Total Tayangan Halaman

Sabtu, 15 Maret 2014

Tajalli (Manifestasi Al-Haq) Dan Martabat Tujuh

Tajalli (Manifestasi Al-Haq) Dan Martabat Tujuh
Kata “tajali” (Ar.: tajalli) merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”.
Konsep tajali beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajali.
Proses penampakan diri Tuhan itu diuraikan oleh Ibn ’Arabi. Menurutnya, Zat Tuhan yang mujarrad dan transendental itu bertajali dalam tiga martabat melalui sifat dan asma (nama)-Nya, yang pada akhirnya muncul dalam berbagai wujud konkret-empiris. Ketiga martabat itu adalah martabat ahadiyah, martabat wahidiyah, dan martabat tajalli syuhudi.
Pada martabat ahadiyah, wujud Tuhan merupakan Zat Mutlak lagi mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat dipahami ataupun dikhayalkan. Pada martabat ini Tuhan—sering diistilahkan al-Haq oleh Ibn ’Arabi—berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-’amâ’); tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak musammâ (dinamai). Pada martabat ini, al-Haq tidak dapat dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat diketahui.
Martabat wahidiyah adalah penampakan pertama (ta’ayyun awwali) atau disebut juga martabat tajali zat pada sifat atau faydh al-aqdas (emanasi paling suci). Dalam aras ini, zat yang mujarrad itu bermanifestasi melalui sifat dan asma-Nya. Dengan manifestasi atau tajali ini, zat tersebut dinamakan Allah, Pengumpul dan Pengikat Sifat dan Nama yang Mahasempurna (al-asma al-husna, Allah). Akan tetapi, sifat dan nama itu sendiri identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-’a’yan tsabitah).
Martabat tajalli syuhudi disebut juga faidh al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani (entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua). Pada martabat ini Allah Swt bertajali melalu asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata. Dengan kata lain, melalui firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan demikian alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus atau mazhar tajali al-Haq. Alam yang menjadi wadah manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain laksana ’aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula dalam tasawuf. Menurut Ibn ’Arabi, selama ada Allah, maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan tenggelam tanpa akhir.
Konsepsi tajali Ibn ’Arabi kemudian dikembangkan oleh Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri (ulama India abad ke-16) dalam tujuh martabat tajali, yang lazim disebut martabat tujuh. Selain dari tiga yang disebut dalam konsepsi versi Ibn ’Arabi, empat martabat lain dalam martabat tujuh adalah: martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam, dan martabat insan kamil.
Martabat alam arwah adalah ”Nur Muhammad” yang dijadikan Allah Swt dari nur-Nya, dan dari nur Muhammad inilah muncullah ruh segala makhluk. Martabat alam mitsal adalah diferensiasi dari Nur Muhammad itu dalam ruh individual seperti laut melahirkan dirinya dalam citra ombak. Martabat alam ajsam adalah alam material yang terdiri dari empat unsur, yaitu api, angin, tanah, dan air. Keempat unsur material ini menjelma dalam wujud lahiriah dari alam ini dan keempat unsur tersebut saling menyatu dan suatu waktu terpisah. Adapun martabat insan kamil atau alam paripurna merupakan himpunan segala martabat sebelumnya. Martabat-martabat tersebut paling kentara terutama sekali pada Nabi Muhammad saw sehingga Nabi saw disebut insan kamil.
Tajali al-Haq dalam insan kamil ini terlebih dulu telah dikembangkan secara luas oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428, tokoh tasawuf) dalam karyanya al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifat al-Awâkhir wa al-Awâ’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui [Allah] Sejak Awal hingga Akhirnya). Baginya, lokus tajali al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat kadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa–salam Allah atas mereka semua—dan lain-lain hingga dalam bentuk nabi penutup, Muhammad saw. Kemudian ia berpindah kepada para wali dan berakhir pada wali penutup (khatam awliya), yaitu Isa as yang akan turun pada akhir zaman.
Dalam tradisi esoterisme Syi’ah, para imam Syi’ah Imamiyah—sejak Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib hingga Imam Mahdi (yang digaibkan Allah)—merupakan wali-wali yang memanisfetasikan diri sebagai insan kamil hakiki. Kepada merekalah, para pengikut Syi’ah Dua Belas sering kali bertawasul agar kebutuhan material-spiritual mereka terpenuhi.
Demikianlah proses tajali al-Haq pada alam semesta. Wadah tajali-Nya yang paling sempurna adalah insan, sementara insan yang paling sempurna sebagai wadah tajali-Nya adalah insan kamil dalam wujud Nabi Muhammad saw. Allahumma shalli ’ala Muhammad wa âli Muhammad! (Diolah dari Ensiklopedi Islam, jilid 5, hal.41, terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 2001, lema ”tajali”, dengan sedikit penyuntingan kembali).
Sumber: qitori.wordpress.com


Nur Muhammad Dan Insan Kamil Dalam Pandangan Al-Jilli

Nur Muhammad Dan Insan Kamil Dalam Pandangan Al-Jilli
   Label: Tasawuf
Secara etimologi Nur Muhammadberarti cahaya Muhammad, dalam doktrin tasawuf Nur Muhammadsering juga disebut hakikat Muhammad. Sedang Insan Kamilsecara etimologi dapat diartikan manusia sempurna. Dalam doktrin tasawuf Insan Kamil dimaknai sebagai sosok manusia yang terdapat di dalamnya Nur Muhammad.
Nur Muhammad adalah merupakan suatu konsep yang pertama yang dikemukakan oleh al-Hallaj. Al-Hallaj berpendapat bahwa Nur Muhammadadalah sumber segala sesuatu, segala kejadian amal perbuatan dan melalui perantaraan alam ini diciptakan.
Paham tentang Nur Muhammad berpangkal dari hadis Nabi saw. yang berbunyi yang mengandung arti aku berasal dari cahaya. Kemudian paham ini dipopulerkan oleh Ibn Arabi, dan selanjutnya dikembangkan oleh oleh al-Jili dalam kerangka ide-de Insan Kamil.
Abu A'la al-Afifi mendefinisikan Insan Kamil sebagai orang-orang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan, keberadaannya sesuai dengan hakekat wujudnya. Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah para Nabi dan wali.
Secara terminologi Insan Kamil adalah manusia yang pada dirinya terdapat Nur Muhammad karena Nur Muhammad merupakan makhluk yang pertama diciptakan oleh Allah swt. dan dijadikannya sebab adanya alam ini.
Konsep Insan Kamil ini mucul sekitar abad ke-7 H/13 M. atas gagasan Ibn Arabi, (W. 638/1240), yang dipakai sebagai atribut tentang konsep manusia yang ideal yang menjadi sarana penampakan Tuhan.
Konsep Al-Jili Tentang Nur Muhammad dan Insan Kamil
Referensi dasar yang tergambar dalam benak dan pikiran kita bahwa Nur Muhammad adalah merupakan sautu subtansi yang berasal dari Tuhan dan menjadi dasar adanya sesuatu. Seedangkan Insan Kamil adalah merupakan sosok figur manusia yang patut diteladani dalam kehidupannya.
Konsep Nur Muhammad terdapat tiga versi, dua diantaranya yaitu :
Al-Hallaj: Nur Muhammad Qadim. Ibn Arabi: Nur Muhammad itu qadim dalam ilmunya tetapi baharu ketika menyatakan diri pada makhluknya.
Al-Jili selanjutnya berpendapat bahwa hanya ada satu wujud yang qadim adalah Tuhan. Adapun selain Tuhan adalah baharu, kendatipun wujud itu diciptakan sudah ada sejak qidam pada ilmu Tuhan, ia tetap dipandang baharu keberadaannya. Hal ini disebabkan oleh wujud lain secara esensial telah lebih dahulu adanya wujud Tuhan.
Mencermati pemikiran al-Jili, dapatlah dipahami bahwa Nur Muhammadadalah merupakan makhluk Allah yang pertama dalam teori emanasi yang disuguhkan pada filosof yang disebut al-Aql al-Awwal. Jadi dengan demikian, berarti Nur Muhammadyang menjadi penyebab utama adanya segala sesuatu di alam ini. Lebih jelas lagi, kalau dikatakakan bahwa tiap-tiap benda ada Nur Muhammad yang paling dominan berada pada diri Nabi dan wali Allah.
Selanjutnya, apabila Nur Muhammad masuk ke dalam diri seseorang secara sempurna, maka lahirlah Insan Kamil, tetapi penampakannya yang paling jelas dan sempurna berada pada diri Nabi Muhammad. Oleh karena itu, Nabi Muhammadlah yang disebut al-Insan Kamil, dimakrifatkan karena ia bertajalli kepad Tuhan.
*Berbagai sumber


Proses Munculnya Insan Kamil

ABDUL KARIM AL-JILI

D. Proses Munculnya Insan Kamil

Al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses munculnya insan kamil. Menurut Al-Jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus-menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, di antaranya adalah:

Pertama,Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah “Allah”, karena dalam pandangan al-Jilli sendiri, sebutan “Allah” merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah).

Kedua, Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini menurut al-Jilli mengalami tiga penurunan (tanazzul):

Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya
Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib
Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran

Ketiga, Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan. Keempat, Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan dengan kalimat “kun” (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang terdapat dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena bersamaan dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan. Kelima, Rububiyah, dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia (sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan Kamil. Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat); pertama tajjali perbuatan (tajjali al-af’al), kedua tajjali nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali al-dzat).

Kemudian al-Jilli sendiri dengan kejeniusannya membagi taraqqi kepada tujuh tingkatan menuju Insan Kamil:

1. Al-Islam, dimana pada tingkat ini seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana identitas itu termaktub dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu

2. Al-Iman, pada tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah s.w.t., Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar

3. Al-Shaleh, pada tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh rasa takut (khawf) dan harap (raja’)

4. Al-Ikhsan, dalam tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah (tobat dari kelalaian mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl dalam segala hal, dan ikhlas

5. Al-Syahadah, pada tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang sesungguhnnya

6. Al-Shiddiqiyah, pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini akan mendapatkan cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga zat-Nya, yaitu:

a. ‘ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh asma Tuhan
b. ‘ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh sifat Tuhan
c. haqq al-yaqin,pada tingakat ini seorang sufi disinari oleh zat Tuhan

7. Al-Qurbah, pada tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling terdekat dengan-Nya, dan ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:

a. al-Khullah, adalah sebuah persahabatan dengan Tuhan, sehingga Tuhan dikenal secara intim. Dengan demikian sufi senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya

b. al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga yang satu merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya

c. al-Khiram, adalah sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi, tetapi kesempurnaan Tuhan tidak tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena kesempurnaan-Nya tidak terbatas

d. al-Ubudiyah, adalah sebuah penghambaan seorang sufi terhadap Tuhannya, karena bagaimana pun ia tidak akan dapat menjadi Tuhan.

E. Kedudukan Insan Kamil

Seperti Ibn ’Arabi juga, Al-Jili memandang insan kamil berkedudukan sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada karena pada diri insan kamil terdapat kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan-kemampuan manusia kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan. Kelebihan itu, tidak lain adalah karena pada diri insan kamil terealisasi segenap asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Sebagai contoh, Al-Jili menunjuk nabi Daud a.s. ia mempunyai moral dan pengetahuan yang tinggi, melebihi manusia lain. Apalagi pada diirnya termanifestasi sifat-sifat afal (sifat-sifat aktif) Tuhan melebihi sifat-sifat-Nya yang lain. Hal demikian adalah karena kitab zabur merupakan tajalli dari sifat-sifat afal.

Kesimpulan
Seorang manusia yang menyandang Insan kamil sebagaimana yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah merupakan manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan secara sempurna mencerminkan citra Tuhan. Dan secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap).

Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna). Menurut al-Jilli, Lawh al-Mahfuzh yang dipandang sebagai ketentuan-ketentuan dan catatan-catatan ilmu Tuhan tentang makhluk-Nya identik dengan al-Nafs al-Kulliyah (jiwa universal) atau dalam bahasa Hallaj adalah ‘nur muhammad’ yang secara paripurna dapat ber-tajjali pada Insan Kamil, dan manjadi perantara antara Tuhan dan makhluk, karena ia (Insan Kamil) adalah khalifah yang diutus untuk menjaga dan melestarikan alam semesta. Dan ‘hakikat muhammadiyah’ ini dalam pandangan al-Jilli sendiri adalah sebagai makhluk dan bersifat baharu. Tidak seperti pandangan Ibn ‘Arabi yang menganggapnya qadim dan baharu, dan Al-Halaj menganggapnya qadim saja.
Hakikat Muhammad sebagai makhluk pertama yang diciptakan Tuhan di dalam ilmu-Nya, itu seperti cahaya Tuhan yang menerangi-Nya dari ketiadaan (nihilo).

Namun ketiadaan Tuhan disini bukan berarti tidak ada sama sekali, tetapi tidak ada karena kesucian-Nya yang terbebas dari segala ada selain Diri-Nya, segala persepsi dan keterbatasan ilmu pengetahuan manusia tentang Tuhan. Karena cahaya yang diciptakanNya pertama kali belum mampu memberikan gambaran tentang Diri-Nya. Kemudian dengan kekuasaan-Nya Ia ciptakan makhluk dari yang berupa non-materi hingga yang materi untuk menjadi saksi kewujudan-Nya, tetapi dari semua makhluk yang ia ciptakan hanya manusia lah yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang Diri-Nya sehingga manusia pun diberi amanat sebagai khlaifah untuk itu.

Dan dalam diri manusia lah terdapat ‘cermin’ yang mampu memantulkan citra Tuhan, dengan bantuan cahaya (Hakikat Muhammadiyah) yang Tuhan ciptakan pertama kali. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan Kamil. Aktualisasi “nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahmanan-Nya yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil.


Konsep Insan Kamil Al-Jili (versi bahasa Indonesia)

Konsep Insan Kamil Al-Jili (versi bahasa Indonesia)
Oleh: Warih Firdausi

Lawlaaka lawlaaka lamaa khalaqtu al-aflaak, walawlaaka, lamaa azhhartu ilaahi rububiyyati.
(Al-hadis al-Qudsi)

A. Biografi Singkat al-Jili
Abd al-Karim Qutbuddin bin Ibrahim al-Jīlī lahiri pada 1365/1366 AD, dan mungkin dia wafat kira-kira 1406 sampai 1417M, tapi beberapa sumber mengatakan dia meninggal pada 1424M. Dia juga Syeikh, seorang keturunan Abdul Qadir Al-Jilani. Ia belajar di Yaman 1393-1403 dan menulis lebih dari tiga puluh karya. Tulisannya sangat dipengaruhi oleh Ibn al-Araby, seoarang mistikus Spanyol dari abad ke-13. tulisan Jili telah mempengaruhi banyak orang di dunia Muslim termasuk Allama Iqbal, seorang penyair muslim dari India. Yang paling terkenal dari opus-nya adalah al Insan Kamil Fima'rifat al-Awaakhir wa al-Awaail. Sebenarnya, Insan Kamil (Manusia Sempurna) adalah kontinuitas dari ajaran Ibnu al-Arabi pada struktur realitas dan kesempurnaan manusia meskipun usia gagasan ini setua tasawwuf itu sendiri.(1) Ini dianggap salah satu karya sastra sufi yang menjadi haknya sendiri.
Dalam bukunya, lebih dari sekali ia menyebut 'Abd al-Qadir sebagai "tuan kami" (Syaikhuna). Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Jili adalah salah satu anggota thariqah-nya. Para penulis biografi Muslim tidak memberikan banyak perhatian untuk dia, tapi dia menyatakan dia tinggal di Zabid, Yaman bersama dengan gurunya, Syaraf al-Din Ismail bin Ibrahim al-Jabarti, dan sebelum itu ia mengunjungi India.
Sebagai penulis, dia tidak bisa dikatakan tidak berbakat, meskipun karya-karyanya lebih mirip dengan karya mistik daripada literatur sastra. Selain beberapa puisi yang dia suka, dia juga memperkenalkan maqaamas dalam prosa lirik dan perumpamaan (mitsaal) tentang mitologi Plato.

B. Konsep Insan Kamil (Manusia Sempurna)
1. Definisi
Nabi bersabda "Khalaqa al-Rahmanu Adama bishuratihi" Tuhan menciptakan Adam (manusia) menurut citra-Nya." Dan Alam semesta diciptakan dalam citra manusia.(2) Pernyataan ini adalah argumentasi akan adanya Manusia Sempurna. Kata Insan berasal dari berbagai turunan kata. Ada yang mengatakan ia berasal dari uns (cinta), mungkin juga berasal dari nas, (lupa), karena kehidupan di bumi dimulai pada lupa dan berakhir pada lupa. Ada yang mengatakan berasal dari 'Ayn san, (seperti mata), Manusia adalah mata yang melaluinya Allah dapat melihat sifa-sifat dan Asma-asma-Nya dalam batasan-batasan tertentu. Insan al-Kamil, dengan demikian merupakan cermin di mana sifat-sifat Allah dan Asma-Nya sepenuhnya tercermin.(3) Mudahnya, Insan Kamil adalah manusia yang mencerminkan semua nama Allah dan sifat-sifat-Nya dalam segala aspek kehidupannya.

2. Penjelasan lebih lanjut
Al-Jili termasuk ke dalam golongan yang memiliki pemikiran dan keyakinan bahwa yang ada adalah satu (wihdatul wujud), dan semua variasi yang tampak adalah modus, aspek dan aktualisasi realitas, bahkan fenomena adalah ekspresi eksternal dari "ada yang nyata." Ia mendefinisikan esensi sebagai sesuatu dimana atribut dan nama dinisbatkan kepadanya. maka esensi bisa berwujud (maujud) atau non-wujud (mumtani 'al-maujud) yang ada hanya namanya seperti burung al-Anqa'.(4) Kemudian, esensi yang memiliki wujud dibagi menjadi dua macam. Yang pertama adalah wujud murni (Pure Being/ Wajib al-maujud), yaitu Tuhan, dan yang kedua adalah ada yang bercampur kemungkinannya dengan ketiadaan (mumkin al-maujud), yaitu dunia makhluk.
Al-Jili hampir mengulangi apa yang Ibnu 'Arabi dan al-Hallaj katakan, bahwa esensi inti dari Tuhan adalah Cinta. Sebelum penciptaan, Tuhan mencintai diri-Nya dalam kesatuan mutlak. Dan melalui cinta Ia membuat diri-Nya terlihat dari ketiadaan (al-'Amaa) tanpa asma 'dan sifat. Proses ini adalah apa yang al-Jili sebut dengan langkah Ahadiyyah/ tajalliyatuLlah pertama. Kemudian, karena kehendak-Nya untuk melihat bahwa cinta dalam kesendirian tidak memerlukan keserbalainan dan dualitas sebagai subjek eksternal,(5) Dia munculkan citra-Nya dari ketiadaan yang padanya Dia berikan semua atribut-Nya dan nama-Nya (Huwiyyah / langkah kedua). Allah menunjukkan Asma-Nya 'dan sifat bagi semua makhluk-Nya. Di antara seluruh makhluk-Nya, citra Allah yang terbaik adalah Adam (manusia) yang merupakan tempat dan sarana manifestasi Allah. maka sifat ke-ilahian terobyeksikan dalam kemanusiaan. Namun demikian, tajalli-Nya untuk manusia bervariasi, dan tajalliyatuLlah yang paling sempurna adalah Insan al-Kamil (Aniyah / langkah terakhir).
Semua makhluk adalah cermin, tempat untuk mencerminkan Kecantikan Absolut. Apa yang kita sebut dunia tidak lain hanyalah manifestasi Allah. hanya yang Allah hadir dan ada dalam kekekalan ('Azali) di Dark Mist/ kabut kegelapan ( Amaa ') yang juga disebut dengan Realitasnya realitas, harta Tersembunyi dan Putih (Murni) cempaka, jadi sekarang Dia hadir dalam segala hal tanpa inkarnasi (hulul ) dan campuran (imtizaj). Ia mewujud kedalam setiap bagian atom dari fenomena dunia tanpa menjadi banyak.(6)
keburukan mempunyai tempat yang sama di struktur eksistensi sebagaimana keindahan, keduanya sama-sama berada dalam kesempurnaan ilahi. Dengan demikian, kejahatan juga relatif. Kafir dan dosa adalah dampak dari kegiatan Allah dan bahkan merupakan sesuatu yang memperkuat kesempurnaan-Nya. Bahkan, setan juga memuliakan Allah, karena pemberontakan itu berada dalam kekuasaan Allah. Namun, Allah menunjukkan diriNya kurang sempurna dalam beberapa aspek dalam Iblis seperti Keagungan dan Kemarahan yang bertentangan dengan sifat-Nya yang lain seperti Kecantikan dan Kasih.(7)
Al-Jili menyebut Insan Kamil sebagai wali (penjaga) alam semesta, Qutb atau poros orbit dimana ada (being) berputar dari awal sampai akhir. Dia adalah penyebab utama penciptaan, ia adalah media Tuhan untuk melihat-Nya, karena nama-nama ilahi (Asma ') dan atribut (sifat) tidak bisa dilihat sepenuhnya kecuali dalam Insan Kamil. Karena itu, ia menjadi mediator dan kuasa kosmis yang menyatukan antara The Plural (yang jamak) dan The One (Maha Tunggal). Oleh karena itu viabilitas (kelangsungan hidup) alam ada tergantung padanya. Jadi, ia benar-benar menjadi khalifatuLlah fi al-ardh yang mengontrol keseimbangan dunia. Jika tidak ada Insan al-Kamil di dunia, niscaya tibalah waktu akhir sejarah dunia ini.
Semua orang berpotensi menjadi sempurna, tetapi sedikit dari mereka yang benar-benar sempurna. Mereka yang sempurna dalam aktualisasi adalah nabi dan orang suci (wali). Namun, karena variasi kesempurnan yang mereka miliki, masing-masing memiliki kemampuan yang berbeda untuk menerima pencerahan. Jadi, salah satu dari mereka harus ada yang lebih tinggi dari yang lain. Dan Manusia Sempurna yang Absolute menurut Al-Jili adalah Nabi Muhammad SAW. Dia juga menjelaskan bahwa Insan al-Kamil selamanya adalah manifestasi eksternal dari esensi Muhammad (haqiqah al-Muhammadiyyah) yang memiliki kekuatan untuk memiliki bentuk apa pun ia inginkan secara kondisional di setiap waktu. Al-Jili mengakui bahwa ia pernah bertemu dengan Nabi dalam bentuk gurunya Syaraf al-Din Ismail al-Jabarti.

3. Cara untuk mencapai Insan al-Kamil
Bagi Al-Jili, manusia dapat mencapai riil dirinya menjadi Manusia Sempurna dengan melakukan pelatihan spiritual dan pendakian mistis. Dan pada saat yang sama, The Absolute (yang Maha Mutlak) akan turun dalam dirinya melalui beberapa tingkatan. Ada empat tingkat yang harus dilalui oleh seorang Sufi untuk menjadi Insan Kamil:
1. Meditasi dalam aksi/ af'al (pencerahan tindakan). Pada tahap ini, ia merasa bahwa Allah menembus seluruh obyek dunia. Adalah Dia yang menggerakkan mereka dan pada akhirnya Dia juga bertanggung jawab atas istirahat (diamnya) mereka.
2. Meditasi dalam nama (pencerahan nama). Sufi menerima misteri yang disampaikan oleh setiap nama Allah, dan ia sangat menyatu ke nama-nama itu, karena itu ia menjawab setiap doa-doa orang-orang yang memanggil nama itu. sebagaimana jika sang pecinta mendengar nama kekasihnya disebut ia akan menyahut "siapa tadi yang memanggilku?"
3. Meditasi dalam atribut (pencerahan sifat). Ia melebur di dalamnya, dalam esensi ke-ilahiyah-an yang memiliki beberapa sifat seperti: kehidupan, pengetahuan, kekuatan, keinginan dan lain-lain. misalnya apabila ia telah mendapatkan pencerahan sifat berupa pengetahuan, niscaya ia akan mengetahui apapun baik yang telah terjadi dan akan terjadi.
4. pencerahan esensi. Pada tahap ini ia menjadi sempurna mutlak. Semua atribut itu menghilang, dan kemudian Sang Absolute datang ke dalam dirinya sendiri. Kemudian matanya adalah mata Tuhan, kata-katanya adalah kata-kata Tuhan, hidupnya adalah hidup Allah. Dia telah benar-benar menjadi Manusia Sempurna sejati.

C. Penutup
Meskipun begitu, bagi Insan Kamil, Tuhan bukanlah sama dengan makhluk-Nya. begitu juga makhluk bukan persamaan pencipta-Nya.(8) ia hanyalah pengetahuan kita bahwa kita adalah bayangan dari-Nya dan Dia adalah Obyek abadi yang kita cerminkan. Ini bukan persamaan dan inkarnasi. Allah adalah Allah dan hamba adalah hamba. Tuhan tidak pernah menjadi hamba dan hamba tidak pernah menjadi Allah. Bahkan, Insan al-Kamil hanya sebuah kenyataan (haqq) bukan yang Realitas yang sesungguhnya (Al-Haqq). Tapi, ia menunjukkan dirinya di cermin kesadaran sebagai Tuhan dan Manusia.

D. Catatan Akhir
(1) Karena hampir setiap sufi memiliki konsep tertentu tentang Insan al-Kamil seperti Abu Yazid al-Busthami, Abd al-Qadir al-Jailani dan lain-lain. bahkan tokoh filsafat seperti Nietzsche pun memiliki gambaran mansia ideal yang ia sebut sebagai Ubermensch. Lihat: RA Nicholson, Tasawuf Cinta, Studi Atas Ttga Sufi: Ibnu Abi Al-Khair, Al-Jili Dan Ibn Al-Faridh. Terjemahan Studi di Atas Tasawuf Islam. Bandung: Mizan 2003. hal: 115.
(2)Ibid. hal: 161.
(3) Studies in Tasawwuf, Khan Sahib Khan Khaja. Delhi, Idarah-I Adabiyat-I Delli: 1978. hal: 78.
(4) Al-Anqa 'adalah burung mitos Arab. Beberapa orang mengatakan itu raja seluruh burung. Yang lainnya sering mengatakan al-Anqa' mencuri anak-anak untuk makan mereka. Kita bisa membandingkannya dengan Buto Ijo atau Nyi Roro Kidul dalam budaya Jawa.
(5) alasan ini menurut saya bertentangan dengan sumber lain yang diambil dari hadits, Allah adalah "harta tersembunyi" dan Dia ingin dikenal karena itu ia menciptakan makhluk sebagai layar dari Dia sendiri.
(6) a History of Muslim Philosophy hal: 845.
(7) Mungkin, dari pandangan inilah muncul konsep wihdatul adyan (kesatuan agama-agama). Al-Jili mengatakan bahwa orang-orang Paganis (penyembah berhala) sebenarnya juga memuliakan Tuhan. tetapi mereka tersesat ketika melihat potret Tuhan yang terefleksi pada selain-Nya, maka mereka tidak lagi menyembah Tuhan yang sebetulnya melainkan sesuatu yang mereka lihat sebagai cerminan Tuhan. jadi sebetulnya mereka adalah dewa bagi diri mereka sendiri. Namun, Al-Jili masih berpendapat bahwa penyembahan yangi sempurna adalah ibadah agama Islam dan kemudian agama Samawi lainnya.
(8) Dari pernyataan itu jelas menyatakan perbedaan konsep wihdatul wujud dari materialisme dan naturalisme yang menganggap Allah adalah alam semesta itu sendiri.


E. Referensi



ADMIN on FEBRUARY 12, 2013
Ia dikenal sebagai mistikus yang misterius tapi kaya ilmu. Beberapa karyanya dikabarkan sempat hilang
Dalam alam pemikiran Islam dikenal apa yang disebut “Insan Kamil”, alias manusia yang sempurna. Insan Kamil merupakan derajat spritual yang paling tinggi, yang menjadi dambaan setiap muslim. Bisa mencapai derajat sebagai Insan Kamil sangat berarti bagai seorang yang beriman, karena mereka benar-benar dapat merasakan makna sebagai manusia yang sesungguhnya.
Derajat sebagai Insan Kamil hanya dikenal dalam dunia tasawuf. Banyak cara atau metode untuk mencapai derajat tersebut yang dirumuskan oleh para sufi masyhur. Diantaranya, Al-Jilli, dalam kitabnya, Al-Insanul Kamil fi Makrifat al-Awakhir wa Awa’il. Ia menulis pendapatnya tentang Insan Kamil dengan cukup Mendetail – sehingga sering dikutip banyak penulis hingga kini.
Nama lengkapnya Abdul Karim ibnu Ibrahim ibnu Khalifah ibnu Ahmad ibnu Mahmud al-Jilli. Kapan ia lahir dan wafat, dimana ia lahir dan wafat, para sejarawan dan pengamat sufi berbeda pendapat. Al-Jilli memang sufi yang misterius, karena riwayat hidupnya juga sangat sulit dilacak. Menurut pengamat sufi Ignaz Goldziher, Al-Jilli lahir di sebuah desa dekat Bagdad yang bernama Al-Jil – yang kemudian dinisbatkan di belakang namanya.
Tetapi hal itu kemudian dibantah oleh Nicholson, pengamat sufi yang lain, dalam sebuah bukunya ia menulis, Al-Jilli bisa diartikan sebagai pertalian nasab, keturunan. Jil  atau Jilan menunjukkan bahwa Al-Jilli keturunan orang Jilan, sebuah daerah di wilayah Bagdad. Argumentasi ini sejalan dengan beberapa buku mengenai karya Al-Jilli yang menyebutkan bahwa ia masih keturunan Syekh Abdul Qadir Al Jilani, pendiri tarekat Qadiriyah.
Menurut Al-Jilli, garis nasabnya tersambung dari cucu perempuan Syekh Abdul Qadir Jailani. Tapi beberapa ulama dan pengamat sufi sepakat, Al-Jilli lahir pada bulan Muharram tahun 767 H di Baghdad, Irak. Namun mengenai wafatnya para ulama dan pengamat sufi – seperti At-Taftazani, AJ. Arberry maupun Umar Ridha Kahhalah – tidak sepakat.
Ibnu Arabi
Al-Jilli kecil dididik dengan penuh disiplin oleh ayahandanya. Menginjak masa remaja – ketika Bagdad dikuasai pasukan Mongol – ia dan keluarganya hijrah ke Zabid di Yaman. Disinilah ia belajar agama secara intensif, antara lain ia berguru kepada Syekh Syarafuddin Ismail ibnu Ibrahim Al-Jabarti (W. 806 H). belakangan ia juga belajar kepada seorang sufi besar di Hindukusy, India, pada 709 H, tapi tidak ada catatan berapa lama ia tinggal di India.
Ia hanya menceritakan beberapa pengalamannya, antara lain ketika berkenalan dengan tokoh-tokoh tarekat, terutama tarekat Naqsyabandiyah, Khistiyah, dan Syuhrawardiyah. Ia juga menceritakan persahabatannya dengan teman seperguruannya. Syihabuddin Ahmad Raddad (w. 821 H). perjalanannya ke Parsi (kini Iran) untuk bertemu dengan beberapa guru sufi di sana.
Pada akhir 799 H, ia menunaikan ibadah haji. Ketika itulah sempat berdiskusi dengan beberapa ulama. 4 tahun kemudian, tahun 803 H, ia berkunjung ke Kairo, sempat mampir Universitas Al-Azhar dan bertemu dengan beberapa ulama. Ia sempat juga berkunjung ke Gaza di Palestina dan bermukim disana selama dua tahun, tapi tak lama kemudian ia kembali ke Zabid, karena ingin mendalami pengetahuannya dengan berguru lagi kepada guru lamanya, Al-Jabarti. Di kota inilah ia wafat pada tahun 805 H / 1402 M.
Seperti halnya para sufi besar lainnya, ia juga menulis kitab tasawuf. Karya-karyanya tergolong berat, salah satunya adalah “Al-Insanul Kamil fi Makrifat Al-Awakhir wa Awail – yang telah disebut dimuka, sebuah kitab yang dianggap mendapat pengaruh pemikiran Ibnu Arabi. Kitab Lainnya, Arbaun Mautian, yang memuat perjalanan mistisnya, masih tersimpan di Perpustakaan Dar el-Misriyah, Kairo, Mesir.
Kitab lainnya, Bahr al-Hudus wa al-Qidam wal Maujud wa al-Adam, naskahnya tidak ditemukan, tapi disebutkan dalam kitab Maratib al-Wujud. Sementara kitab Akidah al-Akabir al-Muqtabasah min Ahzab wa Shalawat membahasa akidah para sufi. Kitab ini tersipan di perpustakaan Tripoli, Libya.
Tapi karya Master Piece nya tetap Al-Insanul Kamil, yang diterbitkan beberapa kali dan tersebar keseluruh dunia. Beberapa penerbit kesohor dengan bangga menerbitkannya, seperti Muktabah Shabih dan Musthafa al-Babi Al- Halabi, Kairo dan El-Fiqr, Bairut. Kitab yang terdiri dari dua jilid ini memuat 63 bab, 41 bab di jilid pertama, 22 bab di jilid kedua.
Saking menariknya, kitab yang menggelar gagasan Al-Jilli tentang Insan Kamil ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Titus Burkehardt, misalnya menerjemahkan ke dalam bahasa Prancis dengan judul De I’Home Universal, yang kemudian disalin lagi oleh Angela Culme Seymour dalam bahasa Inggris dengan judul Universal Man.
Akhlak Ideal
Syarah atau komentar tentang kitab ini ditulis oleh beberapa ulama dalam beberapa kitab. Diantaranya Mudhihat al-Hal fi Sa’d Masmu’at al-Dajjal, susunan Syekh Ahmad Muhammad ibnu Madani (w. 1071 H/1660 M), yang mengomentari bab 50-54, yang naskahnya tersimpan di Liberary on India Office, New Delhi. Syarah lainnya, Kayf Al-Bayan ‘an Asrar al-Adyan fi Kitab Al-Insanul Kamil oleh Abdul Ghani An-Nablusi (w. 1159 H) dan Syekh Ali ibnu Hijazi al- Bayumi (w. 1183 H).
Kitab karangan Al-Jilli lainnya, Al-Kahf wa ar-Raqim, memuat dua naskah. Naskah pertama Al-Kahf ar-Raqim al-Kasyif al-Asrar bi Ism Allah al-Rahman al-Rahim,naskah kedua, berjudul Al-Kahf wa Raqim fi Syarh Bimillah al-Rahman al-Rahim. Belakangan kitab ini dicetak ulang oleh Dar al-Ma’arif al-Nidzamiyah, Haiderabat, India, 1917 M. kitab ini merupakan tafsir kesufian terhadap makna Basmalah. Yang menarik ia berusaha menafsirkan surat Al-Fatihah, kata demi kata, kalimat demi kalimat.
Karya Al-Jilli lainnya yang berkaitan dengan tasawuf, antara lain, Maratib al-Wujud wa Haqiqat al-Kulli Maujud, yang menguraikan secara panjang lebar beberapa hal tentang peringkat “Wujud” dalam ajaran sufi, diterbitkan oleh Maktabah Al-Jundi, Kairo. Al-Jilli juga menulis syarah atas karya Ibnu Arabi, Ar-Risalah Al-Anwar, dalam sebuah kitab yang berjudul cukup panjang: Al-Isfar ‘an al-Risalah al-Anwar fi ma Yatajalla li Ahl al-Dzikir min Asrar li Syekh Al-Akbar.
Ada satu naskah lagi, Al-Sifah al-Nataij al-Asfar, ditemukan oleh Broclemann, seorang peneliti tasawuf, di Leipzig, Austria. Ada sebuah kitab Al-Jilli lainnya yang hilang,judulnya Al-Marqum al-Sirr al-Tauhid al-Mahjul wa Ma’lum, yang membahas rahasia kemahaesaan Allah SWT. Keberadaan naskah ini disebut dalam kitab Al-Kamalat al-Ilahiyah.
Ada 28 jilid dari 30 jilid kitab yang raib hingga kini. Ke-30  jilid itu termaktub dalam kitab  AL-Daqiqah al-Haqai, dua jilid yang masih bisa ditemukan itu adalah Kitab Al-Uqtah (jilid pertama) dan kitab Al-Alif (jilid kedua). Sampai kini naskah kedua jilid tersebut tersimpan di Dar el-Kutub al-Misriyah, Kairo.
Al-Jilli juga menulis sebuah kitab tentang Akhlak yang luhur yang seharusnya ditempuh  oleh seorang sufi, judulnya, Al-Ghunyah Arbab al-Sama fi Kasyf al-Ghina ‘an wajh al-Itsma, yang ia tulis pada 803 H di Kairo. Bukan hanya mngenai akhlak ideal seorang sufi, ia juga menulis kitab mengenai pengalaman-pengalaman sufistisnya. Dalam Al-Manadzir al-Ilahiyah. Kitab ini juga menguraikan dasar-dasar akidah yang wajib diyakini orang muslim, terutama yang menempuh jalan tarekat.
Itulah beberapa kitab yang dikarang oleh Al-Jilli. Produktivitas dan gagasannya masih bisa dibaca hingga sekarang. Kekayaan intelektualnya sungguh sangat mempesona publik tasawuf di seluruh jagat. Al-Jilli meninggal tahun 805 H / 1402 M.
Sumber Kisah Alkisah Nomor 20 / 27 Sep – 10 Okto 2004


TASAWUF FALSAFI

TASAWUF FALSAFI
Filed under: Analisis Pemikiran  & Komentar
29 November 2010
Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminology falsafi tersebut berasal dari bermacam-macamajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak Islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun atikohnya baru dikenal seabad kemudian.
Ciri umum tasawuf falsafi menurut At-Taftazani adalah ajarannya yang samara-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat difahami oleh siapa aja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak hanya dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa(dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.
Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai alirannya seperti Socrates, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo_Platonisme dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan mereka pun cukup akrab dengan filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang karya-karyanya sering diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan filsafat-filsafat Timur kuno, baik dari Persia maupun dari India serta filsafat-filsafat Islam seperti yang diajarkan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.  Mereka pun dipengaruhi aliran Batiniyah sekte Ismailiyah aliran Syi’ah dan risalah-risalah Ikhwan Ash-Shafa.
Objek yang menjadi perhatian para tasawuf filosof adalah
latihan rohaniyah dengan rasa, intuisi, serta instroprksi diri yang timbul darinya. Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan Maqam maupun keadaan (hal), rohani serta rasa(dhauq
Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat robbani, ‘arty, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud, yang gaib, maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptaannya. Mengenai iluminasi ini para sufi dan juga filosof tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syhwat serta menggairahkan roh dengan jalan menggiatkan Dzikir, dengan dzikir menurut mereka, jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas.
Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi
1. Ibn Arabi dan Karyanya
Nama lengkap Ibn ‘Arabi adalah Muhamad bin ‘Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitimi. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol pada tahun 560 H, beliau lahir dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.[1] Ia tinggal di Hizaj dan meninggal pada tahun 638H. Di Sevilla (Spanyol) Ia mempelajari Al-Qur’an, Hadits serta fiqih pada sejumlah murid seorang faqih Andalusia yakni Ibn Hazm Az-Zuhri. Di usiannya 30 Ibn Arabi berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian Barat dan berguru kepada Abu Madyan, Al-Ghauts At_Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan perempuan). Kemudian ia bertemu juga dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan tabib istana dinasti Barbar dari Alomond, di Kordova[2]. ia pun dikabarkan mengunjungi Al-Mariyyah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh pada zaman itu.
Di antara karyanya adalah Al-Futuhat Al-Makiyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjuman Al-Asywaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketaqwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia.[3]Karya lainnya sebagaimanan dilaporkan oleh Muolvi Al-Abdal, Kimiya As-Sa’adat,Muhadharat Al-Abrar, Kitab Al-Akhlaq, Majmu’ Ar-Rasa’il, Al-Ilahiyyah, Mawaqi’ An-Nujum, Al-Jam’ wa At-Tafsishil fi Haqa’iq At-Tanzil, Al-Ma’rifah dan Al-Isra’ila Maqam Al-Atsana.[4]
c. Ajaran-Ajaran Tasawuf Ibn Arabi
Ajaran pertama dari Ibn Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud) yang merupakan ajaran sentralnya. Wahdat al-wujud ini bukan berasal dari dirinya tetapi dari Ibn Taimiyah yang sekaligus merupakan tokoh yang mengecam keras dan mengkritik ajaran sentral tersebut.
Untuk lebih jelasnya kritikan Ibn Taimiyah atas ajaran Ibn Arabi, terlebih dahulu dapat kita perhatikan pandangan mereka terhadap wahdat al-wujud; menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya orang-orang yang mempunyai pemahamanwahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajibul wujud yang dimiliki oleh khaliq juga mumkinul wujud yang dimiliki oleh makhluk selain itu, kemudian mereka mengatakan juga bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan tidak ada perbedaan.
Sedangkan menurut Ibn Arabi, hanya ada satu wujud dari semua wujud yang ada, adapun wujud mahluk merupakan hakikat dari wujud Khaliq tidak ada perbedaan antara keduanya dari segi hakikat. Kalaupun ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemapuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai ajaran sentral Ibn Arabi dari aspek tasybihnya saja (penyerupaan Khaliq dengan makhluq), tetapi belum  menilai dari aspek Tanzihnya (penyucian khaliq).
Terkait dengan ajaran Ibn Arabi mengenai wahdat al-wujud kita dapat menilai dari isi syair dan pandangan atau penafsirannya terhadap isi Al-quran yang berhubungan dengan wahdat al-wujuddiantaranya; “Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu”.[5] Menurut Ibn Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim (Khaliq)  dengan wujud yang baru (makhluk). Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn arabi mengemukakan lewat syairnya sebagai berikut;
Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba. Demi syu’ur (perasan)ku, siapakah yang mukallaf? Jika engkau katakan hamba padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakana Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif?”[6]
Dari syair tersebut timbullah pertanyaan; kalau antara Khaliq dan mahluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibn Arabi menjawab, sebabnya adalah manusia tidak memandang dari sisi yang satu, tetapi memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khaliq dari sisi yang satu dan makhluk dari sisi yang lain. Jika mereka memandang keduanya dari sisi yang satu atau keduanya adalah dua sisi untuk hakikat yang satu, mereka pasti akan dapat mengetahui hakikah keduanya, yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah. Sehubungan dengan hal tersebut, Ibn Arabi pun menyatakan dalam sya’irnya sebagai berikut;
Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk, maka pikirkannlah. Pada sisi lain, Dia bukan makhluk, maka renungkannlah. Siapa saja yang menangkap yang aku katakan, penglihatannya tidak akan perna kabur. Tidak ada yang akan menangkapnya, kecuali orang yang memiliki penglihatan. Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab ‘ain (hakikat) itu sesungguhnya hanya satu. Hakikat itu adalah yang banyak, yang tidak kekal (tetap) dan yang tidak pula buyar.
Dari keterangan di atas Ibn Arabi terkesan menyatukan wujud tuhan dengan wujud alam yang dalam istilah Barat disebut Panteisme dan didefinisikan Henry C.Theissen seperti berikut:
“Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian belaka dari satu wujud yang kekal dan ada denag natural (alam). Tuhan adalah semuanya, semuanya adalah Tuhan. Ia muncul dalam berbagai bentuk masa kini yang di antaranya mempunyai pula unsur-unsur atestik, politestik, dan teistik.”[7]
Apabila dilihat dari segi adanya kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam, kemudian dibandingkan dengan pengertian panteisme di atas, perlu diingat bahwa Ibn Arabi menyebut wujud, maksudnya adalah wujud mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada wujud selain wujud tuhan, adapun Ibn Arabi menggunakan wujud terhadap selain tuhan yaitu wujud alam, pada hakikatnya wujud tersebut milik Tuhan yang dipinjamkan kepadanya, untuk hal ini Ibn Arabi memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi.
Selanjutnya Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam, menurutnya, alam adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat Tajali dan Mazhar (penampakan) Tuhan. ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan difat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam ke-mujarad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak hanya dikenal oleh siapa pun.
Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan sya’irnya: “wajah itu sebenarnya hanya satu, tetapi jika Anda perbanyak cermin ia pun menjadi banyak.”[8] Untuk memperkuat pendiriannya itu, Ibn Arabi merujuk sebuah hadits qudsi: “Aku pada mulanya adalah perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makluk, lalu, dengan itulah mereka mengenal Aku.” Penjelasan konsep tanzih dan tasbyh dapat kita pahami melalui syairnya sebagai berikut;    “Jika engkau berkata tanzih, engkau mengikatNya. Jika engkau hanya berkata dengan Tasybih, engkau membatasiNya.
Jika engkau berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah iman dan tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengan dualitis Tuhan dan alam adalah musyrik; dan siapa saja yang berkata dengan pemisahan Tuhan dan alam adalah muwahid. Oleh karena itu, berhati-hati terhadap tasybih jika engkau mengakui dualitas, dan berhati-hatilah engkau terhadap tanzih jika engkau mengakui monistis.
Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Dia dan engkau melihatnya dalam ‘ain segala sesuatu, baik sebagai sesuatu yang lepas maupun sebagai sesuatu yang terikat.
Berkaitan dengan tanzih  dan tasybih Ibn Arabi menjelaskan firman Allah, laisa kamitslihi syaiinmengandung pengertian, “Tanzihkan-lah Dia”, sedangkan firmannya, wahua samii’ul bashiir, mengandung pengertian, “Tasybihkan-lah Dia”. Dengan demikian, firman Allah laisa kamitslihi syaiin wahua samii’ul bashiir mengandung pengertian, Tasybihkan-lah Dia dan jadikannlah dualitas, dan tanzih-kanlah Dia dan jadilah monistis”.[9]
Dari kutipan-kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibn Arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam, dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di satu sisi terkesan menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan Tuhan dari adanya persamaan. Di samping itu, jika kita merujuk pada definisi penteisme yang telah dirumuskan oleh Norman L. Geisler yang menyatakan tidak ada pencipta di luar alam, wahdat al-wujud menurut konsep Ibn Arabi tidak dapat dikatakan sama dengan panteisme, sebab Ia masih mengakui bahwa alam ini diciptakan Tuhan dan Tuhan itu di luar alam, sedangkan alam hanya merupakan mazhar-Nya, mazhar asma dan sifat-sifatnya.
Ajaran kedua dari Ibn Arabi adalah Haqiqah Muhamadiyyah. Dari konsep wahdat al-wujud Ibn Arabi, muncul dua konsep yang sekaligus merupakan lanjutan atau cabang dari konsep tersebut, yaitu konsep al-hakikat al-muhammadiyyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama). Menurut Ibn Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta adapun proses penciptaannya adalah sebagai bertikut:
Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.
Tanazul dzat Tuhan dari alam ma’ani kea lam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam arwah yang mujarrad.
Tanazul kepada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berfikir.
Tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal(ide) atau khayal.
Alam materi, yaitu alam indrawi.[10]
Penjelasan berikutnya dari Ibn Arabi mengenai proses kejadian penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran tersebut sebagai berikut; Pertama, wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun. Kedua, wujud Haqiqah Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagaimana yang dikemukakan di atas. Dengan demikian Ibn Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada (cretio ex nihili). Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang terealisasikan pada para nabi semenjak Adam sampai Muhamad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali dan person-person insane kamil (manusia sempurna). Ibn Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyyah tersebut dengan Quthb dan kadang-kadang pula dengan ruh al-khatam.[11]
Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibn Arabi memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Konsekwensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian dari ruang lingkup realitas dzat Tuhan yang Tunggal, Ibn Arabi Mengemukakan dalam  sya’irnya,
“Kini kalbuku bisa menampung semua ilalang perburuan kijang atau biara pendeta. Kuil pemuja berhala atau Ka’bah. Lauh Taurah dan mushaf Al-Quran. Aku hanya memeluk agama cinta kemana pun kendaraan-kendaraanku menghadap. Karena cinta agamaku dan imanku.[12]
Para penulis berpendapat bahwa, Ibn Arabi ini terlalu berlebihan dan tidak punya landasan yang kuat sebab agama-agama berbeda-beda satu sama lain, dengan ungkapan lain paham ini menyimpang dari Islam.
2. Al-Jili (1365-1417)[13]
Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365 M. di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kaspia dan wafat pada tahun 1417 M. Nama Al-jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal dari Bagdad. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. kemudian belajar tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syeh Syarafuddin Isma’il bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[14]
a. Ajaran Tasawuf Al-Jili
- Insan Kamil
Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah faham Insan Kamil (manusia sempurna). Menurut Al-jili, insan kamil adalah nuskhah atau copy Tuhan, Al-jili memperkuatnya dengan hadits; “Allah menciptakan adam dalam bentuk yang Maharahman.” Hadits lainnya; “Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.”
Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (adam) pun memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses yang terjadi setelah ini adalah setelah Tuhan menciptakan subtansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat-Nya dihadapkan pada dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya.[15] Melaui konsep ini, kita memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama Ilahiah. Al-Jili berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiah itu pada dasarnya merupakan milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.
Labih lanjut, Al-Jili mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan Tuhan dengan insan kamil adalah bagaikan cermin  di mana seseorang tidak akan dapat melihat bentuk dirinya kecuali melihat cermin itu. begitu pula halnya dengan insan kamil, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Inilah maksud ayat: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Q.S Al-Ahzab: 33). Al-jili berkata bahwa duplikasi Al-kamal (kesempurnaan) dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan. Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat ‘aradhi, termasuk bayi yang berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal dalam konsep Al-Jili mungkin dimiliki oleh manusia secara professional (bi al-quwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fiil) seperti yang terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang berbeda. Intensitas Al-Kalam yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi Muhammad SAW sehingga manusia lain, baik nabi-nabi ataupun wali-wali, bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil (yang sempurna) dengan al-kamal (yang paling sempurna) atau al-fadhil (yang utama) dengan al-afdhal (yang paling utama).
Insan kamil menurut konsep Al-Jali ialah perencanaan dzat Allah(nuktah Al-Haqq) melalui proses empat tajalli seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun dalam diri Muhamad SAW.
Menurut Arberry, konsep insan kamil Al-Jili dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrirasi sifat lahut dan nasut dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur Muhammad. Adapun Ibn Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam paham ittihad, ketika menggambarkan insan kamil sebagai wali-wali Allah, yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
- Maqamat (al-Martabah)
Al-Jili dengan filsafat insan kamilnya, merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah (jenjang atau tingkat). Tingkat-tingkat itu adalah:
Pertama, islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih dalam.
Kedua, iman yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga pertama  mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi.
Ketigaash-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasaan khauf dan raja’. Tujuan ibadah maqam ini adalah mencapai nuqtah Ilahiah pada lubuk hati sang hamba, sehingga ketika mencapai kasyaf, ia akan memtaati syariat Tuhan dengan baik.
Keempat, ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek(atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada dihadapan-Nya. Persyaratan yang harus ditempuh pada maqam ini adalah sikap istiqamah dalam tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Kelimasyahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Syahadah terbagi kedalam dua tingkatan, yaitu mencapai mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih. Ini adalah tingkat yang paling rendah, dan menyaksikan Tuhan pada semua makhluk-Nya secar ‘ainul yaqin. Ini adalah yang paling tinggi.
Keenam, shiddiqiyah, Istilah ini mengagambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, ain al-yaqin, sampai haqul yakin. Menurut Al-Jili seorang sufi yang telah mencapai derajat shiddik akan menyaksikan hal-hal yang ghaib, kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-Nya.
Ketujuh, qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seorang dapat menampakan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Demikianlah, maqam-maqam yang dirumuskan Al-Jili dalam upaya dekat kepada Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-Jili mengatakan, “Mengetahui dzat yang Mahatinggi itu secara kasyaf Ilahi, yaitu kamu dihadapan-Nya dan Dia dihapanmu tanpa hulul dan ittihad. Sebab hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya.[17] Dengan pernyataan ini, kita pahami bahwa sungguhpun manusia mampu berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak bisa menyamai sifat dan nama-nama-Nya.
3. Ibn Sab’in
a. Biografi Singkat Ibn Sab’in dan Karyanya
Nama lengkapnya Abdul Haqq Ibn Ibrahim Muhamad Ibn Nashr, seorang sufi dan juga filosaof dari Andalusi. Ia di panggil Ibn Sab’in dan digelari Quthbuddin. Dan dikenal pula dengan Abu Muhamad dan mempunyai asal-usul Arab, dan dilahirkan tahun 614 H(1217/11218M) di kawasan Murcia. Dia mempelajari bahasa Arab dan sastra, dia juga mempelajari ilmu agama dari madzhab Maliki, ilmu-ilmu logika, dan filsafat. Ia mengemukakan gurunya bahwa diantara guru-gurunay adalah Ibn Dihaq, yang dikenal juga dengan Ibn Al-Mir’ah. [18] Ibn Sab’in tumbuh dewasa dalam keluarga bangsawan, hidupnya dalam suasana penuh kemuliaan dan berkecukupan tetapi beliau menjauhi kesenangan hidup kemewahan dan kepemimpinan duniawi, lalu hidup sebagai asketis maupun sufi yang mempunyai banyak murid.
Ibn Sab’in meninggalkan karya yang menguraikan tasawufnya secara teoritis maupun praktis. Sebagian karyanya hilang dan sebagaian risalahnya telah di sunting Abdurrahman badawi dengan judul Rasa’il Ibn Sab’in (1965 M.) dan karya yang lainnya; Jawab Shahih Shiqilliyah, telah disunting oleh Syarifuddin Yaltaqiya. Dapat terlihat jelas dari karyanya beliau tampak berpengetahuan yang sangatlah luas dan beraneka. Dia mengenal berbagai aliran filsafat Yunani dan faisafat-filsafat Hermetitisme, Persia dan India, selain itu dia juga banyak menelaah karya-karya filosof-filosof Islam dari dunia Islam bagian Timur, seperti Alfarobi dan Ibn Sina, dan filosof bagian Barat seperti Ibn Bajah, Ibn Tufail dan Ibn Rusyd. Dan dia menguasai kandungan risalah-risalah Ikhwanul Ashafa, dan secara rinci mengetahui aliran Teologi, khususnya aliran sy’ariyah.
Ibn Sab’in mendirikan suatu tarekat yang dikenal dengan tarekat As-Sab’iniyyah. Para pengikutnya memakai pakaian khusus yang dikecam para fuqaha, dan tarekat ini mempunyai sanad yang aneh. Asy-Susytari mengemukakan bahwa dalam sanad tersebut terdapat antara lain Hermes, Socrates, Plato, Aristoteles, Iskandar Agung, Al-Hallaj, An-Niffari, Al-Habsyi,Qadhi serta Ibn Sab’in sendiri. Dari sini kita dapat memperoleh gambaran bahwa tarekat tersebut bercorak sinkretis dan mengompromikan berbagai aliran, yang diantaranya bercorak Islam, Yunani, dan Timur kuno. Tampaknya tarekat ini bertahan sampai masa Ibn Taimiyyah (meninggal pada tahun 728H).[20] Dari uraian di atas dapat terlihat bahwa Ibn sab’in sangat berkiblab pada filusuf barat.
c. Ajaran Tasawuf Ibn SAb’in
1. kesatuan Mutlak
Ibn Sab’in menggagas sebuah faham dalam tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak, gagasan esensialnya sederhana yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya yaitu wujud yang satu itu sendiri.
Paham ini lebih dikenal dengan sebutan paham kesatuan mutlak. Kesatuan mutlak ini, atau kesatuan murni -atau menguasai- menurut terminologi Ibn Sab’in pun, hampir tidak mungkin mendeskripsikan kesatuan itu sendiri. Dalam paham ini, Ibn Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud Allah-menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini, maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukan pada wujud mutlak yang rohaniah. Dengan demikian, berarti paham ini dalam menafsirkan wujud bercorak spiritual dan bukan material.
Pemikiran Ibn Sab’in ini mengambil rujukan dari Al-quran, yang diinterpretasikan secara filosofis ataupun khusus. Misalnya firman Allah ”Dia itulah Yang Awal dan Yang Akhir, yang dzahir dan yang Batin.”(Q.S.Al-Hadid ; 3) dan firman-Nya, tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah.” (Q.S Al-Qashas :28) terkadang dia memperkuat pahamnya dengan hadis-hadis Nabi, di antarnya dengan hadis Qudsi, “Apa yang pertama-tama diciptakan Allah adalah akal budi. Maka firman Allah kepadanya, terimalah! Ia pun menerimanya…”. Namun Ibn Taimiyah menolah menolak dan mengecam keras pendapat Ibn Sab’in tentang kesatuan mutlak, menjelaskan bahwa interpretasi Ibn Sab’in terhadap nash-nash agama tidaklah benar. Begitu juga dengan hadits qudsi yang digunakan adalah hadis maudu’.
Paham kesatuan mutlak Ibn Sab’in ini mirip dengan paham “hakikat Muhamad” ataupun “Qutb” dari sebagian para sufi yang juga filosof, seperti Ibn Arabi dan Ibn Al-Faridh, atau paham “manusia Sempurna” dari Abdul karim Al-jalili. Menurut Ibn Sab’in pencapaian kesatuan mutlak adalah individu yang paling sempurna. Sempurna yang dimiliki seorang fuqaha, teolog, filosof, maupun sufi. Inilah pribadi yang melebihi mereka semua dengan pengetahuannya yang khusus, yaitu ilmu pencapaian yang menjadi pintu gerbang kenabian, sosok pribadi yang dari segi hakikat rohaniahnya justru bersatu dengan nabi, yang mengendalkan semesta; dan segala sesuatu pun didasarkan padanya.
b. Penolakan terhadap Logoka Aristotelian
Paham tentang kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristetelian. Terbukti dalam karnyanya Budd Al-Arif, ia menyusun suatu logika baru yang bercorak iluminatf, sebagai pengganti logika yang berdaasarkan pada konsefsi jamak, Ibn Sab’in menamakan logika barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk kategori logika yang bisa dicapai dengan penalaran, tetapi termasuk tembusan Ilahi yang membuat manusia bisa melihat yang belum pernah dilihatnya maupun mendengar yang belum pernah didengarnya. Dengan demikian logika tersebut bercorak intuitif. Kesimpulan penting dari logika Ibn Sab’in tersebut adalah realitas-realitas logika dalam jiwa manusia bersifat alamiah dan keenam kata logika (gebus, species, difference, proper, accident, person) yang memberi kesan adanya wujud jamak sekedar ilusi belaka, begitu juga dengan kesepuluh kategori, sekalipun berbeda dan beraneka, tetap merujuk pada wujud tunggal yang mutlak.

Studi Kritis Paham Tasawuf Falsafi
1. Aspek Sumber Ajaran
Ibrahim Hilal menyatakan, pemikiran Ibnu Arabi banyak terpengaruh oleh filsafat Plato dan Plotinus, seperti wujud, alam semesta atau makrifat.[21] Begitupun Ibn Masarrah (tokoh pertamaa tsawuf falsafi) telah menganut paham emanasi yang serupa dengan Plotinus.[22] Senada dengan pendapat tersebut, analisa lain menyatakan, ungkapan Neo-Platoisme, misalnya “Kenalilah dirimu dengan dirimu”, kemudian diambil oleh para sufi (termasuk sufi falsafi) menjadi ungkapan, “siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal tuhannya”,[23] hal ini bisa jadi mengarah pada munculnya teori hululwahdah asy-syuhud dan wahdah al-wujud.[24]
Jika demikian faktanya, seyogyanya kita merenungi sebuah riwayat, ketika Rasulullah saw. memarahi Umar Ibn al-Khattab ra., karena kedapatan membawa sobekan taurat, waktu itu beliau saw. bersabda:
مَا هَذَا أَلَمْ آتِ بِهاَ بَيْضَاءَ نَقِيَّةً؟ لَوْ أَدْرَكَنِي أَخِي مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي
Apa yang kamu bawa ini, bukankah aku telah membawa (al-Qur’an) yang jelas dan jernih? Kalau seandainya saudaraku Musa as. hidup pada zamanku, tentu beliau tidak akan susah-susah lagi, kecuali mengikutiku.” (HR. Al-Amidi dalam Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam)[25]
Dalam hadits ini dapat dipahami, umat Muhammad saw. wajib mengikuti tuntunan Rasulullah saw. dan al-Quran. Jika Musa as. saja mesti mengikuti Rasulullah saw. apalagi umatnya. Sedangkan celaan yang dialamatkan kepada Umar ra. menunjukan larangan yang bersifat pasti (haram). Artinya umat Islam haram mengambil sumber pemikiran dari peradaban lain jika perkara tersebut sudah terdapat dalam sumber hukum Islam, hal ini di isyaratkan dengan ungkapan “bukankah aku telah membawa al-Qur’an“. Karena itu, dari aspek sumber pemikiran, tasawuf falsafi melakukan kesalahan, karena mengambil sumber teori tasawuf dari filsafat yunani. Maka dapat dikatakan teori tasawuf sunni sedikit lebih baik, karena mengambil teori tasawuf masih dalam sumber Islam, baik al-Quran maupun as-Sunnah, sedangkan tasawuf falsafi –walaupun terkesan orisinal dengan istilah-istilah sufi– telah mengambil sumber yang bukan berasal dari Islam, meskipun mereka pada akhirnya selalu mencoba menjustifikasi teori falsafinya dengan dalil atau hadits.
2. Aspek Pemikiran
Berbagai paham dalam tasawuf falsafi selalu dipresentasikan dalam ungkapan-ungkapan ganjil dan aneh (syathahat) yang meresahkan umat Islam. Karena itu wajar jika para fuqaha merasa gelisah sehingga mengeluarkan berbagai kritik bahkan kecaman serius terhadap para sufi falsafi.[26] Islam adalah agama yang mudah untuk diamalkan, bukan untuk elit-elit tertentu, ajarannya universal bagi seluruh manusia, karena itu Rasul saw. bersabda:
إِنَّ دِيْنَ اللهِ فِي يُسْرٍ ثلاثًا يَقُولُهَا
Sesungguhnya Agama Allah itu mudah (diamalkan), beliau mengucapkannya sampai tiga kali. (HR. Ahmad)[27]
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا
Mudahkanlah oleh kalian (pengajaran agama ini), jangan kalian buat sulit; Dan berikanlah kabar gembira, jangan engkau buat orang-orang menghindar dan menjauh. (HR. Bukhari)[28]
Disini terlihat bahwa, ungkapan dan isyarat yang digunakan para sufi falsafi bertentangan dengan ke-universalan Islam itu sendiri, shalih likulli zaman wal makan, yang pada gilirannya akan menimbulkan fitnah ditengah umat Islam.[1] Begitupun dengan maqamat (al-martabah), yang mesti dilalui oleh para sufi,[2] semua martabah hanya bersifat individualistis, bisa jadi akan menyebabkan Agama Islam menjadi jumud dan tidak bisa menyelesaikan persoalan hidup yang kian hari kian kompleks. Bahkan sebagian sufi falsafi selalu meremehkan para fuqaha dengan keilmuannya, para sufi falsafi menyebut para fuqaha dengan sebutan ahli ilmu kertas (tekstualis), sedang mereka memuji-muji ilmu laduni. Padahal ejekan para sufi falsafi tersebut bertentangan dengan hadits Rasul saw.: “Ikatlah ilmu dengan tulisan“.[3]