Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 September 2013

"Bukankah Aku ini Tuhanmu?"

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Hampir semua dari kita yang gemar membaca tentang kajian-kajian agama, mengetahui bahwa kita, yaitu setiap manusia yang lahir ke dunia ini pernah berjanji di hadapan Tuhannya. Peristiwa tersebut sering disebut sebagai peristiwa Alastu. Waktu itu setiap dari kita ditawari oleh Allah dengan suatu pertanyaan yaitu: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”[lihat 7:172]. Tidak ada paksaan disini, Allah menawarkan kepada jiwa manusia tentang KetuhananNya. Kalau otoriter, mungkin akan lain redaksinya, misalnya “Aku ini Tuhanmu, betulkan? Tawaran Allah tersebut dijawab Sang Jiwa secara sukarela dengan membenarkan dan sekaligus menjadi saksi.

Kejadian beralastu tersebut sebenarnya merupakan keinginan Allah yang telah dinyatakanNya dalam [2:30] yaitu: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. ….”  Jadi disini adalah pernyataan kepada malaikat tentang keinginanNya hendak menjadi seorang khalifah di muka bumi, dan di [7:172] keinginan tersebut terlaksana dengan telah adanya perjanjian antara Tuhan dan khalifahNya.

Di ayat lain, Allah menginformasi  dalam [23.12], yaitu: “dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” Ada dua ayat, yaitu [2:30] dan [23:12] yang menggambarkan dua hal yang berbeda tetapi dalam sasaran yang sama, yaitu Allah berbicara tentang manusia secara utuh. Di ayat [2:30], untuk seorang khalifah, Allah menggunakan kata ‘menjadikan’ atau bahasa Arabnya adalah ‘ja’ilun.’ Sedangkan untuk [23:12], Allah menggunakan kata ‘menciptakan’ atau bahasa Arabnya adalah ‘khaliqun.’ Sangat beda arti kedua kata tersebut, tetapi kedua kejadian tersebut digabung menjadi satu, yaitu  menjadi manusia yang utuh.

Yang satu, fisik manusia ‘diciptakan’ oleh Allah dari saripati tanah, sedangkan yang kedua, sang Isi, yang diharapkan Allah untuk menjadi sang Khalifah atau WakilNya, hanya ‘dijadikan’ oleh Allah, bukan ‘diciptakan.’ Sang Khalifah itulah sebenarnya yang telah berjanji di depan Tuhannya. Tempat ‘hendak menjadikan seorang Khalifah’ dan ‘beralastu’ tersebut terjadi di Alam Ketuhanan, atau Alam Pencipta, yaitu Alam tertinggi yang lebih tinggi dari Alam Malaikat.

Jadi tentang Sang Khalifah ini ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu (1) dia ‘dijadikan’ oleh Allah; (2) waktu ‘dijadikan’ oleh Allah berada di Alam Ketuhanan; (3) dia yang berjanji dengan Tuhan; (4) dia yang mau memegang amanah, lihat [33:72], yaitu: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh.”; (5) dia sesuatu yang belum dapat disebut, seperti diinformasi dalam ayat [76.1], yaitu: Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?

Ada dua kali, Sang Khalifah itu disuruh ‘turun’ oleh Allah dari Alam Ketuhanan Pertama ketika di [38.72], yaitu: “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruhKu; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” Sang Khalifah diturunkan Allah dari Alam Ketuhanan ke Alam Surga, setelah Sang Khalifah tersebut ‘dimasukkan’ ke dalam sang fisik. Ini yang kita kenal sebagai Adam.

Perintah turun kedua adalah di ayat [2:36] dengan bunyi: ”Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." Jadi turun kedua adalah ketika Adam dan Hawa diusir Allah dari surga.

Ketika diusir turun oleh Allah dari surga ke bumi, Sang Khalifah tsb kehilangan dua hal yang sangat vital. Apa itu? Yaitu kehilangan kehidupan kekal dan kehilangan ilmu pengetahuan. Kehidupan kekal, jelas bahwa Sang Khalifah yang telah dimasukkan ke dalam fisik manusia, yaitu Adam dan Hawa tidak bisa lagi hidup kekal seperti ketika mereka di surga.Tidak ada kehidupan kekal di bumi.

Kehilangan ilmu pengetahuan? Perlu sedikit penjelasan.. Sebenarnya ketika Sang Khalifah ‘dijadikan’ di Alam Ketuhanan, dia mempunyai ilmu pengetahuan yang tidak terbatas. Kemudian ketika diturunkan ke Alam Surga, Adam bisa memberitahukan nama-nama benda kepada para malaikat. Ini terbukti dari ayat [2:33] berikut, yaitu : “Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"  Ini adalah peristiwa dimana Adam memberitahukan nama-nama benda kepada para malaikat.

Jadi ketika di alam surga, Adam lebih pintar dari malaikat yang paling pintar sekalipun. Boleh dikatakan mempunyai ilmu pengetahuan yang tidak terbatas. Ketika diturunkan ke muka bumi, kemampuan ilmu pengetahuan yang tidak terbatas tersebut hilang…. Semasa hidup di dunia, manusia tidak serta merta mempunyai ilmu pengetahuan tetapi harus belajar dan belajar, mulai dari ketika dia lahir sampai ke liang kubur.

Inilah sebenarnya rahasia Allah kepada sang Khalifah yang telah kehilangan kedua kemampuan vital tersebut. Allah sebenarnya mengharapkan Sang KhalifahNya dapat benar-benar menjadi WakilNya dan kembali dapat meraih kedua kemampuan yang pernah hilang tersebut. Pengetahuan tsb termasuk pengetahuan bahwa kita pernah berjanji di hadapanNya. Itulah hakikat tugas kita semua manusia di dunia ini, yaitu untuk bisa kembali mengenalnya selama di dunia.

Sekarang, dengan kejadian yang telah ditakdirkan itu, alat apa yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk bisa mengenal dunianya ketika telah diturunkan ke bumi? Hanya lima, yaitu lewat lima panca indera kita. Kita mengetahui, mempelajari dunia masing-masing lewat lima indera kita. Mulai dari mata untuk penglihatan, telinga untuk pendengaran, hidung untuk penciuman, lidah untuk rasa, dan kulit untuk perabaan. Hanya itu alat yang diberikan oleh Allah untuk mengenal dunia ini. Sebagai contoh, ketika Rasulullah SAW bersabda kepada para shahabatnya yaitu: “Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku shalat,” maka alat yang menangkap ilmu dari Rasul SAW itu hanya mata dan telinga. Mata untuk menangkap bagaimana gerakan-gerakan shalat Rasul, dan telinga untuk menangkap ucapan-ucapan shalat Rasul. Jadi setiap kejadian yang kita rasakan ketika kita ‘bangun’ pasti ada satu, atau dua, atau tiga atau semua dari indera kita yang menangkapnya. Makan, indera yang berfungsi adalah penciuman, rasa dan perabaan.

Ketika kita lahir di dunia ini, kita diajari untuk mengenal dunia luar melalui 5 indera tsb. Setiap indera manusia mempunyai kemampuan untuk menangkap jarak tertentu dari suatu frekuensi. Telinga manusia bisa menangkap gelombang suara mulai dari 15 sampai 20.000 Hz. Mata dapat menangkap sinyal dari 4.000 – 7.000 Angstrom. Demikian juga alat rasa, raba, penciuman mempunyai alat penangkap yang bisa menangkap sinyal sesuai dengan frekuensinya masing-masing. Gelombang suara ditangkap oleh membrane yang ada di telinga dan diubah menjadi gelombang listrik dan disampaikan terus ke otak atau sel-sel syaraf yang khusus menerima sinyal suara. Demikian juga untuk sinyal cahaya diterima oleh retina dan diubah menjadi gelombang listrik kemudian dihantarkan ke sel-sel syaraf  yang bisa membaca sinyal itu.

 Apapun yang kita ketahui melalui indera sebenarnya tidak lebih dari frekuensi. Mobil merah yang kita lihat, misalnya, sebenarnya adalah kumpulan frekuensi dari gelombang cahaya yang kemudian ditangkap oleh retina dan selanjutnya di dalam otak diubah menjadi gelombang listrik, dan dengan kemampuan yang diberikan Allah, sel-sel syaraf tertentu di otak kita mengubah gelombang listrik tersebut menjadi ‘image gambar’ yang dimengerti oleh manusia. Kalau kita dengar bunyi mesinnya, itu juga hanya berupa gelombang yang sampai ke telinga kemudian diubah menjadi gelombang listrik dan oleh sel-sel syaraf pendengaran diubah menjadi ‘image dengar’ yang dimengerti oleh manusia. Apabila kita sentuh atau duduk di dalam mobil tersebut, lagi-lagi hanya berupa gelombang frekuensi yang ditangkap oleh indera peraba yang diteruskan ke otak melalui gelombang listrik dan Subhanallah, dengan kemampuan yang diberikan Allah, sel-sel syaraf bisa mengubah gelombang listrik tersebut menjadi ‘image raba’ yang dimengerti oleh manusia. Demikan juga kalau ada parfum dalam mobil tersebut, sudah pasti itu hanya berupa frekuensi yang ditangkap oleh indera penciuman diteruskan ke otak dalam bentuk gelombang listrik, dan diubah oleh sel-sel syaraf ke dalam ‘image bau.’ Ke empat image tsb dimengerti oleh manusia dalam 4 dimensi yang berbeda dan dalam waktu yang bersamaan, sehingga, ‘seolah-olah’ itulah kenyataan. Padahal ke semuannya hanyalah getaran-getaran jutaan frekuensi yang diterjemahkan oleh sel-sel syaraf sehingga akhirnya ke empat dimensi image tersebut menjadi suatu image yang utuh, yaitu mobil merah yang sedang hidup, kita duduk di dalamnya dan berbau harum.

Jadi sebenarnya kita hidup di suatu alam yang tidak lebih dari hanya lautan frekuensi. Semuanya hanya frekuensi. Alam semesta ini hanya lautan sangat luas dari frekuensi yang tidak ada batasnya. Mulai dari yang dekat di sekitar kita, sampai jauh nun ke galaksi di atas sana, semuanya hanya frekuensi. Kita melihat bintang bercahaya, padahal itu hanya image cahaya yang berupa frekuensi di otak kita.

Setiap manusia mempunyai kemampuan yang berbeda menangkap frekuensi tersebut. Walaupun secara umum ada batasan-batasan frekuensi yang bisa ditangkap oleh indera manusia, tetapi kalau didalami lebih jauh, pemahaman terhadap frekuensi tsb berbeda-beda. Contoh yang paling mudah adalah orang yang sedang jatuh cinta akan melihat bulan indah bercahaya dengan terangnya. Artinya dia menterjemahkan frekuensi cahaya ke dalam pengertiannya menjadi lebih terang, lebih indah, lebih cemerlang, sedangkan orang yang sedang marah, sedih dll, tidak akan melihat cahaya tersebut secemerlang atau seindah orang yang lagi jatuh cinta.  Padahal image gambar dari bulan tersebut tidak berubah, dia memancar sama ke setiap orang. Jadi penerimaan atau pemahaman setiap orang terhadap suatu objek tergantung dari kemampuan dia menterjemahkan image tersebut. Bahkan dengan objek yang sama, dua orang akan memahami secara berlawanan. Rasulullah SAW bagi orang Islam tergambar sebagai image manusia sempurna, sedangkan bagi para kafir tergambar sebagai setan besar. Padahal Rasul adalah Rasul.  Demikian juga bulan akan dilihat berbeda oleh orang awam dibanding dengan ahli astronomi.

 Jadi apabila dsimpulkan sedikit tentang frekuensi ini adalah bahwa alam semesta ini tidak lebih dan tidak kurang hanyalah lautan frekuensi yang tidak ada batasnya. Ini adalah pengertian secara makronya. Dengan kemampuan indera manusia yang terbatas hanya sedikit yang bisa diketahuinya. Yang lebih fundamental lagi adalah secara mikronya dimana semua ketidakterbatasan dan keterbatasan tersebut sebenarnya hanya ada dalam otak kita, yang diterjemahkan berbeda untuk setiap manusia sesuai dengan pengetahuan dan suasana jiwa seseorang.

Dunia anda, saya, kita semua hanya ada dalam otak kita masing-masing, tidak di luar. Persepsi bahwa semua yang di luar itu hanya ilusi dalam otak.  Sehebat-hebatnya manusia mengetahui tentang alam semesta, itu hanya kemampuan dia menterjemahkan frekuensi yang tidak terbatas tersebut ke dalam pengertiannya. Jadi apa yang dilihatnya tentang alam semesta hanya kemampuan otaknya untuk menterjemahkan frekuensi tersebut ke dalam suatu imaginasi yang hanya dia yang tahu. Orang lain akan berbeda lagi pengertiannya terhadap alam semesta.

Nah, mari kita ungkap kenapa kemampuan ilmu pengetahuan sang Khalifah sangat jauh berkurang ketika diturunkan atau dilahirkan ke bumi. Kalau pengertian kita tadi bahwa frekuensi alam semesta yang tidak terbatas tsb terjadi di luar sono.. pada hakikatnya tidak, semuanya hanya di dalam otak kita. Jadi frekuensi yang tidak terbatas yang di alam semesta sebenarnya frekuensi yang tidak terbatas di dalam otak kita, dan hanya sangat sedikit sekali yang bisa diketahui.

Studi tentang syaraf belakang ini menemukan bahwa ada sekitar ratusan miliar sel syaraf (neuron) yang ada di otak kita dan ratusan triliun sinapsis (penghubung antar sel syaraf), dan setiap syaraf mempunyai gelombang yang unik. Tidak ada satupun sel syaraf yang sama gelombangnya. Bisa dibayangkan bahwa di otak kita ada ratusan miliar gelombang dan ratusan miliar gelombang yang berbeda tersebut saling terkoneksi satu sama lain sampai sebanyak ratusan triliun koneksi.

Pada hakikatnya ini adalah tidak terbatas. Dari jumlah yang tidak terbatas tersebut, hanya ratusan juta sel syaraf yang digunakan oleh lima indera kita untuk mengetahui dunia kita masing-masing atau untuk menangkap frekuensi yang tidak terbatas tsb. Selebihnya tidak bisa dijangkau oleh indera manusia. Inilah yang dimaksud dengan kehilangan ilmu pengetahuan. Ketika Sang Khalifah di Alam Ketuhanan dan Alam Surga, frekuensi yang tidak terbatas tersebut diketahuinya, tetapi ketika diturunkan ke bumi, frekuensi yang tidak terbatas tersebut hanya bisa ditangkap oleh lima indera yang sangat terbatas kemampuannya.

Nah, mari kita merenung sejenak. Apa maksud Allah dengan yang begini? Kita sebenarnya disiapkan untuk menjadi wakilNya, sang Khalifah yang mempunyai potensi yang tidak terbatas, tetapi, pas waktu mau melaksanakan tugas kekhalifahan tersebut, potensi kekhalifahan tersebut hilang atau dicabut. Bahasa lugasnya adalah kita diberi tugas yang maha berat untuk membangun peradaban manusia di muka bumi sebagai wakilNya, tetapi di lain pihak kemampuan kita diperkecil sampai ke tingkat yang sangat rendah. Kemudian pas telah habis waktu kita untuk menjalankan tugas kekhalifahan tersebut, nanti di akhirat ditanyakan dan dipertanggungjawabkan apa saja yang telah kita perbuat selama misi kekhalifahan tersebut. Wah… sangat berat dan sangat berat. Tugas berat tetapi kemampuan kecil.

Itu adalah perhitungan logika terbatas kita….  Allah Maha Penyayang dan Maha Adil. Dia pasti tidak akan membiarkan Sang KhalifahNya tidak mampu menjalankan misiNya. Ada satu alat yang belum kita perhitungkan selain dari 5 alat indera kita… yaitu Akal. Inilah satu-satunya alat yang diberikan Allah untuk bisa meraih gelombang-gelombang yang tidak terbatas tadi dimana indera manusia sudah tidak mampu lagi menjangkaunya. Hanya Sang Akal. Lebih lanjut lagi hanya Sang Akal lah yang bisa mengenal Sang Empunya gelombang tidak terbatas tsb.  Saya menggarisbawahi bahwa hanya Sang Akal yang bisa mengenal atau bermakrifat kepada Allah. Apabila mau mengetahui lebih lanjut, kenapa pernyataan ini saya garis bawahi, saya bahas panjang lebar dalam buku Pengenalan Hakikat Diri Menurut Al Quran.

Dalam buku Pengenalan Hakikat Diri Menurut Al Quran dibahas bahwa cara untuk mengenal Allah disampaikanNya dalam banyak ayat-ayatNya di Al Qur’an. Kuncinya adalah bahwa cara untuk mengenalNya adalah dengan cara melaksanakan lima rukun Islam. Shalat secara khusus dibahas di buku tsb. Shalat merupakan suatu perjalanan kembali dari bumi kembali naik ke tempat di mana Sang Khalifah pernah berjanji yaitu tempat asalnya, yaitu dengan perjalanan isra’ dan mi’raj. Kenapa shalat dipakai oleh Allah untuk mengenalnya? Pada hakikatnya, shalat adalah alat untuk memperkuat dan menyempurna kemampuan akal sehingga akhirnya bisa mengenalNya. Salah satu bahasan tentang shalat adalah 'menyatukan yang berpasang-pasangan.' Kita tahu di Qur'an bahwa semua ciptaan Allah yang terjadi melalui proses 'kun fayakun' adalah berpasang-pasangan. Lihat [36:36]  dan [51:49].

'Menyatukan yang berpasang-pasangan' adalah cara hakikat untuk bisa mengenal Sang Maha Tunggal. 'Menyatukan yang berpasang-pasangan' berarti menyatukannya sehingga yang berpasang-pasangan tersebut tidak berfungsi lagi. Ke lima indera manusia sebenarnya berhubungan dengan yang berpasang-pasangan tsb. Fungsi melihat adalah memakai sepasang mata, fungsi mendengar adalah memakai sepasang telinga, fungsi mencium adalah memakai sepasang lubang hidung, fungsi mengecap rasa memakai pasangan lidah dan bibir, dan fungsi meraba memakai kulit. Kalau kita menyatukan yang berpasang-pasangan dari indera tersebut, berarti menghentikan fungsinya. Apabila semua indera tsb dimatikan fungsinya maka masih ada satu fungsi yang tidak pernah bisa dimatikan, yaitu fungsi berpikir. Kita bisa pejamkan mata, menutup telinga, menahan nafas, menutup mulut, diam supaya indera tsb tidak berfungsi, tetapi kita tidak bisa menghentikan fungsi berpikir. Malah dengan menghentikan fungsi semua indera tsb, fungsi berpikir akan bertambah tajam. Sang Akal akan bertambah sempurna. Semakin sempurna dia semakin banyak dia kenal akan Tuhannya.

Inilah juga sebenarnya hakikat dari puasa,  yaitu menyatukan yang berpasang-pasang atau mengontrol fungsinya. Pada sepuluh hari pertama, kita mencoba mengontrol kemauan dari perut ke bawah, sepuluh hari kedua meningkat dengan menambahkan untuk mengontrol gejolak di daerah dada spt marah, iri, dengki dll. Sedangkan sepuluh hari ketiga adalah mengontrol fungsi mata, telinga, mulut dan penciuman. Semua fungsi tsb harus bisa dikontrol hanya ke arah kebaikan dan melumpuhkan potensi ke arah keburukan. Apakah bisa menghentikan fungsi berpikir? Tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Malah dengan pengontrolan dalam ke tiga tingkatan tadi, kemampuan berpikir akan meningkat. Tujuan Allah menyuruh kita berpuasanya adalah untuk menjadikan kita orang-orang berakal dengan meningkatkan kemampuan berpikir dan akhirnya orang yang berakal tsb akan menjadi orang yang bertakwa.

Jadi misi sang Khalifah di muka bumi ini adalah meraih kembali semaksimal mungkin ilmu pengetahuan atau frekuensi yang pernah hilang dan digunakan untuk kemashalatan umat manusia dan peradaban. Caranya adalah dengan melaksanakan ke lima rukun Islam. Tujuan akhir dari semuanya adalah mempertajam, memperkuat, dan menyempurnakan kemampuan akal sehingga akhirnya Sang Khalifah, yang awalnya mempunyai kemampuan yang tidak terbatas kemudian dicabut, bisa meraih kembali kemampuan tersebut, dan akhirnya bisa benar-benar kembali mengenalNya. Sang Akal mampu kembali menangkap frekuensi-frekuensi yang tidak terbatas tsb dimana indera tidak mampu. Tentu setiap manusia akan berbeda kemampuaan maksimalnya menangkap frekuensi tersebut. Tergantung kepada upaya dia untuk mempertajam dan menyempurnakan akalnya dan tidak diganggu oleh persepsi negatif hatinya.

Rukun Islam yang lima adalah cara memperkuat kemampuan akal melalui penghentian semua indera yang terbatas kemampuannya. Dengan potensi dasar akal yang lebih sempurna dengan cara lima rukun Islam tersebut, maka seseorang bisa belajar dan belajar tentang kehidupan ini, belajar ilmu apa saja sesuai dengan kemampuannya dan digunakan untuk misi wakilNya di dunia ini.


Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarahtuh.

Sabtu, 31 Agustus 2013

Sejarah Timbulnya Gagasan Nur Muhammad

Sejarah Timbulnya Gagasan Nur Muhammad
SEJARAH TIMBULNYA GAGASAN NUR MUHAMMAD
SAMPAI MASUKNYA KE NUSANTARA
Oleh Nur Fauzan Ahmad, S.S., M.A.
Intisari
Gagasan Nur Muhammad banyak mendominasi dalam pemikiran para sufi terbukti dari banyaknya naskah tasawuf yang membicarakannya. Tulisan ini bertujuan mengungkapkan latar belakang timbulnya gagasan Nur Muhammad dan masuknya ke Nusantara. Dari hasil kajian studi pustaka yang dilakukan didapatkan hasil bahwa gagasan ini bermula dari tafsiran filosofis terhadap Al Quran surat An-Nuur: 24 yang dilakukan oleh Muqattil. Paham Nur Muhammad dalam tradisi sufi bermula dengan adanya pemujaan dan penghargaan terhadap manusia agung, Nabi Muhammad saw. Ide itu diperkuat oleh Al Hallaj dan Ibnu Araby serta Abdul Karim Al Jilli. Sejalan dengan masuknya Islam ke Indonesia yang dibawa oleh para ahli tasawuf, gagasan Nur Muhammad ini masuk ke Nusantara dalam pemikiran para sastrawan yang juga para ahli tasawuf seperti Nurudin Ar Raini, Syamsudin Sumatrani, Abdurrauf Singkeli.
Kata kunci: Nur Muhammad, sejarah, nusantara
Abstract
The idea of Nur Muhammad much dominate in the thinking of Sufi mysticism is evident from the many texts that talk about it. This paper aims to reveal the background of the emergence of the idea of Nur Muhammad and the entry of Nusantara. From the results of studies conducted literature study showed that this idea stems from a philosophical interpretation of the Quran An-Nuur letter: 24 performed by Muqattil. The idea of Nur Muhammad in sufism tradition began with the veneration and respect of the great man, the Prophet Muhammad PBUH. The idea was reinforced by Al Hallaj, Ibn Araby and Abdul Karim al-Jilli. In line with the entry of Islam into Indonesia brought by the experts of sufism, the idea of Nur Muhammad was entered to Nusantara in the thinking of writers who are also experts like Nurudin Ar Raini mysticism, Syamsudin Sumatrani, Abdurrauf Singkeli.
Keywords: Nur Muhammad, sejarah, nusantara
Cerita tentang Nur Muhammad merupakan sastra tasawuf. Di dalam kesusastraan Melayu, khususnya sastra sufi, terdapat banyak teks yang membicarakan cerita Nur Muhammad ini. Teks ini tersebar di berbagai naskah. Ada yang berdiri sendiri dalam bentuk satu naskah. Ada pula yang merupakan satubagian dari banyak cerita dalam satu naskah. Naskah ini terdapat di beberapa tempat penyimpanan/ koleksi. Di Indonesia terdapat di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Jakarta, di Belanda terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden, di Inggris terdapat di Bodleian Library, London, serta di pelbagai koleksi, baik di koleksi pribadi maupun koleksi perpustakaan umum lain.
Di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta terdapat tujuh buah naskah yang tersimpan di dalam Katalogus Koleksi Naskah Melayu ( Sutaarga: 1972: 172-173 ). yaitu :
1. C.st. 119/ Ml. 644 selanjutnya disebut naskah A
2. v.d.w. 76/ Ml. 643. selanjutnya disebut naskah B
3. Bat. Gen. 96/ Ml. 96. selanjutnya disebut naskah C
4. Bat. Gen. 406 B/ Ml. 406 B. selanjutnya disebut naskah D
5. v.d.w. 75/ Ml. 642. selanjutnya disebut naskah E
6. Bat. Gen. 388 F/ Ml. 388 F. selanjutnya disebut naskah F
7. Bat. Gen. 378 C/ Ml. 378 C. selanjutnya disebut naskah G
Di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, cerita Nur Muhammad dijumpai di dalam berbagai naskah antara lain
1. Cod. Or. 12. 125/ Oph. 3. 80
2. Cod. 12. 139/ Oph. 17. 120
3. Cod. Or. 12. 132/ Oph. 10A. 120 (Ronkel, 1921: 247-249)
Di Inggris, naskah yang memuat HNM ini terdapat di dalam koleksi Bodleian Library London dengan nomor naskah MS.Jav.c.2 No. 42 M (Depparpostel, 1991:15)
Di dalam kesusastraan Melayu cerita tentang Nur Muhammad ini terdapat juga di dalam Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, Hikayat Syah I Merdan (Juynboll.1899: 202), Sejarah Melayu, Syair Ikan Tunggal Bernama Fadhil karya Hamzah Fansuri (Sangidu, 2003a), Hikayat Nabi nomor Ml. 803/ v.d.w. 102 ( hal 1-27), juga pada naskah Akhbar al-Akhirat fil-Akhwal al Qiyamatnomor Ml. 803/ v.d.w. 48dan naskah yang bernomor Ml.804/ Br. 275 (Sutaarga, 1972: 282).
Cerita tentang Nur Muhammad ini terdapat pula di dalam naskah kitab-kitab tasawuf berikut. Naskah-naskah itu antara lain Daqaiqul-Akhbar fi - akhwalil-Qiyamah (An Nabhan, tt), kitab Bachrul-Lahut(Abdullah,tt:14). Syajaratul-Kaun (Ibnu Araby), Daqaiqul -Akhbar fi Dzikril-Jannah Wan-Naar oleh Abdul Rahim bin Ahmad Al Qadhi dan yang dalam terjemahan Melayunya ditulis oleh Syaikh Ahmad ibn Muhammad Yunus Langka, Al Kaukab ad-Durri fin-Nuuril-Muchammadi oleh Syaikh Muhammad bin Isma’il Daud al-Fatani, Madarijus-Su’ud oleh Nawawi al Bantani, Sirrul Asraar oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailany, Sabiilul -Iddikar wal- I’tibar oleh Imam Al Haddad, Bad’ Khalq al-Samawat wa al-Ardh karya Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Kasyful Ghaibiyah oleh Zain al-‘Abidin al-Fatani.
Di dalam kesusatraan Jawa, cerita Nur Muhammad ini pun disebut dalam beberapa karya sastranya, misalnya Wirid Hidayat Jati, Serat Centhini, naskah-naskah primbon seperti Serat Wirid dan Niti Mani(Zoetmoelder 1991: 115-126).
Adanya gagasan cerita ini tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Islam yang begitu kental mewarnai cerita. Hal itu terjadi karena gagasan itu lahir dari kalangan sufi (tasawuf). Gagasan ini mirip dengan pemikiran para filosof Yunani ketika menjelaskan tentang proses terjadinya alam semesta. Proses kelahiran tasawuf sendiri memang panjang. Ajaran tasawuf memang bersumber dari ajaran Islam sendiri (dalam batas-batas kewajaran) dan dari luar Islam (khususnya pada ajaran-ajaran yang ekstrim/ melebihi batas kewajaran. Di antara pengaruh ajaran di luar Islam itu adalah pengaruh Hindu (India), Persia, khusus­nya agama Zoroaster dan Mani. (Nasr, 1995 : 162 -163), agama Nasrani, Filasafat Yunani khususnya Neo-Platonisme dan Filsafat Mistik Phitagoras (Abdullah, 1982 : 22; Hamka, 1984: 45-66).
Tulisan ini akan membahas apakah ajaran Nur Muhammad itu dan bagaimana latar belakang timbulnya gagasan itu. Di sini akan dibahas bagaimana latar konsep Nur Muhammad dalam tasawuf falsafi, bagaimana pandangan tokoh Al Hallaj, Ibnu Araby dan Abdul Karim AlJilli sebagai pelatak dasar konsep Nur Muhammad, dan bagaimana doktrin Nur Muhammad ini masuk dan mempengaruhi pemikiran di Nusantara.
1. Latar Belakang Timbulnya Gagasan Nur Muhammad
Nur Muhammad merupakan sebuah paham di dalam tasawuf, falsafi, yang menganggap bahwa dunia seisinya itu bermula dari Nur Muhammad. Paham Nur Muhammad dalam tradisi sufi bermula dengan adanya pemujaan dan penghargaan terhadap manusia agung, Nabi Muhammad saw., yang namanya selalu disandingkan bersama Allah dalam persaksian (syahadat) seorang muslim. Bermula dari seorang teolog abad ke-6 M yang bernama Muqattil menafsirkan Al-Qur’an (QS,24:35) yang terkenal dengan “ayat cahaya” . Ayat tersebut berbunyi:
“Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dari pohon minyak yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur(nya) dan tidak di sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS,24:35).
Ayat itu oleh Muqattil dihubungkan dengan Nabi Muhammad saw. Kata mishbach (lampu) itu dianggap sebagai lambang yang tepat bagi Muhammad. Melalui Muhammadlah cahaya Ilahi dapat menyinari dunia. Melalui Muhammad juga umat manusia dituntun menuju sumber cahaya itu (Schimmel,1991: 174-175). Kata “tidak dari timur dan dari barat” mengacu kepada tugas kerasulan Nabi Muhammad saw yang rachmatan lil-‘alamin (memberi rahmat/ kasih sayang untuk segenap alam).
Ide Muqattil itu diambil oleh Sahl al-Tustari, tokoh sufi Irak (wafat th. 896 M) yang mengatakan adanya ”lajur cahaya”, yaitu sejenis timbunan yang terdiri dari segenap jiwa-jiwa yang suci (Atja, 1966:l5). Berdasarkan teori Muqattil di atas, esensi Muhammad menurut Tustari, disebut ‘amud al-nur’ (tiang cahaya), yakni jasad halus dari keyakinan yang diemanasi dari Tuhan sendiri yang membungkuk kepada-Nya selama satu juta tahun sebelum diciptakan-Nya makhluk-­makhluk (Massignon: 283).Tentang peran Nabi Muhammad Tustari mengatakan:
“Allah dalam keesaan-Nya yang mutlak dan realitas transenden-Nya ditegaskan sebagai misteri yang tak tertembus dari cahaya illahi yang bagaimana pun juga, mengungkapkan dirinya sendiri dalam praktek perwujudan prakeabadian dari “persamaan cahaya-Nya” (matsalu nurihi), yaitu persamaan cahaya Muhammad (nur Muhammad) dalam prakeabadian dilukiskan seba­gai suatu masa bercahaya dari pemuliaan primordial di haribaan Allah yang mengambil bentuk suatu tiang tembus cahaya ‘amudcahaya Illahi dan membentuk Muhammad sebagai ciptaan utama Allah” (Schimmel, 1991;176).
Dalam menjelaskan terminologi ayat cahaya tersebut, Tustari mengatakan bahwa ketika Allah berkehendak menciptakan Muhammad, Dia memunculkan sebuah cahaya dari cahaya-Nya. Ketika Ia mencapai selubung keagungan hijabul-’adzamah, Ia membungkuk dan bersujud di hadapan Allah. Allah menciptakan dari sujudnya itu sebuah tiang yang besar bagaikan kaca kristal dari cahaya yang dari luar maupun dalam yang dapat tembus pandang” (Schimmel , 1991:176) .
Selanjutnya Tustari mengaitkan cahaya Muham­mad dengan surat An-’Najm (53) ayat 13 yang berbunyi : “Walaqad ra’aahu nazlatan ukhraa” artinya: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain” (QS,53:13) .
Kata ”pada waktu yang lain” ditafsirkan Tustari dengan ketika tiang cahaya Muhammad berdiri di hadapan Allah. (Di dalam Hikayat Nur Muhammad diceritakan tentang Nur Muhammad disuruh bersujud selama lima puluh tahun di hadapan Allah. Dije­laskan bahwa sebelum dimulai penciptaan selama sejuta tahun Nur Muhammad itu berdiri di hadapan-Nya untuk memuji-Nya dengan keteguhan iman dan (kepadanya) diungkapkan misteri oleh “misteri” itu sendiri di pohon Sidratil-Muntaha (QS, 53:14) yaitu tempat berakhirnya pengetahuan setiap orang (Bowering via Schimmel, 1991: 177).
Ketika penciptaan dimulai, Allah menciptakan Adam dari cahaya Muhammad. Cahaya para nabi, cahaya kerajaan langit, cahaya malakut adalah dari cahayanya. Begitu juga cahaya dunia dan dunia yang akan datang berasal dari cahayanya” (Schimmel, 1991:177).
Akhirnya, ketika kemunculan para nabi dalam alam raya spiritual di dalam prakeabadian telah sempurna, Muhammad dibentuk tubuhnya dalam bentuk temporal dan terestrial, dari lempung Adam, yang telah diambil dari tiang Nur Muhammad dalam prakeabadian. Dengan demikian, penciptaan cahaya prakeabadian telah disempurnakan. Manusia pertama dicetak dari cahaya Muhammad yang telah terkristal dan mengambil sosok pribadi Adam (Schimmel, 1991:177).
Ide itu ditangkap oleh Al Hallaj yang kemudian mengembangkannya di dalam faham Nur Muhammad. Konsep al Hallaj tentang Nur Muhammad selanjutnya diteruskan oleh Ibnu Araby dengan konsepwachdatul wujudnya dan dilanjutkan oleh Abdul Karim Al Jilli dalam Insanul kamil.
2. Nur Muhammad di dalam Konsep Tasawuf Falsafi
Manusia mempunyai kecenderungan untuk berdekatan dengan Tuhan penciptanya. Hal ini merupakan cerminan kerinduan nurani manusia terhadap Tuhannya. Manusia menyadari bahwa dirinya berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Gejala ini universal dan konstan tidak terbatas oleh ruang dan waktu, baik di Barat maupun di Timur, sejak dahulu sampai sekarang dan yang akan datang (Sofwan: 1999: 99). Perjalanan batin dalam mencapai kesempurnaan hidup yakni berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan bahkan menyatu itu disebut mistik (Gaynor, 1953:119). Dimensi mistik ini terdapat pada setiap agama bahkan juga pada ajaran-ajaran yang menyerupai agama (pseudo agama). Di dalam agama Islam, mistik ini dikenal dengan istilah tasawuf.
Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati karena rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diridengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Mahasuci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekati­ adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya (Nasution dalam Rahman [ed], 1995: 161)
Pada perkembangan awalnya tasawuf mengambil bentuk zuhud, dalam arti sikap hidup sederhana dan menjauhi kemewahan duniawi dan untuk memperhalus budi pekerti/ akhlak dalam rangka mencapaitujuan mendekatkan diri dengan Tuhan. Jadi, awalnya merupakan sebuah gerakan moral untuk memperhalus akhlak di tengah kekakuan dan keketatan ajaran syariat. Oleh karena itulah tasawuf semacam ini disebut tasawuf akhlaki/ sunni (Ardani: 1989: 6) yang dikategorikan sebagai mistik kepribadian (mysticisme personality) (Schimmel: 1986:3). Disebut tasawuf sunni karena tasawuf ini dikembangkan oleh golongan sunni (ahlussunnah wal Jamaah) yang tetap berpegang pada ortodoksi Al Quran dan sunnah Nabi. Disebut mistik kepribadian karena hubungan antara Tuhan dan manusia tidak sampai pada penyatuan esensi, karena pada dasarnya keduanya berbeda. Yang terjadi hanyalah upaya mengkonsentrasikan keseluruhan aktivitas hanya kepada Allah (wahdatusy-syuhud), dan bahwa yang ada hanyalah Allah.
Tasawuf sebagai gerakan kerohanian untuk mendekatkan diri kepada Allah, pada perkembangan awal memang didorong oleh ajaran Islam sendiri yaitu Al Qur’an dan contoh kehidupan Nabi Muhammad saw. Ajaran perilaku kesederhanaan dan zuhud sebagaimana dicontohkan Nabi itu ditiru oleh para sahabat misalnya Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Al Farisi (Abdullah, 1984:5-14). Bahkan para sahabat Nabi yang akibat hijrah ke Madinah menjadi miskin sehingga mereka tinggal di masjid Nabi dan tidur di bangku batu dengan memakai pelana (suffah) sebagai bantalnya itu sering disebut sebagai ahlussuffah.Kata ahlussuffah inilah yang merupakan salah satu sebab kenapa peri hidup kerokhanian itu disebut dengan kata tasawuf (Nasution, 1990: 50-51).
Pada perkembangan selanjutnya, yaitu di masa tabi’in, lahir penganjur kehidupan tasawuf yang awal yaitu Hasan Al-Basri yang digelari Abu Sa’id (21-110 H). Beliau mengajarkan khauf (takut) kepada Tuhan. Ketika beliau wafat (110 H ), lahir Abu Hasyim Shufi al-Kufi yang wafat pada tahun 150 H/ 761 M (Abdullah, 1982:16-17). Selanjutnya hidup pula para sufi lain misalnya Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita (714-801 M) yang mengajarkan machabbah/ cinta kepada Allah semata (Nasution, 1990:70-74). Selanjutnya Sufyan ats-’Tsaury (602-732 M) men­gajarkan kehidupan zuhud dan menentang kemewahan (Abdullah, 1982:17) dengan sikap menjaga muru’ah, berusaha sendiri tidak mengemis kepada raja-raja (Hamka, 1984:84). Sedangkan Dzun-Nun Al-Mishry (180-245 H) dikenal sebagaiBapak Ma’rifatkarena beliau mengajarkan ma’rifah/ gnosis, yang berarti mengetahui Tuhan dari dekat (Nasution, 1990: 74-78).
Dengan berkembangnya Islam pada masa Khulafaur-Rasyidin (tahun 11-40 H) dan kemudian dipegang oleh dinasti Umayyah sejak tahun 40-132 H, dunia Islam mulai dimasuki kebudayaan-kebudayaan asing yang datang dari Parsi, Yunani, India dan sebagainya. Pada masa pemerintahan Abasyiyah, khususnya pada masa pemerintahan Al-Makmun dan Harun Al-Rasyid, umat Islam telah sampai ke puncak ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang tinggi (Muin, 1986:18). Menurut Prof. Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam Tarikhul-Islam, pada abad-abad tersebut ilmu tasawuf memang sudah berkembang dan dalam perkembangannya sudah masuk ke tahap sinkretisme antara ajaran tasawuf dan ajaran filsafat Neo-Platonisme, ajaran Hindu dan Budha serta Zoroaster sehingga membentuk suatu metode tasawuf yang dinamakan ”Filsafat Tasawuf” (Syukur, 1982:65).
Akibat persinggungan dengan filsafat Yunani khususnya Neo-Platonisme, faham Syi’ah serta aliran mistik Kristen dan kebudayaan “tempatan” lainnya, tasawuf yang semula bertujuan memperhalus akhlak berkembang menjadi pandangan hidup yang disistematisir atas dasar pemikiran filsafat. Corak tasawuf ini bertujuan tidak sekedar mendekatkan diri kepada Tuhan bahkan juga untuk bersatu dengan-Nya. Oleh karenanya tasawuf ini dikenal dengan tasawuf non sunni atau tasawuf falsafi (Ardani, 1989:6) dan dapat dikategorikan sebagai misticisme infinity/ tasawuf ketakterhinggaan (Schimmel: 1986:3).
Tasawuf ini menekankan pada tujuan pencapaian derajat insan kamil/ manusia sempurna. Insan Kamil merupakan cermin/ duplikat Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya sebagai refleksi gambaran nama dan sifat-sifat-Nya. Kondisi ini dapat terwujud apabila manusia sudah dapat mencapai kesatuan mutlak dengan Tuhannya (wachdatul wujud). Persatuan hamba dan Tuhannya itu diungkapkan dengan bermacam-macam istilah, misalnya Abu Yazid al Busthami menyebut ittichad, isyraq oleh as-Suhrawardi, chulul oleh al Hallaj, wachdatul wujud oleh Ibnu ’Araby. Dari sini mulailah berkembang ektrimitas tasawuf. Beberapa ekstrimitas tasawuf itu antara lain Pantheistis/ wichdatul-wujud, Non-Formalisme, Asketisr Isolasionis, Fatalistis, Messianistis dan Egoistis (Abdullah, 1982:46-66).
Pada tahun 801 M di Bustam lahir seorang sufi yang berpandangan ekstrim yaitu Abu Yazid al-Bistami (wafat 847 M) dari Persia. Beliau mengajarkan fana dan baqa. Menurut beliau, untuk bisa (ittichad)bersatu dengan Allah, seseorang harus menghancurkan dirinya (fana) yang diiringi dengan hidup terus (baqa)Di sini Abu Yazid telah dekat benar dengan Allah bahkan telah mencapai ittichad sehingga ia sampai mengucapkan kata-kata yang pada intinya mengandung pengakuan bahwa dirinya adalah Tuhan (Nasution, 1990:79-86).
Paham ittichad ini pada perkembangan selanjutnya menjadi chulul (Tuhan mengambil tempat pada manusia) yang dikembangkan oleh Hussein Ibnu Mansyur Al Hallaj yang akhirnya dilanjutkan oleh Muhyiddin Ibnu Araby dalam bentuk wachdatul wujud. Pada ajaran Al Hallaj inilah gagasan NurMuhammad mulai timbul.
3. Al Hallaj Peletak Dasar Gagasan Nur Muhammad
Spekulasi Sahl At-Tustari tentang ayat cahaya di atas mempengaruhi para sufi berikutnya seperti Al Hallaj[1]. Di dalam kitabnya Thasin Al-Shiraj yang merupakan bab I dari kitab Al Thawasin (hal 9-11) Al Hallaj mengatakan
“Dia adalah sebuah lampu dari cahaya yang tak terlihat…. sebuah bulan yang bercahaya di antara bulan-bulan lainnya, yang rumahnya berada dalam lingkaran segala misteri. Kebenaran Ilahi ( Tuhan ) menyebutnya ummy dikarenakan kesempurnaan aspirasinya yang mulia (Himmah) …
Cahaya-cahaya kenabian, dari cahayanyalah mereka muncul, dan cahaya-cahaya mereka berasal dari cahayanya, yang tiada cahaya terang serta mendahului praeksistensi, dari pada cahaya tokoh mulia ini.
Menurut al-Hallaj, Muhammad memiliki dua hakikat, yakni pertama hakikat cahaya azali yang telah ada sebelum adanya se­gala sesuatu dan menjadi landasan ilmu serta ma’rifat (Nicholson, 1975:51). Kedua,hakikat yang baru dalam kedudukannya sebagai seorang nabi, pada ruang dan waktu tertentu. Cahaya yang pertama itulah yang menjadi landasan semua para nabi dan para imam/ wali yang lahir sesudahnya. (Mahmud, 1967:379-380) Dalam syair indahnya, al-Hallaj meng­ungkapkan:
Tha Sin.
Sinar cahaya gaib pun tampak dan kembali.
Sinar itu pun melintasi dan mendominasi segala sesuatu. Sebuah bulan bersinar cemerlang di antara berbagai bulan, zodiaknya ada dalam bintang rahasia.
Yang Maha Benar (Tuhan) memberi nama Ummi (yang tidak ditandai dengan huruf) kepada sinar itu, untuk menghimpun aspirasi-Nya dan dia juga diberi nama Hurmi (Muhammad) karena keagungan karunia-Nya,
serta Makki karena tempat kelahirannya pada kedekatan-Nya (Al Hallaj)
Al-Hallaj adalah salah seorang sufi pertama yang mengisyaratkan sesuatu semacam logos Islam dan menekankan kekudusan Muhammad dan bahkan menegaskan keabadian dan praeksistensinya. Menurut Al-Hallaj (Afifi,1989 : 123) eksistensi Muhammad telah terjadi bahkan sebelum noneksistensi dan namanya pun ada sebelum pena. Ia telah dikenal sebelum substansi-substansi dan kejadian-kejadian dan sebelum realitas-realitas yang belum maupun yang sudah. Ia datang dari suatu suku yang bukan timur bukan barat ( bandingkan dengan ayat cahaya ).
Bagi Al-Hallaj, Muhammad adalah cahaya yang tak pernah padam yang terus menerus menerangi hati para sufi. Semua Nabi dan orang suci mendapatkan cahaya (pengetahuan) mereka dari cahaya Muhammad saja. Cahayanya lebih cemerlang dan lebih abadi (Aqdam) dari pada cahaya pena. (Thawasin hal 11-12).
Ada tiga pokok ajaran Al Hallaj yang menggemparkan ulama fikih yaitu Chulul, al-chaqiqatul-Mucammadiyah dan wachdatul-adyan. Menurut Al Hallaj, kejadian alam ini pada mulanya berasal darial-Chaqiqatul-Muchammadiyah atau Nur Muham­mad, Nur Muhammad itulah asal segala sesuatu. Menurutnya Nabi Muhammad saw itu terjadi atas dua rupa; rupa yang qadim dan azali. Rupa yang pertama adalah qadim (dahulu) yang terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada. Rupa yang kedua berwujud manusia, sebagai Nabi dan Rasul utusan Allah. Rupa yang kedua ini menempuh mati. Tetapi rupanya yang qadim tetap ada meliputi alam. Maka dari Nur (cahaya) rupanya yang qadim itulah diambil segala nur untuk menciptakan segala nabi dan rasul serta para wali (Syukur, 1982 : 54 ; Hamka, 1984 : 123).
Al Hallaj mengatakan bahwa dalam kejadian, Nur Muhammadlah yang awal namun dalam kenabian, dialah yang akhir. Al-Chaq adalah sama dengan Nur Muhammad, dengan dialah hakikat itu. Dia yang pertama dalam hubungan dan yang akhir dalam kenabian. Dialah yang batin dalam hakikat dan yang lahir dalam ma’rifat. Nur Muhammad itulah pusat kesatuan alam, dan pusat kesatuan nubuwwat segala Nabi, dan Nabi-nabi itu nubuwwatnya, atau pun dirinya hanyalah sebagian saja dari pada cahaya NurMuhammad itu. Segala macam ilmu, hikmat dan nubuwwat adalah pancaran belaka dari sinarnya ” (Hamka, 1984 : 123)
Pemikiran Al-Hallaj tentang al-Chaqiqatul-Muchammadiyah ini tidak bisa dipisahkan dengan fahamChulul-nya. Chulul ialah menjelmanya ruh Ketuhanan (lahut) ke dalam insan (nasut). Hal ini akan terjadi bilamana kebatinan seseorang insan telah suci bersih di dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan, maka akan naiklah pangkat (maqam) hidupnya ke maqam lain, misalnya Muslimin, Mukminin, Shalihindan Muqarrabin. Muqarrabin artinya orang yang paling dekat dengan Tuhan. Di atas Muqarrabin itulah orang sudah sampai puncaknya bisa bersatu dengan Tuhan sehingga tidak ada perbedaan antara Asyikdan Ma’syuk, sehingga tiada perbedaan antara hamba dan Tuhan (Hamka,1984:120). Sedangkan menurut Abu Nasr Al-Tusi dalam Al-Luma’chulul adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan (Tusi, 2002:689).
Menurut Al Hallaj, sebelum Allah menjadikan makhluk, Ia hanya melihat dirinya sendiri (tajallil-chaq li nafsihi). Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, dialog yang tidak menggunakan kata-kata atau huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-Nya lalu Ia jatuh cinta pada zat-Nya sendiri, Cinta inilah yang menjadikan wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada (ex nihilo)bentuk/ copy dari diri-Nya. Bentuk/ copy itu adalah Adam. Adam pun lalu dimuliakan dan diagungkan-Nya. Pada diri Adamlah Allah muncul dalam bentuknya, sehingga Allah menyuruh para malaikat sujud kepada Adam. Hal ini disebabkan pada diri Adamlah Allah menjelma sebagaimana Ia menjelma dalam diri Isa a.s (Nasution, 1990:89; Hamka, 1964:120-121).
Di sini bertemulah kepercayaan Kristen yang menganggap Allah menjelma ke dalam diri Isa al-Masih putera Mariam dengan kepercayaan Al Hallaj. Bagi Al Hallaj, bukanlah pada Isa al-Masih saja Tuhan bisa menjelma, tetapi juga pada setiap insan yang telah sanggup mem-fanakan dirinya ke dalam Tuhan sehingga mendapat baqa di dalam Tuhan. Al Hallaj mengutip satu hadis yang sangat berpengaruh besar bagi ahli sufi “Innallaaha chalaqa Adama ‘alaa suuratihi” (Sesungguhnya Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya) (Nasution, 1990:88-89)
Sepintas pernyataan dan ajaran Al Hallaj ini berbau pantheisme, namun sebenarnya Al Hallaj sendiri di tempat lain mengatakan bahwa keinsanannya tenggelam ke dalam ketuhanan, tetapi tidaklah mungkin ada percampuran. Hal itu disebabkan ketuhanan senantiasa menguasai keinsanannya. Katanya selanjutnya:
Barang siapa yang menyangkal bahwa ketuhanan bercampur dengan keinsanan jadi satu, atau keinsanan masuk ke dalam ketuhanan, maka kafirlah orang itu. Sebab Allah ta’ala itu berdiri dalam zat-Nya dan sifat-Nya daripada makhluk dan sifat-Nya pula. Tidaklah Tuhan serupa dengan manusia dalam rupa, dan bentuk yang mana jua pun.”(Hamka, 1984:122)
Pernyataan Al Hallaj yang menggemparkan yaitu ana al-haq tidak boleh boleh dipandang sebagai ucapan manusia, melainkan ucapan Allah yang ada di dalam manusia itu. Allah bagi Al Hallaj adalah transenden dan imanen. Allah tidaklah identik dengan manusia (Hadiwiyono, tt:19).
Di lain tempat Al Hallaj sendiri menyangkal adanya persatuan antara hamba dan Tuhan (sebagaimana ajaran al ittichad dari Abu Yazid al Busthami). Di dalam chulul, tetap ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh (Nasution, 1990: 90). Zoetmulder sendiri menyangkal bahwa Al Hallaj adalah seorangpantheis maupun seorang moniswalaupun tulisan-tulisan dan gagasan-gagasannya turut mengembangkan faham pantheisme dalam sufi Islam dan sekalipun ucapan-ucapan yang dilepaskan dari konteksnya dan yang disalahartikan, berbau pantheis (Zoetmulder, 1991:37-44).
5. Nur Muhammad Menurut Ibnu Araby
Ajaran Al Hallaj ini lebih populer dan mencapai titik lebih tinggi dalam dunia tasawuf setelah dikembangkan oleh Ibnu Araby[2]. Ibnu Araby adalah tokoh peletak dasar dan pembina hakiki konsepwachdatul-wujud dalam bentuk yang paling sempurna. Ajaran tasawufnya terdiri atas tiga pokok yaituwachdatul-wujud, Nur Muhammad dan wachdatul-adyan (Syukur,1982:65).
Tentang wachdatul-wujud, Ibnu Araby mengatakan bahwa wujud itu adalah satu. Wujud makhluk adalah wujud al-khaliq. Pada hakekatnya tidak ada perbedaan antara keduanya. Pembedaan itu hanya dalam rupa dan ragam saja. Wujud alam adalah wujud Allah. Allah adalah hakekat alam. Chaliq (pencipta) danmakhluk (yang dicipta) adalah satu. Abid (hamba) dan ma’bud (yang disembah) adalah satu. Kita harus memandang chaliq dan wujud itu yang kelihatan dua padahal satu wujud dari dua wajah (ain) yang satu. Oleh karena itu dia telah menegakkan faham serbasatu dan menolak faham serbadua (Hamka,1984: 153-155: Syukur, 1982: 66-67; Afifi, 1989: 27-31).
Ibnu Araby adalah pengembang ajaran dari Al Hallaj mengenai al-chaqiqatul-muchammadiyah (Nur Muhammad), (Syukur, 1982: 67; Afifi, 1989: 123). Ibnu Araby juga percaya bahwa Tuhan Allah adalah ”Suatu yang satu”. Dialah wujud yang mutlak. Nur Allah itu adalah sebagian dari dirinya. Itulah hakekat Muhammadiyah. Itulah kenyataan pertama dalam uluhiyah. Darinya terjadi segala alam dalam setiap tingkatnya seumpama alam jabarut dan malakut, alam asal, alam ajsam dan alam arwah. Dialah segenap kesempurnaan ilmu dan amal yang mewujud pada Nabi sejak Adam sampai Muhammad, sampai kepada para wali dan segala tubuh Insan yang Kamil. Dia tetap ada. Hakekat Muhammadiyah itulah yang memenuhi tubuh Muhammad. Bila Muhammad telah mati, ia mati secara tubuh, namun Nur Muhammad/ hakekat Muham­mad itu tetap hidup. Sebab ia adalah sebagian dari Tuhan. Jadi Allah, Adam, dan Muhammad adalah satu. Insan Kamil adalah Allah dan Adam pula pada hakikatnya.
Dalam aspek mistik logosnya, dia mengaitkan dirinya dengan Muhammad (seperti Al Hallaj) sebagai kepala herarki sufi dan rumah dari pengetahuan esoterik mereka. Tetapi Muhammad di sini bukan Muhammad Nabi, yakni bukan Muhammad yang diidentifikasikan sebagai logos, tetapi ia adalah realita (hakikat) dari Muhammad yang merupakan prinsip aktif dalam semua pengetahuan kudus dan esoterik. Hakikat realita Muhammad menurut doktrinnya adalah intelek pertama, prinsip rasional universal yang terdapat sepenuhnya dalam kelas orang-orang yang disebut dalam kategori Manusia Sempurna (Insan Kamil) atau disebut juga Kutub/ kepala spiritual dari herarki Nabi dan para orang suci.
Manusia adalah batang tubuh yang paling sempurna dari atribut-atribut Tuhan. Manusia Sempurna adalah sebuah mikrokosmos aktual tempat semua atribut dan kesempurnaan Tuhan termanifestasi. Manusia Sempurna adalah suatu miniatur realitas. Esensi Manusia Sempurna adalah suatu ragam dari Tuhan (al-Arsy). Pengetahuannya merupakan salinan atau cerminan Tuhan. Hatinya berkait dengan model asli Surya dari Ka’bah. Bawaan spiritualnya berkait dengan malaikat-malaikat. Ingatannya berkait dengan Saturnus, pemahamannya dengan Yupiter, intelektualnya adalah Matahari, dsb (Afifi, 1989:119-121).
Manusia Sempurna bukanlah seorang manusia atau suatu bentuk melainkan suatu prinsip universal Tuhan itu sendiri yang kesempurnaannya dimanifestasikan dalam tiap-tiap yang sempurna. Emas adalah logam yang sempurna/ Syajaratul-waq-waq (tanaman yang paling sempur­na). Manusia adalah hewan yang paling sempurna. Manusia Yang Sempurna telah menambah realitas-realitas hidup kepada realita-realita dunia karena ia adalah wakil Tuhan (khalifah) yang diatributkan pada dia.
Pemikiran Ibnu Araby ini, khususnya tentang logos, bersumber dari Al Hallaj yang menekankan kepada kekudusan Muhammad bahkan menegaskan keabadian dan praeksistensinya. Baginya Muhammad adalah cahaya yang telah padam yang terus-menerus menerangi hati para sufi. Semua Nabi dan wali mendapatkan cahaya (pengetahuan) dari cahaya Muhammad (Afifi, 1989:124). Menurut Afifi dua sumber utama logosnya adalah sumber-sumber non-Islam, misalnya filsafat Helenistik yang sebagian besar dipinjam dari Stoics, Philo dan Neo-Platonisme. Unsur-unsur ini sebagian besar mempengaruhi aspek metafisika dan manusia dari doktrin ini. Selain itu juga dari unsur Islami termasuk seperti Al-Qur’an dan Hadits, Sufi-sufi Pantheistik terdahulu (seperti Al Hallaj, Abu Yasid al-Bistami dan sebagainya), asketik-asketik Muslim, Theologi-teologi Skolastik (Asy’ari dan Mu’tazilah), Karmatian dan Ismailliyah/ Syi’ah (terutama Ikhwanush-Shafa), Aristotelian dan Neo-Platonik Persia, teruta­ma Ibnu Sina, serta Isyraqi ( Afifi, 1989:256-257).
Unsur Helenistik yang mempengaruhinya telah dimodifikasi oleh pemikir Kristen dan Yahudi. Rupanya ada kemiripan logosnya dengan Kristen. Di dalam Kristen, Kristus menempati posisi yang agak sama dengan realitas Muhammad. Pendapat Ibnu Araby yang menganggap Muhammad sebagai kutub yang merupakan prinsip rasional yang berdiam di dalam semua nabi dan santo (orang suci), mempunyai beberapa kesamaan dengan pandangan Macarius (mengikuti Methodius) tentang kesatuan Logos (Kristus)” dengan jiwa-jiwa saleh. Dalam tiap jiwa Kristus lahir. Ibnu Araby menolak mentah-mentah semua pandangan tentang fusi atau inkarnasi, karena inkarnasi merupakan basis bagi doktrin Kristen. Realitas Muhammad adalah Tuhan itu sendiri yang dipandang dari aspek tertentu, bukan orang kedua di dalam ketuhanan. Selanjutnya Bapak, dalam doktrin Kristen adalah tidak begitu terpisah dari Dunia Fenomena sebagaimana Yang Tunggal pantheistiknya Ibnu Araby. Ia masih digambarkan sebagai Cinta Kasih, Cahaya dan Ruh, sedangkan Yang Esa-nya Ibnu Araby (Esensi) adalah Wujud transenden yang tidak dapat didekati dan tidak beratribut yang berbuat dan diketahui hanya melalui penengah yang ia namakan Realitas Muhammad (Afifi, 1989: 124-126).
Ibnu Araby juga mengutarakan adanya teori Qutubyaitu aspek mistis dari Logos Ibnu Araby yang merupakan pengaruh Ismailiyah. Ide tentang qutub itu sama tuanya dengan sufisme. Para sufi terdahulu percaya terhadap sumber umum dari inspirasi dan wahyu dan mengidentifikasikan sumber ini dengan Muhammad dan pewaris-pewarisnya. Pada Ibnu Arabylah Muhammad (Cahaya atau Ruh atau Realitas Muhammad) dipandang begitu mantap sebagai yang identik dengan prinsip universal dari animasi, penciptaan dan inspirasi, atau bahkan dengan Tuhan sendiri. Qutub Ibnu Araby bukanlah Nabi atau wali melainkan suatu prinsip kosmis. Imam yang maksum (tak pernah salah) di dalam Syi’ahIsmailliyah dan Karmathia adalah sesuatu yang paling dekat dengan dengan prinsip ini (Afifi, 1989: 126).
Doktrin Ibnu Araby tentang Manusia Sempurna berbasis dari pemikiran Al Hallaj tentang lahut dannasut. Pernyataan Challaj tentang Tuhan ini sama pemikirannya dengan pernyataan St. Paul: “Saya hidup, tetapi tidak hidup, melainkan Kristuslah yang hidup di dalam saya. Pada al-Hallaj, “Kristus” itu diganti dengan Tuhan (al-Chaq). Menurut Stoa, Manusia itu sendirilah yang membuat logos turun kepadanya dengan cara sedemikian rupa sehingga personalitasnya bisa dipandang sebagai bagian aktual dari logos itu. Baik Platonis maupun Stoa mengajarkan bahwa di dalam jiwa manusia terdapat unsur kudus, suatu pengertian yang nampaknya telah dikembangkan sepanjang garis-garis berbeda oleh kaum mistik dan filosuf Kristen dan Muslim seperti St. Paul di atas (Afifi, 1989: 128).
Kesantoan (wilayah) merupakan basis bagi semua pangkat spiritual. Asal mula wilayah merupakan suatu atribut Tuhan (Tuhan sendiri menamakan Diri-Nya dengan al-Waali), istilah itu hanya berlaku bagi orang-orang yang telah menyadari kesatuan esensi mereka dengan Tuhan. Istilah wilayah lebih umum dari pada nubuwwah (kenabian) atau risalah (kerasulan), karena “pengetahuan” yang dipunyainya identik dengan pengetahuan Tuhan dan pengetahuan Ruh Muhammad, sedangkan pengetahuan kenabian dan kerasulan adalah terbatas ( Afifi, 1989 : 134) .
Secara khusus Ibnu Araby menjelaskan Nur Muhammad ini di dalam kitabnya Syajaratul-Kaun. Buku ini memaparkan doktrin Ibnu Araby tentang pribadi Nabi Muhammad saw. Di situ diulas keunikan Rasulullah Muhammad, saw dalam hubungannya dengan Allah, manusia dan alam secara keseluruhan yang disimbolkan dengan “Pohon” yang muncul dari sebutir benih Kun.
Allah memeras benih pohon kun sehingga menjadi sari. Lalu ditambah sinar hidayah sehingga muncul jauharnya kemdian ditenggelamkan ke dalam lautan ar-Rahmah sampai keberkahannya merata. Dari proses ini Allah menciptakan Nur Nabi Muhammad saw. Lalu dihiasi dengan sinar arwah sehingga bersinar terang dan mulia. Dijadikannya Nur Muhammad sebagai asal muasal segala cahaya. Dialah orang yang pertama kali tercatat dalam kitab-Nya, orang yang terakhir muncul, pemimpin di hari kebangkitan, pembawa kabar gembira, menemui para manusia dengan senang hati.
6. Nur Muhammad dalam Pandangan Abdul Karim Al-Jilli
Pemikiran Ibnu Araby ini selanjutnya dikembangkan secara lebih jelas oleh Abdul Karim Al-Jilly (1365-1417 M)[3]. Al-Jilli menulis buku yang berjudul Al-Insan Al-Kamil fi Ma’rifatil-Awachir wal-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan dari Hal yang Terakhir dan yang Pertama), yang biasa disingkat dengan Insanul-Kamil.
Tentang ajaran Nur Muhammad, Al-Jilli menyatakan bahwa nur itulah sumber dari segala yang berwujud. Tanpa Nur Muhammad maka tidak akan ada alam ini, karena hakikat Muhammadiyah yang disebut dalam istilah falsafah dengan logos pada dasarnya merupakan arketipe kosmos, termasuk di dalamnya arketipe dari Bani Adam (Nasr:1968: 347). Penjelasan al-Jilli tentang hakikat Muhammad lebih tegas, ringkas dan sistematis. Menurut al-Jilli, nur Muhammad mempunyai banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan falaq, bila dikaitkan dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuatan makhluk yang melebihinya, semua tunduk mengitarinya, karena ia merupakan kutub dari segenap falaq. Ia disebut al-Chaqul-Makhlubih (al-Haq sebagai alat pencipta), karena darinya tercipta segenap makhluk. Ia disebut Amr-Allah, karena hanya Allah yang lebih tahu tentang hakikatnya secara pasti. Ia juga disebut al-qalamul - a’la (pena yang tertinggi), dan al-‘Aqlul-Awwal (akal pertama), karena ia merupakan wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan sederetan nama lainnya, dan akhirnya al-Jilli juga mengatakan bahwa Nur Muhammad pulalah yang mengaktual menjadi sosok ”al-Insanul-Kamil”. (Nasr, 1968: 347)
Menurut Nicholson (via Hadiwijono, tt: 1-22), dalam pandangan al-Jilli, Allah adalah Zat yang Mutlak atau Pikiran yang Murni. Sebagai Zat Yang Esa, yang bebas dari segala kualitas dan hubungan. Zat Mutlak itu digambarkan sebagai kabut (al-a’ma) yang aspek lahirnya disebut Achadiyah (keesaan abstrak). Pada keadaan ini Zat Mutlak sadar akan diri-Nya sendiri sebagai kesatuan. Ahadiyah adalah pendekatan pertama dari Zat Mutlak menuju penjelmaan. Ia juga dipandang sebagai dua aspek yaituhuwiyyah (ke-Ia-an) yang menandai kesatuan yang batin di mana Yang Mutlak sadar akan dirinya, dananiyyah (ke-Aku-an) yang merupakan pengungkapan lahiriyah dari huwiyah.
Penjelmaan berikutnya disebut wachidiyyah (kesatuan yang relatif) yaitu kesatuan di dalam kejamakan. Di sini Zat Mutlak menyatakan Diri-Nya sebagai satu dengan diri-Nya sendiri. Selanjutnya disusul penjelmaan Rachmaniyyah, di mana Allah berada di dalam segala sesuatu yang diadakan. Sebagai penjelmaan terakhir adalah Rububiyyah atau Ketuhanan, yang meneguhkan adanya hubungan antara Allah dan makhluknya. Menurut Jilly, alam semesta ini adalah aspek lahiriah dari Zat. Sedangkan aspek batinnya adalah Allah.
Manusia adalah Zat yang Mutlak yang sudah menjadi daging. la adalah dunia kecil (mikrokosmos) di mana segala sifat Yang Mutlak dipersatukan. Manusia Sempurna adalah manusia, di mana Yang Mutlak menjadi sadar akan diri-Nya dalam segala aspeknya. Ia merupakan aliran terakhir dari penciptaan. Ia adalah alat Allah untuk melihat Diri-Nya sendiri. Ia adalah tembusan (nuskha) Allah. Secara potensial segala manusia adalah manusia sempurna, tetapi dalam kenyataannya hanya ada beberapa saja manusia sempurna itu. Yaitu para nabi dan wali, sedangkan Nabi Muhammad adalah puncaknya. Hal itu disebabkan Nabi Muhammadlah Manusia Sempurna (insan kamil) yang diciptakan pertama kali oleh Allah sebagai model pertama dari ciptaan. Konsep Manusia Sempurna itu adalah sama dengan konsep Nur Muhammad (Nasution, 1974:89). Chaqiqah muchammadiyah yang muncul dalam prakeabadian itu diciptakan sebagai yaquta baidha’ (chrysolite putih). Ketika Allah melihatnya, buyarlah ia menjadi gelombang-gelombang dan zat-zat cair lainnya, yang dari situ muncul dunia penciptaan (Schimmel, 1991:178).
Al-Jilli menyatakan bahwa nur itulah sumber dari segala maujud. TanpaNur Muhammad maka tidak akan ada alam ini, karena hakikatMuhammadiyah yang disebut dalam istilah falsafah dengan logos pada dasarnya merupakan arketipe kosmos, termasuk di dalamnya arketipe dari Bani Adam.
7. Masuknya Wacana Pemikiran Sufistik Nur Muhammad di Nusantara
Wacana pemikiran Nur Muhammad itu akhirnya masuk ke dalam alam pemikiran Melayu. Timbulnya gagasan Nur Muhammad di dalam kesusastraan Melayu ini tak bisa dilepaskan dengan masuknya Agama Islam ke Nusantara (Melayu). Seminar masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia di Aceh pada tanggal 10-16 Juli 1978 menegaskan hasil Seminar Sejarah Islam di Medan tahun 1963 bahwa Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I Hijriah yang langsung dibawa dari tanah Arab, dan daerah yang pertama kali menerima adalah Aceh (Hasymy: 1989: bandingan Daudy,1983: 24; bandingkan juga mis. Arnold,1985:317).
Banyak sarjana yang mengkaji sejarah perkembangan Islam di Indonesia berpendapat bahwa sufi memainkan peran utama dalam Islamisasi di kepulauan Indonesia( Huda, 2007: 251). Bahkan, Victor Tanja menulis, bahwa Islam yang pertama kali berkembang di kepulauan Indone­sia adalah sufisme (Tanja, 1982:21). Anthony H. John juga berpendapat bahwa su­fisme, secara langsung terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Dari abad XIII-XVIII, menurut John, aktivitas para pendakwah sufi bertindak sebagai motor dalam penyebaran Islam di Indoesia. Hal ini sesuai dengan pengaruh dominan tarekat sufi di dunia Islam setelah kejatuhan Baghdad pada 1258 (Zulkifli, 2002:7)
Pentingnya peran sufi dalam Islamisasi Indonesia didukung oleh fakta kemiripan antara ajaran sufisme dengan kebudayaan Indonesia pra-Islam. Salah satu alasan utama di balik proses konversi ke dalam Islam adalah kemam­puan para guru sufi menghadirkan Islam dalam bentuk yang menarik terutama dengan menekankan kontinuitas daripada perubahan dalam kepercayaan dan praktik tradisi kegamaan lokal. Karenanya model Is­lam yang tersebar di kawasan ini selama periode awal Islam di Indo­nesia adalah model sufisme-sinkretis yang dalam beberapa hal tidak sesuai dengan ajaran syariah (Azra, 2002:210).
Menurut Alwi Shihab, tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Meski setelah itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat, apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian. Perbedaan yang sama terjadi pula mengenai tasawuf falsafi yang diasumsikan sebagai sumber inspirasi bagi penentuan metode dakwah yang dianut dalam penyebaran Islam tersebut (Shihab, 2001: 36). Sufisme atau tarekat dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia memiliki arti penting. “Islam Pertama” yang diperkenalkan di Jawa, sebagaimana tercatat dalam babad, adalah Islam dalam corak sufi. Islam dalam corak demikian itulah yang paling mampu memikat lapisan bawah, menengah dan bahkan bangsawan (Mufid, 1992:29).
Kerajaan Islam yang pertama kali berdiri adalah Perlak di Aceh pada tahun 225 H (abad ke-9 M). Agama Islam yang masuk ke Indonesia pada awal-awal itu masih asli, karena langsung dari Arab. Snouck Horgronje mengatakan bahwa watak Islam pada zaman Nabi adalah seperti anak muda yang penuh dengan vitalitas dan kemauan dan hanya dibekali oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dalam suatu lingkungan yang terbatas. Pada zaman Khalifah, watak Islam ibarat orang dewasa malahan sudah orang tua (Abdul Gani dalam Hasymy ed. , 1989:112). Maka boleh jadi yang masuk adalah pengaruh yang aneh maka biasanya akan menjadi tonggak yang akan dikenang orang.
Akibat perkenalannya dengan pemikiran-pemikiran Yunani, sehubungan dengan semakin besar dan jayanya Islam pada abad ketiga Hijriyah dan kemudian diadakan penerjemah besar-besaran terhadap buku-buku hasil pemikiran dan pengetahuan Yunani yang dikenal sudah tinggi khususnya pemikiran filsafat, maka mulailah ajaran Islam kemasukan faham filsafat. Di samping itu semakin meluasnya Islam ke beberapa kerajaan yang besar dan sudah maju ilmu pengetahuan serta kebudayaanya semacam Persia, maka Islam sudah berakulturasi dengan budaya setempat sehingga lahir pemikiran tempatan yang ‘disesuaikan’ dengan Islam.
Aceh adalah yang pertama mula menerima Islam karena memang sejak abad ke 1-6 M Aceh telah memainkan peranan penting dalam perdagangan maritim internasional (Daudy,1983:90). Setelah agama Islam masuk di pulau Sumatra, peranan Aceh dalam perdagangan semakin menonjol , terutama setelah lahirnya kerajaan Pasai pada abad ke-13 M (Daudy : 10-11). Pada abad ke-16 M, kerajaan Aceh Darussalam muncul sebagai suatu negara yang kuat dan berkedaulatan di bawah kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (Daudy, 1983:16). Kerajaan Aceh mencapai puncak keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (wafat 1636 M). Peranan ahli sufi semakin menonjol dalam penyebaran agama Islam di kawasan Asia Tenggara setelah Baghdad jatuh ke tangan orang Mongol pada tahun 1258 M. Mereka bukan saja terdiri dari orang-orang Arab tetapi juga orang-orang Persi dan India (Daudy, 1983 :26) yang kedatangan mereka itu disambut dengan sangat baik oleh berbagai kerajaan.
Sejak jaman Sultan Malik al-Zahir (wafat 1326 M) Pasai telah menjadi pusat studi dan dakwah Islam. Di istana sering berkumpul para ulama besar Persia, India, Arab, dll. untuk berdiskusi masalah-masalah agama antara lain masalah esoterik, pemikiran-pemikiran filsafat juga mistik. Selain itu juga menjadi pusat pengiriman mubalig ke berbagai tempat seperti di Jawa, Malaka, Patani, dll ( Daudy, 1983:27-29). Hubungan dengan India sangat erat sehingga istilah agama seperti gelar Makhdum yang dipergunakandi India untuk guru-guru dan ulama juga digunakan di Pasai.
Sifat kehidupan agama dalam kerajaan Pasai pada abad ke-14 -15 sangat didominasi oleh ajaran mistik. Diduga ajaran tarikat sufi juga telah berkembang dalam jaman itu. Itulah yang merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya kehidupan dan pemikiran keagamaan dalam kerajaan Aceh Darussalam yang lahir kemudian sekitar abad ke-16 (Daudy, 1983: 30). Aceh kedatangan sufi-sufi dari berbagai negara yang secara langsung menciptakan iklim kehidupan mistik dan melahirkan pemikiran terhadap masalah-masalah keagamaan,juga buku-buku tasawuf yang penting karya Abdul Karim al-Jilli (Insanul-Kalim fil-Ma’rifatil-awakhir wal-awa’il), Ibnu Arabi (Fusushul-Hikam, Futuhatul-Makiyyah), Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri (at-Tuhfatul-Mursalah ila Ruhin- Nabi)Keempat kitab itu sangat memainkan peranan pentingnya dalam perkembangan pemikiran agama terutama tentang filsafat mistik wachdatul wujud/ pantheisme yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang dikenal dengan ajaran wujudiyyah dan teori martabat tujuh. Akhirnya ajaran mistik Islam ini sangat mendominansi Aceh.
Orientasi kehidupan keagamaan yang lebih berciri kepada ajaran mistik telah memberikan peluang luas bagi ahli-ahli sufi. Mereka dijadikan menjadi penasehat dan mufti, walaupun ia sangat menyimpang dari ajaran resmi yang diakui dan dihayati kalangan istana dan umum. Contohnya adalah Syamsuddin as-‘Sumatrani. Dia adalah seorang tokoh yang tasawuf wujudiyyah yang telah memperoleh kedudukan tinggi sebagai orang kedua dalam kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Selain berkedudukan sebagai mufti dengan gelar Syaichul-Islam, dia juga sering dipercaya Sultan dalam urusan-urusan kenegaraan. Dengan kedudukannya, menjadikan nya sebagai tokoh mistik yang dihormati dan disegani. Contoh lain misalnya Nuruddin Arraniry yang datang ke Aceh sebelum 1637 M dan yang untuk kedua kalinya (1637 M) diberi kesempatan oleh Sultan Iskandar Tsani sebagai mufti. Dialah yang menyanggah ajaran wujudiyyah-nya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, walaupun sebetulnya dia sendiri adalah pengikut ajaran wahdatul wujud yang lebih moderat.
Pengaruh tasawuf di dalam kehidupan kerajaan Aceh semakin jaya terutama semasa berkuasanya Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah (1606/1607-1636). Pada masa itu banyak ulama-ulama intelek yang berdomosili di Aceh. Pertama, secara geografis, kerajaan Aceh sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara. Kedua, sultan Aceh yang bernama Iskandar Muda Mahkota Alam Syah sangat mencintai Islam, alim ulama,dan ilmu pengetahuan, yang semua itu didukung oleh rakyatnya. Sementara itu pada masa dahulu orang Islam memang termasuk orang yang ahli dalam berdagang. Namun, bagi mereka, berdagang bukanlah menjadi tujuan pokok, tetapi hanya sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam.
Pada saat itu sebagaimana dikatakan di depan, ulama-ulama yang menganut faham mistik sangat mendapat tempat yang paling utama. Dari Makkah telah datang Al Alim Allamah Syech Abdul Khair dan Al-Alim Allamah Syech Muhammad Al-Yamin pada sekitar tahun 990H/1582 M (Zainuddin,tt:252). Keduanya adalah tokoh sufi yang sealiran dengan ulama Hidustan seperti Syech Syaifur-Rijal. Faham kedua tokoh dari Mekkah tadi disokong olah Syech Hamzah Fansuri dan muridnya Syech Syamsuddin As-Sumatrani. Selain itu Syech Fadhlullah al-Burhanpuri yang menulis kitab memperkuat sokongannya terhadap dua Syech dari Arab tadi. Kitab Tuchfatul-Mursala tersebut menjadi pegangan kuat kaum sufiyang menganut ajaran martabat tujuh yang kemudian disimpulkan di dalam ajaran wachdatul wujud.
Alam pikiran sufi yang mempunyai pengaruh luas dan bercorak pantheistik terutama jelas sekali di kalangan ahli-ahli fikir Sumatra Utara semenjak abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 Masehi. Ada dua orang di antara tokoh-tokoh sufi itu yang sangat menarik untuk dibicarakan sehubungan dengan aliran pantheistik ini yaitu Syech Hamzah Fanshuri dan Syech Syamsuddin Sumatrani. Mereka berdua sangat terpengaruh oleh alam fikiran Ibnu Araby yang terkenal dengan ajaran wachdatul-wujudnya yang oleh penentangnya (misalnya Syech Nuruddin ar-Raniry) disebut wujudiyah. Ajaran lain yang terkenal dari mereka yang juga mempengaruhi pemikiran tasawuf di Sumatera ini adalah ajaran tentang al-chaqiqatul muchammadiyah/ nur muhammad. Ajaran ini telihat jelas di dalam Hikayat Nur Muhammad.
Hikayat Nur Muhammad adalah bentuk lain dari pengungkapan ajaran Nur Muhammad yang pertama-tama dimunculkan oleh Al-Hallaj. Di dalam hikayat ini juga terasa adanya unsur Syiah dengan diletakkan Ali sebagai kepala burung perwujudan Nur MuhammadCerita seperti ini juga tidak ditemukan di dalam riwayat-riwayat Nabi, melainkan memang merupakan cerita yang berkembang dalam konteks para sufi. Di kalangan para sufi konsep Nur Muhammad telah menjadi konsep sentral hampir pada semua aliran atau tarekat tasawuf.
Ketertarikan terhadap sufisme di Kepulauan Melayu-Indonesia tidak terbatas pada kalangan ulama dan awam Muslim. Para pengua­sa Melayu di wilayah ini juga tertarik pada konsep sufistik Islam ter­utama tentang al-insan al-kamil (manusia sempurna). Mereka sering menganggap diri mereka sebagai manusia sempurna dengan menggu­nakan istilah-istilah sufistik yang terkenal “wali Allah” atau “quthub”.
Ide Nur Muhammad merupakan sebuah paham di dalam tasawuf, falsafi, yang menganggap bahwa dunia seisinya itu bermula dari Nur Muhammad. Paham Nur Muhammad dalam tradisi sufi bermula dengan adanya pemujaan dan penghargaan terhadap manusia agung, Nabi Muhammad saw., yang namanya selalu disandingkan bersama Allah dalam persaksian (syahadat) seorang muslim. Ide ini bermula dari Muqattil seorang teolog abad ke-6 M yang menafsirkan Al-Qur’an surat An-Nuur 24:35.
Ide Sahl At-Tustari tentang ayat cahaya di atas mempengaruhi para sufi berikutnya seperti Al Hallajyang kemudian mengembangkannya di dalam faham Nur Muhammad. Konsep al Hallaj tentang Nur Muhammad selanjutnya diteruskan oleh Ibnu Araby dengan konsep wachdatul wujud dan dilanjutkan oleh Abdul Karim Al Jilli dalam Insanul kamil. Selanjutnya konsep itu masuk ke nusantara. Timbulnya gagasan Nur Muhammad di dalam kesusastraan Melayu ini tak bisa dilepaskan dengan masuknya Agama Islam ke Nusantara (Melayu). Seminar masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia di Aceh pada tanggal 10-16 Juli 1978 menegaskan hasil Seminar Sejarah Islam di Medan tahun 1963 bahwa Agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I Hijriah yang langsung dibawa dari tanah Arab, dan daerah yang pertama kali menerima adalah Aceh. Peranan ahli sufi semakin menonjol dalam penyebaran agama Islam di kawasan Asia Tenggara setelah Baghdad jatuh ke tangan orang Mongol pada tahun 1258 M. Mereka bukan saja terdiri dari orang-orang Arab tetapi juga orang-orang Persi dan India yang kedatangan mereka itu disambut dengan sangat baik oleh berbagai kerajaan.
Kedatangan sufi-sufi dari berbagai negara ke Aceh secara langsung menciptakan iklim kehidupan mistik dan melahirkan pemikiran terhadap masalah-masalah keagamaan, juga buku-buku tasawuf yang penting karya Abdul Karim al-Jilli (Insanul-Kalim fil-Ma’rifatil-awakhir wal-awa’il), Ibnu Arabi (Fusushul-Hikam, Futuhatul-Makiyyah), Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri (at-Tuhfatul-Mursalah ila Ruhin- Nabi)Keempat kitab itu sangat memainkan peranan pentingnya dalam perkembangan pemikiran agama terutama tentang filsafat mistik wachdatul wujud/ pantheisme yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang dikenal dengan ajaran wujudiyyah dan teori martabat tujuh. Akhirnya ajaran mistik Islam ini sangat mendominansi Aceh.
Alam pikiran sufi yang mempunyai pengaruh luas dan bercorak pantheistik terutama jelas sekali di kalangan ahli-ahli fikir Sumatra Utara semenjak abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 Masehi. Ada dua orang di antara tokoh-tokoh sufi itu yang sangat menarik untuk dibicarakan sehubungan dengan aliran pantheistik ini yaitu Syech Hamzah Fanshuri dan Syech Syamsuddin Sumatrani. Mereka berdua sangat terpengaruh oleh alam fikiran Ibnu Araby yang terkenal dengan ajaran wachdatul-wujudnya yang oleh penentangnya (misalnya Syech Nuruddin ar-Raniry) disebut wujudiyah. Ajaran lain yang terkenal dari mereka yang juga mempengaruhi pemikiran tasawuf di Sumatera ini adalah ajaran tentang al-chaqiqatul muchammadiyah/ nur muhammad. Ajaran ini telihat jelas di dalam Hikayat Nur Muhammad.
Abdullah, Hawasy. 1980. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya : Al-Ikhlas.
Abdullah, Imran T, 1999 Hikayat Meukuta Alam: Suntingan Naskah beserta analisis Struktur dan Resepsi
Abdullah, Samudi. 1982. Analisa Kritis Terhadap Tasawuf. Surabaya : PT. Bina Ilmu.
———. 1984. “Teori Penciptaan dalam Faham Wahdatul Wujud Kaum Sufi dan Kebatinan dalam Walisongo, (No. 10. Januari 1984) : hal 21-26.
Afifi, A.E.1989. Filsafat Mistis Ibnu Araby terj. Shayrir Mardi dan Nandi Rahman. Jakarta : Gaya Media Press.
Ahmad, Nur Fawzan. 1995. “Nur Muhammad, Sejarah Timbul dan Pengaruhnya, Disertai Telaah Struktur atas Hikayat Nur Muhammad” Skripsi S-1 pada Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Semarang
Ardani, Mohammad. 1989. Sumbangan Islam dalam Pembentukan Jatidiri JawaStudi Mengenai Suluk dan Serat-serta Piwulang. Makalah Seminar Jatidiri Jawa Tengah di IAIN Walisongo Semarang, 3 April 1989.
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bnadung: Mizan
Atja. 1966. “Hikayat Nur Muhammad”. Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.
Bowering, Gerhard. 1979. “The Phrophet of Islam : The First and The Last Prophet” dalam The Message of The Prophet. Hal : 48-60. Islamabad : Gobernment of Pakistan.
Bruinessen, Martin van. 1995. KItab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Daudy, Ahmad. 1983. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Muhammad Nuruddin Ar-Raniry. Jakarta : Rajawali.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : Proyek Pengadaan Terjemahan Al Qur’an.
Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi. 1991. Pameran Surat Emas Raja-Raja dan Naskah-Naskah Nusantara. Booklet. Yogyakarta : 15-21 September 1991.
Gaynor, Frank: 1953. Dictionary of Mysticism. New York: Philosopical Library
Hadiwijono, Harun. tt. Kebatinan Islam Dalam Abad Enam Belas.Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Hallaj, Al Hussein Ibnu Manshur al- . 2002. .Kitab Thawasin. Kitab Kematian. Terjemahan Aisha Abdurrahman. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Hamka. 1971. Perkembangan Kebatinan di Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang.
———. 1984. Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Hasymi, A. 1989 . Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandng: PT Al Ma’arif.
Massignon, 1982. The Passion of Al Hallaj, Mystic and Martir of Islam, vol 3, Translated by Herbert Masson) . New Jersey: Princenton University Press.
Mufid, Ahmad Syafii. 1992. “Aliran-Aliran Tarekat di Sekitar Muria Jawa Tengah” dalam Jurnal Pesantren, 1/Vol IX, 1992. hlm. 29)
Muin, K.H.M. Taib Thahir Abdul. 1986. Ilmu Kalam. Jakarta : Wijaya
Nasr, Sayyid Husein. 1968. Science and Civilization in Islam, Cambridge, Harvard University Press, 1968
———- 1985. Tasauf Dulu dan Sekarang terj. Abdul Hadi W.M. Jakarta : Pustaka Firdaus.
——– 2003. Ensiklopedi Tematis, Spiritualitas Islam, Manifestasi.Bandung: Mizan
Nasution, Harun. 1974. Filsafat Agama. Jakarta : Bulan Bintang.
———.1987. “Syi’ah, Asal-Usul, Ajaran-ajaran dan Perkembangannya” makalah dalam Diskusi Buku Agama, Trend Bacaan 1980-an Cermin Meningkatnya Telaah Keagamaan di Hall D Arena Pekan Raya Jakarta, tanggal 4 Agustus 1987, dalam rangka HUT ke-16 Majalah Tempo.
———. 1990. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Natsir, Lies Marcoes, 2008. “Fitnah di Balik Fitnah” Kolom. Gatra.Nomor 22.
Kamis, 10 April 2008
Nicholson, A. Studies in Islamic Mysticism, New Delhi: Idarah Adabiyat Delhi.
Ronkel, Ph.S van. 1921Catalogus der Maleische Handschriften in Het Museum van Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia.
Sutaarga, Amir. dkk. 1972. Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Nasional, Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Schimmel, Annimarie , 1982. As Through a Veil: Mystical Poetry in Islam. New York: Columbia University Press .
————- 1991. Dan Muhammad adalah Kekasih Allah, Penghormatan Terhadap Nabi Saw dan Islam. terj. Rahmani Astuti & Ilyas Hasan. Bandung : Mizan.
Sofwan, Ridin. 1999. Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan. Semarang: CV Aneka Ilmu bekerjasama dengan IAIN Walisongo Press.
Sudardi, Bani. 2003. Sastra Sufistik: Internalisasi Ajaran-ajaran Sufi dalam Sasta Indonesia.Solo: PT Tiga Serangkai.
Syukur, Asywadi. 1982. Ilmu Tasawuf I. Surabaya : Bina Ilmu.
al-Tusi, Abu Nasr as-Saraj. 2002. Al-Luma’ , Lajnah Nasyr at-Turats Ash-Shufi. diterjemahkan Wasmukan dan Samson Rahmat.Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf. Surabaya: Risalah Gusti.
Zainuddin, H.M. tt. Tarikh Aceh dan Nusantara. Medan : Pustaka Iskandar Muda.
Zoetmulder, P.J. 1990. Manunggaling Kawula Gusti. Jakarta: Gramedia
Zulkifli, 2002 Sufism in Java: The Role of Pesantren in the Maintenance of Sufism in Java.Leiden-Jakarta: INIS.
DAFTAR ISI

[1] Husain bin Mansur Al-Challaj meninggal tahun 922 M / 309 H di atas tiang gantungan pada masa Khalifah al-Muktadir Billah karena pernyataan ana al-chaq yang menggemparkan. Al Hallaj sering disebut sebagai peletak dasar lahirnya gagasan Nur Muhammad (beliau menyebutnya Al-chaqiqatul Muhammadiyah (Abd Lilian, 1982:19 ; Syukur, 1982 : 53-54 ; Hamka, 1984 ; 122).
[2] Ibnu Araby mempunyai nama lengkap Abu Bakar Muhyiddin Muhammad bin Araby At-Thai Al-Haitami Al-Andalusi. Dia lahir di Mercia Spanyol tahun 598 H/ 116 M dan wafat di Damaskus tahun 638 H/ 1240 M. Semula dia menuntut ilmu fikih, Hadis dan Teologi mazhab Zahiri di Sevilla kemudian berguru kepada guru-guru yang banyak terpengaruh aliran filsafat Neo-Platonisme yang sedang berkembang pesat di Andalus (Hamka, 1984:153-154).
[3] Nama lengkapnya Abd al-Karim ibn Ibrahim ibn Abd al-Karim ibn Khalifah ibn Ahmad ibn Mahmud al-Jilli. Ia mendapatkan gelar kehormatan “Syaikh” yang biasa dipakai di awal namanya. Selain itu ia juga mendapatkan gelar “Quthb al-Din” (kutub/poros agama), suatu gelar tertinggi dalam hierarki sufi. Namanya dinisbatkan dengan al-Jilli karena ia berasal Jilan (Yaqut, 1986:201).
Tags: Add new tag