Tentang Jiwa Dan Pengenalan Diri Oleh Ustad Sinar
Agama
Daris Asgar:
Salam Ustadz,,,ijin bertanya ustad,,,pernah ada ulama suni menjelaskan
bahwa,,,"JIWAKU...berarti aku bukan jiwa,,,jiwa bukan
aku...",,"DIRIKU,,,berarti diri bukan aku,,aku bukan diri"...dan
seterusnya,,,jadi bagaimana menjelaskan siapakah aku ini ustadz,,,terimakasih,,,semoga
Ustadz sekeluarga selalu di beri Balasan terbaik dariNya,,amin,,,
Sinar Agama :
SAlam dan trims pertanyaannya:
Kita ya ...kita itu. dalam arti bahwa keberadaan kita dan esensi kita ya
... keberadaan dan esensi kita tsb, tidak lebih dan tidak kurang. seperti
mobil, ya ...mobil itu, tidak lebih dan tidak kurang.
Akan tetapi, ketika kita mau memberntuk proposisi atau kalimat berita atau
subyek predikat atau mubtada' khabar atau ingin memerinya suatu berita, maka
hal yang satu itu diurai dalam akal hingga menjadi seperti :
"Mobil merah" atau "Mobil beroda empat" atau
"mobil bersetir dari kayu" .... dst. Nah, berita2 seperti
ini terhadap subyeknya yang berupa mobil, hanya merupakan pemisahan akal.
Artinya, mobil itu ya .... mobil itu dengan segala keberadaannya yang ada di
depan kita itu yg, misalnya merah, setirnya dari kayu, rodanya empat ... dst.
Jadi, penguraian ini, tidak membuat mobil itu terpisah dari berbagai berita
atau predikat tsb hingga dikatakan bahwa mobil itu bukan merah, mobil itu bukan
roda empat, mobil itu bukan bersetir yang dibuat dari kayu buatan kota Jepara
-misalnya.
Nah, mengurai diri kita juga bgt. Karena diri kita itu yaitu diri kita
sendiri, tidak lebih dan tidak kurang. tetapi ketika kita mau memberitakannya
kepada orang lain, maka akal kita mengurainya dalam bentuk berbagai kata-kata
dimana yang satunya menjadi subyek dan yang lainnya menjadi predikat. Karena
itulah maka bisa dikatakan:
"Diriku berkaki dua" atau "Jiwaku suka memaafkan" atau
"jiwaku adalah diriku" ............ dst. Nah, di kalimat2 ini, bukan
berarti diri dan jiwa dan aku itu saling terpisah.
Memang diri manusia itu adalah kesulurahannya, sedang jiwa dan badan itu
merupakan bagiannya. Beda dengan diri dan ku yang mana diri adalah jati diri
umum dan ku adalah yang kumiliki. Jadi, diri-ku adalah identitasku sepenuhnya.
Yakni diriku adalah sepenuhnya keberdaannku ini. Akan tetapi, seperti
mobil itu, ketika ingn diberitakan ke orang akan hal-hal yang
menyangkutnya, maka diberilah kata kepemilikan "ku" itu. Misalnya
kita berkata: "Diriku adalah pendosa". Diriku, yakni bukan diri yang
lain. Yakni sifat pendosa yang kumaksud dalam proposisiku ini adalah diriku,
bukan diri orang lain. Jadi, bukan berart diri dan aku yang dipendekkan menjadi
"ku" itu terus berbeda.
Febrina Surayya :
Mohon izin utk ikut menjawab..
Saya bukan dari Syiah...tapi, anggap saja ini utk memperluas wawasan saja..
Dalam alquran ada diberitakan, bahwa pada zaman azali, Tuhan menawarkan
amanah kepada langit, bumi dan gunung2..semua tidak sanggup. Maka dipikullah
amanah itu oleh 'manusia'.
Nah, manusia waktu itu, baru dalam wujud JIWA saja..
Maka, jiwa tersebut kemudian disempurnakan Tuhan dengan membentu JASAD.
Kemudian jasad tersebut diberi kekuatan dengan meniupkan ROH. Setelah itu,
manusia tsb diberi NAFSU.. Dan terakhir, baru dilengkapi dengan AKAL.
nah, kelimanya ini: Jiwa, jasad, roh, nafsu, dan akal.. Semua adalah
komponen lengkap yang namanya MANUSIA.
Namun, jika ada yang bertanya siapa diri kita, maka diri kita yang sebenarnya
adalah JIWA. karena jiwa yang akan mengalami 6 masa dalam kehidupan manusia:
alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam barzah, alam mahsyar, dan alam akhirat..
Semoga keterangan ini bermanfaat..
Sinar Agama :
Febri: Trims komentarnya.
Saya sudah sering menjelaskan di catatan bahwa ruh sebelum adanya badan
manusia itu, tidak ada. Yakni keterangan tentang adanya ruh2 individu di alam
dzar atau alam alastu atau alam ruh itu, tidak ada dan yang ada hanya
tuhan-species manusia yang ditakan ruh agung atau ruh universal. Yakni satu ruh
yang mengurusi peniupan ruh2 individu pada badan2 yang sudah siap, sesuai
dengan ijin Allah. Biasanya juga dikenal dengan malaikat peniup ruh. tetapi
ingat, sudah sering dijelaskan pula bahwa peniupan ruh itu bukan seperti meniup
balon dan dari luar balon. tetapi dari dalam badan itu sendiri yang berproses
sejak dari mani. Jadi, peniupan ruh itu sebenarnya berupa pengaturan
kelangsungan perkembangan ruh cacing mani kepada ruh manusia.
Ssh sering dijelaskan pula di fb ini bahwa ruh itu bisa disebut jiwa karena
kepengaturannya terhadap badan materi manusia. Sedang penyebutan ruh itu karena
dari sisi keterhubungannya dengan akalnya yang notabene berhubungan dengan non2
materi seperti ilmu dan Tuhan. Jadi, ruh dan jiwa itu sama saja.
Sdh sering dijelaskan pula bahwa setiap badan memiliki ruh non materi ini.
Karena ia yang akan mengatur semua gerakan atom2nya, pertumbuhannya, gerak2nya
dan rasa/perasaannya serta akalnya.
Makhluk materi yang mesti memiliki ruh itu, ada yang hanya memiliki
ruh-daya-tambang, seperti batu, air, tanah dan semacamnya. Ada yang
disamping memiliki ruh-daya-tambang, ia juga memiliki ruh-daya-nabati, yaitu
yang mengatur pertumbuhannya. Ada juga yang memiliki ruh-daya-hewani, yaitu
yang mengatur gerak ikhtiarinya serta rasa/perasaannya. Serta ada yang paling
lengkap, yaitu manusia yang ruhnya juga memiliki daya-akal.
Jadi, ruh itu satu tetapi memiliki daya2 yang sesuai dengan derajat
wujudnya tsb. Karena itu ruh dan jiwa itu sama saja. Dan jiwa/ruh ini, hanya
ada setelah badan materinya siap menerimanya, yakni menerima proses gerakannya
sejak dari ruh-mani tsb. Jadi, sebelum badannya ia tidak ada dan, karenanya
tidak pernah berhubungan dengan amanat yang ditawarkan kepadanya di alam
sebelum materi.
Sdh sering dijelaskan juga bahwa pertanyaan Tuhan kepada manusia di alam
ruh bahwa apakah Tuhan itu Tuhan manusia dan dimana dijwab oleh semua ruh bahwa
benarlah bahwa Ia adalah Tuhan manusia, maksudnya adalah fitrah manusia. Jadi,
fitrah manusia yang baru ada setalah badannya ini, membawa kejelasan akan
hakikat makrifat akan keterbatasan dirinya yang tidak mungkin terjadi dengan
sendirinya dan kejelasan makrifat bahwa ia pasti dibuat oleh Tuhannya. Jadi,
dialog itu bukan terjadi di alam ruh sebelum penciptaan badan, tetapi di fitrah
ruh yang diciptakan setelah penciptaan badannya.
Karena itulah, maka amanat itu sebenarnya merupakan konsekwensi dari
kefitrahan manusia yang disebabkan fitrah akalnya itu dimana tidak dimiliki
oleh kebanyakan makhluk lainnya selain jin. Jadi, karena hanya manusia yang
memiliki akal dimana akal ini sudah tentu menentang kebatilan dan kebinatangan,
maka jelas ia akan maju ke depan menerima amanat itu.
Karena itulah, maka penerimaan amanat itu kemuliaan manusia dan firman
Tuhan yang mengatakan bahwa manusia itu Zhaluuman (sangat aniaya) dan Jahuulan
(sangat bodoh), adalah pujian bagi manusia. Karena hanya manusia yang bisa
sampai ke derajat zhaluuman jahuulan ini. Malaikat saja, masih merasa tahu
ketika Tuhan mengatkan ingin mencipta khalifahNya dengan protes halusnya itu.
tetapi manusia yang hakiki, yang sampai pada derajat Insan Kaamil, maka jelas
ia tidak akan melakukan itu karena ia akan selalu merasa Zhaluuman dan Jahuulan
di hadapanNya dimana makrifat ini adalah makrifat yang tinggi, karena telah
meyakini ketidak tahuan dirinya sama sekali dan keaniayaannya di hadapan Tuhan
yang Maha Tahu dan Tidak Aniaya.
Semua ini sudah sering dijelaskan di tulisan2 alfakir di fb ini. yang belm
membacanya dan ingin tahu, maka lihatlah kerinciannya disana.
Jadi, jati diri manusia itu adalah ruh/jiwa dan badan walaupun hakikat jati
diri sesungguhnya adalah ruh/jiwanya itu. Karena ialah yang akan masuk kuburan
dan ditanyai, dan ialah yang akan ke akhirat dan mempertanggung jawabkan semua
keimanan dan perbuatannya di dunia ini.
Jadi, diri atau jiwa atau jiwa dan badan adalah jati diri umum dan diriku,
jiwaku atau jiwa dan ragaku adalah jati diri khusus, yaitu yang bukan dirimu,
jiwamu atau bukan jiwa dan ragamu.
Daris Asgar :
Salam Ustadz,,terimakasih banyak ustadz atas jawabannya ustadz,,,
Alhamdulillah mudah dipahami Ustadz,,,
megenai catatan ustadz unsur Ruh itu sudah bebrapa yang sudah pernah saya
baca begitu juga dengan pujian Dzoluman Jahula thd manusia.
mohon ijin Ustadz bilaboleh melanjutkan pertanyaan,,,
Apakah pembagian unsur2 ruh tsb berdasarkan FirmanNya,,Sabda Nabi Saww atau
riwayat dari para Maksumin As..atau untuk memudahkan pemahaman yang diuraikan
dengan ilmu filsafat,,Terimakasih Ustadz sebelumnya..
Sinar Agama :
Daris: Saya tadinya tidak mengurai tentang ruh dan jiwa itu, karena mmg
sudah saya rasakan dari pertanyaan antum ini, bahwa antum menanyakan hal-hal
yang perlu dijawab seperti yang di jawaban awal itu. Karena itu,
saya hanya menerangkan tentang diri, jiwa ( yang juga dalam arti diri) dan
aku-nya aku, pada kata ganti kepemilikan seperti jiwaku itu. tetapi
karena ada sumbangan dari mbak dari Padang itu (smg Tuhan selalu menjaganya dan
menjaga kita semua), maka saya mengulang lagi berbagai hal tentang ruh dan jiwa
itu.
Pembahasan2 yang bertebaran di Qur an dan hadits tentang ruh dan jiwa,
tentu saja sangat banyak dan perlu kepada dasar pemikiran yang jelas untuk
memahaminya. Pemikiran yang jelas itulah yang kemudian dikatakan filsafat. Nah,
kejelasan dalil akal gamblang, tentu di filsafat. Lalu setelah melihat
dalil-dalil filsafatnya yang gamblang itu, maka dibawa untuk memahami ayat dan
riwayat. Jadi, konsep akalnya ditata dulu dengan baik, baru setelah itu melihat
Qur an dan hadits.
Karena itulah, untuk membantu orang-orang yang anti filsafat, murid dan
menantu Mulla Shadra ra, yaitu Faidh Kaasyaanii, menulis kitab ayat dan hadits
yang susunan pembahasannya seperti susunan pembahasan dalam
filsafat. Yakni dari sisi penjudulan dan pensubjudulan.
Jadi, semua yang sudah dipelajarkan di hauzah di materi filsafat dan bahkan
irfan sekalipun, semuanya sudah dicocokkan dulu dengan Qur an dan hadits sejak
ratusan tahun yang lalu.
tetapi kalau antum sendiri yang akan masuk ke nuansa hadits-hadits
yang sangat banyak itu, maka akan sulit mencari kesimpulan ilmiahnya. Itulah
mengapa saudara2 seiman sunni, sekalipun ulama, tidak bisa menembus
hadits-hadits itu hingga membuat penamaan2 yang tidak sistematis, seperti
ruh, jiwa, hati, akal ... dst itu, karena mereka biasanya tidak mengkaji
alat yang namanya kaidah akal, terutama filsafat. Kalau logika sih, di
pesantren2 NU saja biasanya dipelajari. tetapi filsafat, mereka biasanya
menjauhi. Karena itu mereka seakan menggunakan Qur an dan hadits dalam
penamaan2 dan pembagian2 itu, padahal semua itu, bukan yang dimaksudkan oleh
Qur an dan haditsnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar