Total Tayangan Halaman

Kamis, 05 September 2013

"Bukankah Aku ini Tuhanmu?"

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Hampir semua dari kita yang gemar membaca tentang kajian-kajian agama, mengetahui bahwa kita, yaitu setiap manusia yang lahir ke dunia ini pernah berjanji di hadapan Tuhannya. Peristiwa tersebut sering disebut sebagai peristiwa Alastu. Waktu itu setiap dari kita ditawari oleh Allah dengan suatu pertanyaan yaitu: "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”[lihat 7:172]. Tidak ada paksaan disini, Allah menawarkan kepada jiwa manusia tentang KetuhananNya. Kalau otoriter, mungkin akan lain redaksinya, misalnya “Aku ini Tuhanmu, betulkan? Tawaran Allah tersebut dijawab Sang Jiwa secara sukarela dengan membenarkan dan sekaligus menjadi saksi.

Kejadian beralastu tersebut sebenarnya merupakan keinginan Allah yang telah dinyatakanNya dalam [2:30] yaitu: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. ….”  Jadi disini adalah pernyataan kepada malaikat tentang keinginanNya hendak menjadi seorang khalifah di muka bumi, dan di [7:172] keinginan tersebut terlaksana dengan telah adanya perjanjian antara Tuhan dan khalifahNya.

Di ayat lain, Allah menginformasi  dalam [23.12], yaitu: “dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” Ada dua ayat, yaitu [2:30] dan [23:12] yang menggambarkan dua hal yang berbeda tetapi dalam sasaran yang sama, yaitu Allah berbicara tentang manusia secara utuh. Di ayat [2:30], untuk seorang khalifah, Allah menggunakan kata ‘menjadikan’ atau bahasa Arabnya adalah ‘ja’ilun.’ Sedangkan untuk [23:12], Allah menggunakan kata ‘menciptakan’ atau bahasa Arabnya adalah ‘khaliqun.’ Sangat beda arti kedua kata tersebut, tetapi kedua kejadian tersebut digabung menjadi satu, yaitu  menjadi manusia yang utuh.

Yang satu, fisik manusia ‘diciptakan’ oleh Allah dari saripati tanah, sedangkan yang kedua, sang Isi, yang diharapkan Allah untuk menjadi sang Khalifah atau WakilNya, hanya ‘dijadikan’ oleh Allah, bukan ‘diciptakan.’ Sang Khalifah itulah sebenarnya yang telah berjanji di depan Tuhannya. Tempat ‘hendak menjadikan seorang Khalifah’ dan ‘beralastu’ tersebut terjadi di Alam Ketuhanan, atau Alam Pencipta, yaitu Alam tertinggi yang lebih tinggi dari Alam Malaikat.

Jadi tentang Sang Khalifah ini ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu (1) dia ‘dijadikan’ oleh Allah; (2) waktu ‘dijadikan’ oleh Allah berada di Alam Ketuhanan; (3) dia yang berjanji dengan Tuhan; (4) dia yang mau memegang amanah, lihat [33:72], yaitu: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh.”; (5) dia sesuatu yang belum dapat disebut, seperti diinformasi dalam ayat [76.1], yaitu: Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?

Ada dua kali, Sang Khalifah itu disuruh ‘turun’ oleh Allah dari Alam Ketuhanan Pertama ketika di [38.72], yaitu: “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruhKu; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.” Sang Khalifah diturunkan Allah dari Alam Ketuhanan ke Alam Surga, setelah Sang Khalifah tersebut ‘dimasukkan’ ke dalam sang fisik. Ini yang kita kenal sebagai Adam.

Perintah turun kedua adalah di ayat [2:36] dengan bunyi: ”Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan." Jadi turun kedua adalah ketika Adam dan Hawa diusir Allah dari surga.

Ketika diusir turun oleh Allah dari surga ke bumi, Sang Khalifah tsb kehilangan dua hal yang sangat vital. Apa itu? Yaitu kehilangan kehidupan kekal dan kehilangan ilmu pengetahuan. Kehidupan kekal, jelas bahwa Sang Khalifah yang telah dimasukkan ke dalam fisik manusia, yaitu Adam dan Hawa tidak bisa lagi hidup kekal seperti ketika mereka di surga.Tidak ada kehidupan kekal di bumi.

