk. Tetapi Nabi memandang bahwa "sangkaan" orang awam itu
tentang Tuhan sudah memadai baginya. Nabi sendiri pernah berkata:
"Kasihilah siapa yang di bumi, niscaya engkau akan dikasihi oleh siapa
yang di langit" (Irham man fi al-ardi, yarham-ka man fi al-sama'). Yang
dimaksud dengan "siapa yang di langit" dalam hadits ini adalah Tuhan.
Tuhan berada di langit. Dengan alasan ini, dapat dikatakan bahwa Tuhan dalam
kepercayaan Islam adalah "Tuhan Langit" ("the Sky God"),
"Tuhan Surgawi" (karena surga berada di langit). ("the Heavenly
God"), atau "Wujud Tertinggi Samawi" ("the Celestial
Supreme Being"). Langit adalah simbol ketinggian, keagungan, keindahan,
dan keabadian. Karena itu, langit dijadikan simbol Tuhan. Simbol bukan
menunjukkan dirinya sendiri, tetapi menunjukkan sesuatu yang lain di luar
dirinya. Simbol Tuhan bukanlah Tuhan, tetapi menunjukkan Tuhan.
Tuhan dalam kepercayaan Islam adalah seorang
"laki-laki", atau, lebih tepatnya, disimbolkan dengan seorang
"laki-laki". Tuhan dalam kepercayaan Islam, seperti Tuhan dalam
kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan Kristen, adalah Huwa ("He"), bukan
Hiya ("She"). Tuhan dalam kepercayaan Islam selalu dipahami dengan
kata-kata maskulin. (Pandangan yang menekankan aspek maskulin Tuhan atau
memahami Tuhan sebagai "Tuhan Laki-Laki" seperti ini ditentang oleh
teologi feminis radikal yang menekankan aspek feminin Tuhan atau memandang
Tuhan sebagai "Tuhan Perempuan"). Dengan demikian, Tuhan dalam
kepercayaan Islam, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan Yahudi dan
Kristen, adalah seorang "person," seorang "pribadi". Itulah
sebabnya mengapa dikatakan bahwa Tuhan agama-agama monoteistik atau teistik,
termasuk Islam, adalah "personal", "berpribadi". Tuhan
dalam arti ini bukan "impersonal", bukan "tak-berpribadi",
dan, karena itu, Dia bukan "Itu" ("It"). Pengaruh
kebudayaan terhadap bentuk atau tipe kepercayaan kepada Tuhan, terhadap "Tuhan
kepercayaan", dibuktikan oleh sejarah agama agama.
Di mata Ibn al-'Arabi, orang yang menyalahkan atau
mencela kepercayaan-kepercayaan lain tentang Tuhan adalah orang yang bodoh
karena Tuhan dalam kepercayaannya sendiri, sebagaimana dalam kepercayaan-kepercayaan
yang disalahkannya itu, bukanlah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, karena Tuhan
sebagaimana Dia sebenarnya tidak dapat diketahui. Orang seperti itu mengakui
hanya Tuhan dalam bentuk kepercayaannya atau kepercayaan kelompoknya sendiri
dan mengingkari Tuhan dalam bentuk-bentuk berbagai kepercayaan lain. Padahal
Tuhan yang menampakkan diri-Nya dalam semua bentuk kepercayaan-kepercayaan yang
berbeda itu adalah satu dan sama. Kritik Ibn al-'Arabi ini, jika harus
konsisten, tertuju kepada setiap orang yang mencela kepercayaan-kepercayaan
lain yang berbeda dengan kepercayaannya tentang Tuhan, baik dalam lingkungan
orang-orang yang seagama dengannya maupun dalam lingkungan orang-orang yang
berbeda agama.
Ibn al-'Arabi memperingatkan kita: Maka berhati-hatilah
agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan ('aqd) yaitu kepercayaan,
doktrin, dogma, atau ajaran tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun,
karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak;
sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang
sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk
kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta'ala terlalu luas dan terlalu besar
untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: "Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah
Allah", (Q 2:115) tanpa menyebutkan arah
tertentu mana pun.
Pengetahuan yang benar tentang Tuhan, menurut Sufi
Andalusia ini, adalah pengetahuan yang tidak terikat oleh bentuk kepercayaan
atau agama tertentu. Kata beliau, "Barangsiapa yang membebaskan-Nya (yaitu
Tuhan) dari pembatasan tidak akan mengingkari-Nya dan mengakui-Nya dalam setiap
bentuk tempat Dia mengubah diri-Nya."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar