Total Tayangan Halaman

Sabtu, 06 Juli 2013

Said Nursi dan Pemikirannya

Asal mula munculnya filsafat sebagai ilmu pengetahuan, dimulai karena kekaguman (keta’ajjuban) manusia. Kalau manusia sudah merasa kagum, biasa-nya ia merasa tidak tahu dan hal yang tidak diketahuinya itu merupakan problema yang harus dicarikan solusi melalui filsafat, dengan mempergunakan nalar sekuat mungkin, sehingga diperoleh pengetahuan. Pengetahuan semacam ini, mungkin saja dapat diperoleh yang dimulai dengan pertanyaan: knowledge of what is yakni apakah sesuatu itu ? dan juga knowledge of what tobe, yakni tentang apa yang seharusnya diperbuat ? pertanyaan-pertanyaan seperti ini, tentu membuat manusia untuk berfikir (menalar), sehingga melahirkan suatu ilmu pengetahuan.
Karena hasil akhir filsafat adalah perolehan ilmu pengetahuan, maka konsep filsafat tersebut merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam Islam, karena agama Islam tersebut sejak pertama diturunkannya menggunakan kata iqra yang oleh sebagai mufassir mengartikan term iqra sebagai perintah untuk menalar. Di dalam berbagai ayat, juga ditemukan sejumlah term yang mendorong pemikiran rasional misalnya; afalā ta’qilūn (apakah kamu tidak menggunakan akal; afalā tubsirūn (apakah kamu tidak melihat); afalā tanzurūn (apakah kamu tidak meneliti, tidak menggunakan nalar); yā ulil al-bāb (hai orang yang me-miliki otak dan akal); dan sebagainya.
Jelaslah bahwa filsafat Islam, bukan jiplakan dari pemikiran Yunani Kuno, tetapi filsafat Islam tersebut berasal dari interpretasi ayat-ayat al-Quran yang diwahyukan Tuhan. Ajakan ayat-ayat al-Quran untuk mengobservasi, meneliti dan mengkaji realitas-realitas di alam semesta, termasuk diri manusia sendiri, telah mendorong umat Islam pada masa-masa lalu untuk menggeluti bidang filsafat, sehingga mereka berhasil menjadi mercusuar dunia, terutama pada abad-abad ke ketujuh sampai sembilan Masehi. Dalam masa itu, tampil filsuf Islam misalnya al-Kindi (796-873 M), al-Farabi (872-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), al-Maskawaih (w. 1030 M), al-Ghazali (1058-1111 M), dan masih banyak lagi selainnya.
Salah satu failosof atau pemikir Islam dan sekaligus sebagai sufi yang masyhur pasca al-Ghazāli, adalah Said Nursi (1293-1379 H). Tokoh ini, berasal dari sebuah desa bernama Nursi di perkampungan Khaizan, wilayah Bitlis yang terletak di sebelah Timur Anatoli. Tanda-tanda sebagai seorang yang kelak menjadi pemikir, tampak sejak Said Nursi masih kecil. Hal ini seperti terlihat, bahwa beliau selalu banyak bertanya dan gemar menelaah masalah-masalah yang belum dimengerti.
Dalam dunia pendidikan, Said Nursi mulai belajar di madrasah, dan ter-akhir dia sekolah di Bayazid dengan di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Jalali. Di sinilah Said Nursi belajar Nahwu dan sharaf, dan berhasil membaca seluruh buku yang pada umumnya dipelajari di sekolah-sekolah agama. Dalam kesehariannya, dia selalu membaca duaratus halaman buku yang bahasanya sangat sulit dimengerti. Namun demikian, dia mampu memahaminya tanpa harus merujuk pada catatan kaki atau catatan pinggir, dan tanpa dibantu oleh syaikh.
Tidak lama kemudian, popularitas Said Nursi tersebar luas. Para ulama silih berganti melakukan berbagai dialog ilmiah dengannya dan berupaya untuk menyudutkannya dengan berbagai pertanyaan. Tetapi semua pertanyaan dan masalah yang dikemukakan terjawab dengan sangat argumentatif, sehingga oleh mereka digelari “Said Masyhur”.
Di masa-masa akhir pemerintahan Usmani dan masa-masa pembentukan Republik Turki, Said Nursi berkelana dari kota ke kota hingga pelosok terjauh negerinya. Dari sekian daerah yang dikunjunginya, said Nursi melihat kekafiran modern berakar dari sains dan filsafat, bukan dari kebodohan sebagaimana dikemukakan orang-orang sebelum dia. Paradoksnya, ketidak tahuan umat Islam terhadap sains dan teknologi membuat mereka tertinggal dari Barat di bidang ekonomi dan militer. Tetapi sains dan teknologi yang telah mendatangkan kekuatan bagi Barat untuk mencapai superioritas ekonomi dan militer di dunia membuat orang-orang Barat kehilangan keimanan dan moral tradisional mereka, sehingga jatuh ke dalam psimisme yang berlebihan. Akibatnya, moralitas sekuler dan kepentingan diri sendiri menggusur nilai-nilai agama dan nilai-nilai tradisional lainnya.
Akhirnya, Said Nursi berpendapat bahwa alam adalah kumpulan tanda-tanda Ilahi dan karena itu sains dan agama bukanlah dua bidang yang berseberangan. Keduanya adalah ekspresi yang (tampak) berbeda dari satu kebenaran yang sama. Pikiran harus dicerahkan dengan sains, sedangkan hati harus diterangi dengan agama.
Dalam pemikirannya untuk membuktikan keberadaan dan keesaan Ilahi, hari kebangkitan, kenabian, asal Ilahiah, al-Quran, alam gaib, dan para penghuninya atau dimensi-dimensi immaterial, perlunya ibadah, moralitas, karakter ontologis manusia dan lain-lain, Said Nursi semula mencoba mem-erkuat Islam dengan filsafat modern barat. Kemudian dia melihat bahwa cara tersebut sama halnya dengan merendahkan Islam dan bahwa pokok-pokok islami terlalu dalam untuk dijangkau dengan prinsip-prinsip filsafat manusia. Dia lalu beralih kepada alquran saja. Namun pada gilirannya, setelah mencermati ber-bagai ayat al-Quran, justru Said Nursi berpendapat bahwa filsafat adalah jalur menuju kemajuan dan pencerahan ruhani. Bahkan sempat perpendapat bahwa pola pikir filsafat Barat bisa digunakan untuk menegakkan dan memperkuat kebenaran Islam. Dari sini, maka dipahami pemikiran Said Nursi yang secara lahiriyah terlihat tetap menggunakan filsafat Barat, justeru di sisi lain dengan pe-mikirannya itu dapat mengkorelasikannya filsafat Islam. Ini berarti bahwa Said Nursi satu-satu pemikir modern yang telah menemukan konsep baru filsafat dalam bingkai yang islami.
Dalam The Oxford Encyclopedia of Islami word disebutkan bahwasejak kelahiran filsafat, maka Filsafat Islam merupakan salah satu tradisi intelektual besar di dalam dunia Islam, dan telah mempengaruhi serta dipengaruhi oleh banyak perspektif intelektual lain, termasuk teologi skolastik (kalām) dan sufisme doktrinal (al-ma’rifah al-irfān). Mungkin sebab pengaruh-pengaruh intelektual lain, sehingga Ibrahim Madkūr menjelaskan bahwa kedudukan filsafat Islam sesungguhnya mengalami keraguan dalam suatu zaman. Sebagai akibatnya adalah di antara mereka yang mengingkari (menolak) kehadiran filsafat Islam itu, dan sebagian lainnya justru menerimanya, bahkan telah menyelamatkannya. Dengan penjelasan ini, maka dapat dipahami bahwa filsafat Islam dalam satu sisi tidak diterima oleh semua orang. Mungkin alasannya, karena ada anggapan bahwa filsafat Islam terasimilasi dari filsafat Yahudi (barat).
Meskipun diakui bahwa pemikiran-pemikiran filsofis di kalangan filosof-muslim yang pesat perkembangannya sejak dulu sampai kini pada umumnya berkisar pada filsafat Ketuhanan, dan sangat jarang yang mengkhususkan diri pada masalah alam semesta beserta isinya termasuk. Dengan kata lain, orientasi filsafat Islam selama ini bersifat vertikal dan jarang yang menghampiri persoalan-persoalan yang bersifat horizontal (masalah sosial dan alam semesta). Hal ini, sangat erat kaitannnya dengan situasi yang berkembang pada waktu itu, di mana masalah Ketuhanan menjadi topik yang selalu aktual diperbincangkan oleh kaum muslimin. Di lain pihak, kaum muslimin ingin mempertemukan antara berita-berita wahyu yang diyakini sebagai kebenaran dengan teori-teori filsafat yang bersumber dari ratio murni itu. Hal inilah yang dilakukan oleh Said Nursi yang dalam beberapa pernyataanya dipahami bahwa wahyu Allah yang diturunkan, menurut filsafat Islam adalah mutlak kebenarannya, sementara ratio yang juga merupakan alat pikir manusia yang diberikan oleh Allah, bilamana dipergunakan dengan sebaik-baiknya, juga akan mencapai kebenaran. Hanya saja, dalam konsep filsafat Islam adalah, ada manusia yang tidak mampu mencapai pada tarap kebenaran yang sempurna, sehingga ia bersifat nisbi (relatif). Bilamana kebenaran nisbi tersebut tidak bertentangan dengan wahyu, maka dapat diperpegangi.


ARTIS MUALAF

1. El Manik (Aktor)
2. Chrisye (Penyanyi)
3. Tamara Blezenky (Aktris)
4. Dian Sastrowardoyo (Bintang film)
5. W.S Rendra (Penyair, Si Burung Merak)
6. Iga Mawarni (Penyanyi)
7. Chica Koeswoyo (Bintang cilik, Keluarga Koes Ploes)
8. Clara Shinta (Aktris)
9. Ebiet G Ade (Penyanyi)
10. Monica Oemardi (Aktris)
11. Sandrina Malakiano (Pembawa Berita)
12. Cindy Claudia (Penyanyi,artis sinetron)
13. Davina Veronica H.(Topmodel)
14. Tia (Penyanyi,AFI)
15. Shelomita (Penyanyi)
16. Cahyono (Pelawak)
17. Valentino (Bintang Iklan, Presenter)
18. Paquita Wijaya (Sinematrografer, Penyanyi)
19. Ira Wibowo (Aktris)
20. Miranda Risang (Artis)
21. Ray Sehatapi (Bintang film)
22. Hughes (Host)
23. Max Don (Suami Imaniar)
24. Angel Elga (Penyanyi Dangdut)
25. Willy Dozan (Bintang Film)
26. Cahyono (Pelawak)
27. Natalie Sarah(Aktris Sinetron)
28. Verawati Fajirn (Atlet Bulutangkis)
29. Lulu Tobing (Artis)
30. Ki Manteb Sudarsono (Dalang)
31. Tamara blezinsky (bintang film, sinetron)
32. Tere (penyanyi)
33. Monica oemardi (bintang film, sinetron)
34. Cahyono (komedian)
35. Cindy claudia harahap (penyanyi)
36. Iga mawarni (penyanyi)
37. Steve emanuel (bintang film, sinetron)
38. Davina (bintang film, sinetron, model)


Makna Puasa ?

Bagaimana pandangan kaum sufi pada umumnya, mengenai hakikat ibadah, terutamaMakna Puasa ?
Pertama-tama, ibadah apapun bagi kaum sufi secara umum bisa dikerangkakan ke dalam tiga langkah atau tahapan, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli secara bahasa berarti mengosongkan, dalam terminologi tasawuf berarti membersihkan diri dari berbagai dosa yang mengotori jiwa, baik dari dosa lahir maupun dari dosa batin, atau istilah al-Ghazali itu penyakit hati. Yang dimaksud dosa lahir di sini
adalah setiap perbuatan dosa yang melibatkan aspek fisik atau badan jasmani kita. Contohnya seperti membunuh, berzina, merampok, mencuri, mabuk-mabukan, menyalahgunakan narkoba dan sebagainya. Adapun yang termasuk dosa batin atau dosa yang timbul dari aktivitas hati antara lain berdusta,  menghina orang lain, memfitnah, ghibah, dendam, iri, dengki, riya, ujub, takabur dan sebagainya.
Adapun tahalli secara bahasa berarti menempatkan atau mengisi. Dalam dunia tasawuf berarti mengisi atau menghiasi diri dengan berbagai amal saleh, baik amalan lahir maupun amalan batin. Atau kalau lebih dalam lagi, berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dengan “meniru” akhlak atau sifat-sifat Allah serta meneladani akhlak Rasul Allah. Dalam kaitan ini misalnya ada hadits yang sudah cukup populer karena sering dikutip, takhallaqu bi akhlaqillah. Mengenai keteladanan Rasul ada ayat, laqad kana lakum fi rasullillah uswatun hasanah.
Sedangkan tajalli merupakan hasil atau buah dari dua langkah sebelumnya, takhalli dan tahalli, yang berupa tersingkapnya selubung atau hijab yang menghalangi seorang manusia dengan Tuhan, sehingga ia benar-benar dekat dengan Allah, sudah benar-benar merasakan kehadiran Allah secara intens. Bahkan pengalaman spiritual yang lebih intens lagi melalui proses tajalli ini adalah bersanding, bahkan bersatu dengan-Nya.
Dalam pandangan kaum sufi, kualitas ruhani manusia itu pada dasarnya adalah suci, dalam istilah agama disebut fitrah, karena memang ia bersumber dari Allah SWT langsung. Nabi sendiri pernah bersabda: “Setiap (bayi) yang dilahirkan pada mulanya bersifat suci (fitrah), kedua orangtuanya lah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Jadi kualitas ruhani manusia itu mulanya laksana kaca yang sangat bening, yang dapat menerima dan memantulkan kembali dengan sempurna setiap cahaya yang datang. Demikian halnya jiwa yang suci dapat menerima dengan sempurna cahaya kebenaran (hidayah) dari Tuhan untuk kemudian memantulkannya kembali dengan sempurna dalam bentuk akhlaq al-karimah.
Seperti ibadah-ibadah lainnya, puasa bagi kaum sufi adalah sebagai sarana atau media untuk melakukan takhalli, tahalli, dan pada akhirnya mencapai tajalli. Bahkan, dibanding dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa merupakan media atau sarana yang paling lengkap untuk melakukan ketiga langkah tersebut.
Puasa, secara bahasa berarti imsak (menahan, menghentikan, atau mengendalikan). Dalam dunia tasawuf, yang dimaksud puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu, yang kalau ia tidak terkendali akan menjadi sumber dan penyebab terjadinya berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa. Jadi lingkup hawa nafsu di sini bukan cuma mengekang nafsu makan dan nafsubirahi  saja. Pengendalian nafsu yang merupakan inti dari puasa itu dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala dosa, yang dalam istilah tasawuf disebut dengan takhalli tadi!
Berarti harus bertakhalli?
Ya! Sebab orang yang berpuasa tetapi masih juga melakukan berbagai dosa, baik dosa lahir maupun dosa batin, berarti dia tidak mampu mengendalikan nafsu, dan karena itu puasa yang dilakukannya tidak bernilai sama sekali. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, pada bulan Ramadan ada seorang wanita mencaci maki pembantunya. Ketika Rasalullah mengetahui kejadian tersebut, beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil wanita itu, lalu Rasulullah bersabda, “makanlah makanan ini”. Wanita itu menjawab, “saya ini sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasululah bersabda lagi, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesunguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa banyaknya orang yang berpuasa, dan betapa banyaknya orang yang kelaparan.”
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral di balik ibadah puasa itu, yaitu berupa takhalli dari dosa lahir dan batin, maka puasanya itu tidak lebih dari sekedar orang-orang yang lapar saja. Hal ini sesuai juga dengan hadits Nabi yang lain, “Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.”
Yaitu harus menempuh proses tahalli! Jadi puasa juga melatih orang untuk bertahalli, yakni mengisi dan memenuhi jiwa dengan berbagai perbuatan dan akhlak yang baik. Karena itu, walaupun tidur orang yang berpuasa masih dinilai ibadat, dia juga disunnahkan untuk banyak-banyak melakukan ibadat, seperti salat malam atau qiyam al-lail dengan tarawih dan tahajjud, membaca al-Qur’an, yakni tadarrus dan tadabbur, i’tikaf di masjid, banyak berzikir dan berdoa, banyak bersedekah, menolong orang yang kelaparan dan kesusahan, dan berbagai amal saleh lainnya.
Tujuan utama puasa sesuai dengan penjelasan al-Qur’an adalah untuk mencetak manusia bertaqwa, yang memiliki karakteristik antara lain: beriman pada yang gaib, menegakkan salat, berinfak, beriman pada al-Quran dan kitab-kitab sebelumnya, yakin akan terjadinya akhirat, mendapat hidayah dan selalu memperoleh kemenangan atau kebahagiaan. Atau adalam rumusan lain memiliki sifat dermawan, mampu mengendalikan emosi, pemaaf, mawas diri (selalu instrospeksi diri) dan selalu berbuat baik.


Sifat-Sifat Allah Swt

Sifat-Sifat Allah Swt
12 October 2012, 6:44 pm
Allah swt memiliki beberapa Sifat yang wajib di ketahui oleh seorang muslim. Yaitu Sifat Wajib bagi Allah swt ada 20, Sifat Mustahil bagi Allah ada 20 dan sifat Jaiz…
Beberapa terjemahan dalil yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Hadits tentang sifat-sifat Allah:
  • “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia” - (Q.S. Al-Baqarah : 163)
  • Sesungguhnya Allah itu Amat Berkuasa atas segala sesuatu” - (Q.S Al-Baqarah: 20)
  • “Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” - (QS. Al-Baqarah : 29)
  • “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia” - (QS.Yasin : 82)
  • “… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat” - (QS. Asy-Syura : 11)
  • “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup, yang berdiri sendiri… “ - (QS. Al-Baqarah : 255)
  • “Dialah Yang Awal (tidak berpemulaan) dan Yang Akhir (tidak berkesudahan)… “ - (QS. Al-Hadid : 3)
Sifat 20 (dua puluh) Wajib Bagi Allah Swt :
  1. Wujud : artinya ada, ketetapan dan kebenaran yang wajib bagi dzat Allah Swt yang tiada di sebabkan dengan sesuatu sebab adalah “ada”.
  2. Qidam : artinya sedia, hakikatnya adalah menafikan bermulanya wujud Allah Swt.
  3. Baqa’ : artinya kekal, Allah Swt kekal ada dan tidak ada akhirnya
  4. Mukhalafatuhu Lilhawadith : artinya Bersalahan Allah Swt dengan segala yang baru, pada dzat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru, yang telah ada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta’ala menyerupai dengan yang baharu pada dzatnya, sifatnya atau perbuatannya.
  5. Qiyamuhu Binafsihi : artinya berdiri Allah Swt dengan sendirinya, tidak berkehendak kepada tempat yang berdiri (pada dzat) dan tidak berkehendak kepada yang menjadikannya, karena ia tidak di jadikan tetapi telah jadi dengan sendirinya, dan tidak berkehendak kepada yang di jadikanNya.
  6. Wahdaniyyah : artinya satunya Allah Swt pada dzat, pada sifat dan pada perbuatanNya, tetapi bukanlah pengertiannya seperti bersatunya dzat tulang, daging, kulit dan lain sebagainya, Allah Swt bebas dari pengertian seperti itu.
  7. Qudrat : artinya kuasanya Allah Swt, satu sifat yang qadim lagi azali yang tetap berdiri pada zat Allah Swt, yang mengadakan tiap – tiap yang ada dan meniadakan tiap – tiap yang tiada.
  8. Iradah : artinya kehendaknya Allah Swt, maknanya penentuan segala tentang ada atau tiadanya, maka Allah Swt yang selayaknya menghendaki tiap – tiap sesuatu apa yang di perbuatnya, artinya kita manusia telah di tentukan dengan kehendak Allah Swt, seperti : tentang rezeki, umur, baik, jahat, kaya, miskin dan lain sebagainya
  9. Ilmu : artinya mengetahuinya Allah Swt, maknanya nyata dan terang akan meliputi dan maha mengetahui akan segala tiap – tiap, tiada yang tersembunyi dan rahasia bagiNya di alam jagat ini.
  10. Hayat : artinya hidupnya Allah Swt, ini sifat yang tetap dan qadim lagi azali pada dzat Allah Swt, ia tidak akan pernah mati, karena mati itu adalah ciptaanNya juga.
  11. Sama’ : artinya mendengarnya Allah Swt, ini sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada dzat Allah Swt, tiada sesuatu apapun yang luput dari pendengarannya Allah Swt.
  12. Bashar : artinya melihatnya Allah Swt, hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada dzat Allah Swt, Allah Swt wajib bersifat maha melihat pada yang dapat di lihat oleh manusia atau tidak, jauh atau dekat, terang atau gelap, zahir atau tersembunyi dan sebagainya.
  13. Kalam : artinya : Berfirman Allah Swt, ini sifat yang tetap ada, yang qadim lagi azali, yang berdiri pada dzat Allah Swt, sebagai contoh adalah Al- Qur’an, ini merupakan perkataannya (kalam) Allah Swt yang abadi sepanjang masa.]
  14. Qadiran : artinya keadaannya Allah Swt, ia yang berkuasa mengadakan dan mentiadakan sesuatu.
  15. Muridan : artinya keadaannya Allah Swt yang menghendaki dan menentukan tiap – tiap sesuatu.
  16. ‘Aliman : artinya keadaannya Allah Swt yang mengetahui akan tiap – tiap segala sesuatu.
  17. Hayyan : artinya keadaannya Allah Swt yang maha hidup, melebihi dari segala sesuatu apapun juga.
  18. Sami’an : artinya keadaannya Allah Swt yang mendengar akan tiap – tiap segala sesuatu yang maujud.
  19. Bashiran : artinya keadaannya Allah Swt yang melihatakan tiap – tiap segala sesuatu yang maujudat (berupa sesuatu yang ada ).
  20. Mutakalliman : artinya keadaannya Allah Swt yang berkata – kata, yaitu sifat yang berdiri dengan dzat Allah Swt.
Sifat Mustahil Bagi Allah Swt
Wajib pula bagi tiap muslimin dan muslimat mengetahui akan sifat – sifat yang mustahil bagi Allah Swt, yang menjadi lawan daripada sifat 20 (dua puluh) yang merupakan sifat wajib bagiNya, berikut sifat – sifat yang mustahil bagiNya :
  1. ‘Adam, artinya tiada (bisa mati)
  2. Huduth, artinya baru (bisa di perbaharui)
  3. Fana’, artinya binasa (tidak kekal/mati)
  4. Mumathalatuhu Lilhawadith, artinya menyerupai akan makhlukNya
  5. Qiyamuhu Bighayrih, artinya berdiri dengan yang lain (ada kerjasama)
  6. Ta’addud, artinya berbilang – bilang (lebih dari satu)
  7. ‘Ajz, artinya lemah (tidak kuat)
  8. Karahah, artinya terpaksa (bisa di paksa)
  9. Jahl, artinya jahil (bodoh)
  10. Maut, artinya mati (bisa mati)
  11. Syamam, artinya tuli
  12. ‘Umy, artinya buta
  13. Bukm, artinya bisu
  14. ‘Ajizan, artinya lemah (dalam keadaannya)
  15. Karihan, artinya terpaksa (dalam keadaannya)
  16. Jahilan, artinya jahil (dalam keadaannya)
  17. Mayyitan, artinya mati (dalam keadaannya)
  18. Asam, artinya tuli (dalam keadaannya)
  19. A’ma, artinya buta (dalam keadaannya)
  20. Abkam, artinya bisu (dalam keadaannya)
Sifat Ja’iz Bagi Allah Swt
Sifat ini artinya boleh bagi Allah Swt mengadakan sesuatu atau tidak mengadakan sesuatu atau di sebut juga sebagai “mumkin”.
Mumkin ialah sesuatu yang boleh ada dan tiada.

Ja’iz artinya boleh – boleh saja, dengan makna Allah Swt menciptakan segala sesuatu, yakni dengan tidak ada paksaan dari sesuatupun juga, sebab Allah Swt bersifat Qudrat (kuasa) dan Iradath (kehendak), juga boleh – boleh saja bagi Allah Swt meniadakan akan segala sesuatu apapun yang ia mau. Sifat-Sifat Allah Swt…