Total Tayangan Halaman

Sabtu, 19 Januari 2013

ILMU TASAWUF


ILMU TASAWUF

Pendapat KH Siradjuddin Abbas, dalam buku beliau “40 Masalah Agama” Jilid 3, hal 30.
Ilmu Tasawuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam utama, yaitu ilmu Tauhid (Usuluddin), ilmu Fiqih dan ilmu Tasawuf.
Ilmu Tauhid untuk bertugas membahas soal-soal i’tiqad, seperti i’tiqad mengenai keTuhanan, keRasulan, hari akhirat dan lain-lain sebagainya .
Ilmu Fiqih bertugas membahas soal-soal ibadat lahir, seperti sholat, puasa, zakat, naik haji dan lain
Ilmu Tasawuf bertugas membahas soal-soal yang bertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, yaitu cara-cara ikhlas, khusyu, tawadhu, muraqabah, mujahadah, sabar, ridha, tawakal dan lain-lain.
Ringkasnya: tauhid ta’luk kepada i’tiqad, fiqih ta’luk kepada ibadat, dan tasawuf ta’kluk kepada akhlak
Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri’tiqad sebagaimana yang diatur dalam ilmu tauhid (usuluddin), supaya beribadat sebagaimana yang diatur dalam ilmu fiqih dan supaya berakhlak sesuai dengan ilmu tasawuf.

Agama kita meliputi 3 (tiga) unsur terpenting yaitu, Islam, Iman dan Ihsan
Sebuah hadits menguraikan sebagai berikut:
Pada suatu hari kami (Umar Ra dan para sahabat Ra) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda bekas perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghempit kedua kaki Rasulullah, dari kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata,

“Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.”
Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.”
Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang iman.”
Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qodar baik dan buruknya.”
Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang ihsan.”
Rasulullah berkata, “Beribadah kepada Allah seolah-olah anda melihat-Nya walaupun anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat anda.
Dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang Assa’ah (azab kiamat).”
Rasulullah menjawab, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahu aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah menjawab, “Seorang budak wanita melahirkan nyonya besarnya. Orang-orang tanpa sandal, setengah telanjang, melarat dan penggembala unta masing-masing berlomba membangun gedung-gedung bertingkat.” Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata.

Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah Saw lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan agama kepada kalian.” (HR. Muslim)
Tentang Islam kita dapat temukan dalam ilmu fiqih, sasarannya syari’at lahir, umpanya, sholat, puasa, zakat, naik haji, perdagangan, perkawinan, peradilan, peperangan, perdamaian dll.

Tentang Iman kita dapat temukan dalam ilmu tauhid (usuluddin), sasarannya i’tiqad (akidah / kepercayaan), umpamanya bagaimana kita (keyakinan dalam hati) terhadap Tuhan, Malaikat-Malaikat, Rasul-Rasul, Kitab-kitab suci, kampung akhirat, hari bangkit, surga, neraka, qada dan qadar (takdir).
Tentang Ihsan kita dapat temukan dalam ilmu tasauf, sasarannya akhlak, budi pekerti, bathin yang bersih, bagaimana menghadapi Tuhan, bagaimana muraqabah dengan Tuhan, bagaimana membuang kotoran yang melengket dalam hati yang mendinding (hijab) kita dengan Tuhan, bagaimana Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Inilah yang dinamakan sekarang dengan Tasawuf.

Setiap Muslim harus mengetahui 3 (tiga) unsur ini sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dan memegang serta mengamalkannya sehari-hari.

Pelajarilah ketiga ilmu itu dengan guru-guru, dari buku-buku, tulisan atau dalam jama’ah / manhaj / metode / jalan.
Waspadalah jika jama’ah / manhaj / metode / jalan yang “menolak” salah satu dari ketiga ilmu itu karena itu memungkinkan ketidak sempurnaan hasil yang akan dicapai.
Ilmu Tasawuf itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan bahkan Qur’an dan Sunnah Nabi itulah yang menjadi sumbernya.
Andaikata ada kelihatan orang-orang Tasawuf yang menyalahi syari’at, umpamanya ia tidak sholat, tidak sholat jum’at ke mesjid atau sholat tidak berpakaian, makan siang hari pada bulan puasa, maka itu bukanlah orang Tasawuf dan jangan kita dengarkan ocehannya.

Berkata Imam Abu Yazid al Busthami yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan sekalian kewajiban syari’at”
Pendapat syaikh Abu Al Hasan Asy-Syadzili, ” Jika pendapat atau temuanmu bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka tetaplah berpegang dengan hal-hal yang ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian engkau tidak akan menerima resiko dalam penemuanmu, sebab dalam masalah seperti itu tidak ada ilham atau musyahadah, kecuali setelah bersesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadits“.

Jadi syarat untuk mendalami ilmu Tasawuf (tentang Ihsan) terlebih dahulu harus mengetahui ilmu fiqih (tentang Islam) dan ilmu tauhid / usuluddin (tentang Iman).
Dengan ketiga ilmu itu kita mengharapkan meningkat derajat/kualitas ketaqwaan kita.
Mulai sebagai muslim menjadi mukmin dan kemudian muhsin atau yang kita ketahui sebagai implementasi Islam, Iman dan Ihsan.

Orang-orang yang paham dan mengamalkan ilmu Tasawuf dikenal dengan nama orang sufi.
Syekh Abu al-Abbas r.a mengatakan bahwa orang-orang berbeda pendapat tentang asal kata sufi. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berkaitan dengan kata shuf (bulu domba atau kain wol) karena pakaian orang-orang shaleh terbuat dari wol. Ada pula yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari shuffah, yaitu teras masjid Rasulullah saw. yang didiami para ahli shuffah.
Menurutnya kedua definisi ini tidak tepat.

Syekh mengatakan bahwa kata sufi dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia. Maksudnya, shafahu Allah, yakni Allah menyucikannya sehingga ia menjadi seorang sufi. Dari situlah kata sufi berasal.

Lebih lanjut Syekh Abu al Abbas r.a. mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu(kesuciannya)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.

Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya.
Kaum sufi telah menyerahkan kendali mereka pada Allah. Mereka mempersembahkan diri mereka di hadapanNya. Mereka tidak mau membela diri karena malu terhadap rububiyah-Nya dan merasa cukup dengan sifat qayyum-Nya. Karenanya, Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.

Firman Allah ta’ala yang artinya: ”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
Firman Allah yang artinya,

[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.

[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.
(QS Shaad [38]:46-47) http://sufismenews.blogspot.com/

Apakah yang dimaksud dengan Nur Muhammad tersebut?


Alimul Fadhil H. Muhammad Zaini bin Abdul Ghani al-Banjari (Guru Sekumpul) pernah menyinggung dan menguraikan pembahasan tentang salah satu tema yang selalu aktual diperbincangkan dalam dunia tasawuf, yakni wacana tentang ‘Nur Muhammad’ dalam salah satu pengajian beliau di Komplek al-Raudah Sekumpul Martapura. Untuk membutiri kembali pandangan tentang Nur Muhammad dimaksud seiring dengan peringatan haul beliau yang ke-5 tahun ini (5 Rajab 1431 H 17 Juni 2010 M) berikut tulisan ini dihadirkan guna pencerahan. Apakah yang dimaksud dengan Nur Muhammad tersebut?

Dalam kitab Hikayat Nur Muhammad diceritakan bahwa tubuh manusia (anak Adam) mengandungi tiga unsur, yakni jasad, hati dan roh. Di dalam roh terdapat hakikat, di dalam hakikat tersimpan rahasia, rahasia itulah yang dinamakan makrifah Allah. Di dalam makrifah pula ada zat yang tidak menyerupai sesuatu pun. Rahasia atau makrifah Allah ini dinamakan Insan Kamil. Insan Kamil dijadikan dari Nur yang melimpah dari zat Haqq Ta’ala.

Menurut riwayat, sumber cerita tentang kejadian Nur Muhammad ini bermula dari biografi Nabi Muhammad yang ditulis oleh Ibnu Ishaq (sejarawan Islam). Dalam biografi tersebut, Ibnu Ishaq ada mencatat riwayat yang menyatakan bahwa Allah telah menciptakan Nur Muhammad dan Nur itu telah diwarisi melalui generasi nabi-nabi hingga ia sampai kepada Abdullah bin Abdul Muthalib dan turun kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian terdapat sejumlah hadis yang menerangkan tentang Nur tersebut, antaranya, “sesungguhnya yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah cahaya-ku (Nur Muhammad)………”. Beragam pandangan terhadap hadis ini, ada yang menyatakan maudhu’ (tertolak), dhaif (lemah), bersumber dari falsafah Yunani, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa riwayat tersebut boleh diterima karenanya sanadnya bersambung.
Hadis tersebut cukup panjang matannya dan diringkas sebagai berikut: “Dan telah meriwayatkan oleh Abdul Razak dengan sanadnya dari Jabir bin Abdullah ra, beliau berkata: “Ya Rasulullah, demi bapaku, engkau dan ibuku, khabarkanlah daku berkenaan awal-awal sesuatu yang Allah telah ciptakan sebelum sesuatu! Bersabda Nabi Saw: “Ya Jabir, sesungguhnya Allah menciptakan sebelum sesuatu, Nur Nabi-mu daripada Nur-Nya’. Maka jadilah Nur tersebut berkeliling dengan Qudrat-Nya sekira-kira yang dihendaki Allah. Padahal tiada pada waktu itu lagi sesuatu pun; tidak ada lauh mahfuzh, qalam, sorga, neraka, Malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, jin dan manusia; tiada apa-apa yang diciptakan, kecuali Nur ini. 

Dari nur inilah kemudian diciptakan-Nya qalam, lauh mahfuzh dan Arsy. Allah kemudian memerintahkan qalam untuk menulis, dan qalam bertanya, “Ya Allah, apa yang harus saya tulis?” Allah berfirman: “Tulislah La ilaha illallah Muhammad Rasulullah.” Atas perintah itu qalam berseru: “Oh, betapa sebuah nama yang indah dan agung Muhammad itu, bahwa dia disebut bersama Asma-Mu yang Suci, ya Allah.” Allah kemudian berkata, “Wahai qalam, jagalah kelakuanmu ! Nama ini adalah nama kekasih-Ku, dari Nur-nya Aku menciptakan arsy, qalam dan lauh mahfuzh; kamu, juga diciptakan dari Nur-nya. Jika bukan karena dia, Aku tidak akan menciptakan apa pun.” Ketika Allah telah mengatakan kalimat tersebut, qalam itu terbelah dua karena takutnya akan Allah dan tempat dari mana kata-katanya tadi keluar menjadi tertutup, sehingga sampai dengan hari ini ujung nya tetap terbelah dua dan tersumbat, sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia ilahiah yang agung. Maka, jangan seorangpun gagal dalam memuliakan dan menghormati Nabi Suci, atau menjadi lalai dalam mengikuti contohnya (Nabi) yang cemerlang, atau membangkang dan meninggalkan kebiasaan mulia yang diajarkannya kepada kita.………dan seterusnya. 
Bagaimana penjelasan Guru Sekumpul tentang Nur Muhammad tersebut? Secara ringkas penjelasan beliau sebagaimana konten materi pengajian yang bertemakan tentang ‘Kesempurnaan’ (penjelasan ini bahkan beliau ulang-ulang tidak kurang dari tiga kali) boleh diringkaskan sebagai berikut:

Beliau memulai penjelasannya dengan ungkapan yang sangat dikenal dalam dunia tasawuf, di mana untuk mengenal Tuhan seseorang harus terlebih dahulu mengenal akan dirinya. Maksudnya, untuk sampai kepada pengenalan terhadap Tuhan, menurut Guru Sekumpul haruslah terlebih dahulu dipahami dua hal. Pertama, ia harus terlebih dahulu mengenal asal mula akan kejadian dirinya sendiri, dari mana, di mana dan bagaimana ia dijadikan? Kedua, ia harus terlebih dahulu mengetahui apa sesuatu yang mula-mula dijadikan oleh Allah Swt. Kedua perkara di atas menjadi prasyarat kesempurnaan bagi para penuntut (salik) dalam mengenal (makrifah) kepada Allah.

Adapun yang mula-mula dijadikan oleh Allah adalah Nur Muhammad Saw yang kemudiannya dari Nur Muhammad inilah Allah jadikan roh dan jasad alam semesta. Bermula dari Nur Muhammad inilah maka sekalian roh (dan roh manusia) diciptakan Allah sedangkan jasad manusia diciptakan mengikut kepada dan dari jasad Nabi Adam as. Karena itu, Nabi Muhammad Saw adalah ‘nenek moyang roh’ sedangkan Nabi Adam as adalah ‘nenek moyang jasad’. Hakikat dari penciptaan Adam as sendiri adalah berasal dari tanah, tanah berasal dari air, air berasal dari angin, angin berasal dari api, dan api itu sendiri berasal dari Nur Muhammad. Sehingga pada prinsipnya roh manusia diciptakan berasal dari Nur Muhammad dan jasad atau tubuh manusia pun hakikatnya berasal dari Nur Muhammad. Jadilah kemudian ‘cahaya di atas cahaya’ (QS. An-Nuur 35), di mana roh yang mengandung Nur Muhammad ditiupkan kepada jasad yang juga mengandung Nur Muhammad. Bertemu dan meleburlah kemudian roh dan jasad yang berisikan Nur Muhammad ke dalam hakikat Nur Muhammad yang sebenarnya. Tersebab bersumber pada satu wujud dan nama yang sama, maka roh dan jasad tersebut haruslah disatukan dengan mesra menuju kepada pengenalan Yang Maha Mutlak, Zat Wajibul Wujud yang memberi cahaya kepada langit dan bumi, dan yang semula menciptakan, sebagaimana mesranya hubungan antara air dan tumbuhan, di mana ada air di situ ada tumbuhan, dan dengan airlah segala makhluk dihidupkan (QS. Al-Anbiya 30). Pengenalan terhadap hakikat Nur Muhammad inilah maqam atau stasiun yang terakhir dari pencarian akan makrifah kepada Allah, Martabat Nur Muhammad inilah martabat yang paling tinggi, dan pengenalan akan Nur Muhammad inilah yang menjadi ‘kesempurnaan ilmu atau ilmu yang sempurna’.

Menarik untuk mengkaji ulang penjelasan Guru Sekumpul di atas dengan membandingkannya kepada penjelasan tokoh-tokoh tasawuf yang juga membahas dan menyinggung tentang wacana ini.
Al-Hallaj yang mencetuskan teori hulul misalnya menyatakan bahwa Nur Muhammad mempunyai dua bentuk, yakni Nabi Muhammad yang dilahirkan dan menjadi cahaya rahmat bagi alam “tidaklah engkau diutus wahai (Muhammad Rasulullah Saw) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam” (martabat al-a’yanu’l Kharijiyyah) dan yang berbentuk Nur (martabat a’yanu’l Thabitah). Nur Muhammad adalah cahaya semula yang melewati dari Nabi Adam ke nabi yang lain bahkan berlanjut kepada para imam maupun wali; cahaya melindungi mereka dari perbuatan dosa (maksum); dan mengaruniai mereka dengan pengetahuan tentang rahasia-rahasia Illahi. Allah telah menciptakan Nur Muhammad jauh sebelum diciptakan Adam as. Lalu, Allah menunjukkan kepada para malaikat dan makhluk lainnya, bahwa: “Inilah makhluk Allah yang paling mulia”. Oleh itu, harus dibedakan antara konsep Nur (Muhammad) sebagai manusia biasa (seorang Nabi) dan Nur Muhammad secara dimensi spiritual yang tidak dapat digambarkan dalam dimensi fisik dan realiti.

Menurut sufi, Muhyiddin Ibn Arabi, Nur Muhammad sebagai prinsip aktif di dalam semua pewahyuan dan inspirasi. Melalui Nur ini pengetahuan yang kudus itu diturunkan kepada semua nabi, tetapi hanya kepada Ruh Muhammad saja diberikan jawami al-qalim (firman universal).
Sedangkan menurut pencetus teori ‘insan kamil’, Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428 M) dalam karyanya, al-Insan al-Kamil fî Ma’rifat al-Awakhir wa al-Awa’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui Allah Sejak Awal hingga Akhirnya), menyatakan bahwa Nur Muhammad memiliki banyak nama sebanyak aspek yang dimilikinya. Ia disebut ruh dan malak apabila dikaitkan dengan ketinggiannya. Tidak ada kekuasaan makhluk yang melebihinya, semuanya tunduk mengitarinya, karena ia kutub dari segenap malak. Ia disebut al-Haqq al Makhluq bih, (al-Haqq sebagai alat pencipta), hanya Allah yang tahu hakikatnya secara pasti. Dia disebut al-Qalam al-A’la (pena tertinggi) dan al-Aql al-Awal (akal pertama) karena wadah pengetahuan Tuhan terhadap alam maujud, dan Tuhanlah yang menuangkan sebagian pengetahuannya kepada makhluk. Adapun disebut al-Ruh al-Ilahi (ruh ketuhanan) karena ada kaitannya dengan ruh al-Quds (ruh Tuhan), al-Amin (ruh yang jujur) adalah karena ia adalah perbendaharaan ilmu tuhan dan dapat dipercayai-Nya. Oleh itu, menurut Al-Jili, lokus tajalli al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa hingga dalam bentuk nabi penutup (khatamun nabiyyin), Muhammad Saw.

Banyak lagi penjelasan dan pembahasan tentang Nur Muhammad dimaksud. Karena, memang sejak awal kedatangan dan perkembangan Islam di ‘Bumi Nusantara’, wacana Nur Muhammad dalam berbagai konteksnya sehingga sekarang, telah menarik perhatian umat Islam. Hal ini paling tidak didukung oleh tiga faktor.
Pertama, terlihat dari banyaknya salinan yang beredar pada masa itu berkenaan dengan ‘Hikayat Nur Muhammad’ Misalnya, Hikayat Nur Muhammad naskah Betawi yang disalin pada tahun 1668 M oleh Ahmad Syamsuddin Syah. Menurut Ali Ahmad (2005) sehingga sekarang, sekurang-kurangnya terdapat tujuh versi Hikayat Nur Muhammad.

Kedua, apresiasi terhadap konsep Nur Muhammad telah mendorong lahirnya karya klasik ulama Nusantara yang secara khusus berisikan pembahasan tentang teori ini. Antaranya adalah kitab Asrar al-Insan fi Makrifah al-Ruh wa al-Rahman karya Nuruddin al-Raniri (Aceh), tiga kitab karangan Hamzah Fansuri (Barus-Aceh); Asrar al-‘Arifin, Syarab al-‘Asyiqin, dan al-Muntahi, serta Nur al-Daqa’iq oleh Syamsuddin al-Sumaterani (Pasai). Dalam kitab Asrar al-Insan dijelaskan bahwa Allah menjadikan Nur Muhammad dari tajalli (manifestasi) sifat Jamal-Nya dan Jalal-Nya, maka jadilah Nur Muhammad itu khalifah di langit dan di bumi; Nur Muhammad adalah asal segala kejadian di langit dan di bumi. Di dalam kitab Asrar al-’Arifin dibincangkan teori wahdah al-wujud yang semula diperkenalkan oleh Abdullah Arif dalam Bahr al-Lahut dan Ibnu Arabi, kemudian dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanpuri melalui teori Martabat Tujuh dalam kitab Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Kemudian, dalam al-Muntahi, Hamzah menyatakan bahwa wujud itu satu yaitu wujud Allah yang mutlak. Wujud itu bertajalli dalam dua martabat; ahadiyah dan wahidiyah. Dalam kitab Nur al-Daqa’iq juga dibahas tentang wujudiyah dan martabat tujuh.

Variasi teori Nur Muhammad dalam bentuk martabat tujuh boleh didapati pembahasannya dalam beberapa kitab yang ditulis oleh ulama Melayu Nusantara, antaranya adalah dibahas dalam kitab Siyarus Salikin yang dikarang oleh Syekh Abdul Shamad al-Palimbani; kitab Manhalus Syafi (Uthman el-Muhammady, 2003) yang dikarang oleh Syekh Daud bin Abdullah al-Fathani; Pengenalan terhadap Ajaran Martabat Tujuh yang dikarang atau dinukilkan kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan; dan kitab al-Durr al-Nafis yang di karang oleh Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Oleh itu, Syekh Muhammad Nafis al-Banjari dengan kitabnya Al-Durr al-Nafis ditegaskan oleh Wan Mohd Shagir Abdullah (2000) sebagai salah seorang ulama Banjar penganjur ajaran tasawuf Martabat Tujuh di Nusantara.

Dalam teori martabat tujuh dipahami bahwa dunia manusia merupakan dunia perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan selalu berubah, memudar, dan setelah itu akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin berusaha mengungkap hakikat dirinya agar dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakannya. Untuk mengungkap hakikat dirinya, manusia memerlukan seperangkat pengetahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan mata hati yang ada dalam sanubarinya. Seperangkat pengetahuan yang dimaksud adalah ilmu ma‘rifatullah. Ilmu ma’rifatullah merupakan suatu pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman bagi manusia untuk mengenal dan mengetahui Allah. Ilmu ma‘rifatullah terbahagi menjadi dua macam, yaitu ilmu ‘makrifat tanzih’ (transeden) dan ‘ilmu makrifat tasybih’ (imanen). Tuhan menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, yaitu martabat pertama disebut martabat tanzih (la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dengan martabat ketujuh disebut martabat tasybih (ta‘ayyun atau martabat nyata, terinderawi). Yakni, martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Ahadiyyah (ke-’ada’-an Zat yang Esa); martabat Wahidiyyah (ke-’ada’-an asma yang meliputi hakikat realitas keesaan); Keempat, martabat Alam Arwah; martabat Alam Mitsal; martabat Alam Ajsam (alam benda); dan martabat Alam Insan.

Ketujuh proses perwujudan di atas, keberadaannya terjadi bukan melalui penciptaan, tetapi melalui emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara martabat tanzih (transenden atau la ta‘ayyun atau martabat tidak nyata) dengan martabat tasybih (imanen atau ta‘ayyun atau martabat nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, tetapi pada hakikatnya keduanya sama. Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua ilmu ma‘rifatullah, baik Ma‘rifah Tanzih (ilmu yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Tasybih (ilmu yang terinderawi), ia akan sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau dikenal dengan sebutan Wahdatul-Wujûd. Huaian tersebut dapat dianalogikan dengan air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara lahiriah merupakan dua hal yang berbeda, tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari air laut sehingga keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisah.
Ketiga, di Nusantara, Hikayat Nur Muhammad merupakan teks yang populer sekitar abad ke-14 M. Ini dibuktikan dengan tersebar luasnya kitab yang berjudul Tarjamah Maulid al-Mustafa bertahun 1351 M (Ali Ahmad, 2005), dan disinggungnya wacana ini dalam kitab Taj al-Muluk, Qishah al-Anbiya, Bustan al-Salatin, atau Hikayat Ali Hanafiah.

Membandingkan apa-apa yang digambarkan oleh Guru Sekumpul berkenaan dengan Nur Muhammad dengan uraian-uraian ulama terdahulu tampaknya tidak jauh berbeda sebagaimana pandangan umum para sufi dalam melihat Nur Muhammad sebagai yang terawal diciptakan dan kemudiannya menjadi sumber dari segala penciptaan.

Di samping itu, menurut Guru Sekumpul maqam Nur Muhammad adalah maqam paling tinggi dari pencarian dan pendakian sufi menuju makrifah kepada Allah, tiada lagi maqam atau stasiun paling tinggi sesudah ini. Kesimpulannya, berbahagialah orang-orang yang dapat menyandingkan penyatuan sumber asal mula penciptaannya dalam satu harmoni, yakni Nur Muhammad, sebab ia berada pada satu kedudukan yang tinggi dan terbukanya segala hijab yang membatasinya.

www.himpunanbanialarsyadiyin.co.cc

Dengan demikian


Dengan demikian, maka esensi atau spesies apapun yang ada di dunia materi ini, sudah pasti berasal dari Barzakh. Karena itu pulalah ia disebut juga dengan “Alam Mitsal” (alam contoh dari semua spesies materi).

Kita melihat di dunia materi ini milyaran spesies makhluk, dari atom sampai ke manusia sebagai makhluk materi yang paling afdhal. Makhluk Materi ini, diadakan dan diatur oleh Makhluk Barzakh sebagai Pengatur atau Mudabbiraat-nya.

Akan tetapi, karena Makhluk Barzakh ini adl wujud non materi mutlak dan merupkan satu wujud global-mencakup (bukan global pahaman), dan karena Alam Materi adalah materi mutlak dan satu wujud yang banyak (individu), maka ia memerlukan kepada perantara dan barzakh lagi. Barzakh ke dua inilah yang dikenal dengan Ruh, Jiwa dan semacamnya. Karena itulah pada setiap wujud atau setiap spesies, diletakkannya wujud Non Materi Tidak Mutlak Dengan Makna Ke Dua (zat dirinya non materi akan tetapi dalam kerja2nya memerlukan kepad amateri) atau Non Materi Individu (syakhshi atau tasyakhkhush).

Dengan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa tidak ada satu wujud materipun kecuali ia memiliki ruh yang mengatur jalannya gerak dan apapun proses yang menyangkut dirinya, walau hanya gerakan putaran2 atomnya.

Ruh yang ada di Alam Materi ini memiliki 4 tingkatan: Ruh Tambang; Ruh Nabati; Ruh Hewani dan Ruh Akli (akal manusia). Terkadang, satu materi hanya memiliki satu tingkatan Ruh saja, seperti benda2 yang nampak mati yang hanya memiliki Ruh-tambang. Akan tetapi ada yang memiliki dua tingkatan ruh, seperti Ruh Nabati yang sudah pasti juga memiliki Ruh-Tambang. Hal itu karena tidak ada Nabati apapun yang tidak memiliki badaniahnya atau matternya atau materialnya yang perlu kepada pengaturan seperti putaran2 atomnya. Dan ada juga yang memilki tiga tingkatan (yaitu binatang atau hewani) dan bahkan ada yang memiliki empat tingkatan, yaitu manusia. Tingkatan2 ruh itu, kalau ada dalam satu materi (spesies), biasanya disebut dengan Quwwah atau Daya.

https://www.facebook.com/groups/210570692321068/doc/213619655349505/
 — bersama Alia Yaman dan 19 lainnya

Alat Ukur Kebenaran Dalam Filsafat


Alat Ukur Kebenaran Dalam Filsafat Oleh Ustad Sinar Agama
Muhammad Dudi Hari Saputra:


Salam Ustad.. Apakah kebenaran falsafah itu hanya semata-mata kesesuaian antara realitas internal (pahaman/dzihni) dengan realitas ekstenal (ekstensi/mishdaq)?? Syukron ya Afwan..

Sinar Agama :

Salam dan trrims pertanyaannya:

Kebenaran ilmu itu memang kesesuaianya dengan yang diinfokan, yaitu wujud ekternal. Semua ilmu, seperti panca indra, wahyu dan kasyaf, juga seperti itu. Yakni kesesuaiannya dengan  hal-hal  yang diifokan yang dikatakan sebagai wujud luar atau eksternal.

Akan tetapi, kadang wujud eksternal ini, juga bisa berupa wujud internal manakala wujud internal (ilmu) ini dihabas oleh akal (filsafat), wahyu, kasyaf dll-nya. Yakni melihat ilmu sebagai sifat wujud luar. Yaitu sifat dari pada akal. Karena itu, maka ilmu yang sebagai sifatnya  tersebut , juga merupakan wujud luar. Jadi pandangan saat seperti ini, melihat wujud dalam (ilmu) sebagai wujud luar (sifat ruh/akal).

Muhammad Dudi Hari Saputra :
Syukron Ustad..
Penjelasan Ustad tadi apakah terkait dgn yang dimaksud dgn ma'qulat tsanawiyah/intizha didalam filsafat Islam.. Dimana sifat-sifat  dari ilmu rasio (internal) kemudian dijadikan object pengetahuan oleh rasio/akal pertama?

Dan juga ustad,saya pernah dijelaskan bahwa ilmu husuli (representsasional) itupun adalah ilmu hudhuri (presentsional)..
Mohon bimbingannya Ustad..

Sinar Agama :
Ma'quulaat itu ada yang awwaliyyah atau yang pertama, seperti yang kita bahas itu. Misalnya manusia, alam, makhluk, ....dan seterusnya dimana info-info terhadap mereka itu, kalau benar akan dikatakan ilmu yang benar dan kalau salah, maka sebalaiknya.

Jadi, yang kita bahas tidak ada hubungannya dengan ma'quulaatu al-tsaanawiyyah. Karena yang ke dua ini adalah  hal-hal  yang diketahui akal dan tidak punya eksistensi di luar akal, tetapi bisa diisyaratkan kepada luar akal. seperti lebih besar, lebih manis, dst.

Ilmu Hushuli itu adalah Hudhuri dilihat dari sisi hadirnya copy-annya, bukan diri yang diketahui itu. tetapi ilmu Khudhuri itu adalah kehadiran yang diketahuinya itu secara langsung, bukan copy-annya.

wassalam

al Busthomi Fana dan Penyatuan


al Busthomi Fana dan Penyatuan
Silakan di Share agar lebih banyak orang yang ikut membaca:


Abu Yazid al Busthomi yang nama lengkapnya Thaifur ibn ‘Isa ibn Sarusyan, Beliau berasal dari Bustham. Meninggal pada tahun 261 H  (riwayat lain 264 H ). Beberapa Kitab yang mengisahkan tentang al Busthomi diantaranya: Thabaqat al-Shufiyyah karya dari al-Sulami, al-Luma’ karya dari al-Thusi, al-Risalah al-Qusyairiyyah karya al-Qusyairi.
al Busthomi begitu diliputi keadaan Fana’, tercermin dari banyak ungkapannya yang diriwayatkan berasal darinya dia berkata : ” Mahluk mempunyai berbagai keadaan. Tapi Seorang arif tidak mempunyai keadaan. Sebab ia mengabaikan
aturan-aturannya sendiri. Identitasnya sirna pada identitas yang lainnya, dan bekas-bekasnya
 gaib pada bekas-bekas lainnya.” Hal ini mustahil terjadi kecuali dengan ketertarikan penuh seorang arif kepada Allah, sehingga dia tidak menyaksikan selain-Nya. Seorang arif, menurut Abu Yazid al al Busthomi , “dalam tidurnya tidak melihat selain Allah, dan dalam jaganya pun tidak melihat selain Allah. Dia tidak seiring dengan yang selain Allah, dan tidak menelaah selain Allah.
Ibn ‘Atha’illah al-Syakandari:  ” Ketahuilah!  Sebagian orang berkata bahwa Abu Yazid ( al Busthomi )  ingin tidak berkeinginan, karena Allah mengingininya. Semua orang sepakat bahwa dia tidak mempunyai keinginan. Bersama-Nya , dia tidak menginginkan apa pun dan tidak mengingininya. Dalam kehendaknya, dia tidak ingin, seiring dengan kehendak Allah”.
Tentang  Penyatuan al Busthomi mengungkapkan:  “ Akupun keluar dari Yang Maha Benar menuju Yang Maha Benar dan akupun berseru: duh, Engkau yang aku!  Telah kuraih kini peringkat kefanaan.” Dan katanya yang lain, “Sejak tiga puluh tahun yang silam, Yang Maha Benar adalah cermin diriku. sebab kini aku tidak berasal dari diriku yang dahulu.”
Ungkapan al Busthomi tentang kefanaan dan penyatuan dengan Kekasihnya yang terlalu berlebihan dan agak Ganjil : ” Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah aku.” Katanya pula :” Betapa sucinya Aku, betapa besarnya Aku.” Dan katanya:  “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular keluar dari kulitnya,  dan pandangankupun terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab manusia dalam alam penyatuan adalah satu.”
Ungkapan-ungkapan yang begini diucapkan dalam kondisi psikis yang tidak normal, yang diakibatkan suatu derita. Sebab ucapan itu, menurut para sufi, adalah gerakan-gerakan rahasia orang yang dominan intuisinya. Andaikan intuisi itu sedang kuat-kuatnya, maka merekapun mengungkapkan intuisinya dengan ucapan yang dipandang ganjil oleh pendengarnya. Begitu juga dengan al Busthomi.

Ada 7 Hijab yg jadi penghalang utama dlm Pendakian Rohani


Ada 7 Hijab yg jadi penghalang utama dlm Pendakian Rohani :
1~lembah kasal (kemalasan naluri & rohani). 
2~jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain).
3~gurun malal (sikap mudah putus asa dlm menempuh jalan rohani). 
4~gurun riya (bangga rohani).
5~rimba sum’ah (pamer rohani).
6~samudera ‘ujub (kesombongan intelektual & kesombongan ragawi).
7~benteng hajbun (penghalang akal & nurani).

BICARANNA ANA’ LOLO’E”


lontara ana'loloE..
BICARANNA ANA’ LOLO’E”

بسم ا لله الر حمن الر حيم الحمد الله رب العالمين

Sininna pappoji’e napunna’I maneng puang Allah Ta’alah, puang sininna alang’nge, puang jellokeng’ngi lao rigau patuju’e mapparenggerang lao rigau pasala’e.

Usabbi majeppu degaga puang risompa tongeng-tongeng sangadinna puang Allah Ta’alah, usabbi toi majeppu Nabi Muhammad Saw suro mateppena Allah Ta’alah, namakkamase lao risurona, enreng’nge sahabanna kotopa laing’nge atanna mateppe’e, wa’ba duhu……………

Iyanna passaleng bicaranna ana lolo’e riwettuna maelo massu pole ribabuana Indona:

Makkedai Puang Allah Ta’alah, oh Jibrilu surui ana lolo’e massu!

Makkedai Jibrilu oh ana lolo assuku nalorekko Allah Ta’alah massu!

Makkedai ana lolo’e de umaelo massu narekko tekka wesseng’ngi assuren’nge?

Makkedai puang Allah Ta’alah ; assuku ana lolo walakko sifa!

Makkedai ana lolo’e; kega sifa maelo talakka puang?


Makkedai Puang Allah Ta’alah ;

- Sifa engka’ku upanjajiko Tubuh

- Sifa Warekku upanjajiko Ati

- Sifa Arajakku upanjaji Nyawa

- Sifa Tuoku upanjajiko Rahasia

Makkedai Ana lolo’e ; de maolo massureng’ngi narekko iyamiro bawang.

Makkedai Allah Ta’alah; magai muteyya massureng’ngi ana lolo
Makkedai Ana lol’e; iyaro uteyya sabana upahang’ngi anu riparappemi, iyyatu ada anu riparappe tommoi.

Makkedasi Allah Ta’alah; Assuno walekko Tajang!!!

Makkedai Ana Lolo’e; Tajang aga maelo tawarekka puang?

Makkedai Allah Ta’alah: Narekko engka tajang massu pole riposimu mabbatang kaluku siteru langi pitu susung’nge tanah pitu lapi’e, mitani alemu mappake mapute rilalenna tajang’nge mappake maccabulo, makudara mangollini lisena tajang’nge iyyanaritu…!!

Makkedai Ana lolo’e; de umaelo assureng’ngi nasaba nawinru billisi.

Makkedai Allah Ta’alah; Magai muaseng’ngi nawinru billisi?
Makkedai Ana lolo’e; dua nawinru billisi iyyanaritu ripuada’e nenniya naita mata kassara, dua rupato de nullei winru billisi iyyanaritu dena ripau nenniya de narita’e.

Makkedaisi Allah Ta’alah ; tongeng’ngi adam’mu ana lolo, assuno warekkosi tajang!!!

Makkedai Ana lolo’e; Tajang aga maelo tawerekka Puang?

Makkedai Puang Allah Ta’alah; Narekko engka tajang mapute,malotong,makudara, ajasana muajjeriwi sangadinna engkapi pada-padam’mu, narekko nabbokorino accena iyyano!!!

Makkedai Ana Lolo’e; de umaelo wajjeriwi
Makkedai Puang Allah Ta’alah; maagi muteyya muwacceri ana lolo?

Makkedai Ana Lolo’e; narekko makketu adatta puang, ajanna usappiki iyyapa pada-padak’ku ripanjaji sitangga-tangga saba pada-padakku muto.

Makkedani Allah a’alah; tongessi adammu ana lolo, assuno waressiko tajang!!!

Makkedai Ana Lolo’e; tajang agasi maelo tawerekka puang?

Makkedai Puang Allah Ta’alah; Narekko engka tajang massu pole rialinromu eppa mette tongen makkeda;

بُدُّوْحُ ~ قُدُّوسَُ ~ سُبُّوحَُ ~ بَدِيْعَُ

Iyyanatu massulong lao ri Iyya !

Makkeda Ana Lolo’e; de umaelo massureng’ngi nasaba dena wedding engka tajang pole ri alinroku eppa mette tongeng narekko degaga apolengenna

Makkedai Allah Ta’alah; Taroi upidakko apolengenna

- Seddi pole ri Iyya

- Seddi pole ri Nabi’e

- Seddi pole ri Malaeka’e

- Seddi pole ri Tau’e
Makkdasi Ana Lolo’e; deppa umaelo massureng’ngi nasaba Iyya mappau muitaka, Idi Puang mappau de witaki, narekko de witaki deto wisseng’ngi maccueriki.

Makkedani Puang Allah Ta’alah; Tongeng’ngi adammu ana Lolo, assuno warekk sadda!!!

Makkedai Ana Lolo’e; Sadda aga maelo tawerekka Puang?

Makkedai Puang Allah Ta’alah; - narekko engka sadda makkeda (A) isseng’ngi Puang’mu

- narekko engka sadda makkeda ( I ) isseng’ngi Alemu

- narekko engka sadda makkeda (U) isseng’ngi Nabi’mu

Makkedai Ana Lolo’e; de umaelo meassureng’ngi narekko saddami

Makkedai Allah Ta’alah; Magai muteyya massureng’ngi ana lolo?
Makkeda Ana Lolo’e; iyaro uteyya massureng’ngi nasaba saddami , talani matu saddat’ta magana iyya.

Makkedasi Allah Ta’alah; tongettu adm’mu ana lolo, assuno warekko Syariat, Tarekat, Hakikat, sibawa Ma’rifat

Makkedai ana Lolo’e; iyya tega Syariat, tarekat, hakikat na ma’rifat maelo tawerekka Puang?

Makkedani Puang Allah Ta’alah; - Naiyya Syariat’ e Tubum’mu

- Naiyya Tarekat’e Atim’mu

- Naiyya Hakikat’e Nyawamu

- Naiyya Ma’rifat’e Rahasiamu

Makkedai Ana Lolo’e; de umaelo massureng’ngi narekko iyamiro eppe passeleng nasaba wisse toni apolengenna

Makkedai Puang Allah Ta’alah; tega apolengenna Ana Lolo

Makkedai Ana Lolo’e; - Naiyya Syariat’e pole ri Tana’e

- Naiyya Tareka’t’e pole ri uwwae

- Naiyya Hakikat’e pole ri Anging’nge
- Naiyya Ma’rifat’e pole ri Api’e

Iyyanaro uteyya massureng’ngi ko iyaniro eppe’e.

Makkedani Puang Allah Ta’alah; toneng adammu ana lolo, pusana ritu adammu.

Makkedai Ana Lolo’e; tarona Puang mappa-pau narekko rapeni akkaletta siturui, narekko tessi toroki ancuruka paimeng.

Makkedani Puang Allah Ta’alah; Nareko situruki situruni.

Makkedani paimeng Ana Lolo’e; Maelo muka massu pada-padapi.

Makkedani Puang Allah Ta’alah; magai maelo mewaka pada-pada.

Makkedai Ana Lolo’e; narekko pada-padani dena gaga Puang dettona gaga Ata, deto gaga pasessa detona gaga tori sessa, narekko musessaka aleta tosessa.

Makkedani Puang Allah Ta’alah; Madecenni naekiyya ma’janjiki…

Makkedai Ana lolo’e Pekkogai bateta ma’janji Puang?

Makkedani Puang Allah Ta’alah:

“ NAREKKO MASSUKO SAPPAKA, ISSET’TOI AREWEKENNA TUBU’MU RI AMMEMENGENNA, NAREKKO MULOLONGEN’NA UNOKO, NAREK’KO UNOKO UTOK’KO-KO, NAREK’KO UTOK’K-KO ALEKO UTOK’KONGE’KO, NAREK’KO TO’ MULOLONGE’NGA MASSARAN’NITU REWEK’KOTU RI EPPA’E RUPAN’NA RI TANA’E,RI UWWAI’E,RI ANGING’NG, RI API’E MANCAJI OLO-KOLO NOTU KO MATEKO”.

Makkedai Ana Lolo’e; deppa maelo massureng’ngi deppa uwitaki lahereng.

Laherenni Puang Allah Ta’alah sitettongeng Ana Lolo’e’.

Makkedani Puang Allah Ta’alah;

Itana muassu mallahereng uwallinrungiko, narekko mulolonge’ka iko tosi mallinrung ri Iyya,Iyya tosi mallahereng, pada-pada nitu, naekiya Ata’e atamato’I, Iyyae Puang’nge Puang Mato’i.
Engka topa ada makkeda’e : Makkuani alarapanna وَالله وعلم

Padecengi bateta Mappahang' , harang'ngi to sellleng'nge te'ng punna pahang.

Fana’ dan Hulul


Fana’ dan Hulul
Duh, penganugerah bagi si pemegang karunia, Terhadap diri-Mu dan diriku begitu aku terpada, Kau buat begitu dekat diriku dengan-Mu, sehingga, Kau adalah aku, begitu kukira, Kini dalam wujud diriku menjadi sirna, Dengan-Mu aku Kau buat menjadi fana
(Abu al-Mughits al-Husain bin Manshur bin Muhammad al Baidhawi Al-Hallaj)
Aku yang kucinta, Dan yang kucinta Aku pula, Kami dua jiwa padu jadi Satu, Dan jika kau lihat aku, Tampak pula Dia dalam pandanganmu, Dan jika kau lihat Dia, Kami, dalam pandanganmu tampak nyata, Kau antara kalbu dan denyutku, berlalu, Bagaikan air mata menetes dari kelopakku, Bisik-Mu pun tinggal dalam relung hatiku, Bagai ruh yang hulul dalam tubuh jadi satu, Maha suci Dzat yang menyatakan nasut-nya, Dengan lahut-nya , yang cerlang seiring bersama, Lalu dalam mahluk-Nya pun tampak nyata, Bagai si peminum serta si pemakan tampak sosok-Nya, Hingga semua mahluk-Nya melihat-Nya, Bagai bertemunya dua kelopak mata,
Ka’bah Qolbu
Seorang Sufi besar, yang bernama Muhammad bin Al Fadl mengatakan :
“Aku heran pada orang yang mencari Ka’bah-Nya di dunia ini. Mengapa mereka tidak berupaya melakukan musyahadat tentang-Nya di dalam Qalbu mereka ? Tempat suci kadangkala mereka capai dan kadangkala mereka tinggalkan, tapi musyahadat bisa mereka nikmati selalu. Jika mereka harus mengunjungi batu, yang dilihat hanya setahun sekali, sesungguhnya mereka lebih harus mengunjungi Ka’bah Qalbu, dimana Dia bisa dilihat 360 kali sehari semalam.”
Pendakian Jiwa
(Jalaluddin Rumi – Matsnawi III, 3901)
Aku mati sebagai mineral dan menjadi tumbuhan,
Aku mati sebagai tumbuhan dan muncul sebagai hewan,
Aku mati sebagai hewan dan aku menjadi Insaan.
Mengapa aku mesti takut ? Bilakah aku menjadi rendah karena kematian ?
Namun sekali lagi aku akan mati sebagai Insaan, untuk membumbung bersama para malaikat yang direstui;
bahkan dari tingkat Malaikatpun
Aku harus wafat: Segala akan binasa kecuali Allah.
Ketika Jiwa Malaikatku telah kukorbankan,
Aku akan menjadi sesuatu yang tak pernah terperikan oleh pikiran.Oh, biarkan aku tiada ! Karena Ketiadaan Membisikkan nada dalam telinga,
“Sesungguhnya kepada-Nya-lah kita kembali.”
[sumber: Ajaran dan Pengalaman Sufi – Maulana Jalaluddin Rumi, terjemahan dari Reynold A Nicholson]
MAKRIFAT
(JALALUDDIN AR-RUMI)
Tahukah kalian nama tanpa yang diberi nama
Pernahkan kalian petik mawar dari m-w-r semata
Kalian beri ia nama, carilah realitas yang diberi nama
Jangan lihat bulan di air,  carilah bulan di langit sana
Andaikan dari nama dan huruf kalian ingin mengatasi
Dari egoisme hendaklah kalian hindarkan diri
Dari semua tabiat jiwa bersihkan diri kalian
Wujud nurani kalian niscaya terlihat
Memang Nabi dalam kalbu kalian niscaya tertampakkan
Tanpa guru dan penuntun pun tidak diperlukan
Dari Dualisme kutukar diri dan kulihat alam hanya satu
Dari Yang Satu kucari, dengan Yang Satu kutahu
Kepada Yang Satu kulihat, dan untuk Yang Satu kuseru
Oleh Piala Cinta  kumabuk dan alam pun fana sari pemahamanku
Menikmati minuman dan berbincang dengan-Nya itulah kesibukanku
Teman Makrifat
(Ummul Khair Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyyah Al-Qisiyyah)
Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku
Dengan temanku tubuhku berbincang selalu
Dalam kalbu terpancang selalu Kekasih cintaku
Cinta Ilahi
Ummul Khair Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyyah Al-Qisiyyah
Dalam batin kepadanNya kau durhaka, tapi
Dalam lahir kaunyatakan cinta suci,
Sungguh, aneh sangat gejala ini
Andaikan cintamu memang tulus dan sejati
Yang Dia perintahkan tentu kau taati
Sebab, pecinta pada Yang dicintai patuh dan bakti
Cinta
(Rabi’ah Al Adawiyah)
Aku mencintaiMu dengan dua macam cinta,
Cinta rindu dan cinta karena Kau memang layak dicintai
Dengan cinta rindu,
Kusibukkan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Tiada yang kuingat selain-Mu,
Sedangkan, cinta karena Kau layak dicintai,
Di sanalah Kau menyingkap hijabku,
Agar aku dapat memandang-Mu
Namun, tak ada Pujian dalam ini dan itu
Segala Pujian hanya untuk-Mu dalam ini dan itu.
Bersemayam dalam hatiku
(Junaid al-Baghdadi)
Kini kutahu, Tuhan — Siapa
Bersemayam dalam hatiku
Dalam rahsia, jauh daripada dunia
Lidahku bercakap dengan-Nya yang kupuja
Melalui sebuah jalan
Kami mendekat rapat
Terpisah jauh daripada-Nya
Berat siksa yang mendera jiwa
Walau Kau sembunyikan wajah-Mu
Jauh daripada pandangan mataku
Dalam cinta kurasa kehadiran-Mu
Yang mesra dalam hatiku
Dalam bencana mengerikan
Tak kusesali seksa yang mencabik jiwa
Hanya Kau saja Tuhan yang kurindu
Bukan kurnia atau tangan pemurah-Mu
Apabila seluruh dunia Kau berikan kepadaku
Atau sorga sebagai pahala
Aku berdoa supaya seluruh kekayaanku
Tak berharga dibanding melihat wajah-Mu
Teman
(Ibn  ‘Arabi)
Dulu tidak kusenangi temanku
Jika agamanya lain dari agamaku
Kini kalbuku bisa menampung semua
Ilalang perburuan kijang atau biara Pendeta
Kuil pemuja berhala atau Ka’bah haji berdatangan
Lauh Taurat atau Mushaf Al-qur’an
Kupeluk agama cinta, kemanapun yang kutuju
Kendaraanku cinta, ialah agamaku dan Imanku
Bila Anda mempunyai puisi baik karangan sendiri maupun karya orang lain silakan tambahkan di kotak komentar agar, kita lebih mengapresiasi puisi  Sufi

Bagaimana pandangan kaum sufi pada umumnya


Bagaimana pandangan kaum sufi pada umumnya, mengenai hakikat ibadah, terutama
Makna Puasa ?
Pertama-tama, ibadah apapun bagi kaum sufi secara umum bisa dikerangkakan ke dalam tiga langkah atau tahapan, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli secara bahasa berarti mengosongkan, dalam terminologi tasawuf berarti membersihkan diri dari berbagai dosa yang mengotori jiwa, baik dari dosa lahir maupun dari dosa batin, atau istilah al-Ghazali itu penyakit hati. Yang dimaksud dosa lahir di sini
adalah setiap perbuatan dosa yang melibatkan aspek fisik atau badan jasmani kita. Contohnya seperti membunuh, berzina, merampok, mencuri, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba dan sebagainya. Adapun yang termasuk dosa batin atau dosa yang timbul dari aktivitas hati antara lain berdusta,  menghina orang lain, memfitnah, ghibah, dendam, iri, dengki, riya, ujub, takabur dan sebagainya.
Adapun tahalli secara bahasa berarti menempatkan atau mengisi. Dalam dunia tasawuf berarti mengisi atau menghiasi diri dengan berbagai amal saleh, baik amalan lahir maupun amalan batin. Atau kalau lebih dalam lagi, berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dengan “meniru” akhlak atau sifat-sifat Allah serta meneladani akhlak Rasul Allah. Dalam kaitan ini misalnya ada hadits yang sudah cukup populer karena sering dikutip, takhallaqu bi akhlaqillah. Mengenai keteladanan Rasul ada ayat, laqad kana lakum fi rasullillah uswatun hasanah.
Sedangkan tajalli merupakan hasil atau buah dari dua langkah sebelumnya, takhalli dan tahalli, yang berupa tersingkapnya selubung atau hijab yang menghalangi seorang manusia dengan Tuhan, sehingga ia benar-benar dekat dengan Allah, sudah benar-benar merasakan kehadiran Allah secara intens. Bahkan pengalaman spiritual yang lebih intens lagi melalui proses tajalli ini adalah bersanding, bahkan bersatu dengan-Nya.
Dalam pandangan kaum sufi, kualitas ruhani manusia itu pada dasarnya adalah suci, dalam istilah agama disebut fitrah, karena memang ia bersumber dari Allah SWT langsung. Nabi sendiri pernah bersabda: “Setiap (bayi) yang dilahirkan pada mulanya bersifat suci (fitrah), kedua orangtuanya lah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Jadi kualitas ruhani manusia itu mulanya laksana kaca yang sangat bening, yang dapat menerima dan memantulkan kembali dengan sempurna setiap cahaya yang datang. Demikian halnya jiwa yang suci dapat menerima dengan sempurna cahaya kebenaran (hidayah) dari Tuhan untuk kemudian memantulkannya kembali dengan sempurna dalam bentuk akhlaq al-karimah.
Seperti ibadah-ibadah lainnya, puasa bagi kaum sufi adalah sebagai sarana atau media untuk melakukan takhalli, tahalli, dan pada akhirnya mencapai tajalli. Bahkan, dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa merupakan media atau sarana yang paling lengkap untuk melakukan ketiga langkah tersebut.
Puasa, secara bahasa berarti imsak (menahan, menghentikan, atau mengendalikan). Dalam dunia tasawuf, yang dimaksud puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu, yang kalau ia tidak terkendali akan menjadi sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa. Jadi lingkup hawa nafsu di sini bukan cuma mengekang nafsu makan dan nafsubirahi  saja. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa itu dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala dosa, yang dalam istilah tasawuf disebut dengan takhalli tadi!
Berarti harus bertakhalli?
Ya! Sebab orang yang berpuasa tetapi masih juga melakukan berbagai dosa, baik dosa lahir maupun dosa batin, berarti dia tidak mampu mengendalikan nafsu, dan karena itu puasa yang dilakukannya tidak bernilai sama sekali. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, pada bulan Ramadan ada seorang wanita mencaci maki pembantunya. Ketika Rasalullah mengetahui kejadian tersebut, beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil wanita itu, lalu Rasulullah bersabda, “makanlah makanan ini”. Wanita itu menjawab, “saya ini sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasululah bersabda lagi, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesunguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa banyaknya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral di balik ibadah puasa itu, yaitu berupa takhalli dari dosa lahir dan batin, maka puasanya itu tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja. Hal ini sesuai juga dengan hadits Nabi yang lain, “Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.”
Yaitu harus menempuh proses tahalli! Jadi puasa juga melatih orang untuk bertahalli, yakni mengisi dan memenuhi jiwa dengan berbagai perbuatan dan akhlak yang baik. Karena itu, walaupun tidur orang yang berpuasa masih dinilai ibadat, dia juga disunnahkan untuk banyak-banyak melakukan ibadat, seperti salat malam atau qiyam al-lail dengan tarawih dan tahajjud, membaca al-Qur’an, yakni tadarrus dan tadabbur, i’tikaf di masjid, banyak berzikir dan berdoa, banyak bersedekah, menolong orang yang kelaparan dan kesusahan, dan berbagai amal saleh lainnya.
Tujuan utama puasa sesuai dengan penjelasan al-Qur’an adalah untuk mencetak manusia bertaqwa, yang memiliki karakteristik antara lain: beriman pada yang gaib, menegakkan salat, berinfak, beriman pada al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya, yakin akan terjadinya akhirat, mendapat hidayah dan selalu memperoleh kemenangan atau kebahagiaan. Atau adalam rumusan lain memiliki sifat dermawan, mampu mengendalikan emosi, pemaaf, mawas diri (selalu instrospeksi diri) dan selalu berbuat baik.

Sifat-Sifat Allah Swt


Sifat-Sifat Allah Swt
Allah swt memiliki beberapa Sifat yang wajib di ketahui oleh seorang muslim. Yaitu Sifat Wajib bagi Allah swt ada 20, Sifat Mustahil bagi Allah ada 20 dan sifat Jaiz…
Beberapa terjemahan dalil yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Hadits tentang sifat-sifat Allah:
·         “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia” - (Q.S. Al-Baqarah : 163)
·         Sesungguhnya Allah itu Amat Berkuasa atas segala sesuatu” - (Q.S Al-Baqarah: 20)
·         “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” - (QS. Al-Baqarah : 29)
·         “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia” - (QS.Yasin : 82)
·         “… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat” - (QS. Asy-Syura : 11)
·         “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup, yang berdiri sendiri… “ - (QS. Al-Baqarah : 255)
·         “Dialah Yang Awal (tidak berpemulaan) dan Yang Akhir (tidak berkesudahan)… “ - (QS. Al-Hadid : 3)
Sifat 20 (dua puluh) Wajib Bagi Allah Swt :
1.       Wujud : artinya ada, ketetapan dan kebenaran yang wajib bagi dzat Allah Swt yang tiada di sebabkan dengan sesuatu sebab adalah “ada”.
2.       Qidam : artinya sedia, hakikatnya adalah menafikan bermulanya wujud Allah Swt.
3.       Baqa’ : artinya kekal, Allah Swt kekal ada dan tidak ada akhirnya
4.       Mukhalafatuhu Lilhawadith : artinya Bersalahan Allah Swt dengan segala yang baru, pada dzat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru, yang telah ada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta’ala menyerupai dengan yang baharu pada dzatnya, sifatnya atau perbuatannya.
5.       Qiyamuhu Binafsihi : artinya berdiri Allah Swt dengan sendirinya, tidak berkehendak kepada tempat yang berdiri (pada dzat) dan tidak berkehendak kepada yang menjadikannya, karena ia tidak di jadikan tetapi telah jadi dengan sendirinya, dan tidak berkehendak kepada yang di jadikanNya.
6.       Wahdaniyyah : artinya satunya Allah Swt pada dzat, pada sifat dan pada perbuatanNya, tetapi bukanlah pengertiannya seperti bersatunya dzat tulang, daging, kulit dan lain sebagainya, Allah Swt bebas dari pengertian seperti itu.
7.       Qudrat : artinya kuasanya Allah Swt, satu sifat yang qadim lagi azali yang tetap berdiri pada zat Allah Swt, yang mengadakan tiap – tiap yang ada dan meniadakan tiap – tiap yang tiada.
8.       Iradah : artinya kehendaknya Allah Swt, maknanya penentuan segala tentang ada atau tiadanya, maka Allah Swt yang selayaknya menghendaki tiap – tiap sesuatu apa yang di perbuatnya, artinya kita manusia telah di tentukan dengan kehendak Allah Swt, seperti : tentang rezeki, umur, baik, jahat, kaya, miskin dan lain sebagainya
9.       Ilmu : artinya mengetahuinya Allah Swt, maknanya nyata dan terang akan meliputi dan maha mengetahui akan segala tiap – tiap, tiada yang tersembunyi dan rahasia bagiNya di alam jagat ini.
10.    Hayat : artinya hidupnya Allah Swt, ini sifat yang tetap dan qadim lagi azali pada dzat Allah Swt, ia tidak akan pernah mati, karena mati itu adalah ciptaanNya juga.
11.    Sama’ : artinya mendengarnya Allah Swt, ini sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada dzat Allah Swt, tiada sesuatu apapun yang luput dari pendengarannya Allah Swt.
12.    Bashar : artinya melihatnya Allah Swt, hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada dzat Allah Swt, Allah Swt wajib bersifat maha melihat pada yang dapat di lihat oleh manusia atau tidak, jauh atau dekat, terang atau gelap, zahir atau tersembunyi dan sebagainya.
13.    Kalam : artinya : Berfirman Allah Swt, ini sifat yang tetap ada, yang qadim lagi azali, yang berdiri pada dzat Allah Swt, sebagai contoh adalah Al- Qur’an, ini merupakan perkataannya (kalam) Allah Swt yang abadi sepanjang masa.]
14.    Qadiran : artinya keadaannya Allah Swt, ia yang berkuasa mengadakan dan mentiadakan sesuatu.
15.    Muridan : artinya keadaannya Allah Swt yang menghendaki dan menentukan tiap – tiap sesuatu.
16.    ‘Aliman : artinya keadaannya Allah Swt yang mengetahui akan tiap – tiap segala sesuatu.
17.    Hayyan : artinya keadaannya Allah Swt yang maha hidup, melebihi dari segala sesuatu apapun juga.
18.    Sami’an : artinya keadaannya Allah Swt yang mendengar akan tiap – tiap segala sesuatu yang maujud.
19.    Bashiran : artinya keadaannya Allah Swt yang melihatakan tiap – tiap segala sesuatu yang maujudat (berupa sesuatu yang ada ).
20.    Mutakalliman : artinya keadaannya Allah Swt yang berkata – kata, yaitu sifat yang berdiri dengan dzat Allah Swt.
Sifat Mustahil Bagi Allah Swt
Wajib pula bagi tiap muslimin dan muslimat mengetahui akan sifat – sifat yang mustahil bagi Allah Swt, yang menjadi lawan daripada sifat 20 (dua puluh) yang merupakan sifat wajib bagiNya, berikut sifat – sifat yang mustahil bagiNya :
1.       ‘Adam, artinya tiada (bisa mati)
2.       Huduth, artinya baru (bisa di perbaharui)
3.       Fana’, artinya binasa (tidak kekal/mati)
4.       Mumathalatuhu Lilhawadith, artinya menyerupai akan makhlukNya
5.       Qiyamuhu Bighayrih, artinya berdiri dengan yang lain (ada kerjasama)
6.       Ta’addud, artinya berbilang – bilang (lebih dari satu)
7.       ‘Ajz, artinya lemah (tidak kuat)
8.       Karahah, artinya terpaksa (bisa di paksa)
9.       Jahl, artinya jahil (bodoh)
10.    Maut, artinya mati (bisa mati)
11.    Syamam, artinya tuli
12.    ‘Umy, artinya buta
13.    Bukm, artinya bisu
14.    ‘Ajizan, artinya lemah (dalam keadaannya)
15.    Karihan, artinya terpaksa (dalam keadaannya)
16.    Jahilan, artinya jahil (dalam keadaannya)
17.    Mayyitan, artinya mati (dalam keadaannya)
18.    Asam, artinya tuli (dalam keadaannya)
19.    A’ma, artinya buta (dalam keadaannya)
20.    Abkam, artinya bisu (dalam keadaannya)
Sifat Ja’iz Bagi Allah Swt
Sifat ini artinya boleh bagi Allah Swt mengadakan sesuatu atau tidak mengadakan sesuatu atau di sebut juga sebagai “mumkin”.
Mumkin ialah sesuatu yang boleh ada dan tiada.
Ja’iz artinya boleh – boleh saja, dengan makna Allah Swt menciptakan segala sesuatu, yakni dengan tidak ada paksaan dari sesuatupun juga, sebab Allah Swt bersifat Qudrat (kuasa) dan Iradath (kehendak), juga boleh – boleh saja bagi Allah Swt meniadakan akan segala sesuatu apapun yang ia mau. Sifat-Sifat Allah Swt…