Total Tayangan Halaman

Sabtu, 02 Juni 2012

Kurahasiakan dari anak isteri


Kurahasiakan dari anak isteri
Cinta kepada anak-isteri tidak dilarang. Apalagi menafkahi mereka telah ditetapkan sebagai ibadah. Akan tetapi, yang dimaksudkan dalam kata kurahasiakan mengandung makna bahwa cinta yang sejati (mahabbah) itu hanya kepada Allah. Merahasiakan cinta Allah dari anak-isteri bukan berarti pergi berzikir lalu mengabaikan pengurusan mereka. Setiap rahasia pasti berawal dari hati. Oleh sebab itu, makna merahasiakan di sini berarti berurusan dengan amalan hati. Jasad dan hati permukaan untuk anak-isteri dan orang tua, sedangkan relung hati yang terdalam; ruang paling istimewa di hati hanyalah untuk Allah. Hanya Sang Raja yang boleh duduk di singgasana hati.
Hati orang mukmin adalah istana Allah. (hadis)
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mengingatkan bahwa sesungguhnya para kekasih Allah itu ditakdirkan tidak memiliki anak dan isteri. Maksudnya, meskipun kekasih Allah itu beristeri dan beranak banyak, tetapi ia tidak akan disibukkan dengan urusan menafkahi anak-isteri dan menjaga mereka. Karena hati orang itu sibuk dengan Allah, maka ia dibebaskan dari kesibukan selain Allah. Allah-lah yang mencukupi rezeki dan menjadi penjaga anak-isteri sesuai dengan cara-Nya yang misterius. Isteri orang itu Allah jadikan isteri dan ibu yang saleh dan berbakti pada keluarganya. Lalu anak-anaknya tercukupi dan menjadi generasi yang cerdas, saleh, dan membanggakan meski sedikit saja bimbingan dari orang tuanya.
Ketika hatimu hanya untuk Allah, maka Allah menjaga dan menyayangi orang-orang tercintamu. Karena jika kamu tidak melakukan itu, hatimu akan lalai terlebih ketika melihat anak-isterimu menderita atau menyedihkanmu. Kekasih Allah itu lahirnya untuk keluarganya, tetapi batinnya untuk Tuhannya.
Dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku. (Q.S. Yusuf: 93)

Yaitu surga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu;

 Sang “aku” dalam puisi amat menyadari bahwa sesungguhnya mencintai anak-isteri melebihi cinta kepada Allah justru berarti ia tidak mencintai mereka. Karena Allah sudah menetapkan bahwa anak-isteri adalah karunia sekaligus ujian dan bisa menjadi musuh yang menghalangimu untuk sampai kepada-Nya.

Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Taghabun: 14)     

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam ronggany.a (Q.S. Al-Ahzaab: 4)

Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.(Q.S. At-Taubah: 24)

Jika kamu mencintai selain Dia karena kasih sayang, kelembutan, atau karena nafsu, itu diperbolehkan. Adapun mencintai dengan hati dan nurani, ini tidak diperbolehkan. Jadikan makhluk di luar hatimu, lalu hatimu hanya untuk-Nya.
(Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)
   
Baris ketiga ini terkait erat dengan baris kedua mengenai Kecemburuan Ilahi. Dalam kitab karya Syaikh Muzaffer Ozak Al-Jerrahi yang diterjemahkan dengan judul Dekap Aku dengan Kasih Sayang-Mu, diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah mencium cucu-cucunya, Hasan dan Husain dengan penuh kasih. Lalu beliau menyadari bahwa ketika itu perasaan cinta kepada cucu-cucu itu menyamai cintanya kepada Allah. Lalu beliau merasa bersalah karena telah membuat Allah Cemburu. Lalu Jibril a.s. turun ke bumi dan menyampaikan pesan dari Allah: “Bagaimana mungkin dia yang mencintai-Ku dan Kucintai , karib-Ku terkasih, kekasih-Ku, mencium cucu-cucunya, keturunannya, dengan cinta dan kasih sayang sebesar cintanya kepada-Ku?
Sang “aku” dalam puisi tampaknya ditokohkan dalam keadaan telah memahami prinsip-prinsip tauhid serupa di atas sehingga dengan lugas ia menyatakan kerahasiaan kedudukan Tuhan di dalam hatinya. Dengan demikian, Ia dapat diinterpretasikan akan menolak nilai-nilai yang bertentangan dengan tauhid.
Sang “aku” dipastikan menghindarkan hatinya dari problema keduniaan yang bersumber dari orang-orang tercintanya. Karena telah bertauhid, ia dipastikan tidak akan mencari rezeki dengan cara yang tidak halal sekadar untuk membahagiakan anak-isteri. Jika Allah memberinya godaan berupa kesempatan yang aman untuk melakukan korupsi atau perbuatan maksiat lainnya, ia dipastikan tidak akan terbujuk oleh rayuan-Nya itu.
Di luar sana dilihat “sang aku” banyak orang yang mengerahkan segala cara; berjibaku demi “ibadah” menafkahi keluarganya. Kebodohan ini dalam anggapan mereka semata demi memenuhi perintah Allah yang mewajibkan menuntut ilmu. Caranya tentu menyekolahkan anak di tempat yang sesuai dengan status sosial tertentu. Atau demi memberi pakaian yang layak. Atau demi mengisi rumah mereka dengan barang-barang yang tidak memalukan; tidak kalah dengan yang dimiliki tetangga. Atau demi memberi anak asupan gizi yang baik sehingga diharapkan menjadi generasi cerdas dan saleh. Cara apa pun dilakukan, yang penting tujuan mengangkat derajat keluarga tercapai. Mereka bahkan dengan tanpa adab di hadapan Allah berkoar,”Zaman sekarang ini mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal.” Sungguh perbuatan menghina Allah Sang Mahakaya; Maha Pemberi rezeki.
Barang siapa tidak peduli dari mana datangnya makanannya, maka Allah tidak peduli dari pintu neraka yang mana orang itu dijebloskan.” (hadis)

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (Q.S. Al-Kahfi:103-104)

 Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?(Q.S. An Nahl:72)

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. (Q.S. At-Takaur: 1)

Said Nursi dan Pemikirannya


Asal mula munculnya filsafat sebagai ilmu pengetahuan, dimulai karena kekaguman (keta’ajjuban) manusia. Kalau manusia sudah merasa kagum, biasa-nya ia merasa tidak tahu dan hal yang tidak diketahuinya itu merupakan problema yang harus dicarikan solusi melalui filsafat, dengan mempergunakan nalar sekuat mungkin, sehingga diperoleh pengetahuan. Pengetahuan semacam ini, mungkin saja dapat diperoleh yang dimulai dengan pertanyaan: knowledge of what is yakni apakah sesuatu itu ? dan juga knowledge of what tobe, yakni tentang apa yang seharusnya diperbuat ? pertanyaan-pertanyaan seperti ini, tentu membuat manusia untuk berfikir (menalar), sehingga melahirkan suatu ilmu pengetahuan.
Karena hasil akhir filsafat adalah perolehan ilmu pengetahuan, maka konsep filsafat tersebut merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam Islam, karena agama Islam tersebut sejak pertama diturunkannya menggunakan kata iqra yang oleh sebagai mufassir mengartikan term iqra sebagai perintah untuk menalar. Di dalam berbagai ayat, juga ditemukan sejumlah term yang mendorong pemikiran rasional misalnya; afalā ta’qilūn (apakah kamu tidak menggunakan akal; afalā tubsirūn (apakah kamu tidak melihat); afalā tanzurūn (apakah kamu tidak meneliti, tidak menggunakan nalar); yā ulil al-bāb (hai orang yang me-miliki otak dan akal); dan sebagainya.
Jelaslah bahwa filsafat Islam, bukan jiplakan dari pemikiran Yunani Kuno, tetapi filsafat Islam tersebut berasal dari interpretasi ayat-ayat al-Quran yang diwahyukan Tuhan. Ajakan ayat-ayat al-Quran untuk mengobservasi, meneliti dan mengkaji realitas-realitas di alam semesta, termasuk diri manusia sendiri, telah mendorong umat Islam pada masa-masa lalu untuk menggeluti bidang filsafat, sehingga mereka berhasil menjadi mercusuar dunia, terutama pada abad-abad ke ketujuh sampai sembilan Masehi. Dalam masa itu, tampil filsuf Islam misalnya al-Kindi (796-873 M), al-Farabi (872-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), al-Maskawaih (w. 1030 M), al-Ghazali (1058-1111 M), dan masih banyak lagi selainnya.
Salah satu failosof atau pemikir Islam dan sekaligus sebagai sufi yang masyhur pasca al-Ghazāli, adalah Said Nursi (1293-1379 H). Tokoh ini, berasal dari sebuah desa bernama Nursi di perkampungan Khaizan, wilayah Bitlis yang terletak di sebelah Timur Anatoli. Tanda-tanda sebagai seorang yang kelak menjadi pemikir, tampak sejak Said Nursi masih kecil. Hal ini seperti terlihat, bahwa beliau selalu banyak bertanya dan gemar menelaah masalah-masalah yang belum dimengerti.
Dalam dunia pendidikan, Said Nursi mulai belajar di madrasah, dan ter-akhir dia sekolah di Bayazid dengan di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Jalali. Di sinilah Said Nursi belajar Nahwu dan sharaf, dan berhasil membaca seluruh buku yang pada umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama. Dalam kesehariannya, dia selalu membaca duaratus halaman buku yang bahasanya sangat sulit dimengerti. Namun demikian, dia mampu memahaminya tanpa harus merujuk pada catatan kaki atau catatan pinggir, dan tanpa dibantu oleh syaikh.
Tidak lama kemudian, popularitas Said Nursi tersebar luas. Para ulama silih berganti melakukan berbagai dialog ilmiah dengannya dan berupaya untuk menyudutkannya dengan berbagai pertanyaan. Tetapi semua pertanyaan dan masalah yang dikemukakan terjawab dengan sangat argumentatif, sehingga oleh mereka digelari “Said Masyhur”.
Di masa-masa akhir pemerintahan Usmani dan masa-masa pembentukan Republik Turki, Said Nursi berkelana dari kota ke kota hingga pelosok terjauh negerinya. Dari sekian daerah yang dikunjunginya, said Nursi melihat kekafiran modern berakar dari sains dan filsafat, bukan dari kebodohan sebagaimana dikemukakan orang-orang sebelum dia. Paradoksnya, ketidak tahuan umat Islam terhadap sains dan teknologi membuat mereka tertinggal dari Barat di bidang ekonomi dan militer. Tetapi sains dan teknologi yang telah mendatangkan kekuatan bagi Barat untuk mencapai superioritas ekonomi dan militer di dunia membuat orang-orang Barat kehilangan keimanan dan moral tradisional mereka, sehingga jatuh ke dalam psimisme yang berlebihan. Akibatnya, moralitas sekuler dan kepentingan diri sendiri menggusur nilai-nilai agama dan nilai-nilai tradisional lainnya.
Akhirnya, Said Nursi berpendapat bahwa alam adalah kumpulan tanda-tanda Ilahi dan karena itu sains dan agama bukanlah dua bidang yang berseberangan. Keduanya adalah ekspresi yang (tampak) berbeda dari satu kebenaran yang sama. Pikiran harus dicerahkan dengan sains, sedangkan hati harus diterangi dengan agama.
Dalam pemikirannya untuk membuktikan keberadaan dan keesaan Ilahi, hari kebangkitan, kenabian, asal Ilahiah, al-Quran, alam gaib, dan para penghuninya atau dimensi-dimensi immaterial, perlunya ibadah, moralitas, karakter ontologis manusia dan lain-lain, Said Nursi semula mencoba mem-erkuat Islam dengan filsafat modern barat. Kemudian dia melihat bahwa cara tersebut sama halnya dengan merendahkan Islam dan bahwa pokok-pokok islami terlalu dalam untuk dijangkau dengan prinsip-prinsip filsafat manusia. Dia lalu beralih kepada alquran saja. Namun pada gilirannya, setelah mencermati ber-bagai ayat al-Quran, justru Said Nursi berpendapat bahwa filsafat adalah jalur menuju kemajuan dan pencerahan ruhani. Bahkan sempat perpendapat bahwa pola pikir filsafat Barat bisa digunakan untuk menegakkan dan memperkuat kebenaran Islam. Dari sini, maka dipahami pemikiran Said Nursi yang secara lahiriyah terlihat tetap menggunakan filsafat Barat, justeru di sisi lain dengan pe-mikirannya itu dapat mengkorelasikannya filsafat Islam. Ini berarti bahwa Said Nursi satu-satu pemikir modern yang telah menemukan konsep baru filsafat dalam bingkai yang islami.
Dalam The Oxford Encyclopedia of Islami word disebutkan bahwasejak kelahiran filsafat, maka Filsafat Islam merupakan salah satu tradisi intelektual besar di dalam dunia Islam, dan telah mempengaruhi serta dipengaruhi oleh banyak perspektif intelektual lain, termasuk teologi skolastik (kalām) dan sufisme doktrinal (al-ma’rifah al-irfān). Mungkin sebab pengaruh-pengaruh intelektual lain, sehingga Ibrahim Madkūr menjelaskan bahwa kedudukan filsafat Islam sesungguhnya mengalami keraguan dalam suatu zaman. Sebagai akibatnya adalah di antara mereka yang mengingkari (menolak) kehadiran filsafat Islam itu, dan sebagian lainnya justru menerimanya, bahkan telah menyelamatkannya. Dengan penjelasan ini, maka dapat dipahami bahwa filsafat Islam dalam satu sisi tidak diterima oleh semua orang. Mungkin alasannya, karena ada anggapan bahwa filsafat Islam terasimilasi dari filsafat Yahudi (barat).
Meskipun diakui bahwa pemikiran-pemikiran filsofis di kalangan filosof-muslim yang pesat perkembangannya sejak dulu sampai kini pada umumnya berkisar pada filsafat Ketuhanan, dan sangat jarang yang mengkhususkan diri pada masalah alam semesta beserta isinya termasuk. Dengan kata lain, orientasi filsafat Islam selama ini bersifat vertikal dan jarang yang menghampiri persoalan-persoalan yang bersifat horizontal (masalah sosial dan alam semesta). Hal ini, sangat erat kaitannnya dengan situasi yang berkembang pada waktu itu, di mana masalah Ketuhanan menjadi topik yang selalu aktual diperbincangkan oleh kaum muslimin. Di lain pihak, kaum muslimin ingin mempertemukan antara berita-berita wahyu yang diyakini sebagai kebenaran dengan teori-teori filsafat yang bersumber dari ratio murni itu. Hal inilah yang dilakukan oleh Said Nursi yang dalam beberapa pernyataanya dipahami bahwa wahyu Allah yang diturunkan, menurut filsafat Islam adalah mutlak kebenarannya, sementara ratio yang juga merupakan alat pikir manusia yang diberikan oleh Allah, bilamana dipergunakan dengan sebaik-baiknya, juga akan mencapai kebenaran. Hanya saja, dalam konsep filsafat Islam adalah, ada manusia yang tidak mampu mencapai pada tarap kebenaran yang sempurna, sehingga ia bersifat nisbi (relatif). Bilamana kebenaran nisbi tersebut tidak bertentangan dengan wahyu, maka dapat diperpegangi.