~ MENJADI HAJI
TANPA BERHAJI ~
Di tulisan terakhir ini saya
ingin merefleksikan seluruh uraian tentang hikmah haji di tanah suci itu ke
dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahwa ritual haji itu sebenarnyalah menjadi
pedoman perilaku kita dalam mendekatkan diri kepada Allah, dimana pun kita
berada. Bukan hanya saat di tanah suci. Kita bisa ‘menjadi haji’ meskipun belum
pernah pergi haji, tentu saja secara substansi. Karena kewajiban berhaji tetap
melekat kepada siapa saja yang mampu pergi ke tanah suci.
Proses mendekatkan diri kepada
Allah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim. Dan Allah dengan sangat
jelas memerintahkan kepada kita untuk mencari jalan mendekatkan diri
kepada-Nya. Bahkan, ‘melarang’ untuk ‘kedahuluan mati’ kecuali sudah dalam keadaan
berserah diri kepada-Nya.
QS. Al Maa-idah
(5): 35
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
CARILAH jalan yang MENDEKATKAN DIRI kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya,
supaya kamu mendapat kesuksesan.
QS. Ali Imran
(3): 102
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan JANGANLAH sekali-kali kamu MATI melainkan
dalam keadaan BERSERAH DIRI ( kepada Allah).
Bagaimanakah caranya mencari
jalan untuk berserah diri kepada Allah itu? Jawabnya adalah menerapkan ritual
haji dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari Wukuf, Lempar Jamrah, Tawaf,
sampai Sa’i. Bukan dalam arti ritual fisik seperti saat di tanah suci.
Melainkan secara substansi. Karena, sebenarnyalah situs-situs yang ada di tanah
suci itu adalah simbol-simbol yang harus kita pahami secara substansial, dan
kita jabarkan secara spiritual.
Wuquf dalam
bahasa Arab berasal dari kata waqafa yang bermakna ‘berhenti,
berdiri, bimbang & ragu-ragu, memahami, dan mengerti’.
Sehingga makna kata wuquf itu memang merupakan perpaduan antara
proses kebimbangan, keraguan, sampai benar-benar memperoleh kepahaman secara
substansial terhadap suatu masalah. Dan semua itu akan sangat baik jika
dilakukan dengan berhenti dari aktifitas sejenak agar bisa menjadi lebih fokus.
Yang demikian ini, bisa kita
lakukan dimana saja. Bukan hanya saat di Arafah. Meskipun, saat berada di
Arafah, mestinya seorang jamaah haji bisa melakukan dengan lebih baik
disebabkan oleh atmosfer ibadah dan kesejarahan yang meliputinya. Tetapi, kita
juga bisa melakukan wukuf itu di rumah, di tempat kerja, di dalam kendaraan,
bahkan di tempat wisata. Substansinya adalah fokus melakukan perenungan sampai
memperoleh keputusan yang strategis.
Kenapa wukuf ini menjadi penting?
Karena, ternyata banyak diantara kita yang seringkali membuat keputusan secara
tergesa-gesa, tanpa memahami masalahnya dengan baik. Ini adalah tipikal orang
yang tidak sabaran. Sebuah akhlak yang sangat tidak dianjurkan oleh Islam,
karena akan berujung pada penyesalan di belakang hari. Allah memberikan stressing dan motivasi yang sangat kuat kepada
siapa saja yang bisa bersabar dalam menyikapi masalah: innallaaha
ma’ash shaabiriin – Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.
Keputusan yang diperoleh dengan
cara wukuf Insya Allah akan jauh lebih baik dibandingkan dengan yang
tergesa-gesa. Karena di dalam wukuf itulah kita diajari untuk membuka pikiran
dan hati seluas-luasnya dalam menerima petunjuk Allah. Mengintensifkan dzikir
untuk membuka hijab yang menutupi jiwa, sehingga menjadi lebih jernih dalam
memahami masalah. Mulai dari soal rumah tangga, rezeki, keilmuan, sosial
kemasyarakatan, sampai masalah negara dan keumatan.
Namun demikian, tak jarang hasil
wukuf memperoleh hambatan saat diimplementasikan. Terutama jika kepentingan
egoistik terlalu dominan. Disinilah setan menunggangi ego kita untuk
menggagalkan petunjuk yang kita peroleh saat wukuf. Kejernihan spiritual yang
sudah terbentuk bisa menjadi kabur kembali, jika kita menuruti ego pribadi.
Inilah saatnya kita menerapkan
filosofi Lempar Jamrah. Yakni, mengusir sifat-sifat setaniyah yang menjurus
kepada kepentingan sempit dan egois. Yang benar adalah, harus bersifat sosial
sekaligus spiritual. Seperti substansi ritual berkorban itu. Jika kita
egoistik, yang sosial dan spiritual akan terlewatkan. Tetapi jika kita
menjalaninya dengan landasan sosial-spiritual, maka kepentingan yang bersifat
egoistik akan terpenuhi dengan sendirinya. Hasilnya akan lebih holistik.
Setan bukan hanya terdapat di
tanah suci. Apalagi berupa tugu-tugu jamarat bikinan pemerintah Arab Saudi.
Semua itu hanya simbol. Setan yang sesungguhnya telah berada di dalam diri kita
sendiri. Maka, kita harus memahami substansi, dan bukan terjebak kepada sekedar
tradisi yang tanpa isi. Filosofi lempar jamrah itulah yang mesti kita terapkan
dalam realitas. Agar kita termasuk orang-orang yang berada di jalan lurus yang
diridhai-Nya.
Berikutnya, Allah mengajari kita
untuk selalu bertawaf di Arsy-Nya. Mengingat-Nya dalam segala kondisi, dalam
segala peristiwa. Siapa saja mengingat Allah, maka Dia akan mengingatnya pula.
Dia akan selalu bersama dengan orang-orang yang ingat kepada-Nya, yakni
orang-orang yang pandai bersyukur dan bersabar dalam segala aktivitasnya.
QS. Al Baqarah
(2): 152-153
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu.
Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari-Ku. Hai orang-orang
yang beriman, minta tolonglah (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Dan penutup dari semua rangkaian
substansi haji itu adalah Sa’i. Yakni, perintah Allah agar umat Islam pantang
putus asa dalam menjalani hidupnya. Jangankan kita, para Nabi dan sahabatnya
pun semua mengalami ujian, sampai mereka benar-benar berserah diri hanya kepada
Allah, sebagai bukti yang tak terbantahkan bahwa mereka memang pantas
memperoleh kesuksesan sejati di dunia maupun di akhirat nanti.
QS. Al Baqarah
(2): 214
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?
Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya: ‘’Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah,
sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (yaitu bagi orang-orang yang
berserah diri hanya kepada-Nya).
Maka, seseorang yang bisa
mengaplikasikan pelajaran haji di dalam hidupnya, ia tidak akan pernah terombang-ambing
dalam ketidakpastian. Kualitas berserah dirinya luar biasa kukuhnya. Allah
selalu hadir dalam seluruh kesadarannya, mendampingi mengatasi masalah yang
sedang dihadapinya. Niatnya penuh keikhlasan, perbuatannya selalu berbingkai
ketaatan, perjuangannya berhias kesabaran, dan hidupnya penuh pengorbanan untuk
kebajikan. Ia benar-benar telah menjadi seorang muslim yang paripurna: berserah
diri hanya kepada Allah, Sang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana..
QS. Az Zukhruf
(43): 68
Wahai hamba-hamba-Ku, tidak ada lagi kekhawatiran terhadapmu
pada hari ini. Dan tidak pula kamu bersedih hati. (Yaitu bagi) orang-orang yang
beriman kepada ayat-ayat Kami dan orang-orang yang berserah diri.
Wallahu a’lam bishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar