Total Tayangan Halaman

Senin, 10 Agustus 2015

perbedaan ilmu dengan pengetahuan


Perbedaan Ilmu dengan Pengetahuan

1. Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Pada awalnya yang pertama muncul adalah filsafat dan ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu dari semua ilmu (mater scientiarum).  Karena objek material filsafat bersifat umum yaitu seluruh kenyataan, pada hal ilmu-ilmu membutuhkan objek khusus.  Hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu dari filsafat.
Meskipun pada perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu khusus menjadi terputus. Dengan ciri kekhususan yang dimiliki setiap ilmu, hal ini menimbulkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. Dengan kata lain tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha untuk menyatu padukan masing-masing ilmu. Tugas filsafat adalah mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas.
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide filsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah.
Dalam perkembangan berikutnya, filsafat tidak saja dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi.  Dalam taraf peralihan ini filsafat tidak mencakup keseluruhan, tetapi sudah menjadi sektoral.   Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami .

2. Definisi Ilmu Pengetahuan

Membicarakan masalah ilmu pengetahuan beserta definisinya ternyata tidak semudah dengan yang diperkirakan. Adanya berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan ternyata belum dapat menolong untuk memahami hakikat ilmu pengetahuan itu. Sekarang orang lebih berkepentingan dengan mengadakan penggolongan (klasifikasi) sehingga garis demarkasi antara (cabang) ilmu yang satu dengan yang lainnya menjadi lebih diperhatikan.
Pengertian ilmu     yang terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu (Admojo, 1998). Mulyadhi Kartanegara mengatakan ilmu adalah any organized knowledge. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik, seperti metafisika.
Adapun beberapa definisi ilmu menurut para ahli diantaranya  adalah :
  • Mohamad Hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut bangunannya dari dalam.
  • Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan ke empatnya serentak.
  • Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana.
  • Ashley Montagu, menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.
  • Harsojo menerangkan bahwa ilmu merupakan akumulasi pengetahuan yang disistemasikan dan suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap seluruh dunia empiris yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indera manusia. Lebih lanjut ilmu didefinisikan sebagai suatu cara menganalisis yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk : “ jika …. maka “.
  • Afanasyef, menyatakan ilmu adalah manusia tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori dan hukum-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.
Berdasarkan definisi di atas terlihat jelas ada hal prinsip yang berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu.  Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.
Pembuktian kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran akal atau rasional atau menggunakan logika deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini sering pengetahuan yang diperoleh tidak sesuai dengan fakta.
Secara lebih jelas ilmu seperti sapu lidi, yakni sebagian lidi yang sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga menjadi sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yang masih berserakan di pohon kelapa, di pasar, dan tempat lainnya yang belum tersusun dengan baik.

3. Objek Ilmu Pengetahuan

Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke dua objek tersebut.
Objek material adalah sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (Gegenstand), sesuatu hal yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencakup hal konkrit misalnya manusia,tumbuhan, batu ataupun hal-hal yang abstrak seperti ide-ide, nilai-nilai, dan kerohanian. Objek formal adalah cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakannya. Objek formal dari suatu ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama membedakannya dari bidang-bidang yang lain. Satu objek material dapat ditinjau dari berbagai sudut pandangan sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda.

4. Dasar Ilmu

Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Ontologi merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno.  Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu ada beberapa asumsi yang perlu diperhatikan yaitu asumsi pertama adalah suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif asumsi. Asumsi kedua adalah kelestarian relatif artinya ilmu tidak mengalami perubahan dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi artinya ilmu menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan.
Epistemologi atau teori pengetahuan yaitu cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Sebagian ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini .
Dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu bagi kebutuhan umat manusia. Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan manusia menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah.
Berdasarkan aksiologi, ilmu terlihat jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.  Etika mengandung dua arti yaitu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.

5. Prosedur Pencarian Ilmu

Salah satu ciri khas ilmu pengetahuan adalah sebagai suatu aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia. Ilmu menganut pola tertentu dan tidak terjadi secara kebetulan. Ilmu tidak saja melibatkan aktivitas tunggal, melainkan suatu rangkaian aktivitas, sehingga dengan demikian merupakan suatu proses. Proses dalam rangkaian aktivitas ini bersifat intelektual, dan mengarah pada tujuan-tujuan tertentu.
Disamping ilmu sebagai suatu aktivitas, ilmu juga sebagai suatu produk. Dalam hal ini ilmu dapat diartikan sebagai kumpulan pengetahuan yang merupakan hasil berpikir manusia. Ke dua ciri dasar ilmu yaitu ujud aktivitas manusia dan hasil aktivitas tersebut, merupakan sisi yang tidak terpisahkan dari ciri ketiga yang dimiliki ilmu yaitu sebagai suatu metode.
Metode ilmiah merupakan suatu prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Perkembangan ilmu sekarang ini dilakukan dalam ujud eksperimen. Eksperimentasi ilmu kealaman mampu menjangkau objek potensi-potensi alam yang semula sulit diamati.
Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu kealaman disebut siklus-empirik. Ini menunjukkan pada dua hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan empirik menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara indrawi. Metode siklus-empirik mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runut dari segenap tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering kali dilakukan secara bersamaan.

Pembahasan

Sebelum penjabaran tentang perbedaan pengetahuan dan ilmu pengetahuan, perlu diuraikan tentang pengertian pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam mendalami perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan.

Pengetahuan

Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge.Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa difinisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).
Sedangkan secara terminologi definisi pengetahuan ada beberapa definisi.
  1. Pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu.  Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai.  Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.
  2. Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.
  3. Pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui tentang  suatu objek tertentu, termasuk didalamnya ilmu, seni dan agama. Pengetahuan ini merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung dan tak langsung memperkaya kehidupan kita.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Pengetahuan dapat berwujud barang-barang baik lewat indera maupun lewat akal, dapat pula objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal, atau yang bersangkutan dengan masalah kejiwaan.
Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang berupacommon sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu.  Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.
Ruang Lingkup pengetahuan secara ontologi, epistomologi dan aksiologi ada tiga yaitu Ilmu, Agama dan Seni pada skema berikut :

Ilmu

Pada prinsipnya ilmu merupakan usaha untuk mengorganisir dan mensitematisasikan sesuatu. Sesuatu tersebut dapat diperoleh dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Namun sesuatu itu dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Ilmu dapat merupakan suatu metode berfikir secara objektif (objective thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Ini diperoleh melalui observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Analisisnya merupakan hal yang objektif dengan menyampingkan unsur pribadi, mengedepankan pemikiran logika, netral (tidak dipengaruhi oleh kedirian atau subjektif). Ilmu sebagai milik manusia secara komprehensif yang merupakan lukisan dan keterangan yang lengkap dan konsisten mengenai hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan waktu sejauh jangkauan logika dan dapat diamati panca indera manusia.
Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke dua objek tersebut. Ilmu merupakan suatu bentuk aktiva yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu lebih lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian serta suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya.
Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.
Pada umumnya metodologi yang digunakan dalam ilmu kealaman disebut siklus-empirik. Ini menunjukkan pada dua macam hal yang pokok, yaitu siklus yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, dan empirik yang menunjukkan pada sifat bahan yang diselidiki, yaitu hal-hal yang dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara indrawi. Metode siklus-empirik mencakup lima tahapan yang disebut observasi, induksi, deduksi, eksperimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runut dari segenap tahapan prosedur ilmiah tersebut, meskipun pada prakteknya tahap-tahap kerja tersebut sering kali dilakukan secara bersamaan (Soeprapto, 2003).
Ilmu dalam usahanya untuk menyingkap rahasia-rahasia alam haruslah mengetahui anggapan-anggapan kefilsafatan mengenai alam tersebut. Penegasan ilmu diletakkan pada tolok ukur dari sisi fenomenal dan struktural.
Dimensi Fenomenal.
Dalam dimensi fenomenal ilmu menampakkan diri pada hal-hal berikut :
  1. Masyarakat yaitu suatu masyarakat yang elit yang dalam hidup kesehariannya sangat konsern pada kaidah-kaidah universaI, komunalisme, disinterestedness, dan skeptisme yang terarah dan teratur
  2. Proses yaitu olah krida aktivitas masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimentasi, komparasi, dan sebagainya tidak pernah mengenal titik henti untuk mencari dan menemukan kebenaran ilmiah.
  3. Produk yaitu hasil dari aktivitas tadi berupa dalil-dalil, teori, dan paradigma-paradigma beserta hasil penerapannya, baik yang bersifat fisik, maupun non fisik.
Dimensi Struktural
Dalam dimensi struktural ilmu tersusun atas komponen-komponen berikut
  1. Objek sasaran yang ingin diketahui
  2. Objek sasaran terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti
  3. Ada alasan dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tadi terus menerus dipertanyakan
  4. Temuan-temuan yang diperoleh selangkah demi selangkah disusun kembali dalam satu kesatuan sistem.
Ilmu dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu Ilmu Pengetahuan Abstrak, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Humanis.
Secara rinci seperti skema di bawah ini.
Berdasarkan skema di atas terlihat bahwa ilmu melingkupi tiga bidang poko yaitu ilmu pengetahuan abstrak, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan humanis. Ilmu pengetahuan abstrak meliputi metafisika, logika, dan matematika. Ilmu pengetahuan alam meliputi Fisika, kimia, biologi, kedokteran, geografi, dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan humanis meliputi psikologi, sosiologi, antropologi, hukum dan lain sebagainya.

Kesimpulan

Berdasarkan uaraian di atas dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :
  1. Ada perbedaan prinsip antara ilmu dengan pengetahuan. Ilmu merupakan kumpulan dari berbagai pengetahuan, dan kumpulan pengetahuan dapat dikatakan ilmu setelah memenuhi syarat-syarat objek material dan objek formal
  2. Ilmu bersifat sistematis, objektif dan diperoleh dengan metode tertentu seperti observasi, eksperimen, dan klasifikasi. Analisisnya bersifat objektif dengan menyampingkan unsur pribadi, mengedepankan pemikiran logika, netral (tidak dipengaruhi oleh kedirian atau subjektif).
  3. Pengetahuan adalah keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai matafisik maupun fisik, pengetahuan merupakan  informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan dan pengulangan-pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu.  Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka
  4. Dalam penulisan karangan ilmiah atau penulisan lainnya harus dibedakan antara ilmu dengan pengetahuan, agar kekaburan makna dari kata tersebut tidak terjadi.
  5. Penggabungan kata ilmu dengan pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan berkonotasi ganda, sehingga dalam penulisannya cukup dipakai salah satu kata sesuai dengan maknanya.

Saran

  1. Dalam penulisan karangan ilmiah atau penulisan lainnya harus dibedakan antara ilmu dengan pengetahuan, agar kekaburan makna dari kata tersebut tidak terjadi.
  2. Penggabungan kata ilmu dengan pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan berkonotasi ganda, sehingga dalam penulisannya cukup dipakai salah satu kata sesuai dengan maknanya.

CERAMAH GURU SEKUMPUL [GURU IJAI MARTAPURA] TENTANG NUR MUHAMMAD

Rabu, 11 Februari 2015

Yang Sebenar Diri

Yang Sebenar Diri
Yang sebenar benar diri itu nyawa
Yang sebenar benar nyawa itu ruh.
Yang sebenar benar ruh itu nur Muhammad 
Yang sebenar benar nur Muhammad itu sifat
Yang sebenar benar sifat itu zat (zat hayat)
Yang sebenar benar zat itu diri
Yang sebenar benar sifat itu rupa
Tapi bila kita mendakwa kepada ruh, maka teruskanlah kepada zat dan sifat allah. Supaya jangan terdinding kepada allah apabila sudah kita tembuskan kepada zat dan sifat allah, itulah tubuh orang ma’rifat yang sebenarnya. Kalau sudah sampai kepada diri yang sebenarnya atau diri bathin, barulah bathin dapat melihat bathin. Disini dapatlah orang yang sampai itu melihat perjalanan ruh/rohani. Adapun yang disebut roh idhofi itu berbadan Muhammad. Disini hamba tambahkan pula tentang nama-nama roh yang patut dikenal: seperti roh idhofi, roh mukayyat, dan roh mutlak. Dan yang pertama tadi disebut roh idhofi. Dan yang disebut roh/nyawa itu tadi disebut juga roh mukayyat. Yang disebut roh mutlak itu adalah roh robhani itu adalah roh tuhan allah.
Kalau orang yang hanya sampai kepada roh mukayyat atau yang disebut nyawa itu: artinya yang belum meneruskan kepada zat dan sifat allah ta’ala.
Maka orang yang telah meneruskannya kepada zat dan sifat allah itulah yang disebut roh mutlak. Atau lazim disebut oleh kaum sufi dengan ruhul kudus atau ruhul haq, ruhul amin.
Jadi seorang wali allah yang berada pada tingkat atas darinya bertubuh sir, dan berubah-ubah tuhan. Yang disebut sir dan roh itu ialah : zat allah dan sifat allah. Dengan adanya zat dan sifat itu lalu kita ingat kepada kalimah yang berbunyi ah, ah, ah, ah, ah, ah, ah. Disini ada dua huruf, yaitu huruf alif dan huruf ha. Alif itu berarti ujud, dan h itu berarti hayat. Tiap-tiap hayat tentunya dengan ujud. Setiap ujud dan hayat, pasti dengan namanya pula. Dan setiap ada ujud, hayat dan asma, tentu ada af’al jadi susunannya yang sebenarnya itu adalah : zat, sifat, asma, dan af’al itulah yang bernama allah dan akhirnya kalimah la illha ilallah itulah yang bernama zat sifat asma dan af’al. inilah rahasia bathin dan zahir syariat dan hakikat. Hamba dan tuhan, abid dan ma’bud, khalik dan makhluk. Zat dan sifat tiada boleh pisah, begitu juga tidak boleh sekutu. Ia seperti naïf dan isbat jua adanya dan masa lalinya rasa, kita lupa dan kita tidak ingat lagi yang sebagai macam, itulah yang bernama idhafat ma’allah artinya : hilang semuanya dan tidak
Ketinggalan walau sebesar atom. Maka ini hamba disebut dengan makam : penelanjangan tuhan. Sekarang baiklah kita teruskan kepada membicarakan tentang yang lainnya. Adapun cita-cita dan rasa perasaan masalah berbagai bathin dan zahir sekalian tubuh itu lahir dan bathin. Sebab karena yang dipuji itu jatuhnya kepada tubuh bathin dan zahir. Inilah jadinya kedalam diri kita, bilangan tatkala allah ta’ala itu bersifat dengan sifat, kata ain. Jadi kesimpulannya ialah yang memuji ia yang dipuji. Ia yang menyembah dan ia juga yang disembah. Karena ahadiyah, wahdah, dan wahadiah adalah Esa. Jadi disini boleh di kata : puji qadim bagian qadim, puji hadist bagi qadim. puji qadim bagi hadits. Dan puji hadits bagi hadits. Bagi orang yang paham tentan rahasia ma’rifat itu, tidak ada lagi syakan ragu atas kata-kata yang diatas ini tadi sebab dalam ilmu hakikat ada kesimpulan yang berbunyi wahadiah, wahdah, wahidiyah, adalah Esa. Jadi Muhammad, adam adalah Esa.
Kamilpun allah jua. Muhammad dan adapun ada hakikatnya : jadi pada hakikatnya manusia ini adalah rahasia Tuhan menurut bentuk dan surahnya sendiri. Makadari itu tuhan memerintahkan kepada malaikat supaya sujud kepada adam a.s.

RAHASIA MUHAMMAD.

RAHASIA MUHAMMAD.
1. MIM-MAHMUDUN ’ALAIYAH : maksud kepujian pada Muhammad ialah; yang menjadikan wakil dari Tuhan YME pada hari hisab. 
Firman Allah Ta’ala ; tiada aku utus engkau Muhammad melainkan menjadi rahmat sekalian alam.
2. HA-HAMIDUN ALAIHI : maksudnya MUHAMMAD lah yang terpuji yag mendirikan ; syareat, tharekat, hakikat, dan ma’rifat, seperti kata Tuhan YME. Dalam hadits qudsyi, maksudnya ; benarlah hambaku Muhammad, setiap apa yang disampaikannya kepadaku. 
3. MIM- MUJANIUN: ialah MUHAMMAD lah yang menghimpun puji bagi Allah LAHMIJIDILLAH Ta’ala, bagi puji zahir maupun puji bathin
Firman Allah Ta’ala maksudnya : sesungguhnya kami menyuruh mengikuti Muhammad pada perhatiannya maupun perbuatannya.
4. DAL – TOBADILLAH ILLA HUA : maksudnya, kuganti kerjaanku kepadamu ya Muhammad, dijadikan Muhammad atas rupaku, artinya tiada wujudku melainkan wujud Muhammad ganti kerjaanku.

4 PERKARA SUNNAH DILAKUKAN SEBELUM TIDUR

4 PERKARA SUNNAH DILAKUKAN SEBELUM TIDUR
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Assalaamu’alaikum warohmatullaahi wabarokaatuh
mungkin sebagian orang sudah mengetahui 4 perkara Sunnah
sebelum tidur, semoga yang belum tau menjadi tau .
Rasulullah SAW berpesan kepada Aisyah ra :
“ya Aisyah, jangan engkau tidur sebelum melakukan empat perkara”
yaitu:
1. Sebelum kau khatam Al-qur’an
2. Sebelum membuat para Nabi memberimu syafa’at di hari akhir
3. Sebelum para muslim dan muslimat meridhoi kamu 
4. Sebelum kau melaksanakan ibadah haji dan umroh.
Bertanya Aisyah ra:
“Ya Rasulullah.. Bagaimana aku. dapat melaksanakan 4 perkara
seketika dalam semalam?”
Rasulullah SAW tersenyum dan bersabda :
1. “jika engkau tidur bacalah Surah Al-ikhlas 3x seakan-akan kau
menghatamkan Al-qur’an.”
[ Bismillahir rohmaanir rohiim, Qulhualloohu ahad’ Allahushshomad’
lam yalid walam yuulad’ walam yakul lahuu kufuwan ahad’ ] (3x)
2. “membaca sholawat untuk ku dan para nabi sebelum aku, maka
kami semua akan memberi syafa’at di hari kiamat.”
[ Bismillaahir rohmaanir rohiim, Allahumma shollii ‘alaa Muhammad
wa’alaa alii Muhammad ] (3x)
3. “Beristighfarlah untuk para muslimin dan muslimat maka mereka
akan meridhoi kamu.”
[Astaghfirullahal ‘azhiim alladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul
qoyyum wa atuubu ilaih ] (3x)
4. “Perbanyaklah bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, maka
seakan-akan kamu telah melaksanakan ibadah haji dan umroh.”
[ Subhanallahi Walhamdulillaahi walaailaaha illallahu allahu akbar ](3x)
Rasulullah SAW bersabda; ilmu yang bermanfaat ialah salah satu
amal yang kekal bagi orang yang mengajarnya, meski hanya 1 ayat,
dan meskipun kita sudah meninggal dunia..
Mari kita Berfastabiqul khairat.. 
(Tafsir Haqqi)
Semoga Bermanfaat

Syari’at, Tarekat, Hakikat-Ma’rifat

Barangsiapa mengambil syari’at belaka tanpa hakikat, maka ia fasik; dan barangsiapa mengambil hakikat belaka tanpa syari’at, maka ia kafir zindik.
— Imam al-Ghazali
Oleh karena itu, kata menjadi semacam kunci penting untuk membuka harta karun pengetahuan “nama-nama segala hal” yang tersimpan utuh di dalam aras keabadian. Barangkali inilah alasan Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk berkomunikasi, bercakap-cakap, menulis, dan menyatakan pendapat melalui kata-kata. “Membaca” dalam pengertian yang paling luas, adalah semacam anak tangga untuk menggapai “nama-nama segala hal.” Dan karena “nama-nama segala hal” pada hakikatnya adalah pengetahuan azali yang bersifat “mungkin secara mutlak”, maka manusia yang mendapatkan sedikit saja dari kemungkinan itu bakal mendapatkan pengetahuan yang mengandung kekuatan transformatif yang besar. Manusia bisa mengoperasionalisasikan potensi kreatifnya melalui pengetahuan.
—Ibnu Abbad Al-Rondi
Hirarki itu, seperti telah dijelaskan di atas, adalah syari’at, tarekat dan hakikat. Dalam ajaran Islam, hal itu berhubungan langsung dengan tiga unsur utama dalam agama Islam: Iman (percaya), Islam (pasrah), dan Ihsan (kebajikan dan penyaksian tertinggi). Dilihat dari perspektif ini, pertama-tama seseorang harus percaya dan pasrah pada perintah dan tata-aturan Ilahi yang diwartakan melalui Rasulullah Muhammad SAW. Itu berarti bahwa seseorang harus merealisasikan premis dasar dari penciptaan dirinya: wa maa khalaqtul jinna wal insana illa liya’budu (Aku tak ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghambakan diri kepada-Ku: Q.S. adz-Dzariyat: 56). Dalam konteks ini syariat adalah petunjuk awal untuk merealisasikan penghambaan dan tarekat adalah proses realisasinya. Pada tingkat yang lebih tinggi, ayat itu juga ditafsirkan sebagai perintah untuk mengenal (ma’rifat) Allah: “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk ma’rifat kepada-Nya” (tafsir Ibn Abbas). Karena Allah adalah al-Haqq (Kebenaran), maka dibutuhkan keimanan dan tindakan yang benar untuk mencapai “Kebenaran Tertinggi” (Haqiqah). Dalam praktiknya, seseorang harus melaksanakan semua nilai kebenaran yang menyempurnakan, atau mengintensifkan dan memperdalam aspek iman dan Islam melalui amal saleh (praktik ibadah yang benar). Jadi, seseorang harus mengikatkan diri secara total kepada Kebenaran dan kepatuhan (taat) sepenuhnya pada Hukum Suci (syari’at). Hal ini berarti, di satu pihak, seseorang harus mengenal Kebenaran sepenuhnya (kaffah), dan di pihak lain mematuhi Hukum Suci dengan seluruh keberadaan kita. Jika demikian halnya, seseorang harus beribadah dengan keyakinan mendalam bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Benar secara Absolut al-Haqq), Maha Tak Terhingga (transenden) dan Maha Meliputi (imanen). Karena Dia adalah Maha Tak Terhingga dan Maha Meliputi, maka Dia niscaya “melihat” dengan “Penglihatan” yang tak terhingga dan “Penglihatan” yang meliputi segala sesuatu yang ada di seluruh semesta. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: “Beribadahlah engkau seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jikalau engkau tak melihatnya maka [ketahuilah] bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.” Ini juga adalah jawaban Rasulullah ketika beliau ditanya oleh Malaikat Jibril tentang makna dari Ihsan.
Jadi, ihsan bertemu dengan haqiqah atau bahkan identik dengannya, sebab berdasarkan hadits itu dapat disimpulkan bahwa ihsan adalah kepercayaan yang benar dan amal yang benar, dan pada saat yang sama ihsan adalah inti dari keduanya: Inti dari kepercayaan (keyakinan) yang benar adalah kebenaran mistis (haqiqah), dan amal yang benar adalah praktik ibadah yang sesuai dengan petunjuk dari Tuhan, atau syari’at. Dalam analisis terakhir, karena yang dituju adalah al-Haqq (Yang Maha Benar), maka dalam perjalanan menuju kepada pengetahuan yang benar tentang Yang Maha Benar (haqiqah) seseorang harus memiliki informasi yang benar (Syari’ah atau Hukum Suci yang bersumber dari Yang Maha Benar), sebab tanpa petunjuk dan arah yang benar, seseorang bisa tersesat; dan kemudian seseorang harus menempuh rute jalan yang benar (thariqah) berdasarkan petunjuk yang benar itu. Jadi menurut Sufi, hanya melalui syari’at dan tarekat, seseorang baru akan mendapatkan hakikat kebenaran, yang buahnya adalah pengetahuan Tuhan sebagaimana seharusnya Dia dikenal (ma’rifah). Mendapatkan perpaduan hakikat kebenaran dan ma’rifat dalam terminologi Sufi juga disebut wushul (sampai).
Jadi, jika kita sintesiskan, perjalanan sampai ke wushul (sampai ke hakikat-ma’rifat) mesti melampaui tiga tahap dengan dua lapisan. Guru kami, Syaikhuna Ahmad Shahibul Wafa’ Taj al-Arifin (Abah Anom) dari Suryalaya, Tasikmalaya, meringkaskan tahap ini sebagai berikut:


Alkisah, ketika jasad manusia pertama diciptakan oleh Tuhan dengan kedua tangan-Nya, ia bukan apa-apa. Setan yang telah lebih dulu eksis memeriksa isi jasad makhluk baru yang kelak dinamakan Adam. “Kosong,” kata Setan, “hanya tanah liat dengan rongga-rongga, gumpalan-gumpalan, cairan kental dan tulang-tulang kokoh.” Tetapi lalu Tuhan meniupkan Ruh-Nya ke jasad itu—dan hiduplah ia. Lantas diajarilah Adam “nama-nama segala hal” (Q.S. 2:31), dan sujudlah segala malaikat kepadanya atas perintah Tuhan, kecuali, tentu saja, Iblis.
Manusia pertama-tama mengenal dirinya sendiri melalui narasi, kisah, dongeng. Melalui “nama-nama segala hal”, Adam mengenal dirinya, mengenal dunianya. Kita bisa berimajinasi banyak hal tentang apakah yang diajarkan oleh Tuhan dalam “nama-nama segala hal” itu. Tetapi ada satu pesan yang sangat jelas: melalui “nama-nama segala hal” itulah Adam (manusia) ditempatkan lebih mulia ketimbang makhluk yang tak mengenal “nama-nama segala hal” meski makhluk itu sesuci malaikat sekalipun! Karena itulah manusia diangkat menjadi khalifah Allah di muka bumi — meskipun pada mulanya ada keberatan dari para malaikat.
Nama-nama segala hal adalah kebenaran paripurna yang dipahami oleh Adam. Ia berada di aras surgawi, ada dalam keabadian, atau, meminjam istilah penyair dan mistikus besar Ibnu ‘Arabi, nama-nama segala hal berada dalam a’yan tsabitah (entitas-entitas abadi dan lengkap dalam pengetahuan Tuhan, yang bisa menjadi aktual tetapi juga bisa tidak). Saat Tuhan menghendaki, maka ia akan maujud. Maka dari itu, entitas-entitas itu pada hakikatnya adalah “kemungkinan mutlak”—kemungkinan yang senantiasa hadir dalam kemutlakan Tuhan. Manusia, yang mewarisi “nama-nama segala hal”, adalah salah satu manifestasi dari kemungkinan tersebut. Ini berarti bahwa diri manusia beserta hakikatnya sendiri senantiasa hadir bersama Tuhan, dan Tuhan senantiasa hadir dalam diri manusia, sebab ciptaan seisinya adalah perwujudan dari “kemungkinan mutlak” dalam Diri Tuhan. Implikasinya adalah: manusia menjadi “ahli waris” sifat-sifat Tuhan—karena Tuhan Maha Mencipta, maka manusia juga mewarisi bakat untuk “mencipta”; karena Tuhan adalah Maha Pengasih, maka manusia juga “memiliki” sifat semacam ini, dan seterusnya—namun tentunya dalam kadar yang jauh lebih kecil dan kurang sempurna.
Beberapa mistikus Islam mengatakan bahwa nama-nama segala hal adalah Firman Tuhan; Firman atau “Kata” ilahi yang tak terpisah dari objek yang dinamai. Segala pengetahuan berawal dari Firman—seperti dikatakan dalam Perjanjian Baru: “Pada awalnya adalah Firman.” Dalam Al-Quran dinyatakan, Tuhan berfirman “Kun! Fayakun (Jadilah! Maka terjadilah).” “Kun” oleh para mistikus Islam menjadi petunjuk penting untuk memahami penciptaan.
Kata Kun ditafsirkan bermacam-macam. Kerap dinyatakan bahwa dalam pra-eksistensi (sebelum ciptaan terwujud—Peny.), nama dengan yang dinamai bukanlah dua unsur yang terpisah—sebuah Firman, Kalam, yang “diucapkan” Tuhan adalah keseluruhan eksistensial dari yang diacu oleh Kata tersebut. Ketika Tuhan “berkata” petir maka kata itu adalah wujud petir itu sendiri, dengan cahaya, ledakan, dan panasnya. Tetapi setelah manusia diturunkan ke bumi, maka kata dipisahkan oleh Tuhan dari objek yang dikatakan.
Persoalannya sekarang adalah ketika “nama-nama segala hal” yang ada dalam aras (tingkat) kekekalan itu diturunkan ke aras duniawi, ke aras manusia biasa yang tak kekal (sebab manusia pasti mati di bumi), “nama-nama segala hal” harus dikomunikasikan dengan cara yang sesuai dengan realitas bumi tempat manusia berpijak. Dengan kata lain “nama” dengan “yang dinamai” terpaksa “dipisahkan”, sebab dunia bukanlah sesuatu yang abadi, dan yang abadi tak bisa ditampung oleh yang fana.
“Kata-kata,” yang membentuk “kalimat” yang bermakna, lantas menjadi semacam label untuk objek yang diacu oleh kata itu. Maka ketika kita kini menyebut angin, kata angin ini bukan hakikat angin itu sendiri, tetapi menjadi semacam abstraksi dalam pikiran, dalam bayangan mental. Kata menjadi sebentuk “syari’at” yang memberikan informasi dari “hakikat” yang diacu kata-kata.
Beberapa mistikus yang mendalami hakikat kata-kata—dengan metodenya sendiri—berhasil “menyatukan kembali” kata (nama) dengan objek yang dikatakan, menyatukan kembali “nama” dengan “yang dinamai”. Mereka yang berhasil mencapai taraf itu dianggap mampu menciptakan sesuatu hanya dengan kata. Kisah legenda Sunan Kalijaga yang mengubah tanah menjadi emas hanya dengan mengucap adalah perlambang dari pandangan ini. Atau, bisa dinyatakan bahwa “kata” dapat menimbulkan efek transformatif. Dengan kata lain, kata “yang dihidupkan” menjadi sebentuk “jalan,” thariqah, yang menghantarkan kita pada hakikat, haqiqah, dari apa-apa yang dirujuk oleh kata itu.
Dengan demikian, ringkasnya, secara teori, manusia yang terus membaca dan menulis pengetahuan, akan lebih besar peluangnya mendapatkan sepercik pengetahuan “nama-nama segala hal”, mendapatkan segala informasi yang diperlukan. Dan ketika level yang harus dilewati ini sudah dikuasai, setelah ia memahami “nama-nama segala hal”, maka pada titik tertentu ia akan mengalami transformasi, dan pada gilirannya ia akan melampaui “nama-nama segala hal”—yakni melampaui dunia kata-kata menuju ke dunia penyaksian. Ia akan melampau level transformasi menuju afirmasi—yakni pengetahuan tentang Tuhan yang hakiki. Inilah puncak pengetahuan, yakni pengetahuan dari segala pengetahuan, atau inti/esensi dari segala pengetahuan, atau dalam bahasa Sufi lebih dikenal sebagai haqiqah. Jadi, demikianlah urutan suluk (perjalanan ruhani) manusia dalam ajaran Islam: syari’ah (informasi), thariqah (transformasi) dan akhirnya haqiqah (afirmasi). Lalu Apakah haqiqah itu?
Esensi atau inti hakikat (haqiqah) akan terwujud ketika manusia memandang dirinya bukan apa-apa, baik pada dirinya sendiri maupun dalam pengetahuannya, kesadarannya, dan segenap sifat-sifatnya. Hanya syariat suci dari para nabi dan rasul sajalah yang dapat selaras dengan realitas semacam ini. Segala hal yang dibawa oleh nabi dan rasul mengandung kebenaran-kebenaran tertentu yang dapat dijangkau akal, dan kebenaran-kebenaran lain yang tak mungkin dijangkau dengan akal. Walau begitu, semua kebenaran ini diakui oleh umat mukmin sebagai satu entitas tunggal, dan kesatuan merekalah yang meniadakan segenap pemikiran dan pendapat manusia (semata). Karena, kesatuan dari apa-apa yang dapat dimengerti dengan apa-apa yang tak terjangkau akal manusia akan melahirkan realitas ketiga yakni realitas yang tak dapat dimengerti (oleh akal pikiran), tetapi sekaligus juga tidak berada di luar pikiran, dan karenanya berada di luar kedua kategori ini; karena bukan termasuk kategori-kategori ini, maka manusia, dengan pengetahuan dan kesadarannya, bukanlah apa-apa di hadapan realitas ini. Manusia (di dalam realitas ketiga ini) lalu menjadi seperti orang buta yang ditunjuki jalan dan membiarkan dirinya dibimbing. Nah, begitulah hakikat itu.
Berdasarkan penjelasan yang menarik dari Ibnu Abbad itu, maka dapat dikatakan, seperti ditulis oleh Mason (1995), hakikat (haqiqat) adalah keadaan di mana seseorang lebur di hadapan Dzat yang tak dapat diketahui, Dzat yang tidak bisa dikenal, tak dapat dibayangkan, dan tak dapat diserupakan dengan sesuatu. Untuk menjaga kemurnian iman terhadap keberadaan Dzat yang nyata dan serba-meliputi (imanen), namun sekaligus tak terbandingkan (transendental), maka seseorang tidak boleh menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang lain. Kehadiran Dzat ini berada di luar keberadaan dan jangkauan kemampuan pemahaman seluruh manusia, tetapi pada saat yang sama keberadaan-Nya sangat dekat dengan keberadaan manusia. Di dalam Al-Quran dinyatakan, “Dia lebih dekat ketimbang urat lehermu.” Dzat ini membeda-bedakan sekaligus menyatukan segala sesuatu dalam realitas-Nya yang tak dapat diketahui; dan karena itu Dia menjadi satu-satunya pusat dari segala sesuatu. Dalam analisis terakhir, pandangan yang ekstrem ini akan sampai pada konsep “kesatuan” antara Tuhan dan manusia—sebuah keyakinan yang sulit dipahami karena dalam pandangan ini, jika dipahami hanya dari perspektif tunggal, yakni perspektif lahiriah semata, maka akan berisiko memunculkan pemahaman yang bisa memorak-porandakan sistem ajaran Tauhid yang menyatakan adanya perbedaan antara Pencipta dan ciptaan-Nya.
Dari sini muncul pertanyaan, apakah keyakinan “ekstrem” ini bisa dipahami? Atau apakah “pengetahuan hakikat” semacam ini bisa dipahami? Apakah kontroversi-kontroversi itu menunjukkan bahwa pengalaman semacam ini tak lebih dari semacam “hipotesis”? Atau sekadar ilusi?
Menurut ajaran Sufi, hakikat adalah sebentuk pengetahuan pula yang bisa diraih manusia. Karena ia adalah “pengetahuan untuk manusia” maka tentu saja ia bisa dipahami. Tetapi pemahaman ini harus diletakkan pada level hirarkis yang berbeda. Karena haqiqah berada pada level pengetahuan tertinggi, maka seseorang tak bisa mencapainya dengan cara langsung melompat ke level itu. Tentu saja ada pengecualian, seperti dalam kasus wali jadzab (yang akan kami bahas lebih lanjut di bab tentang Wali Allah).
Martabat wushul (sampai kepada Allah) adalah [melalui] tiga perjalanan: (1) Islam; (2) Iman; (3) Ihsan … Seorang hamba Allah yang sibuk dalam ibadah [berarti] berada dalam maqam Islam atau Syari’at. Apabila amal itu kemudian [meningkat dengan didasari oleh] hati yang bersih dan sunyi daripada kejahatan, dipenuhi oleh kebajikan sempurna dan ikhlas, maka orang itu berada dalam maqam Iman atau Tarekat. Apabila orang itu [meningkat lagi] ke martabat ibadah yang sungguh-sungguh demi Allah semata (lillahi ta’ala), yakni [saat ia beribadah] seolah-olah Allah melihat dirinya, maka ia berada dalam maqam ihsan atau hakikat … Berkata Tuan Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasallahu sirrhu, “tiada lain tujuan ahli Tasawuf (Sufi) adalah membersihkan batin dengan nur Tauhid dan menggapai ma’rifat.”
Wa Allahu a’lam bi ash-shawab.
———