Kehilangan ilmu pengetahuan? Perlu sedikit penjelasan.. Sebenarnya ketika Sang Khalifah ‘dijadikan’ di Alam Ketuhanan, dia mempunyai ilmu pengetahuan yang tidak terbatas. Kemudian ketika diturunkan ke Alam Surga, Adam bisa memberitahukan nama-nama benda kepada para malaikat. Ini terbukti dari ayat [2:33] berikut, yaitu : “Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"  Ini adalah peristiwa dimana Adam memberitahukan nama-nama benda kepada para malaikat.

Jadi ketika di alam surga, Adam lebih pintar dari malaikat yang paling pintar sekalipun. Boleh dikatakan mempunyai ilmu pengetahuan yang tidak terbatas. Ketika diturunkan ke muka bumi, kemampuan ilmu pengetahuan yang tidak terbatas tersebut hilang…. Semasa hidup di dunia, manusia tidak serta merta mempunyai ilmu pengetahuan tetapi harus belajar dan belajar, mulai dari ketika dia lahir sampai ke liang kubur.

Inilah sebenarnya rahasia Allah kepada sang Khalifah yang telah kehilangan kedua kemampuan vital tersebut. Allah sebenarnya mengharapkan Sang KhalifahNya dapat benar-benar menjadi WakilNya dan kembali dapat meraih kedua kemampuan yang pernah hilang tersebut. Pengetahuan tsb termasuk pengetahuan bahwa kita pernah berjanji di hadapanNya. Itulah hakikat tugas kita semua manusia di dunia ini, yaitu untuk bisa kembali mengenalnya selama di dunia.

Sekarang, dengan kejadian yang telah ditakdirkan itu, alat apa yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk bisa mengenal dunianya ketika telah diturunkan ke bumi? Hanya lima, yaitu lewat lima panca indera kita. Kita mengetahui, mempelajari dunia masing-masing lewat lima indera kita. Mulai dari mata untuk penglihatan, telinga untuk pendengaran, hidung untuk penciuman, lidah untuk rasa, dan kulit untuk perabaan. Hanya itu alat yang diberikan oleh Allah untuk mengenal dunia ini. Sebagai contoh, ketika Rasulullah SAW bersabda kepada para shahabatnya yaitu: “Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku shalat,” maka alat yang menangkap ilmu dari Rasul SAW itu hanya mata dan telinga. Mata untuk menangkap bagaimana gerakan-gerakan shalat Rasul, dan telinga untuk menangkap ucapan-ucapan shalat Rasul. Jadi setiap kejadian yang kita rasakan ketika kita ‘bangun’ pasti ada satu, atau dua, atau tiga atau semua dari indera kita yang menangkapnya. Makan, indera yang berfungsi adalah penciuman, rasa dan perabaan.

Ketika kita lahir di dunia ini, kita diajari untuk mengenal dunia luar melalui 5 indera tsb. Setiap indera manusia mempunyai kemampuan untuk menangkap jarak tertentu dari suatu frekuensi. Telinga manusia bisa menangkap gelombang suara mulai dari 15 sampai 20.000 Hz. Mata dapat menangkap sinyal dari 4.000 – 7.000 Angstrom. Demikian juga alat rasa, raba, penciuman mempunyai alat penangkap yang bisa menangkap sinyal sesuai dengan frekuensinya masing-masing. Gelombang suara ditangkap oleh membrane yang ada di telinga dan diubah menjadi gelombang listrik dan disampaikan terus ke otak atau sel-sel syaraf yang khusus menerima sinyal suara. Demikian juga untuk sinyal cahaya diterima oleh retina dan diubah menjadi gelombang listrik kemudian dihantarkan ke sel-sel syaraf  yang bisa membaca sinyal itu.

 Apapun yang kita ketahui melalui indera sebenarnya tidak lebih dari frekuensi. Mobil merah yang kita lihat, misalnya, sebenarnya adalah kumpulan frekuensi dari gelombang cahaya yang kemudian ditangkap oleh retina dan selanjutnya di dalam otak diubah menjadi gelombang listrik, dan dengan kemampuan yang diberikan Allah, sel-sel syaraf tertentu di otak kita mengubah gelombang listrik tersebut menjadi ‘image gambar’ yang dimengerti oleh manusia. Kalau kita dengar bunyi mesinnya, itu juga hanya berupa gelombang yang sampai ke telinga kemudian diubah menjadi gelombang listrik dan oleh sel-sel syaraf pendengaran diubah menjadi ‘image dengar’ yang dimengerti oleh manusia. Apabila kita sentuh atau duduk di dalam mobil tersebut, lagi-lagi hanya berupa gelombang frekuensi yang ditangkap oleh indera peraba yang diteruskan ke otak melalui gelombang listrik dan Subhanallah, dengan kemampuan yang diberikan Allah, sel-sel syaraf bisa mengubah gelombang listrik tersebut menjadi ‘image raba’ yang dimengerti oleh manusia. Demikan juga kalau ada parfum dalam mobil tersebut, sudah pasti itu hanya berupa frekuensi yang ditangkap oleh indera penciuman diteruskan ke otak dalam bentuk gelombang listrik, dan diubah oleh sel-sel syaraf ke dalam ‘image bau.’ Ke empat image tsb dimengerti oleh manusia dalam 4 dimensi yang berbeda dan dalam waktu yang bersamaan, sehingga, ‘seolah-olah’ itulah kenyataan. Padahal ke semuannya hanyalah getaran-getaran jutaan frekuensi yang diterjemahkan oleh sel-sel syaraf sehingga akhirnya ke empat dimensi image tersebut menjadi suatu image yang utuh, yaitu mobil merah yang sedang hidup, kita duduk di dalamnya dan berbau harum.

Jadi sebenarnya kita hidup di suatu alam yang tidak lebih dari hanya lautan frekuensi. Semuanya hanya frekuensi. Alam semesta ini hanya lautan sangat luas dari frekuensi yang tidak ada batasnya. Mulai dari yang dekat di sekitar kita, sampai jauh nun ke galaksi di atas sana, semuanya hanya frekuensi. Kita melihat bintang bercahaya, padahal itu hanya image cahaya yang berupa frekuensi di otak kita.

Setiap manusia mempunyai kemampuan yang berbeda menangkap frekuensi tersebut. Walaupun secara umum ada batasan-batasan frekuensi yang bisa ditangkap oleh indera manusia, tetapi kalau didalami lebih jauh, pemahaman terhadap frekuensi tsb berbeda-beda. Contoh yang paling mudah adalah orang yang sedang jatuh cinta akan melihat bulan indah bercahaya dengan terangnya. Artinya dia menterjemahkan frekuensi cahaya ke dalam pengertiannya menjadi lebih terang, lebih indah, lebih cemerlang, sedangkan orang yang sedang marah, sedih dll, tidak akan melihat cahaya tersebut secemerlang atau seindah orang yang lagi jatuh cinta.  Padahal image gambar dari bulan tersebut tidak berubah, dia memancar sama ke setiap orang. Jadi penerimaan atau pemahaman setiap orang terhadap suatu objek tergantung dari kemampuan dia menterjemahkan image tersebut. Bahkan dengan objek yang sama, dua orang akan memahami secara berlawanan. Rasulullah SAW bagi orang Islam tergambar sebagai image manusia sempurna, sedangkan bagi para kafir tergambar sebagai setan besar. Padahal Rasul adalah Rasul.  Demikian juga bulan akan dilihat berbeda oleh orang awam dibanding dengan ahli astronomi.

 Jadi apabila dsimpulkan sedikit tentang frekuensi ini adalah bahwa alam semesta ini tidak lebih dan tidak kurang hanyalah lautan frekuensi yang tidak ada batasnya. Ini adalah pengertian secara makronya. Dengan kemampuan indera manusia yang terbatas hanya sedikit yang bisa diketahuinya. Yang lebih fundamental lagi adalah secara mikronya dimana semua ketidakterbatasan dan keterbatasan tersebut sebenarnya hanya ada dalam otak kita, yang diterjemahkan berbeda untuk setiap manusia sesuai dengan pengetahuan dan suasana jiwa seseorang.

Dunia anda, saya, kita semua hanya ada dalam otak kita masing-masing, tidak di luar. Persepsi bahwa semua yang di luar itu hanya ilusi dalam otak.  Sehebat-hebatnya manusia mengetahui tentang alam semesta, itu hanya kemampuan dia menterjemahkan frekuensi yang tidak terbatas tersebut ke dalam pengertiannya. Jadi apa yang dilihatnya tentang alam semesta hanya kemampuan otaknya untuk menterjemahkan frekuensi tersebut ke dalam suatu imaginasi yang hanya dia yang tahu. Orang lain akan berbeda lagi pengertiannya terhadap alam semesta.

Nah, mari kita ungkap kenapa kemampuan ilmu pengetahuan sang Khalifah sangat jauh berkurang ketika diturunkan atau dilahirkan ke bumi. Kalau pengertian kita tadi bahwa frekuensi alam semesta yang tidak terbatas tsb terjadi di luar sono.. pada hakikatnya tidak, semuanya hanya di dalam otak kita. Jadi frekuensi yang tidak terbatas yang di alam semesta sebenarnya frekuensi yang tidak terbatas di dalam otak kita, dan hanya sangat sedikit sekali yang bisa diketahui.

Studi tentang syaraf belakang ini menemukan bahwa ada sekitar ratusan miliar sel syaraf (neuron) yang ada di otak kita dan ratusan triliun sinapsis (penghubung antar sel syaraf), dan setiap syaraf mempunyai gelombang yang unik. Tidak ada satupun sel syaraf yang sama gelombangnya. Bisa dibayangkan bahwa di otak kita ada ratusan miliar gelombang dan ratusan miliar gelombang yang berbeda tersebut saling terkoneksi satu sama lain sampai sebanyak ratusan triliun koneksi.

Pada hakikatnya ini adalah tidak terbatas. Dari jumlah yang tidak terbatas tersebut, hanya ratusan juta sel syaraf yang digunakan oleh lima indera kita untuk mengetahui dunia kita masing-masing atau untuk menangkap frekuensi yang tidak terbatas tsb. Selebihnya tidak bisa dijangkau oleh indera manusia. Inilah yang dimaksud dengan kehilangan ilmu pengetahuan. Ketika Sang Khalifah di Alam Ketuhanan dan Alam Surga, frekuensi yang tidak terbatas tersebut diketahuinya, tetapi ketika diturunkan ke bumi, frekuensi yang tidak terbatas tersebut hanya bisa ditangkap oleh lima indera yang sangat terbatas kemampuannya.

Nah, mari kita merenung sejenak. Apa maksud Allah dengan yang begini? Kita sebenarnya disiapkan untuk menjadi wakilNya, sang Khalifah yang mempunyai potensi yang tidak terbatas, tetapi, pas waktu mau melaksanakan tugas kekhalifahan tersebut, potensi kekhalifahan tersebut hilang atau dicabut. Bahasa lugasnya adalah kita diberi tugas yang maha berat untuk membangun peradaban manusia di muka bumi sebagai wakilNya, tetapi di lain pihak kemampuan kita diperkecil sampai ke tingkat yang sangat rendah. Kemudian pas telah habis waktu kita untuk menjalankan tugas kekhalifahan tersebut, nanti di akhirat ditanyakan dan dipertanggungjawabkan apa saja yang telah kita perbuat selama misi kekhalifahan tersebut. Wah… sangat berat dan sangat berat. Tugas berat tetapi kemampuan kecil.

Itu adalah perhitungan logika terbatas kita….  Allah Maha Penyayang dan Maha Adil. Dia pasti tidak akan membiarkan Sang KhalifahNya tidak mampu menjalankan misiNya. Ada satu alat yang belum kita perhitungkan selain dari 5 alat indera kita… yaitu Akal. Inilah satu-satunya alat yang diberikan Allah untuk bisa meraih gelombang-gelombang yang tidak terbatas tadi dimana indera manusia sudah tidak mampu lagi menjangkaunya. Hanya Sang Akal. Lebih lanjut lagi hanya Sang Akal lah yang bisa mengenal Sang Empunya gelombang tidak terbatas tsb.  Saya menggarisbawahi bahwa hanya Sang Akal yang bisa mengenal atau bermakrifat kepada Allah. Apabila mau mengetahui lebih lanjut, kenapa pernyataan ini saya garis bawahi, saya bahas panjang lebar dalam buku Pengenalan Hakikat Diri Menurut Al Quran.

Dalam buku Pengenalan Hakikat Diri Menurut Al Quran dibahas bahwa cara untuk mengenal Allah disampaikanNya dalam banyak ayat-ayatNya di Al Qur’an. Kuncinya adalah bahwa cara untuk mengenalNya adalah dengan cara melaksanakan lima rukun Islam. Shalat secara khusus dibahas di buku tsb. Shalat merupakan suatu perjalanan kembali dari bumi kembali naik ke tempat di mana Sang Khalifah pernah berjanji yaitu tempat asalnya, yaitu dengan perjalanan isra’ dan mi’raj. Kenapa shalat dipakai oleh Allah untuk mengenalnya? Pada hakikatnya, shalat adalah alat untuk memperkuat dan menyempurna kemampuan akal sehingga akhirnya bisa mengenalNya. Salah satu bahasan tentang shalat adalah 'menyatukan yang berpasang-pasangan.' Kita tahu di Qur'an bahwa semua ciptaan Allah yang terjadi melalui proses 'kun fayakun' adalah berpasang-pasangan. Lihat [36:36]  dan [51:49].

'Menyatukan yang berpasang-pasangan' adalah cara hakikat untuk bisa mengenal Sang Maha Tunggal. 'Menyatukan yang berpasang-pasangan' berarti menyatukannya sehingga yang berpasang-pasangan tersebut tidak berfungsi lagi. Ke lima indera manusia sebenarnya berhubungan dengan yang berpasang-pasangan tsb. Fungsi melihat adalah memakai sepasang mata, fungsi mendengar adalah memakai sepasang telinga, fungsi mencium adalah memakai sepasang lubang hidung, fungsi mengecap rasa memakai pasangan lidah dan bibir, dan fungsi meraba memakai kulit. Kalau kita menyatukan yang berpasang-pasangan dari indera tersebut, berarti menghentikan fungsinya. Apabila semua indera tsb dimatikan fungsinya maka masih ada satu fungsi yang tidak pernah bisa dimatikan, yaitu fungsi berpikir. Kita bisa pejamkan mata, menutup telinga, menahan nafas, menutup mulut, diam supaya indera tsb tidak berfungsi, tetapi kita tidak bisa menghentikan fungsi berpikir. Malah dengan menghentikan fungsi semua indera tsb, fungsi berpikir akan bertambah tajam. Sang Akal akan bertambah sempurna. Semakin sempurna dia semakin banyak dia kenal akan Tuhannya.

Inilah juga sebenarnya hakikat dari puasa,  yaitu menyatukan yang berpasang-pasang atau mengontrol fungsinya. Pada sepuluh hari pertama, kita mencoba mengontrol kemauan dari perut ke bawah, sepuluh hari kedua meningkat dengan menambahkan untuk mengontrol gejolak di daerah dada spt marah, iri, dengki dll. Sedangkan sepuluh hari ketiga adalah mengontrol fungsi mata, telinga, mulut dan penciuman. Semua fungsi tsb harus bisa dikontrol hanya ke arah kebaikan dan melumpuhkan potensi ke arah keburukan. Apakah bisa menghentikan fungsi berpikir? Tidak bisa dan tidak akan pernah bisa. Malah dengan pengontrolan dalam ke tiga tingkatan tadi, kemampuan berpikir akan meningkat. Tujuan Allah menyuruh kita berpuasanya adalah untuk menjadikan kita orang-orang berakal dengan meningkatkan kemampuan berpikir dan akhirnya orang yang berakal tsb akan menjadi orang yang bertakwa.

Jadi misi sang Khalifah di muka bumi ini adalah meraih kembali semaksimal mungkin ilmu pengetahuan atau frekuensi yang pernah hilang dan digunakan untuk kemashalatan umat manusia dan peradaban. Caranya adalah dengan melaksanakan ke lima rukun Islam. Tujuan akhir dari semuanya adalah mempertajam, memperkuat, dan menyempurnakan kemampuan akal sehingga akhirnya Sang Khalifah, yang awalnya mempunyai kemampuan yang tidak terbatas kemudian dicabut, bisa meraih kembali kemampuan tersebut, dan akhirnya bisa benar-benar kembali mengenalNya. Sang Akal mampu kembali menangkap frekuensi-frekuensi yang tidak terbatas tsb dimana indera tidak mampu. Tentu setiap manusia akan berbeda kemampuaan maksimalnya menangkap frekuensi tersebut. Tergantung kepada upaya dia untuk mempertajam dan menyempurnakan akalnya dan tidak diganggu oleh persepsi negatif hatinya.

Rukun Islam yang lima adalah cara memperkuat kemampuan akal melalui penghentian semua indera yang terbatas kemampuannya. Dengan potensi dasar akal yang lebih sempurna dengan cara lima rukun Islam tersebut, maka seseorang bisa belajar dan belajar tentang kehidupan ini, belajar ilmu apa saja sesuai dengan kemampuannya dan digunakan untuk misi wakilNya di dunia ini.


Semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarahtuh.