Total Tayangan Halaman

Minggu, 18 Desember 2011

SATU KEKASIHKU

Puisi “Satu Kekasihku” terdapat dalam antologi yang bertajuk Cahaya Maha Cahaya. Antologi ini diterbitkan pada tahun 1996 oleh penerbit Pustaka Firdaus. Berikut ini kutipan lengkap puisi tersebut.

SATU KEKASIHKU

Mati hidup satu kekasihku
Takkan kubikin ia cemburu
 Kurahasiakan dari anak isteri
  Kulindungi dari politik dan kiai

Pentakwilan makna puisi ini akan penulis lakukan baris per baris dengan maksud memudahkan pemahaman atasnya. Berikut ini uraian lengkapnya.

¨      Mati hidup satu kekasihku
Penempatan kata mati mendahului kata hidup cukup menarik di sini. Tampaknya  sengaja dilakukan sedemikian oleh pengarang dengan maksud khusus; agar tertangkap keterkaitannya dengan beberapa dalil berikut.

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.(Q.S. Al-Ankabut:64)

Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. (Q.S. At-Taubah: 38)

Dunia itu ladang akhirat. Barang siapa menanam kebaikan akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Barang siapa menanam keburukan akan mendapat penyesalan. (hadis)

Orang mukmin beramal untuk dunia dan akhiratnya. Untuk dunianya, ia bekerja seperlunya saja. Ia mengambil sekadar untuk bekal perjalanan saja. Ia tidak mau mengambil banyak-banyak. Adapun orang bodoh, cita-citanya hanya untuk dunia. Tetapi orang arif bercita-cita untuk akhirat, kemudian untuk Al-Maula Azza wa Jalla. (Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)

Sang “aku” dalam puisi di sini tampaknya mengingatkan bahwa sesungguhnya kita hidup di dunia ini dalam keadaan “mati” karena kehidupan dunia ini statusnya sekadar ladang yang hanya bisa dipanen hasilnya di akhirat. Terlebih, jelas-jelas dikatakan Tuhan bahwa kehidupan di dunia ini bukanlah kehidupan yang sebenarnya.
Di sini juga tersirat sindiran bagi setiap muslim yang tidak menyadari bahwa ia telah berbuat bodoh. Mengapa bodoh? Karena kebanyakan muslim ketika berhadapan dengan pemahaman agama tingkat lanjut yang dirasanya berat, segera hatinya berbisik dalam bentuk premis umum,”Ah, aku sih (beragama) yang biasa-biasa sajalah.” Ia sama sekali tidak menyadari bahwa premis khusus dari pernyataan hatinya itu bermakna,”Potensi dan usahaku yang luar biasa adalah untuk dunia (bekerja keras menumpuk tabungan agar punya cukup modal dan kelak layak menikah dengan orang baik-baik, bermartabat, kalau bisa juga kaya. Yang berarti juga mengangkat derajat keluarga besar. Lalu mempunyai anak-anak yang pintar dan saleh. Memiliki rumah dan kendaraan yang cukup bisa dibanggakan. Lalu menjadi kakek-nenek yang bahagia; mengisi hari tua dengan beribadah dan aktif dalam pertemuan arisan khusus haji atau menjadi yang terkemuka di acara pengajian bulanan. Dengan begini, mudah-mudahan masuk surga.)  
Adapun frasa satu kekasihku, jika dihubungkan dengan baris ketiga yang berbunyi kurahasiakan dari anak istri serta-merta mengarahkan pembaca pada Tuhan. Pembaca tidak akan menuduh sang “aku” dalam puisi ini sedang menceritakan kekasih gelapnya karena puisi ini terangkum dalam antologi yang bernuansa religius. Sang “aku” justru sedang menegaskan bahwa yang menjadi buluh perindu; yang menguasai takhta cintanya adalah Tuhan Sang Terkasih.

¨      Takkan kubikin ia cemburu
Satu hal yang jarang diketahui orang adalah bahwa Allah Maha Pecemburu. Manusia adalah makhluk yang diciptakan dalam kemuliaan dan paling diutamakan Allah. Kasih Allah lebih tercurah pada ciptaan yang satu ini. Manusia adalah makhluk kesayangan-Nya. Bahkan, Allah Swt. menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang terbaik dan Nabi Muhammad Saw. pun bersabda bahwa manusia diciptakan atas gambaran-Nya.  Pengistimewaan manusia juga terbukti dalam tugas yang diembannya sebagai khalifah di muka bumi dan turunnya perintah sujud sekalian jin dan malaikat kepada Nabi Adam.
Aku telah memilihmu untuk diri-Ku (Q.S. āhā:41)

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (Q.S. At-Tīn:4)

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam (Q.S. Al-Isrā: 70)
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (Q.S. Al-Hijr: 29)

Sesungguhnya Allah menciptakan Adam atas rupa-Nya. (hadis)
Allah Swt. menciptakan Adam atas Rupa-Nya yang Maha Pengasih.(hadis)

Sang “aku” dalam puisi tidak ingin tergolong ke dalam manusia yang tidak tahu berterima kasih sehingga Allah kecewa terhadapnya. Seperti kecewanya seseorang yang memberikan bingkisan hadiah kepada anak kecil. Anak kecil itu begitu antusias sampai berlari-lari menghampiri. Ia lalu meraih bingkisan itu dan berpaling dengan ucapan terima kasih yang samar. Sejurus kemudian, anak itu asyik membuka bingkisan dan telah lupa sama sekali dengan sang pemberi hadiah.
Allah murka jika manusia lupa dan berpaling kepada selain-Nya. Apalagi berpaling justru kepada karunia yang Allah berikan padanya. Kisah Qarun adalah contoh yang paling mencolok untuk hal ini. Allah mengaruniakan kecerdasan akal pada Qarun hingga ia menjadi ahli kimia yang bisa mengubah logam biasa menjadi emas. Lalu Qarun berpaling dari Allah dengan mengatakan sesungguhnya segala kekayaannya itu berkat kecerdasan akalnya. Lalu Allah murka. Lalu allah membenamkan Qarun beserta seluruh kekayaannya ke dasar bumi. Inilah kisah Alquran yang mendasari frasa harta karun di kemudian hari.     
Allah murka kepada manusia yang dikaruniai kecantikan, ketampanan, dan kemolekan tubuh yang dengan itu mereka mencari nafkah. Lalu mereka berlindung dalam dalih hak asasi, tuntutan profesi, dan ekspresi seni. Lalu mereka bertuhankan hak asasi, profesi, dan seni. Allah murka kepada ahli hukum yang memperkaya diri dengan memanfaatkan celah hukum yang diketahuinya. Lalu ia menjadi pembela manusia-manusia durhaka yang kaya. Lalu ia bertuhankan uang. Allah murka kepada manusia yang diberi kelihaian meraih simpati manusia sehingga ia memanfaatkannya untuk meraih ambisi pribadi; menjadi penjilat bagi penguasa hanya demi kedudukan lebih tinggi di mata manusia. Lalu ia bertuhankan ambisinya. Sang “aku” dalam puisi tidak mau menjadi manusia seperti itu.
Alangkah buruknya (hasil perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah (Q.S. Al-Baqarah: 90)

Ya Rabb, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari-Mu (hadis)

Sesungguhnya Dia amat Pencemburu. Dia tidak suka seandainya di dalam hatimu ada selain Dia. Dan barang siapa menghendaki untuk menjadi kaya di dunia dan akhirat, hendaklah ia takut kepada Allah Swt., nukan kepada selain Dia. (syaikh Abdul Qadir Al-Jailani)

Waspadalah, jangan teperdaya terhadap karunia-Ku dan jangan putus harapan karena uji-coba-Ku, dan jangan jinak bermanja dengan selain-Ku.
Lalu Aku pun bersumpah demi karunia-karunia-Ku, selama engkau menjarak keluar dari-Ku untuk minum, melainkan akan Kusia-siakan engkau. Jangan diharapkan engkau akan dapat kembali berdampingan dengan-Ku dan tidak pula engkau akan berhasil mendapatkan minuman yang engkau harap-harapkan. Maka sesungguhnya engkau telah sesat jalan dari-Ku dan engkau telah melupakan bahwa Aku-lah sebenarnya minuman Yang Maha Tunggal dan rumah tempat berlindungmu yang tunggal. (Kitab Melihat Allah {Ru`yatullah} Imam Hasan An-Nafri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar