““wahdatul Wujud” (Bagian 1) = Seri Tanya
– Jawab
Oleh Syahrurizal, Faqir Al,
dan 4 lainnya di Berlangganan
Catatan2 Sinar Agama (Berkas) · Sunting Dokumen
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad. Apa hubungan antara
wahdatul wujud dalam pandangan Ibnu Arabi dan Filsafat Hikmah Mulla Shadra..?
Sinar Agama :
Karena kebetulan saya
sudah mempelajari buku Mulla Shadra yang 9 jilid itu dan begitu pula Ibnu
Arabi, yakni Fushushnya.
Untuk Mulla Shadra, dalam
bukunya itu memiliki banyak peringkat penjelasan tentang hakikat/ada’ yang umum
diketahui orang tentang konsepnya tentang wahdatul wujudnya adalah bahwa wujud
itu memiliki satu makna.
Pohon ada, manusia ada,
air ada...dst, menggambarkan adanya dua hal, ada dan kepohonan pohon yang biasa
disebut esensi. Jadi, setiap sesuatu yang terbatas memiliki 2 hal, ada dan
esensinya, sekarang, ada itu yang ditanyakan, memiliki satu makna atau
banyak makna sebanyak sensinya?
Dengan argument yang
panjuga lebar dibuktikan memiliki "satu makna", karena lawannya juga
satu maknya, yakni "tiada".karena kalau "tiada" memiliki
banyak makna, berarti berbeda dan yang berbeda pasti "ada", bukan
"tiada".
Dengan demikian, karena
"tiada" itu satu dan dia lawan "ada", maka berarti
"ada" ini juga satu.
Inilah yang disebut dengan
"Wahdatulwujud" dalam filasafat Mulla Shadra. Dari sinilah teori ini
mengepakkan sayapnya ke-mana-mana.
Seperti Gradasi Wujud,
...dst. Dari teori ini, dapat dipahami bahwa Wujud ini satu, tetapi dalam
satunya itu bergradasi dan bertingkat. dimana yang tertingginya adalah Tuhan
sebagai wujud yang tidak terbatas. di sini wujud, dalam satunya terdapat
banyak,dan dalam banyaknya terikat dengan satu makna. Tetapi wahdatul wujud
dalam irfan, adalah wujud itu hanya satu dan tidak ada tingkatan di dalamnya.
Dalam teori irfan wujud
itu hanya satu dan tidak bertingkat, Dialah Allah, dan yang lainnya tidak ada,
karena mereka hanya esensi belaka.
Jadi, wujud esensi yang
dikira milik esensi dalam filsafat, dalam irfan adalah milik Tuhan. Jadi,
esensi tidak ada, dan yang ada hanya Dia.
Ini sekelumit tentang beda
keduanya.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad. jika esensi tidak
ada lalu dimana dapat dikenali wujud-wujud partikular....? Terus apakah dengan
seperti itu predikat air, manusia, hewan tumbuhan, sesuatu yang tidak memiliki
relitas...
Sinar Agama :
Kalau tulisanku itu dibaca
dengan baik, maka dapat dengan mudah memahami akan dua hal yang terkandung dalam
setiap esensi atau wujud-wujud terbatas, dan bisa mengatasi dua tanyamu ini.
Jawaban untuk yang pertama
bagian pertama, sama dengan pertanyaanmu yang ke dua, yakni esensi-esensi itu
sama sekali tidak memiliki wujud atau realitas.
Jawab untuk tanyamu yang
pertama bagian ke dua adalah kita dapat mengenali esensi-esensi itu di alamnya
sendiri, yakni di akal dan di kewajahannya bagi wujud.
Dalam akal kita dapat
mengenali semua esensi-esensi tersebut. Ini mudah. Tetapi mengenali
kewajahannya bagi wujud, mungkin tidak terlalu mudah. Ketika esensi-esensi itu
kita jauhkan dari wujud, karena dia memang bukan wujud dan wujud bukan pula
esensi, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda, maka jelas esensi tidak
lagi memiliki makna wujud.
Dengan demikian keberadaan
atau kewujudan esensi seperti pohon, adalah bukan esensi yang wujud atau pohon
yang wujud, karena, sekali lagi, esensi itu bukan wujud sebagaimana maklum.
Terus apa? Jawabannya
adalah "wajah" dari pada "wujud". Jadi, kalau orang biasa
melihat pohon, dia akan berkata bahwa "pohon itu ada/wujud". Tetapi
kalau seorang arif melihat pohon, maka dia akan berkata "Wujud itu di sini
berwajah dengan pohon" atau "wujud itu di sini mengenalkan dirinya
dengan pohon".
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa esensi-esensi itu tidak memiliki realitas/wujud, tetapi menjadi
wajah, bayang, cerita dan cermin dari pada wujud itu sendiri.
Dalil wahdatu al-wujud ala
irfan seperti irfannya Ibnu 'Arabi.
Dalilnya sangat mudah
dipahami, tetapi sangat sulit diterima. yaitu ketidak terbatasan wujud Tuhan.
Kalau Wujud Tuhan itu tidak terbatas, maka tidak mungkin ada wujud lain yang
terbatas.
Karena adanya wujud lain
yang terbatas, akan membatasi ketidak terbatasan wujudNya. Ketika ada air yang
tidak terbatas, bisakah ada air lain segelas, setetes atau seperseribu tetes?
Atau mungkinkah ada gelas, pohon, manusia, ikan, dan seterusnya..?
Dengan demikian wujud itu
hanya satu, yaitu "WujudNya", dan semua esensi itu hanyalah
"BayangNya", "WajahNya","IdentitasNya",
"CerminNya". Semua nama-nama ini tidak dikarang oleh para 'arif,
tetapi diangkat dari ayat-ayat dan riwayat, walau dari sisi dalil akalnya,
jelas juga bahwa tidak ada masalah dengan penyebutan-penyebutan itu.
Dengan
penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Wahdatulwujud Mulla Shadra
beda jauh dengan Wahdatulwujud irfan.
Tetapi bukan berarti Mulla
Shadra anti Wahdatul wujudnya irfan. Justru beliu/Mulla Shadra satu-satunya
filosof yang bisa membuktikan kebenaran Wahdatul wujud ala irfan itu.
Makanya beliau dikenal
dengan "pembertemu" filsafat dengan irfan. Tetapi pembertemuannya itu
bukan di Wahdatul wujud filosofis itu. Karena yang dalam filosofis itu, dimana
saya sudah menjelaskan di atas, jauh beda dengan yang di irfan. Karena yang
dimaksudkannya di filsafat adalah "wahdah/satu" dalam "Makna
Wujud" yang, mengandungi banyak sekali wujud-wujud yang banyak, hal mana
beliau menyebutnya, "Satu dalam Banyak dan Banyak dalam satu". Dan
dari sinilah beliau lalu membedakan wujud-wujud yang banyak dalam satu itu,
dengan derajat wujud itu sendiri, bukan dengan esensi yang sudah di tendangnya
keluar dari gelangang wujud sebagaimana sudah diterangkan di atas.
Dan dari sinilah konsep
beliau mencuat ke permukaan bumi pengetahuan apa yang dikenal dengan
"Gradasi Wujud". Maksudnya "Wujud-wujud yang Berderajat yang
mana Beda Derajatnya itu Dibedakan dengan Tingkatan Wujudnya dan bukan dengan
Esensinya". Sebagian orang yang tidak lengkap belajarnya hanya mengira
bahwa "Gradasi Wujud"nya Mulla Shadra, hanyalah "Tingkatan
Wujud", padahal "Tingkatan Wujud Karena Wujud dan Bukan Karena
Esensi".
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad. Tolong dijelaskan
maksud anda:
Wahdatulwujud Mulla Shadra
beda jauh dengan Wahdatulwujud irfan. Tetapi bukan berarti Mulla Shadra anti
Wahdatul wujudnya irfan’ Justru beliu/Mulla Shadra satu-satunya filosof yang
bisa membuktikan kebenaran Wahdatul wujud ala irfan itu.
Apakah tidak
berkontradiksi...?
lalu apa perbedaannya
dengann konsep pantheisme......?
Sinar Agama :
Terus dimana Mulla Shadra
membuktikan Wahdatul wujudnya irfan?
Di jlid 2 buku Asfaru
al-Arba'ahnya. Yakni di bab tentang "Sebab-akibat".
Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa sebelum Mulla Shadra, wahdatul wujud irfan tidak bisa dibuktikan
dengan dalil-dalil akal, dan hanya dengan "Kasyf".
Sebenarnya mereka sudah
banyak berusaha membuktikannya dengan akal, tetapi belum mampu karena mereka
biasanya rata-rata tidak mementingkan selain mencapai "fana" hingga
kurang mendalami tiori-teori akal.
Ibnu 'Arabi sebenarnya
bisa dikata telah banyak mengilhami Mulla Shadra hingga mencapai penemuannya
itu. Dan Mulla Shadra sangat hormat dan mengguru kepadanya melalui
kitab-kitabnya.
Tetapi sekali lagi, bukan
di wahdatul wujud ala filsafat itu Mulla Shadra membuktikan kebenaran
Wahdatulwujud ala irfan, tetapi di bab "Sebab-akibat", dan maksud
Mulla Shadra mencuatkan Wahdatulwujud ala filsafat itu bukan untuk membuktikan
kebenaran wahdatulwujud ala irfan ini, bukan sama sekali.
Jadi, keduanya berbeda
jauh dan tidak saling berhubungan. Walau demikian dapat pula dijadikan
pengantar, agar lebih mudah untuk memahami wahdatulwujud ala irfan. yakni kalau
seseorang memahaminya secara filsafat maka akan lebih mudah memahaminya secara
irfan, tetapi bukan sama dan berhubungan.
Dengan dalil "Ketidak
Terbatasan Wujud Tuhan" yang saya bawa di sini, adalah penemuan Guru Besar
saya yang tidak bisa saya sebutkan namanya di sini. Beliau seorang penerus dari
Mulla Shadra yang juga mengguru pada Ibnu Arabi melalui kitab-kitabnya.
Sebenarnya, kalau anda teliti
dan melepaskan dulu pikiran-pikiran atau info-info sebelumnya dan mencoba untuk
memahami yang saya urai dengan maksud saya sesuai dengan
mukaddimah-mukadimahnya, bukan sesuai info-info anda, maka saya rasa sangat
mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anda tersebut.
Apapun itu, kalau ternyata
memang masih ada hal, silahkan komentar lagi, semoga saya bisa membantunya.
Sekali lagi cobalah untuk memahami yang saya tulis tanpa memaknainya dengan
info-info sebelumnya dari yang anda dapat.
Dengan penjelasan-penjelasan
di atas dapat dipahami jauhnya konsep wahdatulwujud irfan ini dengan panteisme.
Karena yang pertama
menyatakan bahwa hanya Tuhan yang Ada yang, berarti menyatakan ke-Tiada-an
alam/esensi dan hanya menyisakan kewajahannya bagi Ada, dengan yang ke dua
menyamakan alam denganNya dimana berarti menganggapnya ada sebagaimana Dia atau
bahkan menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad. mohon dijelaskan
perbedaan :
yang dimaksudkannya di
filsafat adalah "wahdah/satu" dalam "Makna Wujud" yang,
mengandungi banyak sekali wujud-wujud yang banyak, hal mana beliau menyebutnya,
"Satu dalam Banyak dan Banyak dalam satu".
dengan : phanteisme:
menyamakan alam denganNya dimana berarti menganggapnya ada sebagaimana Dia atau
bahkan menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi.?
bukankah keduanya berakhir
pada wujud eksistensi...?
Sinar Agama :
Maksud pernyataan pertama
adalah: Mengakui keberadaan Tuhan dan lainnya, walau dalam makna wujud adalah
sama dan satu. Inilah yang disebut dengan wahdatulwujud ala filsafat yang
berakhir pada eksistensi. Tetapi ingat, bahwa berakhir pada eksistensi yang
banyak yang, satu sama lain dibedakan derajat wujudnya, bukan dengan esensi
sebagaimana maklum.
Sementara pernyataan ke
dua adalah: Tidak mengakui adanya apapun kecuali Tuhan yang karena ketidak
pahaman mereka mengatasi kenyataan alam ini, mereka lalu mengatakan bahwa alam
ini adalah Tuhan. Jadi, jauh beda dari kedua pernyataan itu walau keduanya
berakhir pada wujud.
Akan tetapi yang pertama,
pada wujud yang banyak, dan yang ke dua pada wujud yang satu. Sekalipun
panteisme ini, sebagaimana yang sampai kepada kita-kita, pada akhirnya tidak
mampu menyelesaikan konsekwensi dari wahduatulwujudnya. Yakni ketika ditanya,
kalau ada itu hanya Tuhan, terus kita-kita dan alam ini apa? Mereka menjawab,
Tuhan.
Beda halnya dengan irfan
Ibnu 'Arabi dan Mulla Shadra, mereka mengatakan bahwa kita dan alam ini adalah
tajalliNya, WajahNya. Ingat, semua orang memang membahas wujud dan akan
berakhir kepada wujud, tetapi beda semua ilmu-ilmu itu.
bukan di wujud itu, tetapi
di banyak dan satunya wujud tersebut. Dan beda sufisme (seperti panteisme)
dengan irfan atau sufi yang hakiki seperti yang dibawa Ibnu Arabi dan Mulla
Shadra, bukan terletak di ada yang satu, tetapi di bagaimana menjawab tentang
alam ini
Dimana di panteisme
dikatakan Tuhan hingga muncul perkataan Ana al-haq/saya tuhan", sementar
di Ibnu Arabi dan Mulla Shadra dikatakan sebagai "Tajalli dan
WajahNya". Dan ingat juga, bahwa yang kita bicarakan ini hanyalah
kata-kata belaka, bukan irfan yang sesungguhnya.
Karena kita yang masih
suka dunia halal, surga dan kebaikan-kebaikan, tidak mungkin merindukan
"ketiadaan".
Dan supaya tidak kepalang
tanggung, tolong baca sekalian diskusiku tentang antologi yang dibawa amran
abstrack di statusku
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ apakah ada
perbedaan pengetahuan/pemahaman dengan yang diketahui/dipahami...?
Sinar Agama :
Pertama, kalau tidak beda
berarti tidak perlu ditanyakan. Pertanyaan anda ini menunjukkan secara fitrah
kepada adanya perbedaan itu. Namun, dilihat dari eksistensinya, bukan dari
esensinya. Karena kalau beda dalam esensi, berarti semua informasi kita, salah
semua. Dan kalau tidak beda maka kita segera akan mati kala mengerti dan
membayangkan api.
Ilmu yang saya terangkan
barusan ini adalah ilmu-ilmu Hushuli atau Gambaran, bukan Khudhuri atau
kehadiran. Jadi, dalam ilmu tersebut yang hadir dalam akal kita adalah gambaran
dan copy-annya, bukan asli obyeknya.
Ke dua, kalau ilmu-ilmunya
itu adalah khudhuri, yakni obyek ilmunya yang hadir dalam akal, maka ilmu dan
obyeknya adalah sama, karena yang hadir sebagai penginfo bukan gambarannya,
akan tetapi dianya sendiri.
Ke tiga, wahdatul wujud
ala Mulla Shadra dalam filsafatnya adalah dari golongan ilmu Hushuli atau
ilmu/info yang datang ke akal kita melalui gambaran obyek infonya, bukan
infonya sendiri secara langsung. Tetapi wahdatulwujud ala Mulla Shadra dalam
irfannya adalah dari golongan ilmu Khudhuri alias yang penginfoannya melalui
obyeknya langsung.
Allah dalam banyak
ayat-ayatNya seperti QS:2:126; 2:285 dan sekitar 21 ayat lainnya menggunakan
kata Mashir (menjadi) untuk kembalinya manusia kepadaNya, bukan masir
(berjalan/menuju). Tentu ayat-ayat ini saya bawa di sini sebagai penguat dalil
akal kita ini, bukan sebagai pemaksa anda untuk terima, tetapi hanya sebagai
pereda ketakutan akan kebenaran dalil akal kita ini manakala hal itu terjadi,
supaya tidak seperti para wahhabi yang terus anti pati dan mengecam para arif.
Allah dalam ayat-ayat tadi, baik bagi orang yang akan ke neraka atau ke surga,
memakai kata-kata Mashir alias menjadi. Hal itu karena memang kembalinya
manusia itu kalau bukan menjadi hakikat murkaNya, akan menjadi hakikat
RidhaNya. Jadi, dua-duanya menjadiNya. Tetapi karena Tuhan mengatakan (dan akal
juga mengatakan hal yang sama) bahwa "menjadi kepadaNya", bukan
"menjadiNya", maka selamanya manusia tidak akan pernah mencapaiNya,
sekalipun menjadi kepadaNya, bukan menujuNya.
Simpulan, semua ilmu, apa
saja, baik tentang alam, agama, akhirat dan Tuhan, manakala kita membahasnya,
bukan mencapainya, maka berarti ilmu-ilmu kita itu adalah Hushuli alias info
yang melalui gambaran obyek infonya, sekalipun ilmu-ilmu kita itu adalah
wahdatulwujud irfani.
Oleh karena itu cocok
sekali dikatakan pahaman. Di sini, sudah pasti obyek pahaman dan pahamannya
berbeda, tentu dalam eksistensinya, bukan pada esensinya sebagaimana sudah
diterangkan.
Akan tetetapi, kalau
ilmu-ilmu itu bukan dalam bahasan dan lamunan, tetapi dalam capaian, maka
ilmu-ilmu tersebut termasuk wahdatulwujudnya itu, sudah pasti sama dengan
obyeknya. Yakni ilmu = hakikat obyek ilmunya.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ jadi apakah
perbedaan wujud satu dengann wujud lain harus dikembalikan kepada
persamaannya...?
Sinar Agama :
Kamu bertanya apakah
perbedaan wujud itu harus dikembalikan pada persamaannya?
Jawab wujud yang mana dan
ala siapa dan dalam tingkatan apa?. Kalau dalam tingkatan umum yang mungkin
seperti kita-kita ini, atau juga ilmu Kalam, maka perbedaannya dikembalikan
kepada esensi. Tetapi kalau Mulla Shadra di filsafatnya maka dikembalikan ke
derajat wujud itu sendiri, dan inilah yang dikatakan Gradasi/tasykik. Akan
tetapi kalau Mulla Shadra di irfannya, maka tidak ada perbedaannya, karena
wujud hanya satu, titik. Yakni tidak ada tingkatannya, sebagaimana sudah
dijelaskan sebelumnya.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ jika Kebenaran
adalah : bersesuainya antara ide/pikiran/ konsep manusia dengann realitas?
bagaimana maksud dari bersesuainya......?
Sinar Agama :
Kamu bertanya apa maksud
berkesesuaiannya ilmu dengan realitas itu.
Jawab: realitas itu adalah
hakikat dan dia memiliki dua macam, pertama adalah esensi sebagai realitas
batasan atau ilmu atau ide atau juga nyata kalau berbaju kenyataan karena tidak
semua esensi memilikinya seperti gunung berlian, dan yang ke dua adalah
eksistensi sebagai realitas nyata.
Ilmu itu dikatakan benar
manakala esensi yang ditangkap akal persis sama dengan esensi yang ada di alam
nyata. Dan akan dikatakan salah manakala sebaliknya. Dan hal seperti ini hanya
ada di ilmu-ilmu Hushuli yang memang memiliki kemungkinan salah. Karena yang
datang dan ditangkapnya adalah copy-an dari esensi nyatanya. Tetapi kalau dalam
ilmu-ilmu Khudhuri, maka tidak mungkin salah karena yang datang dan tertangkap
adalah hakikat nyata dari esensinya itu.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ maaf.....
Akan tetetapi, kalau
ilmu-ilmu itu bukan dalam bahasan dan lamunan, tetapi dalam capaian, maka
ilmu-ilmu tersebut termasuk wahdatulwujudnya itu, sudah pasti sama dengan
obyeknya.
dan
Dan kalau tidak tidak beda
maka kita segera akan mati kala mengerti dan membayangkan api.
Sinar Agama :
Anda bertanya bukankah
kita akan mati kalau kita memiliki ilmu khudhuri tentang api?
Jawaban: Ilmu Khudhuri itu
adalah ilmu yang mendatangkan hakikat obyek yang diketahui. Penghadiran seperti
ini, kebanyakannya, hanya dapat didapat oleh sebab terhadap akibatnya.
Walaupun Mulla Shadrah ada
dua jalan lagi yang tidak perlu dibahas di sini karena tidak nyangkut. Nah,
ketika manusia memiliki ilmu-ilmu khudhuri dengan suluknya atau proses
"menjadi kepadaNya' tadi itu, maka berarti manusia sudah mencapai derajat
sebab dari ilmu-ilmunya itu.
Dengan demikian mana mampu
akibat membunuh sebabnya? Mana mampu yang namanya akibat mengalahkan sebabnya?
Oleh karena itulah
Nabi saww dikatakn dalam Qur an sebagai Rahmatan lil 'alamin yakni
rahmat bagi semua alam (materi dan non materi, di masa lampau atau akan datang,
dunia atau akhirat) karena beliau saww sudah mencapai derajat yang tidak ada
lagi derajat lain di atasnya.
Jadi, beliau adalah sebab
bagi semua alam, artinya sebab perantara Tuhan untuk menyentuh yang dibawahnya.
Kalau sudah demikian, mana mungkin yang namanya akibat bisa berefek pada
sebabnya? Apalagi membunuhnya
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ bukankah perbedaan
derajat wujud tersebut bukan hal lain selain wujud itu sendiri....?
sehingga perbedaannya
dikembalikan pada persamaannya yakni wujudnya...
karena esensi tersebut
jika dipadang dalam kontes wahdat al wujud adalah wujud itu sendiri...
Sinar Agama :
Esensi yang dipandang
sebagai wujud dalam pandangan wahdatulwujud, adalah sufi panteis yang
jelas-jelas tidak ada dasarnya. Anda mau lari panteis atau mau memasukinya?
Anjuran saya, print tulisan-tulisan saya itu dan baca sambil direnungi, supaya
dapat dipahami berbagai pandangan tentang wujud tersebut.?
Tentang lari dan panteis.
dan sekarang saya akan
Jawab pertanyaan-pertanyaanya. Tentang panteis itu kan anda sendiri dalam
mendebat dalil saya mengatakan "..lalu apa bedanya dengan konsep
pantheisme?
Kata-kata anda ini
menunjukkan tidak setujunya Anda dengan panteisme dan, sudah tentu Anda lari
darinya. Tetapi ketika Anda mengatakan bahwa: "bukankah perbedaan derajat
wujud tersebut bukan hal lain selain wujud itu sendiri....? sehingga
perbedaannya dikembalikan pada persamaannya yakni wujudnya...karena esensi
tersebut jika dipadang dalam kontes wahdat al wujud adalah wujud itu
sendiri....", di sini, berarti telah memasuki panteisme itu sendiri,
karena telah menyamakan semua esensi dengan wahdatulwujud yang, dengan kata
lain adalah Tuhan
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ para filosof sering
menamakan Nur Muhammad sebagai Akal 1, menurut anda....?
kenapa bisa dikatakan
akal...?
Sinar Agama :
Kalau saya bertanya kepada
Anda, dimana dan siapa yang mengatakan bahwa Akal-1 itu adalah Nur Muhammad?
apakah anda mampu menjelaskannya?
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ okey kita lupakan
saja tentang akal 1.....
Sinar Agama :
Dalam riwayat setidaknya
ada dua keterangan tentang awal ciptaan ini, ada yang mengatakan Nur
Nabi saww, ada yang mengatakan Akal yang diperintah berpaling maka
dari berpaling begitu pula sebaliknya.
Terlalu rumit bagi anda
kalau saya jelaskan semuanya, karena mengerti semua ini sebenarnya memerlukan
perjalanan ilmu kurang-lebih 30-35 tahun, itupun yang tiap hari dibimbing guru
dengan segala argumentasinya.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ berdasarkan apa ada
katakan :Terlalu rumit bagi anda kalau saya jelaskan semuanya,...?
jika demikian...mohon maaf
atas keterbatasan ilmuku.....
bisakah anda mengurai
kerumitan-kerumitan yang saya akan hadapi dalam memahami penjelasan-penjelasan
anda ? apakah jumlah waktu tersebut merupakan persyaratan mutlak....?
Sinar Agama :
Dasar yang harus dimiliki
oleh orang yang ingin tahu secara benar hakikat wahdatulwujud adalah:
Mempelajari bahasa arab (karena buku aslinya bahasa arab) dan Logika yang,
bisanya dicapai dalam 4 tahun. Lalu belajar ilmu Kalam (supaya kuat ilmu-ilmu
lahiriah Islamnya) secara ringkas, sedang dan rinci yang, biasanya paling cepat
dicapai dalam waktu 3-4 tahun. Lalu setelah itu belajar filsafat (supaya kuat
pengetahuan dalil-dalil akalnya) secara ringkas, sedang dan rinci yang, paling
cepat dicapai dalam waktu 11-18 tahun, baru setelah itu belajar irfan yang
ringkas dan rinci paling tidak 5-7 tahu
Pelajaran agama, jauh
lebih ketat dari sekolah modern. Buku-buku yang tertera sama sekali tidak akan
dapat dipahami oleh yang tidak memiliki mukaddimah-mukaddimah dengan benar dan
baik. Dan maksud "Paham" di sini bukan secara "Gambaran".
tetapi benar-benar tahu sesuai dengan argument-argument yang ada dan merasakan
karena tahu dasar-dasar pijakan argument-argumentnya itu. Bukan "Tahu"
dalam artian menggambarkanya yang, biasanya kalau ditanya dan didebat, tidak
tahu harus menjawab apa, dan bisanya mengambil dari koceknya sendiri. Dan hal
itulah yang telah membuat ajaran irfan dan shufi yang hakiki yang dibawa Ibnu
Arabi menjadi ajaran-ajaran yang jauh dari yang diajarkan dan jauh dari akal
dan agama. Mulla Shadra menjuluki mereka dengan "Sok Shufi", yakni
"Sok Ngerti ke-Shufian"
Penjelasan saya ini bukan
berarti mau membuat orang pesimis dan melarang diskusi, karena dari awal saya
sudah mengajak Anda dan pembaca yang lain untuk berdiskusi tentang ini. Tetapi
bukan pula berarti saya harus mengatakan bahwa semua tulisan-tulisan ini dapat
dimengerti dengan baik dan argumentatif sampai ke akar-akarnya, dan dapat
dirasakan lantaran tahu dasar-dasar argumentnya itu. Misalnya tahu dasar
argument irfannya ini adalah filsafat fulan, dan dasar filsafatnya ini adalah
Kalam dan Logika fulan.
Memang untuk sekedar
mencapai keyakinan diri dan jadi modal bersuluk, diskusi-diskusi ini bisa
dijadikan modal, karena ianya sudah terbekali dengan argument-argument akal
yang sudah diusahakan sesederhana mungkin dengan menghindari istilah-istilah
yang sesungguhnya karena setiap istilah yang ada perlu kepada penjelasan dan
argument
Sebenarnya, saya hanya
ingin memberitahukan bahwa bahasan kita ini bukan mainan dan bisa dianggap
enteng serta dapat dikuasai dengan baik tanpa mukaddimah-mukaddimah tadi.
Bahasa kasarnya, harus tawadhu menghadapinya, dan jangan sesekali mengatakan
sudah memahaminya dengan baik. Itu saja. Bahasan kita ini, dilihat dari
ketidaklayakannya, jauh melebihi pembahasan kedokteran tentang bedah otak di
antara orang-orang agama atau tekhnik mesin. Lalu apakah kalau kita
membahasanya, yakni bedah otak atau jantung, kita akan mengerti sekalipun
bahasanya Indonesia
Bahasa premannya,
tawadhu'lah dan jangan merasa paham. Afwan.
Dalam hal awal penciptaan
ini ada beberapa kemungkinannya. Kalau hadits yang mengatakan akal tadi,
berarti dia tidak bisa dikatakan sebagai Akal yang dikenal dalam filsafat.
Karena dalam filsafat, Akal adalah Tenang dan Tsabit dan Tidak Memiliki Proses
(perubahan dalam jaman), sementara Akal yang dalam riwayat, adalah wujud yang
menerima perintah-perintah Tuhan dalam artian proses, seperti kemarilah dan
berpalinglah dalam riwayat tersebut. Jadi, Akal-filsafat tidak sama dengan
Akal-riwayat.
Dan kalau dua hadits itu
diterapkan, maka artinya Nabi saww adalah Akal-riwayat yang
merupakan ciptaan pertama Allah, bukan Akal-filsafat.
Padahal dalam filsafat
Akal seperti itu adalah Akal-manusia, bukan Akal-filsafat atau Akal-Jabarut.
Dan posisi Akal-manusia itu ada di tingkatan Barzakh yang paling atas, yakni
setingkat dibawab Akal-Terakhir, dan sangat jauh dari Akal-Satu.
Namun demikian, walau
apapun isyarat-isyarat hadits itu, tidak akan pernah mengurangi fadhilah
Nabi saww, karena kalaulah benar adanya tafsir ini, berarti Tuhan
ingin menjelaskan kepada kita bahwa yang pertama kali dicipta dari
"Makhluk", bukan dari "Urusan". Yakni pertama kali yang
dicipta dari "alam materi" atau yang menyangkutnya/barzakh, bukan
"alam non materi".
Dalam filsafat "alam
non materi" tidak disebut "makhluk", tetapi disebut
"Amrun" atau "Urusan" Tuhan, karena "makhluk"
artinya "Bentukan" atau "Membentuk", sementara "non
materi" berbentuk, terkhusus Akal-Akhir sampai dengan Akal-Satu.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’
kalau bisa lanjutkan
penjeasannya...
Sinar Agama :
Jadi, apapun makna dari
makhluk pertama itu, dan apapun kenyataan wujud-wujud itu, tidak dapat
mempengaruhi fadhilah Nabi saww. Karena Nabi saww bergerak
"Menjadi" dari tanah ini menuju Tuhan dan menjadi hakikat
derajat-derajat yang dicapainya sampai tidak ada lagi ciptaan melebihi dekatnya
dengan WujudNya. Dengan ini, mau ditafsir apapun hadits tersebut, dan apapun
kenyataan sesungguhnya dari keberadaan ini, tetap Nabi saww
merupakan "Yang Awal dalam Fadhilah" yang, oleh karenanya "Yang
Awal dalam Ciptaan". Karena ketika seseorang mencapai yang tertinggi dan
awal, seperti Akal-Pertama, maka ia menyatu dengannya, karena maqam-maqam dan
derajat-derajat ini bukan kesepakatan, tetapi "capaian",
"menjadi" dan "mashir", apalagi "Non Materi' yang
hukumnya adalah satu ditambah satu atau dikurangi seribu tetap satu karena
tidak terikat dengan volume. Dan karena semua itu harus dicapai dengan ikhtiar,
maka mungkin karena itulah Nabi saww mengatakan kepada Jabir ra
ketika bertanya tentang Awal Ciptaan, bahwa yang pertama kali dicipta adalah
"Nur Muhammad", yakni "Hakikat yang Dicapai Muhammad yang pada
waktu belum Diciptakannya Berupa Ilmu Tuhan alias Nur Muhammad".
Bahasa brutalnya adalah,
yang pertama kali dicipta Allah adalah "Maqam Nabi saww yang
akan dicapainya nanti" yang, dibahasakan dengan Nur. Sedangkan mengapa
Nabi saww yang jadi fokus dan bukan Akal-Satu?
Jawabannya mudah, karena
Akal-Satu memilikii maqam tersebut dengan kejadiannya, tanpa melakukan usaha
apapun. Tetapi Nabi saww mencapainya dengan usaha yang gigih dengan
modal yang sama dengan yang dimiliki orang lain. Oleh karenanya jawaban
Nabi saww terhadap pertanyaan Jabir as itu sudah benar, karena
mengandung pendidikan dan merangsang orang untuk mencintai dan meniru
Nabi saww. Silahkan kalau masih ada yang mau ditanya, tetapi
usahakanlah untuk memahami sekalipun tidak menerimanya
Anggelia Sulqani
Zahra :
Ustad’ lalu apa perbedaan
Irfan teoritis dan Irfan praktis....?
Sinar Agama :
Irfan Tiori dengan Praktis
adalah sama, yakni sama-sama Teori.
Yang pertama "Tiori
Membuktikan Wahdatulwujud", dan
yang ke dua "Tiori
Bimbingan Mencapai Wahdatulwujud"
Orang yang mengerti seluk
beluk, sekali lagi, seluk beluk "Tiori Pembuktian Wahdatulwujud" ini,
bisa dikatakan sebagai "Arif dalam Ilmu". Dan orang yang
memeraktikkan "Irfan Tiori" bisa disebut "Pesuluk". Dan
orang bisa melakukan ini hanyalah orang-orang yang sudah bersih dari dosa, makruh,
semua yang halal dan semua keutamaan-keutamaan seperti karomat, kasyaf dan
surga. Yakni bersih dari dosa dan makruh harus bersih hati dan badannya, dan
dari halal dan keutamaan-keutamaan itu harus bersih hatinya, yakni dari rasa
suka.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ maaf...Kalau Bisa
Saya Dijelaskan Tentag : diktum yang berbunyi “al-majâz qantar al-haqiqah”
Sinar Agama :
Qantar atau qanthar?
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ Qantar atau
qanthar? yang mana yang tepat...? silahkan...
Sinar Agama :
Saya rasa Qanthar?
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ iya,, mohon
penjelasannya...
Sinar Agama :
Di tempatku signal seting
nggak bagus. Yang benar adalah Qantharatun yang bisa dibaca qantaharh yang
berarti jembatan.
Jadi, artinya Majazi
adalah Jempatan Hakikat Sepertinya banyak juga masalah di dalamnya. Karena
sepertinya banyak juga yang salah mengartikan dan menggunakannya. Ada juga
bagian-bagiannya.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ bisa saya di
jelaskan : Sepertinya banyak juga maslah di dalamnya. Karena sepertinya banyak
juga yang salah mengartikan dan menggunakannya. Ada juga bagian-bagiannya.
Sinar Agama :
Asal kata Majazi adalah
sesuatu yang bukan hakikatnya. Seperti kata "Singa" yang dipakai
untuk orang berani manakala kita berkata "Saya bertemu Singa sedang
belanja di pasar". Di sini kata "Singa" tidak dimaksudkan
hakikinya yang berarti binatang buas dan ganas, tetapi Majazinya yaitu
"orang pemberani". Dengan penjelasan ini dapat dimengerti pula makna
"Hakiki"nya, yakni suatu makna yang diambil dari asal
"kata" itu sendiri yang diletakkan atau disepakati pertama kalinya
secara asal. Ini asal muasal Hakiki dan Majazi.
Nah, dari sini baru meluas
ke-mana-mana seperti ilmu-ilmu irfan atau ke-Tuhanan dalam tingkat tinggi ini.
Yakni ketika semua sudah ketahuan bahwa selain Tuhan tidak ada, berarti yang
kita lihat ini adalah "Majazi", karena Ada itu milikNya, tetapi kita
nisbahkan kepada selainNya. Dengan demikian penisbahan wujud kepada selainNya
adalah Majazi dan kepadaNya adalah Hakiki.
Dalam hal ini masih benar,
kalau ada orang berkata bahwa "SelainNya adalah Jembatan MenujuNya",
yakni kalau diartikan bahwa "SelainNya adalah WajahNya yang untuk
mengenali atau menyadari keberadaanNya". Atau juga dipakai dalam ilmu
selain keTuhanan. Dikatakan bahwa "Ilmu-ilmu selainNya, seperti matematika
...dst, juga wajib dipelajari karena mempelajari selainNya berarti
mempelajariNya karena selainNya pada hakikatnya tidak ada yang, oleh karenanya
mempelajari selainNya akan menjadi jembatan mengenaliNya". Kata-kata dalam
dua katagori di atas masih bisa dibenarkan.
Akan tetapi, sepertinya,
ada kelompok yang tidak memahami artinya atau sengaja menyelewengkannya untuk
menutupi auratnya sendiri. Yakni yang mengatakan bahwa "Untuk mencapaiNya
perlu menggunkan selainNya, yaitu dengan mencintai dan melezati selainNya
supaya dapat mencintai dan melezatiNya".
Jadi, bisa dikatakan bahwa
yang golongan pertama dan ke dua, yakni menjadikan selainNya atau ilmu
selainNya sebagai jembatan menujuNya adalah benar dan irfan serta sufi yang
hakiki. Tetapi yang ke tiga, bisa ditakan sufi yang nyasar yang, bisa dijuluki
dengan mutashawwifah, alias sok sufi. Allah A'lam. Kalau Mulla Shadrah ada
pertanyaan lagi?
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ pada saat saya
membaca buku-buku ahlak dan irfan Saya menjumpai beberapa istilah teknis
seperti “syariat”, “tarikat”, “hakikat” . bisa jelaskan ke tiga hal tersebut
dan hubugan ke tiganya..?
Sinar Agama :
Bismillah.
Nabi saww dalam hadits Mustadraku Wasailu al-Syi'ah, juz: 11, hal:
173, hadits ke 12672, bersabda +/-: "Syariat itu adalah kata-kataku,
Thariqat itu adalah perbuatanku, Haqiqat adalah keadaanku, Ma'rifat itu adalah
modalku, Akal adalah dasar agamaku, Cinta adalah dasarku, Kerinduan adalah
tumpanganku, Takut adalah temanku, Ilmu adalah senjataku, Lembut adalah
sahabatku, Tawakkal adalah bekalku, Qan'ah adalah harta karunku, Jujur adalah
rumahku, Yakin adalah tempat berlindungku, Kemiskinan adalah kebanggaanku dan
dengannya aku melebih banggakan dari segenap Nabi- Nabi dan
rasul-rasul.
Dalam tiga potong pertama
hadits di atas, Anda dapati apa yang Anda tanyakan itu: Syari'at, Thariqat dan
Hakikat. Pada tingkatan pertama adalah Syari'at yang, dita'birkan oleh beliau
saww sebagai Kata-katanya.
Kita bisa memahminya
sebagai ajarannya. Ajaran disini bisa mencakupi kata-kata dan perbuatan yang
berposisi sama dengan kata-kata, yakni yang bersifat ajaran. Misalnya shalat
beliau yang memiliki posisi sama dengan kata-kata beliau yang terucap dengan
"Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat". Di sini tentu
Nabi saww, tidak memaksudkan kekhusukan beliau, karena jelas
kita-kita tidak akan mencapainya. Tetapi yang dimaksudkannya adalah hukum-hukum
lahiriahnya. Dengan demikian maka Syari'at adalah ajaran dan hukum-hukum yang
telah diajarkan Nabi saww, baik melalui perkataan atau melalui
contoh-contoh perbuatan yang berposisi sebagai kata-kata.
Sedangkan Thariqat/jalan
adalah peringkat setelahnya yang, memiliki makna perbuatan Nabi
saww. Di sini yang dimaksud perbuatan, bukanlah perbuatan yang berposisi
sebagai kata-kata alias pengajaran. Tetapi perbuatan yang memiliki kekhususan
beliau.
Oh....betapa...
amal-amalan beliau dapat menyejukkan gelora api neraka sekalipun, apalagi
sekedar kekurangan-kekurangan akhlak lingkunganya. Tentu bagi yang mau
mengambil ibrah dan barakah. Tidak seperti wahhabi yang lontang lantung dengan
sama sekali tidak peduli terhadap lingkungan dan udara yang dihimbuskan
amal-amal Nabi saww, lalu berteriak sana-sini seakan merekalah
Nabi-Nabi itu.
Dengan uraian di atas,
dapat dipahami bahwa tingkatan ke dua adalah amal-amal Nabi saww
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, bukan sebagai penjelas hukum sebagaimana
peringkat pertama. sedangkan peringkat ke tiga adalah keadaan Nabi saww atau
Capaian dan Hal beliau.
O...h... yang
Nabiyallah, percikkanlah setetes saja, atau sepersejuta tetes saja
dari sejuta butiran air matamu, demi redakan kehinaanku yang bergejolak ini,
yang membakari segala kebaikan sampai ke akar-akarnya. Kehinaan yang berawal
dari kehinaan ilmu yang, dalam pada itu juga masih melahirkan keyakinan dan
kebanggaan serta percaya diri.
Oh ...ya
Nabiyyallah, andai aku jadi pasir-pasir yang diatasnya engkau
menginjakkan kaki, maka sudah cukuplah untukku, untuk kuyakini sebagai
kebaikanku, dari pada kehinaanku sekarang ini, sekarang ini.
Ya
Nabiyyallah, kuhingarkan dan kubingarkan kesyi'ahanku, seakan aku
sudah ada di dalam barisanmu dan barisan Ahlulbaitmu dari keduabelas imam
maksummu.
Kegenderangkan beduk
wahdatulwujudmu seakan aku sudah tenggelam di dalamnya, padahal aku masih
menyukai butir-butir nasi yang kumakan setiap hari, terlebih lauknya. Afwan
kalau jawabanku ini bercampur keluhan hati, afwan.
Dengan penjelasan di atas,
dapat dipahami bahwa Keadaan atau Hal Nabi saww adalah capaiannya.
Artinya capaian-capaian yang telah diperoleh Nabi saww dengan semua
apa-apa yang telah dilakukannya dengan hukum yang benar dan prasyarat-prasyarat
lahir batin yang benar pula, serta berada pada tahap paling tingginya
syarat-syarat dan kondisi.
Semua itu adalah syarahan
pendek tentang makna dan arti dari masing-masing tingkatan. Sedang hubungannya,
sebenarnya, sangat jelas. Yaitu bahwa tingkatan awal/pertama dan/sebelumnya,
adalah tingkatan dasar dan pondasis bagi tingkatan-tingkatan setelahnya.
Artinya... orang yang
belum mengamalkan syariat dengan benar, maka dia tidak akan pernah menyentuh
tingkat ke dua, bagitu seterusnya. Karena darimana dan dengan dasar apa dia
akan melakukan hal itu yang, katakanlah salah satu dari sejuta keadaan itu
seperti khusyu'. Apa yang akan dia khusyu-i kalau tidak tahu dengan benar
hukum-hukum dari amalan-amalan yang akan dilakukannya.
Dengan demikian, maka
syariat akan menjadi batu dasar bagi pijakan pesuluk. Mungkin ada orang
bertanya, bahwa kalau sudah sampai di tingkat thariqat apa masih diperlukan
syariat?
Pertanyaan ini sebenarnya
muncul dari ketidak pahaman hubungan antara sebab-akibat. Pertanyaan ini persis
seperti, menanyakan pondasi bangunan gedung bertingkat, bahwa setelah bangunan
itu berdiri, apakah masih memerlukan pondasi?
Dengan pendekatan ini maka
jelas dapat dipahami bahwa pondasi dan/atau tingkatan sebelumnya akan selalu
diperlukan pada tingkatan ke dua atau tingkatan-tingkatan berikutnya.
Dengan penjelasan di atas,
dapat dipahami bahwa syariat adalah dasar selamanya bagi thariqat dan hakikat,
begitu pula thariqat bagi hakikat. Oleh karena itu seorang yang ingin menjadi
pesuluk, maka harus belajar fikih dengan benar, baik taklid atau ijtihad, dan
selamanya perbuatannya harus diatas dasarkan pada hukum-hukum yang telah
dipelajarinya itu. Dan jangan sesekali mengira bahwa tanpa fikih atau tanpa
kesinambungannya, akan bisa mencapai thariqat atau langgeng di dalamanya.
Karena kalau belum sampai, tanpa fikih yang benar, tidak akan pernah sampai,
dan kalau sudah sampai dengan fikih yang benar tapi tidak dipertahankannya maka
amalan-amalannya akan batal seketika dan akan runtuh serta jatuh ke peringkat
sebelumnya secara seketika pula, karena fikih adalah sebabnya.
Tuhan dalam membuat
hukum-hukum itu tidak lah sia-sia dan permainan. Oleh karenanya semakin
seseorang itu meningkat dalam suluknya, maka dia semakin taat dan bagus dalam
berfikihnya.
Oleh karena itulah
sampai-sampai kaki Nabi saww bengkak karena kebanyakan shalat.
Bagaimana mungkin, tanpa ketaatan hukum seseorang bisa mencapai peringkat
setelahnya, atau bagaimana mungkin tanpa ketetapan hukum seseorang bisa tetap
berada di tingkat setelahnya?
Maksiat yang dapat
menghancurkan manusia di peringkat syariat, dia juga menghancurkan siapa saja
yang berada di tingkat setelahnya. Begitu pula tanpa mengerti hukum yang benar
yang dapat mengganjal manusia melesat ke peringkat setelahnya, begitu pula
dapat menurunkannya dari peringkat yang lebih tinggi itu kalau tidak
dilanggengkan kedisiplinan hukumnya.
Apa yang akan dikhusyu-i,
dan apa dan bagaimana khusyu' itu, perlu kepada pengertian hukum. Begitu pula
tentang kelanggengan dan keistiqomahannya. Begitu pula hal-hal lain selain
kekhusyukan, seperti jujur, ikhlash, murah hati, memaafkan, thaharah, suci
badan dan hati .dan seterusnya.
Dengan semua penjelasan di
atas dapat dipahami, bahwa kalau seseorang ingin melakukan suluk maka harus
belajar fikih dengan benar dan mengamalkannya. Setelah itu atau dalam pada itu
ia harus belajar dimensi batin dari hukum-hukum itu dengan benar pula, supaya
bisa tahu dan mengejarnya, seperti ikhlash, khusyu',tawadhu'....dst dimana
hal-hal ini merupakan usaha mengetahui dan mencontoh perbuatan Nabi
saww yang disebut dengan Thariqat.
Kalau kedua hal itu dilakukan
maka ia akan menyentuh apa-apa yang disebut Hal atau Keadaan. Tentu saja semua
itu harus dilakukan dengan ikhlas, yakni bukan untuk mencapai apapun kecuali
Allah. Sering orang ketika sedikit saja dibukakan tabir, atau seperti
karomat-koramat keci/besar, dia sudah bangga dan merasa jadi musrsyid bagi yang
lainnya. Seperti seorang raja dia telah membangun perguruannya. Padahal dengan
semua itu dia berarti tergolong ke dalam penyinta dunia, sekalipun dunia di
sini adalah batin, yakni semacam karomat-karomat atau kasyaf-kasyaf itu.
Karena semua itu masih
disenanginya di dunia ini. Pesuluk hakiki, sekalipun mampu melakukan yang tidak
lumrah,tanpa perintah Tuhan dengan ilhamnya, maka mereka tidak akan pernah
melakukannya. Karena mereka selalu dalam latihan untuk tidak melihat diri,
alias melatih diri untuk fana dan selalu dalam fana. Bagaiamana mungkin
seseorang akan mencapai fana, ketika bisa sedikit saja melakukan keajaiban, dia
sudah bertengger di situ?
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’maaf.......jika saya
bertanya lagi.....insya allah saya akan meluangkan waktu untuk melakukan
renungan atas jawaban-jawaban ustad..semoga allah memberikan hidayahnya aga
saya dapat masuk dalam hikmahnya....
jika boleh saya bertanya
lagi...:
Apa yang menjadi latar
belakang penolakan kaum teolog atas doktrin wahdat al-wujud?
Sinar Agama :
salam, kirain sudah tidur,
apa masih bangun skr? bisa jwb?
Anggelia Sulqani Zahra : okey...dilanjut....
Sinar Agama :
Bismillah. Saya tanya
karena kukira sudah tidur. Tetapi kalau sudah tidur atau mau tidur, maka jangan
tunggu jawabanku,.
biar kujawab terus dan
baca besok. Saya tadi tanya hanya agak heran karena belum tidur dan ingin
menyapa saja.
Oh iya, jawabannya
pendek-pendek karena lagi ganguan signal.
Kamu tidak usah menjawab
apa-apa, kalau tidak tidur,
Ada tahapan ilmu dalam
mencari hakikat ke-Tuhanan, Teologi/Kalam, Filsafat dan Irfan/Gnosis.
Teologi adalah cara
memahami hakikat, termasuk Tuhan, melalui naql, atau Qur an dan Hadits.
Teolog bisa dikatagorikan
pada yang ekstrim, sedang dan ilmiah.yang ekstrim, mengingkari semua ilmu lain.
Mereka menolak semua cara
selain Qur an-hadits. Mereka juga menolak cara lain dari yang lahiriah dalam
memahami keduanya.
Mereka mengira bahwa yang
mereka pahami tentang keduanya adalah benar-benar keduanya. Mereka ini biasanya
gampang sekali menyalahkan dan menyesatkan orang lain, dan, mungkin juga
menkafirkannya.
Sebagian orang-orang sunni
salafi, adalah bagian dari golongan ini, termasuk wahhabi yang munculnya
beberapa ratus tahun yang lalu.
Sedangkan golongan sedang
berani menggunakan akal dalam memahami keduanya, tetapi keakalannya hanya
sebatas yang umum-umum diantara manusia-manusia berakal yang, biasa disebut
dengan akal-'urf.
Sedangkan yang ilmiah,
mereka berani menggunakan kaidah logika dan filsafat untuk memahami keduanya.
Namun demikian,
penggunaannya hanya di tempat-tempat yang mereka merasa harus memakainya, tidak
di semua tempat.
Oleh karenanya, di
tempat-tempat yang merasa bahwa cukup dengan menggunakan akal-umum, mereka
hanya menggunakan akal-umum dan tidak merasa perlu menggunakan logika-filsafat.
Dengan penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa ciri Kalam adalah berdasar kepada Qur an dan Hadits dalam
memahami hakikat.
Sementara filsafat adalah
metologi memahami hakikat dengan kaidah-kaidah akal-gamblang. Sebenarnya bisa
dikatakan sebagai pengemabangan logika. Karena logika cara menyusun pikiran,
dan filsafat adalah memahami hakikat dengan pikiran yang tersusun. Ringkasnya,
filsafat adalah ilmu akal yang tujuannya memahami hakikat wujud.
Kalau orang Kalam, merasa
harus selalu menjaga lahiriah Qur an dan hadits, hingga kalaulah menggunakan
akal, maka sebatas yang diperlukan. Tetapi kalau filosof sebaliknya. Yang jadi
pedoman adalah kaidah-gamblangnya.
Yakni kaidah akal yang
gamblang alias berbobot ilmu-mudah. Seperti kita ada, alam ada, kita dan alam
sama-sama terbatas dst.
Mereka yakin, bahwa tidak
mungkin Qur’an dan hadits bertentangan dengan akal-mudah ini. Karena keduanya
diturunkan untuk dipahami manusia dan akal kita ini dicipta Allah sebagai alat
untuk memahami keduanya.
Oleh karenanya para
filosof menjadikan akal dasar dari pencariannya, dan kalau menjumpai Qur
an-hadits bertentangan dengan akal, maka mereka tidak ragu menakwilnya. tidak
seperti para Teolog.
Sedang irfan, dulu, adalah
cara untuk memahami hakikat dengan membersihkan hati dari cinta dunia.
Tetapi sejak Mulla Shadra,
temuan-temuannya sudah bisa dibukatikan dengan filsafat. Tentu saja beda rasa
antara temuan keduanya.
Artinya temua irfan lebih
afdhal karena dengan pencapaian,sementara dengan filsafat hanya pahaman.
Nah, setelah kita tahu
semua itu, perlu diketahui,bahwa wahdatulwujud ini hanya temuan irfan/sufi
hakiki.
Sementara filsafat tidak
dapat menjangkaunya, kecuali filsafat Mulla Shadra yang dikenal dengan Hikmah
Muta'aliyah.
Itupun hanya beberapa
baris dari kitabnya yang 9 jilid itu. Jadi, tidak heran kalau ada pengajar
filsafat Mulla Shadra tetapi anti pada wahdatulwujud irfan.
Jadi, jangan dikira bahwa
filsafat Mulla Shadra berisi wahdatulwujud irfan. Dia penuh dengan filsafat dan
paling tingginya hanya wahdatulwujud filsafat.
Maksud dengan penuh dengan
filsafat yakni penuh dengan bahasan seperti sebab-akibat, esensi, subisatansi
dan aksiden, gerak....dst.
Maksudnya, penuh dengan
pembuktian dan pembahasan mereka alias tentang semua wujud yang, di dalamnya
termasuk wujud Tuhan.
Jadi, filsafat, sekalipun
filsafat Mulla Shadra, secara umum, mengakui dan membuktikan semua keberadan
selainNya.
Oleh karenanya, secara
umum, filsafat tidak dapat menerima kenyataan wahdatulwujud irfani ini.
Sekarang baru sampai
kepada jawaban pertanyaan Anda: Bahwa kalau filsafat saja nasibnya seperti itu,
maka Kalam dan Teologi sudah tentu lebih parah darinya. Oleh karenanya, secara
umum, para Teolog menolak konsep wahdatulwujud ini.
Oleh karenanya, Teologi
tidak memiliki pendekat untuk menerima konsep wahdatulwujud ini dan
menganggapnya..
sebagai konsep sesat yang
bertentangan dengan akal dan Qur an-hadits.
Sekian....
Terima kasih
Al-Fatihah- sholawat..
(Bagian 1) = Seri Tanya
– Jawab
Oleh Syahrurizal, Faqir Al,
dan 4 lainnya di Berlangganan
Catatan2 Sinar Agama (Berkas) · Sunting Dokumen
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad. Apa hubungan antara
wahdatul wujud dalam pandangan Ibnu Arabi dan Filsafat Hikmah Mulla Shadra..?
Sinar Agama :
Karena kebetulan saya
sudah mempelajari buku Mulla Shadra yang 9 jilid itu dan begitu pula Ibnu
Arabi, yakni Fushushnya.
Untuk Mulla Shadra, dalam
bukunya itu memiliki banyak peringkat penjelasan tentang hakikat/ada’ yang umum
diketahui orang tentang konsepnya tentang wahdatul wujudnya adalah bahwa wujud
itu memiliki satu makna.
Pohon ada, manusia ada,
air ada...dst, menggambarkan adanya dua hal, ada dan kepohonan pohon yang biasa
disebut esensi. Jadi, setiap sesuatu yang terbatas memiliki 2 hal, ada dan
esensinya, sekarang, ada itu yang ditanyakan, memiliki satu makna atau
banyak makna sebanyak sensinya?
Dengan argument yang
panjuga lebar dibuktikan memiliki "satu makna", karena lawannya juga
satu maknya, yakni "tiada".karena kalau "tiada" memiliki
banyak makna, berarti berbeda dan yang berbeda pasti "ada", bukan
"tiada".
Dengan demikian, karena
"tiada" itu satu dan dia lawan "ada", maka berarti
"ada" ini juga satu.
Inilah yang disebut dengan
"Wahdatulwujud" dalam filasafat Mulla Shadra. Dari sinilah teori ini
mengepakkan sayapnya ke-mana-mana.
Seperti Gradasi Wujud,
...dst. Dari teori ini, dapat dipahami bahwa Wujud ini satu, tetapi dalam
satunya itu bergradasi dan bertingkat. dimana yang tertingginya adalah Tuhan
sebagai wujud yang tidak terbatas. di sini wujud, dalam satunya terdapat
banyak,dan dalam banyaknya terikat dengan satu makna. Tetapi wahdatul wujud
dalam irfan, adalah wujud itu hanya satu dan tidak ada tingkatan di dalamnya.
Dalam teori irfan wujud
itu hanya satu dan tidak bertingkat, Dialah Allah, dan yang lainnya tidak ada,
karena mereka hanya esensi belaka.
Jadi, wujud esensi yang
dikira milik esensi dalam filsafat, dalam irfan adalah milik Tuhan. Jadi,
esensi tidak ada, dan yang ada hanya Dia.
Ini sekelumit tentang beda
keduanya.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad. jika esensi tidak
ada lalu dimana dapat dikenali wujud-wujud partikular....? Terus apakah dengan
seperti itu predikat air, manusia, hewan tumbuhan, sesuatu yang tidak memiliki
relitas...
Sinar Agama :
Kalau tulisanku itu dibaca
dengan baik, maka dapat dengan mudah memahami akan dua hal yang terkandung dalam
setiap esensi atau wujud-wujud terbatas, dan bisa mengatasi dua tanyamu ini.
Jawaban untuk yang pertama
bagian pertama, sama dengan pertanyaanmu yang ke dua, yakni esensi-esensi itu
sama sekali tidak memiliki wujud atau realitas.
Jawab untuk tanyamu yang
pertama bagian ke dua adalah kita dapat mengenali esensi-esensi itu di alamnya
sendiri, yakni di akal dan di kewajahannya bagi wujud.
Dalam akal kita dapat
mengenali semua esensi-esensi tersebut. Ini mudah. Tetapi mengenali
kewajahannya bagi wujud, mungkin tidak terlalu mudah. Ketika esensi-esensi itu
kita jauhkan dari wujud, karena dia memang bukan wujud dan wujud bukan pula
esensi, karena keduanya adalah dua hal yang berbeda, maka jelas esensi tidak
lagi memiliki makna wujud.
Dengan demikian keberadaan
atau kewujudan esensi seperti pohon, adalah bukan esensi yang wujud atau pohon
yang wujud, karena, sekali lagi, esensi itu bukan wujud sebagaimana maklum.
Terus apa? Jawabannya
adalah "wajah" dari pada "wujud". Jadi, kalau orang biasa
melihat pohon, dia akan berkata bahwa "pohon itu ada/wujud". Tetapi
kalau seorang arif melihat pohon, maka dia akan berkata "Wujud itu di sini
berwajah dengan pohon" atau "wujud itu di sini mengenalkan dirinya
dengan pohon".
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa esensi-esensi itu tidak memiliki realitas/wujud, tetapi menjadi
wajah, bayang, cerita dan cermin dari pada wujud itu sendiri.
Dalil wahdatu al-wujud ala
irfan seperti irfannya Ibnu 'Arabi.
Dalilnya sangat mudah
dipahami, tetapi sangat sulit diterima. yaitu ketidak terbatasan wujud Tuhan.
Kalau Wujud Tuhan itu tidak terbatas, maka tidak mungkin ada wujud lain yang
terbatas.
Karena adanya wujud lain
yang terbatas, akan membatasi ketidak terbatasan wujudNya. Ketika ada air yang
tidak terbatas, bisakah ada air lain segelas, setetes atau seperseribu tetes?
Atau mungkinkah ada gelas, pohon, manusia, ikan, dan seterusnya..?
Dengan demikian wujud itu
hanya satu, yaitu "WujudNya", dan semua esensi itu hanyalah
"BayangNya", "WajahNya","IdentitasNya",
"CerminNya". Semua nama-nama ini tidak dikarang oleh para 'arif,
tetapi diangkat dari ayat-ayat dan riwayat, walau dari sisi dalil akalnya,
jelas juga bahwa tidak ada masalah dengan penyebutan-penyebutan itu.
Dengan
penjelasan-penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Wahdatulwujud Mulla Shadra
beda jauh dengan Wahdatulwujud irfan.
Tetapi bukan berarti Mulla
Shadra anti Wahdatul wujudnya irfan. Justru beliu/Mulla Shadra satu-satunya
filosof yang bisa membuktikan kebenaran Wahdatul wujud ala irfan itu.
Makanya beliau dikenal
dengan "pembertemu" filsafat dengan irfan. Tetapi pembertemuannya itu
bukan di Wahdatul wujud filosofis itu. Karena yang dalam filosofis itu, dimana
saya sudah menjelaskan di atas, jauh beda dengan yang di irfan. Karena yang
dimaksudkannya di filsafat adalah "wahdah/satu" dalam "Makna
Wujud" yang, mengandungi banyak sekali wujud-wujud yang banyak, hal mana
beliau menyebutnya, "Satu dalam Banyak dan Banyak dalam satu". Dan
dari sinilah beliau lalu membedakan wujud-wujud yang banyak dalam satu itu,
dengan derajat wujud itu sendiri, bukan dengan esensi yang sudah di tendangnya
keluar dari gelangang wujud sebagaimana sudah diterangkan di atas.
Dan dari sinilah konsep
beliau mencuat ke permukaan bumi pengetahuan apa yang dikenal dengan
"Gradasi Wujud". Maksudnya "Wujud-wujud yang Berderajat yang
mana Beda Derajatnya itu Dibedakan dengan Tingkatan Wujudnya dan bukan dengan
Esensinya". Sebagian orang yang tidak lengkap belajarnya hanya mengira
bahwa "Gradasi Wujud"nya Mulla Shadra, hanyalah "Tingkatan
Wujud", padahal "Tingkatan Wujud Karena Wujud dan Bukan Karena
Esensi".
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad. Tolong dijelaskan
maksud anda:
Wahdatulwujud Mulla Shadra
beda jauh dengan Wahdatulwujud irfan. Tetapi bukan berarti Mulla Shadra anti
Wahdatul wujudnya irfan’ Justru beliu/Mulla Shadra satu-satunya filosof yang
bisa membuktikan kebenaran Wahdatul wujud ala irfan itu.
Apakah tidak
berkontradiksi...?
lalu apa perbedaannya
dengann konsep pantheisme......?
Sinar Agama :
Terus dimana Mulla Shadra
membuktikan Wahdatul wujudnya irfan?
Di jlid 2 buku Asfaru
al-Arba'ahnya. Yakni di bab tentang "Sebab-akibat".
Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa sebelum Mulla Shadra, wahdatul wujud irfan tidak bisa dibuktikan
dengan dalil-dalil akal, dan hanya dengan "Kasyf".
Sebenarnya mereka sudah
banyak berusaha membuktikannya dengan akal, tetapi belum mampu karena mereka
biasanya rata-rata tidak mementingkan selain mencapai "fana" hingga
kurang mendalami tiori-teori akal.
Ibnu 'Arabi sebenarnya
bisa dikata telah banyak mengilhami Mulla Shadra hingga mencapai penemuannya
itu. Dan Mulla Shadra sangat hormat dan mengguru kepadanya melalui
kitab-kitabnya.
Tetapi sekali lagi, bukan
di wahdatul wujud ala filsafat itu Mulla Shadra membuktikan kebenaran
Wahdatulwujud ala irfan, tetapi di bab "Sebab-akibat", dan maksud
Mulla Shadra mencuatkan Wahdatulwujud ala filsafat itu bukan untuk membuktikan
kebenaran wahdatulwujud ala irfan ini, bukan sama sekali.
Jadi, keduanya berbeda
jauh dan tidak saling berhubungan. Walau demikian dapat pula dijadikan
pengantar, agar lebih mudah untuk memahami wahdatulwujud ala irfan. yakni kalau
seseorang memahaminya secara filsafat maka akan lebih mudah memahaminya secara
irfan, tetapi bukan sama dan berhubungan.
Dengan dalil "Ketidak
Terbatasan Wujud Tuhan" yang saya bawa di sini, adalah penemuan Guru Besar
saya yang tidak bisa saya sebutkan namanya di sini. Beliau seorang penerus dari
Mulla Shadra yang juga mengguru pada Ibnu Arabi melalui kitab-kitabnya.
Sebenarnya, kalau anda teliti
dan melepaskan dulu pikiran-pikiran atau info-info sebelumnya dan mencoba untuk
memahami yang saya urai dengan maksud saya sesuai dengan
mukaddimah-mukadimahnya, bukan sesuai info-info anda, maka saya rasa sangat
mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan anda tersebut.
Apapun itu, kalau ternyata
memang masih ada hal, silahkan komentar lagi, semoga saya bisa membantunya.
Sekali lagi cobalah untuk memahami yang saya tulis tanpa memaknainya dengan
info-info sebelumnya dari yang anda dapat.
Dengan penjelasan-penjelasan
di atas dapat dipahami jauhnya konsep wahdatulwujud irfan ini dengan panteisme.
Karena yang pertama
menyatakan bahwa hanya Tuhan yang Ada yang, berarti menyatakan ke-Tiada-an
alam/esensi dan hanya menyisakan kewajahannya bagi Ada, dengan yang ke dua
menyamakan alam denganNya dimana berarti menganggapnya ada sebagaimana Dia atau
bahkan menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad. mohon dijelaskan
perbedaan :
yang dimaksudkannya di
filsafat adalah "wahdah/satu" dalam "Makna Wujud" yang,
mengandungi banyak sekali wujud-wujud yang banyak, hal mana beliau menyebutnya,
"Satu dalam Banyak dan Banyak dalam satu".
dengan : phanteisme:
menyamakan alam denganNya dimana berarti menganggapnya ada sebagaimana Dia atau
bahkan menyatakan ke-Tuhan-an alam/esensi.?
bukankah keduanya berakhir
pada wujud eksistensi...?
Sinar Agama :
Maksud pernyataan pertama
adalah: Mengakui keberadaan Tuhan dan lainnya, walau dalam makna wujud adalah
sama dan satu. Inilah yang disebut dengan wahdatulwujud ala filsafat yang
berakhir pada eksistensi. Tetapi ingat, bahwa berakhir pada eksistensi yang
banyak yang, satu sama lain dibedakan derajat wujudnya, bukan dengan esensi
sebagaimana maklum.
Sementara pernyataan ke
dua adalah: Tidak mengakui adanya apapun kecuali Tuhan yang karena ketidak
pahaman mereka mengatasi kenyataan alam ini, mereka lalu mengatakan bahwa alam
ini adalah Tuhan. Jadi, jauh beda dari kedua pernyataan itu walau keduanya
berakhir pada wujud.
Akan tetapi yang pertama,
pada wujud yang banyak, dan yang ke dua pada wujud yang satu. Sekalipun
panteisme ini, sebagaimana yang sampai kepada kita-kita, pada akhirnya tidak
mampu menyelesaikan konsekwensi dari wahduatulwujudnya. Yakni ketika ditanya,
kalau ada itu hanya Tuhan, terus kita-kita dan alam ini apa? Mereka menjawab,
Tuhan.
Beda halnya dengan irfan
Ibnu 'Arabi dan Mulla Shadra, mereka mengatakan bahwa kita dan alam ini adalah
tajalliNya, WajahNya. Ingat, semua orang memang membahas wujud dan akan
berakhir kepada wujud, tetapi beda semua ilmu-ilmu itu.
bukan di wujud itu, tetapi
di banyak dan satunya wujud tersebut. Dan beda sufisme (seperti panteisme)
dengan irfan atau sufi yang hakiki seperti yang dibawa Ibnu Arabi dan Mulla
Shadra, bukan terletak di ada yang satu, tetapi di bagaimana menjawab tentang
alam ini
Dimana di panteisme
dikatakan Tuhan hingga muncul perkataan Ana al-haq/saya tuhan", sementar
di Ibnu Arabi dan Mulla Shadra dikatakan sebagai "Tajalli dan
WajahNya". Dan ingat juga, bahwa yang kita bicarakan ini hanyalah
kata-kata belaka, bukan irfan yang sesungguhnya.
Karena kita yang masih
suka dunia halal, surga dan kebaikan-kebaikan, tidak mungkin merindukan
"ketiadaan".
Dan supaya tidak kepalang
tanggung, tolong baca sekalian diskusiku tentang antologi yang dibawa amran
abstrack di statusku
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ apakah ada
perbedaan pengetahuan/pemahaman dengan yang diketahui/dipahami...?
Sinar Agama :
Pertama, kalau tidak beda
berarti tidak perlu ditanyakan. Pertanyaan anda ini menunjukkan secara fitrah
kepada adanya perbedaan itu. Namun, dilihat dari eksistensinya, bukan dari
esensinya. Karena kalau beda dalam esensi, berarti semua informasi kita, salah
semua. Dan kalau tidak beda maka kita segera akan mati kala mengerti dan
membayangkan api.
Ilmu yang saya terangkan
barusan ini adalah ilmu-ilmu Hushuli atau Gambaran, bukan Khudhuri atau
kehadiran. Jadi, dalam ilmu tersebut yang hadir dalam akal kita adalah gambaran
dan copy-annya, bukan asli obyeknya.
Ke dua, kalau ilmu-ilmunya
itu adalah khudhuri, yakni obyek ilmunya yang hadir dalam akal, maka ilmu dan
obyeknya adalah sama, karena yang hadir sebagai penginfo bukan gambarannya,
akan tetapi dianya sendiri.
Ke tiga, wahdatul wujud
ala Mulla Shadra dalam filsafatnya adalah dari golongan ilmu Hushuli atau
ilmu/info yang datang ke akal kita melalui gambaran obyek infonya, bukan
infonya sendiri secara langsung. Tetapi wahdatulwujud ala Mulla Shadra dalam
irfannya adalah dari golongan ilmu Khudhuri alias yang penginfoannya melalui
obyeknya langsung.
Allah dalam banyak
ayat-ayatNya seperti QS:2:126; 2:285 dan sekitar 21 ayat lainnya menggunakan
kata Mashir (menjadi) untuk kembalinya manusia kepadaNya, bukan masir
(berjalan/menuju). Tentu ayat-ayat ini saya bawa di sini sebagai penguat dalil
akal kita ini, bukan sebagai pemaksa anda untuk terima, tetapi hanya sebagai
pereda ketakutan akan kebenaran dalil akal kita ini manakala hal itu terjadi,
supaya tidak seperti para wahhabi yang terus anti pati dan mengecam para arif.
Allah dalam ayat-ayat tadi, baik bagi orang yang akan ke neraka atau ke surga,
memakai kata-kata Mashir alias menjadi. Hal itu karena memang kembalinya
manusia itu kalau bukan menjadi hakikat murkaNya, akan menjadi hakikat
RidhaNya. Jadi, dua-duanya menjadiNya. Tetapi karena Tuhan mengatakan (dan akal
juga mengatakan hal yang sama) bahwa "menjadi kepadaNya", bukan
"menjadiNya", maka selamanya manusia tidak akan pernah mencapaiNya,
sekalipun menjadi kepadaNya, bukan menujuNya.
Simpulan, semua ilmu, apa
saja, baik tentang alam, agama, akhirat dan Tuhan, manakala kita membahasnya,
bukan mencapainya, maka berarti ilmu-ilmu kita itu adalah Hushuli alias info
yang melalui gambaran obyek infonya, sekalipun ilmu-ilmu kita itu adalah
wahdatulwujud irfani.
Oleh karena itu cocok
sekali dikatakan pahaman. Di sini, sudah pasti obyek pahaman dan pahamannya
berbeda, tentu dalam eksistensinya, bukan pada esensinya sebagaimana sudah
diterangkan.
Akan tetetapi, kalau
ilmu-ilmu itu bukan dalam bahasan dan lamunan, tetapi dalam capaian, maka
ilmu-ilmu tersebut termasuk wahdatulwujudnya itu, sudah pasti sama dengan
obyeknya. Yakni ilmu = hakikat obyek ilmunya.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ jadi apakah
perbedaan wujud satu dengann wujud lain harus dikembalikan kepada
persamaannya...?
Sinar Agama :
Kamu bertanya apakah
perbedaan wujud itu harus dikembalikan pada persamaannya?
Jawab wujud yang mana dan
ala siapa dan dalam tingkatan apa?. Kalau dalam tingkatan umum yang mungkin
seperti kita-kita ini, atau juga ilmu Kalam, maka perbedaannya dikembalikan
kepada esensi. Tetapi kalau Mulla Shadra di filsafatnya maka dikembalikan ke
derajat wujud itu sendiri, dan inilah yang dikatakan Gradasi/tasykik. Akan
tetapi kalau Mulla Shadra di irfannya, maka tidak ada perbedaannya, karena
wujud hanya satu, titik. Yakni tidak ada tingkatannya, sebagaimana sudah
dijelaskan sebelumnya.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ jika Kebenaran
adalah : bersesuainya antara ide/pikiran/ konsep manusia dengann realitas?
bagaimana maksud dari bersesuainya......?
Sinar Agama :
Kamu bertanya apa maksud
berkesesuaiannya ilmu dengan realitas itu.
Jawab: realitas itu adalah
hakikat dan dia memiliki dua macam, pertama adalah esensi sebagai realitas
batasan atau ilmu atau ide atau juga nyata kalau berbaju kenyataan karena tidak
semua esensi memilikinya seperti gunung berlian, dan yang ke dua adalah
eksistensi sebagai realitas nyata.
Ilmu itu dikatakan benar
manakala esensi yang ditangkap akal persis sama dengan esensi yang ada di alam
nyata. Dan akan dikatakan salah manakala sebaliknya. Dan hal seperti ini hanya
ada di ilmu-ilmu Hushuli yang memang memiliki kemungkinan salah. Karena yang
datang dan ditangkapnya adalah copy-an dari esensi nyatanya. Tetapi kalau dalam
ilmu-ilmu Khudhuri, maka tidak mungkin salah karena yang datang dan tertangkap
adalah hakikat nyata dari esensinya itu.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ maaf.....
Akan tetetapi, kalau
ilmu-ilmu itu bukan dalam bahasan dan lamunan, tetapi dalam capaian, maka
ilmu-ilmu tersebut termasuk wahdatulwujudnya itu, sudah pasti sama dengan
obyeknya.
dan
Dan kalau tidak tidak beda
maka kita segera akan mati kala mengerti dan membayangkan api.
Sinar Agama :
Anda bertanya bukankah
kita akan mati kalau kita memiliki ilmu khudhuri tentang api?
Jawaban: Ilmu Khudhuri itu
adalah ilmu yang mendatangkan hakikat obyek yang diketahui. Penghadiran seperti
ini, kebanyakannya, hanya dapat didapat oleh sebab terhadap akibatnya.
Walaupun Mulla Shadrah ada
dua jalan lagi yang tidak perlu dibahas di sini karena tidak nyangkut. Nah,
ketika manusia memiliki ilmu-ilmu khudhuri dengan suluknya atau proses
"menjadi kepadaNya' tadi itu, maka berarti manusia sudah mencapai derajat
sebab dari ilmu-ilmunya itu.
Dengan demikian mana mampu
akibat membunuh sebabnya? Mana mampu yang namanya akibat mengalahkan sebabnya?
Oleh karena itulah
Nabi saww dikatakn dalam Qur an sebagai Rahmatan lil 'alamin yakni
rahmat bagi semua alam (materi dan non materi, di masa lampau atau akan datang,
dunia atau akhirat) karena beliau saww sudah mencapai derajat yang tidak ada
lagi derajat lain di atasnya.
Jadi, beliau adalah sebab
bagi semua alam, artinya sebab perantara Tuhan untuk menyentuh yang dibawahnya.
Kalau sudah demikian, mana mungkin yang namanya akibat bisa berefek pada
sebabnya? Apalagi membunuhnya
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ bukankah perbedaan
derajat wujud tersebut bukan hal lain selain wujud itu sendiri....?
sehingga perbedaannya
dikembalikan pada persamaannya yakni wujudnya...
karena esensi tersebut
jika dipadang dalam kontes wahdat al wujud adalah wujud itu sendiri...
Sinar Agama :
Esensi yang dipandang
sebagai wujud dalam pandangan wahdatulwujud, adalah sufi panteis yang
jelas-jelas tidak ada dasarnya. Anda mau lari panteis atau mau memasukinya?
Anjuran saya, print tulisan-tulisan saya itu dan baca sambil direnungi, supaya
dapat dipahami berbagai pandangan tentang wujud tersebut.?
Tentang lari dan panteis.
dan sekarang saya akan
Jawab pertanyaan-pertanyaanya. Tentang panteis itu kan anda sendiri dalam
mendebat dalil saya mengatakan "..lalu apa bedanya dengan konsep
pantheisme?
Kata-kata anda ini
menunjukkan tidak setujunya Anda dengan panteisme dan, sudah tentu Anda lari
darinya. Tetapi ketika Anda mengatakan bahwa: "bukankah perbedaan derajat
wujud tersebut bukan hal lain selain wujud itu sendiri....? sehingga
perbedaannya dikembalikan pada persamaannya yakni wujudnya...karena esensi
tersebut jika dipadang dalam kontes wahdat al wujud adalah wujud itu
sendiri....", di sini, berarti telah memasuki panteisme itu sendiri,
karena telah menyamakan semua esensi dengan wahdatulwujud yang, dengan kata
lain adalah Tuhan
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ para filosof sering
menamakan Nur Muhammad sebagai Akal 1, menurut anda....?
kenapa bisa dikatakan
akal...?
Sinar Agama :
Kalau saya bertanya kepada
Anda, dimana dan siapa yang mengatakan bahwa Akal-1 itu adalah Nur Muhammad?
apakah anda mampu menjelaskannya?
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ okey kita lupakan
saja tentang akal 1.....
Sinar Agama :
Dalam riwayat setidaknya
ada dua keterangan tentang awal ciptaan ini, ada yang mengatakan Nur
Nabi saww, ada yang mengatakan Akal yang diperintah berpaling maka
dari berpaling begitu pula sebaliknya.
Terlalu rumit bagi anda
kalau saya jelaskan semuanya, karena mengerti semua ini sebenarnya memerlukan
perjalanan ilmu kurang-lebih 30-35 tahun, itupun yang tiap hari dibimbing guru
dengan segala argumentasinya.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ berdasarkan apa ada
katakan :Terlalu rumit bagi anda kalau saya jelaskan semuanya,...?
jika demikian...mohon maaf
atas keterbatasan ilmuku.....
bisakah anda mengurai
kerumitan-kerumitan yang saya akan hadapi dalam memahami penjelasan-penjelasan
anda ? apakah jumlah waktu tersebut merupakan persyaratan mutlak....?
Sinar Agama :
Dasar yang harus dimiliki
oleh orang yang ingin tahu secara benar hakikat wahdatulwujud adalah:
Mempelajari bahasa arab (karena buku aslinya bahasa arab) dan Logika yang,
bisanya dicapai dalam 4 tahun. Lalu belajar ilmu Kalam (supaya kuat ilmu-ilmu
lahiriah Islamnya) secara ringkas, sedang dan rinci yang, biasanya paling cepat
dicapai dalam waktu 3-4 tahun. Lalu setelah itu belajar filsafat (supaya kuat
pengetahuan dalil-dalil akalnya) secara ringkas, sedang dan rinci yang, paling
cepat dicapai dalam waktu 11-18 tahun, baru setelah itu belajar irfan yang
ringkas dan rinci paling tidak 5-7 tahu
Pelajaran agama, jauh
lebih ketat dari sekolah modern. Buku-buku yang tertera sama sekali tidak akan
dapat dipahami oleh yang tidak memiliki mukaddimah-mukaddimah dengan benar dan
baik. Dan maksud "Paham" di sini bukan secara "Gambaran".
tetapi benar-benar tahu sesuai dengan argument-argument yang ada dan merasakan
karena tahu dasar-dasar pijakan argument-argumentnya itu. Bukan "Tahu"
dalam artian menggambarkanya yang, biasanya kalau ditanya dan didebat, tidak
tahu harus menjawab apa, dan bisanya mengambil dari koceknya sendiri. Dan hal
itulah yang telah membuat ajaran irfan dan shufi yang hakiki yang dibawa Ibnu
Arabi menjadi ajaran-ajaran yang jauh dari yang diajarkan dan jauh dari akal
dan agama. Mulla Shadra menjuluki mereka dengan "Sok Shufi", yakni
"Sok Ngerti ke-Shufian"
Penjelasan saya ini bukan
berarti mau membuat orang pesimis dan melarang diskusi, karena dari awal saya
sudah mengajak Anda dan pembaca yang lain untuk berdiskusi tentang ini. Tetapi
bukan pula berarti saya harus mengatakan bahwa semua tulisan-tulisan ini dapat
dimengerti dengan baik dan argumentatif sampai ke akar-akarnya, dan dapat
dirasakan lantaran tahu dasar-dasar argumentnya itu. Misalnya tahu dasar
argument irfannya ini adalah filsafat fulan, dan dasar filsafatnya ini adalah
Kalam dan Logika fulan.
Memang untuk sekedar
mencapai keyakinan diri dan jadi modal bersuluk, diskusi-diskusi ini bisa
dijadikan modal, karena ianya sudah terbekali dengan argument-argument akal
yang sudah diusahakan sesederhana mungkin dengan menghindari istilah-istilah
yang sesungguhnya karena setiap istilah yang ada perlu kepada penjelasan dan
argument
Sebenarnya, saya hanya
ingin memberitahukan bahwa bahasan kita ini bukan mainan dan bisa dianggap
enteng serta dapat dikuasai dengan baik tanpa mukaddimah-mukaddimah tadi.
Bahasa kasarnya, harus tawadhu menghadapinya, dan jangan sesekali mengatakan
sudah memahaminya dengan baik. Itu saja. Bahasan kita ini, dilihat dari
ketidaklayakannya, jauh melebihi pembahasan kedokteran tentang bedah otak di
antara orang-orang agama atau tekhnik mesin. Lalu apakah kalau kita
membahasanya, yakni bedah otak atau jantung, kita akan mengerti sekalipun
bahasanya Indonesia
Bahasa premannya,
tawadhu'lah dan jangan merasa paham. Afwan.
Dalam hal awal penciptaan
ini ada beberapa kemungkinannya. Kalau hadits yang mengatakan akal tadi,
berarti dia tidak bisa dikatakan sebagai Akal yang dikenal dalam filsafat.
Karena dalam filsafat, Akal adalah Tenang dan Tsabit dan Tidak Memiliki Proses
(perubahan dalam jaman), sementara Akal yang dalam riwayat, adalah wujud yang
menerima perintah-perintah Tuhan dalam artian proses, seperti kemarilah dan
berpalinglah dalam riwayat tersebut. Jadi, Akal-filsafat tidak sama dengan
Akal-riwayat.
Dan kalau dua hadits itu
diterapkan, maka artinya Nabi saww adalah Akal-riwayat yang
merupakan ciptaan pertama Allah, bukan Akal-filsafat.
Padahal dalam filsafat
Akal seperti itu adalah Akal-manusia, bukan Akal-filsafat atau Akal-Jabarut.
Dan posisi Akal-manusia itu ada di tingkatan Barzakh yang paling atas, yakni
setingkat dibawab Akal-Terakhir, dan sangat jauh dari Akal-Satu.
Namun demikian, walau
apapun isyarat-isyarat hadits itu, tidak akan pernah mengurangi fadhilah
Nabi saww, karena kalaulah benar adanya tafsir ini, berarti Tuhan
ingin menjelaskan kepada kita bahwa yang pertama kali dicipta dari
"Makhluk", bukan dari "Urusan". Yakni pertama kali yang
dicipta dari "alam materi" atau yang menyangkutnya/barzakh, bukan
"alam non materi".
Dalam filsafat "alam
non materi" tidak disebut "makhluk", tetapi disebut
"Amrun" atau "Urusan" Tuhan, karena "makhluk"
artinya "Bentukan" atau "Membentuk", sementara "non
materi" berbentuk, terkhusus Akal-Akhir sampai dengan Akal-Satu.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’
kalau bisa lanjutkan
penjeasannya...
Sinar Agama :
Jadi, apapun makna dari
makhluk pertama itu, dan apapun kenyataan wujud-wujud itu, tidak dapat
mempengaruhi fadhilah Nabi saww. Karena Nabi saww bergerak
"Menjadi" dari tanah ini menuju Tuhan dan menjadi hakikat
derajat-derajat yang dicapainya sampai tidak ada lagi ciptaan melebihi dekatnya
dengan WujudNya. Dengan ini, mau ditafsir apapun hadits tersebut, dan apapun
kenyataan sesungguhnya dari keberadaan ini, tetap Nabi saww
merupakan "Yang Awal dalam Fadhilah" yang, oleh karenanya "Yang
Awal dalam Ciptaan". Karena ketika seseorang mencapai yang tertinggi dan
awal, seperti Akal-Pertama, maka ia menyatu dengannya, karena maqam-maqam dan
derajat-derajat ini bukan kesepakatan, tetapi "capaian",
"menjadi" dan "mashir", apalagi "Non Materi' yang
hukumnya adalah satu ditambah satu atau dikurangi seribu tetap satu karena
tidak terikat dengan volume. Dan karena semua itu harus dicapai dengan ikhtiar,
maka mungkin karena itulah Nabi saww mengatakan kepada Jabir ra
ketika bertanya tentang Awal Ciptaan, bahwa yang pertama kali dicipta adalah
"Nur Muhammad", yakni "Hakikat yang Dicapai Muhammad yang pada
waktu belum Diciptakannya Berupa Ilmu Tuhan alias Nur Muhammad".
Bahasa brutalnya adalah,
yang pertama kali dicipta Allah adalah "Maqam Nabi saww yang
akan dicapainya nanti" yang, dibahasakan dengan Nur. Sedangkan mengapa
Nabi saww yang jadi fokus dan bukan Akal-Satu?
Jawabannya mudah, karena
Akal-Satu memilikii maqam tersebut dengan kejadiannya, tanpa melakukan usaha
apapun. Tetapi Nabi saww mencapainya dengan usaha yang gigih dengan
modal yang sama dengan yang dimiliki orang lain. Oleh karenanya jawaban
Nabi saww terhadap pertanyaan Jabir as itu sudah benar, karena
mengandung pendidikan dan merangsang orang untuk mencintai dan meniru
Nabi saww. Silahkan kalau masih ada yang mau ditanya, tetapi
usahakanlah untuk memahami sekalipun tidak menerimanya
Anggelia Sulqani
Zahra :
Ustad’ lalu apa perbedaan
Irfan teoritis dan Irfan praktis....?
Sinar Agama :
Irfan Tiori dengan Praktis
adalah sama, yakni sama-sama Teori.
Yang pertama "Tiori
Membuktikan Wahdatulwujud", dan
yang ke dua "Tiori
Bimbingan Mencapai Wahdatulwujud"
Orang yang mengerti seluk
beluk, sekali lagi, seluk beluk "Tiori Pembuktian Wahdatulwujud" ini,
bisa dikatakan sebagai "Arif dalam Ilmu". Dan orang yang
memeraktikkan "Irfan Tiori" bisa disebut "Pesuluk". Dan
orang bisa melakukan ini hanyalah orang-orang yang sudah bersih dari dosa, makruh,
semua yang halal dan semua keutamaan-keutamaan seperti karomat, kasyaf dan
surga. Yakni bersih dari dosa dan makruh harus bersih hati dan badannya, dan
dari halal dan keutamaan-keutamaan itu harus bersih hatinya, yakni dari rasa
suka.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ maaf...Kalau Bisa
Saya Dijelaskan Tentag : diktum yang berbunyi “al-majâz qantar al-haqiqah”
Sinar Agama :
Qantar atau qanthar?
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ Qantar atau
qanthar? yang mana yang tepat...? silahkan...
Sinar Agama :
Saya rasa Qanthar?
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ iya,, mohon
penjelasannya...
Sinar Agama :
Di tempatku signal seting
nggak bagus. Yang benar adalah Qantharatun yang bisa dibaca qantaharh yang
berarti jembatan.
Jadi, artinya Majazi
adalah Jempatan Hakikat Sepertinya banyak juga masalah di dalamnya. Karena
sepertinya banyak juga yang salah mengartikan dan menggunakannya. Ada juga
bagian-bagiannya.
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ bisa saya di
jelaskan : Sepertinya banyak juga maslah di dalamnya. Karena sepertinya banyak
juga yang salah mengartikan dan menggunakannya. Ada juga bagian-bagiannya.
Sinar Agama :
Asal kata Majazi adalah
sesuatu yang bukan hakikatnya. Seperti kata "Singa" yang dipakai
untuk orang berani manakala kita berkata "Saya bertemu Singa sedang
belanja di pasar". Di sini kata "Singa" tidak dimaksudkan
hakikinya yang berarti binatang buas dan ganas, tetapi Majazinya yaitu
"orang pemberani". Dengan penjelasan ini dapat dimengerti pula makna
"Hakiki"nya, yakni suatu makna yang diambil dari asal
"kata" itu sendiri yang diletakkan atau disepakati pertama kalinya
secara asal. Ini asal muasal Hakiki dan Majazi.
Nah, dari sini baru meluas
ke-mana-mana seperti ilmu-ilmu irfan atau ke-Tuhanan dalam tingkat tinggi ini.
Yakni ketika semua sudah ketahuan bahwa selain Tuhan tidak ada, berarti yang
kita lihat ini adalah "Majazi", karena Ada itu milikNya, tetapi kita
nisbahkan kepada selainNya. Dengan demikian penisbahan wujud kepada selainNya
adalah Majazi dan kepadaNya adalah Hakiki.
Dalam hal ini masih benar,
kalau ada orang berkata bahwa "SelainNya adalah Jembatan MenujuNya",
yakni kalau diartikan bahwa "SelainNya adalah WajahNya yang untuk
mengenali atau menyadari keberadaanNya". Atau juga dipakai dalam ilmu
selain keTuhanan. Dikatakan bahwa "Ilmu-ilmu selainNya, seperti matematika
...dst, juga wajib dipelajari karena mempelajari selainNya berarti
mempelajariNya karena selainNya pada hakikatnya tidak ada yang, oleh karenanya
mempelajari selainNya akan menjadi jembatan mengenaliNya". Kata-kata dalam
dua katagori di atas masih bisa dibenarkan.
Akan tetapi, sepertinya,
ada kelompok yang tidak memahami artinya atau sengaja menyelewengkannya untuk
menutupi auratnya sendiri. Yakni yang mengatakan bahwa "Untuk mencapaiNya
perlu menggunkan selainNya, yaitu dengan mencintai dan melezati selainNya
supaya dapat mencintai dan melezatiNya".
Jadi, bisa dikatakan bahwa
yang golongan pertama dan ke dua, yakni menjadikan selainNya atau ilmu
selainNya sebagai jembatan menujuNya adalah benar dan irfan serta sufi yang
hakiki. Tetapi yang ke tiga, bisa ditakan sufi yang nyasar yang, bisa dijuluki
dengan mutashawwifah, alias sok sufi. Allah A'lam. Kalau Mulla Shadrah ada
pertanyaan lagi?
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’ pada saat saya
membaca buku-buku ahlak dan irfan Saya menjumpai beberapa istilah teknis
seperti “syariat”, “tarikat”, “hakikat” . bisa jelaskan ke tiga hal tersebut
dan hubugan ke tiganya..?
Sinar Agama :
Bismillah.
Nabi saww dalam hadits Mustadraku Wasailu al-Syi'ah, juz: 11, hal:
173, hadits ke 12672, bersabda +/-: "Syariat itu adalah kata-kataku,
Thariqat itu adalah perbuatanku, Haqiqat adalah keadaanku, Ma'rifat itu adalah
modalku, Akal adalah dasar agamaku, Cinta adalah dasarku, Kerinduan adalah
tumpanganku, Takut adalah temanku, Ilmu adalah senjataku, Lembut adalah
sahabatku, Tawakkal adalah bekalku, Qan'ah adalah harta karunku, Jujur adalah
rumahku, Yakin adalah tempat berlindungku, Kemiskinan adalah kebanggaanku dan
dengannya aku melebih banggakan dari segenap Nabi- Nabi dan
rasul-rasul.
Dalam tiga potong pertama
hadits di atas, Anda dapati apa yang Anda tanyakan itu: Syari'at, Thariqat dan
Hakikat. Pada tingkatan pertama adalah Syari'at yang, dita'birkan oleh beliau
saww sebagai Kata-katanya.
Kita bisa memahminya
sebagai ajarannya. Ajaran disini bisa mencakupi kata-kata dan perbuatan yang
berposisi sama dengan kata-kata, yakni yang bersifat ajaran. Misalnya shalat
beliau yang memiliki posisi sama dengan kata-kata beliau yang terucap dengan
"Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat". Di sini tentu
Nabi saww, tidak memaksudkan kekhusukan beliau, karena jelas
kita-kita tidak akan mencapainya. Tetapi yang dimaksudkannya adalah hukum-hukum
lahiriahnya. Dengan demikian maka Syari'at adalah ajaran dan hukum-hukum yang
telah diajarkan Nabi saww, baik melalui perkataan atau melalui
contoh-contoh perbuatan yang berposisi sebagai kata-kata.
Sedangkan Thariqat/jalan
adalah peringkat setelahnya yang, memiliki makna perbuatan Nabi
saww. Di sini yang dimaksud perbuatan, bukanlah perbuatan yang berposisi
sebagai kata-kata alias pengajaran. Tetapi perbuatan yang memiliki kekhususan
beliau.
Oh....betapa...
amal-amalan beliau dapat menyejukkan gelora api neraka sekalipun, apalagi
sekedar kekurangan-kekurangan akhlak lingkunganya. Tentu bagi yang mau
mengambil ibrah dan barakah. Tidak seperti wahhabi yang lontang lantung dengan
sama sekali tidak peduli terhadap lingkungan dan udara yang dihimbuskan
amal-amal Nabi saww, lalu berteriak sana-sini seakan merekalah
Nabi-Nabi itu.
Dengan uraian di atas,
dapat dipahami bahwa tingkatan ke dua adalah amal-amal Nabi saww
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, bukan sebagai penjelas hukum sebagaimana
peringkat pertama. sedangkan peringkat ke tiga adalah keadaan Nabi saww atau
Capaian dan Hal beliau.
O...h... yang
Nabiyallah, percikkanlah setetes saja, atau sepersejuta tetes saja
dari sejuta butiran air matamu, demi redakan kehinaanku yang bergejolak ini,
yang membakari segala kebaikan sampai ke akar-akarnya. Kehinaan yang berawal
dari kehinaan ilmu yang, dalam pada itu juga masih melahirkan keyakinan dan
kebanggaan serta percaya diri.
Oh ...ya
Nabiyyallah, andai aku jadi pasir-pasir yang diatasnya engkau
menginjakkan kaki, maka sudah cukuplah untukku, untuk kuyakini sebagai
kebaikanku, dari pada kehinaanku sekarang ini, sekarang ini.
Ya
Nabiyyallah, kuhingarkan dan kubingarkan kesyi'ahanku, seakan aku
sudah ada di dalam barisanmu dan barisan Ahlulbaitmu dari keduabelas imam
maksummu.
Kegenderangkan beduk
wahdatulwujudmu seakan aku sudah tenggelam di dalamnya, padahal aku masih
menyukai butir-butir nasi yang kumakan setiap hari, terlebih lauknya. Afwan
kalau jawabanku ini bercampur keluhan hati, afwan.
Dengan penjelasan di atas,
dapat dipahami bahwa Keadaan atau Hal Nabi saww adalah capaiannya.
Artinya capaian-capaian yang telah diperoleh Nabi saww dengan semua
apa-apa yang telah dilakukannya dengan hukum yang benar dan prasyarat-prasyarat
lahir batin yang benar pula, serta berada pada tahap paling tingginya
syarat-syarat dan kondisi.
Semua itu adalah syarahan
pendek tentang makna dan arti dari masing-masing tingkatan. Sedang hubungannya,
sebenarnya, sangat jelas. Yaitu bahwa tingkatan awal/pertama dan/sebelumnya,
adalah tingkatan dasar dan pondasis bagi tingkatan-tingkatan setelahnya.
Artinya... orang yang
belum mengamalkan syariat dengan benar, maka dia tidak akan pernah menyentuh
tingkat ke dua, bagitu seterusnya. Karena darimana dan dengan dasar apa dia
akan melakukan hal itu yang, katakanlah salah satu dari sejuta keadaan itu
seperti khusyu'. Apa yang akan dia khusyu-i kalau tidak tahu dengan benar
hukum-hukum dari amalan-amalan yang akan dilakukannya.
Dengan demikian, maka
syariat akan menjadi batu dasar bagi pijakan pesuluk. Mungkin ada orang
bertanya, bahwa kalau sudah sampai di tingkat thariqat apa masih diperlukan
syariat?
Pertanyaan ini sebenarnya
muncul dari ketidak pahaman hubungan antara sebab-akibat. Pertanyaan ini persis
seperti, menanyakan pondasi bangunan gedung bertingkat, bahwa setelah bangunan
itu berdiri, apakah masih memerlukan pondasi?
Dengan pendekatan ini maka
jelas dapat dipahami bahwa pondasi dan/atau tingkatan sebelumnya akan selalu
diperlukan pada tingkatan ke dua atau tingkatan-tingkatan berikutnya.
Dengan penjelasan di atas,
dapat dipahami bahwa syariat adalah dasar selamanya bagi thariqat dan hakikat,
begitu pula thariqat bagi hakikat. Oleh karena itu seorang yang ingin menjadi
pesuluk, maka harus belajar fikih dengan benar, baik taklid atau ijtihad, dan
selamanya perbuatannya harus diatas dasarkan pada hukum-hukum yang telah
dipelajarinya itu. Dan jangan sesekali mengira bahwa tanpa fikih atau tanpa
kesinambungannya, akan bisa mencapai thariqat atau langgeng di dalamanya.
Karena kalau belum sampai, tanpa fikih yang benar, tidak akan pernah sampai,
dan kalau sudah sampai dengan fikih yang benar tapi tidak dipertahankannya maka
amalan-amalannya akan batal seketika dan akan runtuh serta jatuh ke peringkat
sebelumnya secara seketika pula, karena fikih adalah sebabnya.
Tuhan dalam membuat
hukum-hukum itu tidak lah sia-sia dan permainan. Oleh karenanya semakin
seseorang itu meningkat dalam suluknya, maka dia semakin taat dan bagus dalam
berfikihnya.
Oleh karena itulah
sampai-sampai kaki Nabi saww bengkak karena kebanyakan shalat.
Bagaimana mungkin, tanpa ketaatan hukum seseorang bisa mencapai peringkat
setelahnya, atau bagaimana mungkin tanpa ketetapan hukum seseorang bisa tetap
berada di tingkat setelahnya?
Maksiat yang dapat
menghancurkan manusia di peringkat syariat, dia juga menghancurkan siapa saja
yang berada di tingkat setelahnya. Begitu pula tanpa mengerti hukum yang benar
yang dapat mengganjal manusia melesat ke peringkat setelahnya, begitu pula
dapat menurunkannya dari peringkat yang lebih tinggi itu kalau tidak
dilanggengkan kedisiplinan hukumnya.
Apa yang akan dikhusyu-i,
dan apa dan bagaimana khusyu' itu, perlu kepada pengertian hukum. Begitu pula
tentang kelanggengan dan keistiqomahannya. Begitu pula hal-hal lain selain
kekhusyukan, seperti jujur, ikhlash, murah hati, memaafkan, thaharah, suci
badan dan hati .dan seterusnya.
Dengan semua penjelasan di
atas dapat dipahami, bahwa kalau seseorang ingin melakukan suluk maka harus
belajar fikih dengan benar dan mengamalkannya. Setelah itu atau dalam pada itu
ia harus belajar dimensi batin dari hukum-hukum itu dengan benar pula, supaya
bisa tahu dan mengejarnya, seperti ikhlash, khusyu',tawadhu'....dst dimana
hal-hal ini merupakan usaha mengetahui dan mencontoh perbuatan Nabi
saww yang disebut dengan Thariqat.
Kalau kedua hal itu dilakukan
maka ia akan menyentuh apa-apa yang disebut Hal atau Keadaan. Tentu saja semua
itu harus dilakukan dengan ikhlas, yakni bukan untuk mencapai apapun kecuali
Allah. Sering orang ketika sedikit saja dibukakan tabir, atau seperti
karomat-koramat keci/besar, dia sudah bangga dan merasa jadi musrsyid bagi yang
lainnya. Seperti seorang raja dia telah membangun perguruannya. Padahal dengan
semua itu dia berarti tergolong ke dalam penyinta dunia, sekalipun dunia di
sini adalah batin, yakni semacam karomat-karomat atau kasyaf-kasyaf itu.
Karena semua itu masih
disenanginya di dunia ini. Pesuluk hakiki, sekalipun mampu melakukan yang tidak
lumrah,tanpa perintah Tuhan dengan ilhamnya, maka mereka tidak akan pernah
melakukannya. Karena mereka selalu dalam latihan untuk tidak melihat diri,
alias melatih diri untuk fana dan selalu dalam fana. Bagaiamana mungkin
seseorang akan mencapai fana, ketika bisa sedikit saja melakukan keajaiban, dia
sudah bertengger di situ?
Anggelia Sulqani Zahra :
Ustad’maaf.......jika saya
bertanya lagi.....insya allah saya akan meluangkan waktu untuk melakukan
renungan atas jawaban-jawaban ustad..semoga allah memberikan hidayahnya aga
saya dapat masuk dalam hikmahnya....
jika boleh saya bertanya
lagi...:
Apa yang menjadi latar
belakang penolakan kaum teolog atas doktrin wahdat al-wujud?
Sinar Agama :
salam, kirain sudah tidur,
apa masih bangun skr? bisa jwb?
Anggelia Sulqani Zahra : okey...dilanjut....
Sinar Agama :
Bismillah. Saya tanya
karena kukira sudah tidur. Tetapi kalau sudah tidur atau mau tidur, maka jangan
tunggu jawabanku,.
biar kujawab terus dan
baca besok. Saya tadi tanya hanya agak heran karena belum tidur dan ingin
menyapa saja.
Oh iya, jawabannya
pendek-pendek karena lagi ganguan signal.
Kamu tidak usah menjawab
apa-apa, kalau tidak tidur,
Ada tahapan ilmu dalam
mencari hakikat ke-Tuhanan, Teologi/Kalam, Filsafat dan Irfan/Gnosis.
Teologi adalah cara
memahami hakikat, termasuk Tuhan, melalui naql, atau Qur an dan Hadits.
Teolog bisa dikatagorikan
pada yang ekstrim, sedang dan ilmiah.yang ekstrim, mengingkari semua ilmu lain.
Mereka menolak semua cara
selain Qur an-hadits. Mereka juga menolak cara lain dari yang lahiriah dalam
memahami keduanya.
Mereka mengira bahwa yang
mereka pahami tentang keduanya adalah benar-benar keduanya. Mereka ini biasanya
gampang sekali menyalahkan dan menyesatkan orang lain, dan, mungkin juga
menkafirkannya.
Sebagian orang-orang sunni
salafi, adalah bagian dari golongan ini, termasuk wahhabi yang munculnya
beberapa ratus tahun yang lalu.
Sedangkan golongan sedang
berani menggunakan akal dalam memahami keduanya, tetapi keakalannya hanya
sebatas yang umum-umum diantara manusia-manusia berakal yang, biasa disebut
dengan akal-'urf.
Sedangkan yang ilmiah,
mereka berani menggunakan kaidah logika dan filsafat untuk memahami keduanya.
Namun demikian,
penggunaannya hanya di tempat-tempat yang mereka merasa harus memakainya, tidak
di semua tempat.
Oleh karenanya, di
tempat-tempat yang merasa bahwa cukup dengan menggunakan akal-umum, mereka
hanya menggunakan akal-umum dan tidak merasa perlu menggunakan logika-filsafat.
Dengan penjelasan di atas
dapat diketahui bahwa ciri Kalam adalah berdasar kepada Qur an dan Hadits dalam
memahami hakikat.
Sementara filsafat adalah
metologi memahami hakikat dengan kaidah-kaidah akal-gamblang. Sebenarnya bisa
dikatakan sebagai pengemabangan logika. Karena logika cara menyusun pikiran,
dan filsafat adalah memahami hakikat dengan pikiran yang tersusun. Ringkasnya,
filsafat adalah ilmu akal yang tujuannya memahami hakikat wujud.
Kalau orang Kalam, merasa
harus selalu menjaga lahiriah Qur an dan hadits, hingga kalaulah menggunakan
akal, maka sebatas yang diperlukan. Tetapi kalau filosof sebaliknya. Yang jadi
pedoman adalah kaidah-gamblangnya.
Yakni kaidah akal yang
gamblang alias berbobot ilmu-mudah. Seperti kita ada, alam ada, kita dan alam
sama-sama terbatas dst.
Mereka yakin, bahwa tidak
mungkin Qur’an dan hadits bertentangan dengan akal-mudah ini. Karena keduanya
diturunkan untuk dipahami manusia dan akal kita ini dicipta Allah sebagai alat
untuk memahami keduanya.
Oleh karenanya para
filosof menjadikan akal dasar dari pencariannya, dan kalau menjumpai Qur
an-hadits bertentangan dengan akal, maka mereka tidak ragu menakwilnya. tidak
seperti para Teolog.
Sedang irfan, dulu, adalah
cara untuk memahami hakikat dengan membersihkan hati dari cinta dunia.
Tetapi sejak Mulla Shadra,
temuan-temuannya sudah bisa dibukatikan dengan filsafat. Tentu saja beda rasa
antara temuan keduanya.
Artinya temua irfan lebih
afdhal karena dengan pencapaian,sementara dengan filsafat hanya pahaman.
Nah, setelah kita tahu
semua itu, perlu diketahui,bahwa wahdatulwujud ini hanya temuan irfan/sufi
hakiki.
Sementara filsafat tidak
dapat menjangkaunya, kecuali filsafat Mulla Shadra yang dikenal dengan Hikmah
Muta'aliyah.
Itupun hanya beberapa
baris dari kitabnya yang 9 jilid itu. Jadi, tidak heran kalau ada pengajar
filsafat Mulla Shadra tetapi anti pada wahdatulwujud irfan.
Jadi, jangan dikira bahwa
filsafat Mulla Shadra berisi wahdatulwujud irfan. Dia penuh dengan filsafat dan
paling tingginya hanya wahdatulwujud filsafat.
Maksud dengan penuh dengan
filsafat yakni penuh dengan bahasan seperti sebab-akibat, esensi, subisatansi
dan aksiden, gerak....dst.
Maksudnya, penuh dengan
pembuktian dan pembahasan mereka alias tentang semua wujud yang, di dalamnya
termasuk wujud Tuhan.
Jadi, filsafat, sekalipun
filsafat Mulla Shadra, secara umum, mengakui dan membuktikan semua keberadan
selainNya.
Oleh karenanya, secara
umum, filsafat tidak dapat menerima kenyataan wahdatulwujud irfani ini.
Sekarang baru sampai
kepada jawaban pertanyaan Anda: Bahwa kalau filsafat saja nasibnya seperti itu,
maka Kalam dan Teologi sudah tentu lebih parah darinya. Oleh karenanya, secara
umum, para Teolog menolak konsep wahdatulwujud ini.
Oleh karenanya, Teologi
tidak memiliki pendekat untuk menerima konsep wahdatulwujud ini dan
menganggapnya..
sebagai konsep sesat yang
bertentangan dengan akal dan Qur an-hadits.
Sekian....
Terima kasih
Al-Fatihah- sholawat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar