Total Tayangan Halaman

Senin, 26 Desember 2011

Proses Munculnya Insan Kamil

 Proses Munculnya Insan Kamil

Al-Jili membawa teori tajalli dan taraqqi dalam proses munculnya insan kamil. Menurut Al-Jili, tajalli Ilahi yang berlangsung secara terus-menerus pada alam semesta terdiri atas lima martabat, di antaranya adalah:

Pertama,Uluhiyah, tahap ini adalah tingkat tertinggi dalam proses tajjali Tuhan, dimana uluhiyah merupakan esensi (quidity) zat primordial dan merupakan wujud primer yang menjadi sumber segala yang ada dan tidak ada. Nama yang digunakan dalam peringkat ini adalah “Allah”, karena dalam pandangan al-Jilli sendiri, sebutan “Allah” merupakan nama tertinggi bagi Tuhan di atas nama-Nya al-Ahad, yang digunakan oleh Ibn ‘Arabi sebagai tingkat tajjali tertinggi Tuhan (Ahadiyah).

Kedua, Ahadiyah, tahap ini muncul dari tahap sebelumnya (uluhiyah), dimana tingkatan ini merupakan sebutan dari zat murni (al-dzat al-sadzi) yang tidak memiliki nama dan sifat, dan tahap ini tidak bisa dicapai oleh pengetahuan manusia karena tidak ada kalimat dan kata-kata yang dapat menggambarkan-Nya. Dan dalam tahap ini menurut al-Jilli mengalami tiga penurunan (tanazzul):

Ahadiyah, Zat Mutlak menyadari ke-Esa-an diriNya
Huwiyah, kesadaran Zat Mutlak terhadap ke-Esa-an-Nya yang gaib
Aniyah, Zat Mutlak menyadari diri-Nya sebagai Kebenaran

Ketiga, Wahidiyah, dimana pada tahap ini zat Tuhan menampakan diri-Nya pada sifat dan asma (nama), tetapi sifat dan asma itu sendiri masih identik dengan zat Tuhan karena zat ini pun masih berupa potensi-potensi dan belum mampu mengaktual secara keseluruhan. Keempat, Rahmaniyah, pada tahap ini Tuhan ber-tajjali pada realitas asma dan sifat, dan dengan kalimat “kun” (jadilah), muncullah realitas-realitas potensial yang terdapat dalam tahap wahidiyah tadi menjadi wujud yang aktual, yakni alam semesta. Tetapi aktualitas ini masih bersifat universal, karena bersamaan dengan proses penciptaan alam secara keseluruhan. Kelima, Rububiyah, dalam tahap ini Tuhan ber-tajjali pada alam semesta yang sudah mengalami partikularisasi (terbagi-bagi) dan sudah beragam, khususnya pada diri manusia (sebagai makhluk yang terbatas) untuk memanifestasikan diri-Nya yang tidak terbatas itu dengan menunjukan citra-Nya dalam diri manusia, dan citra Tuhan yang paling utuh bisa kita temukan dalam diri seorang Insan Kamil. Adapun tajjali ini akan mengalami pantulan yang akan berbalik arah kearah semula (dari zat sampai perbuatan, kemudian berbalik dan memantul dari perbuatan menuju zat); pertama tajjali perbuatan (tajjali al-af’al), kedua tajjali nama-nama (tajjali al-asma), ketiga tajjali sifat-sifat (tajjali al-shifat), keempat tajjali zat (tajjali al-dzat).

Kemudian al-Jilli sendiri dengan kejeniusannya membagi taraqqi kepada tujuh tingkatan menuju Insan Kamil:

1. Al-Islam, dimana pada tingkat ini seseorang harus memiliki identitas keislaman yang mana identitas itu termaktub dalam rukun Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu

2. Al-Iman, pada tingkat ini seseorang harus memiliki keyakinan yang teguh kepada Allah s.w.t., Malaikat-Malaikat Allah, Kitab-Kitab Allah, Rasul Alllah, Hari Akhir, dan Qadar

3. Al-Shaleh, pada tahap ini seseorang melaksanakan ibadah kepada Allah harus didasari oleh rasa takut (khawf) dan harap (raja’)

4. Al-Ikhsan, dalam tahap ini seseorang harus menempuh tujuh maqam, yaitu: tobat, inabah (tobat dari kelalaian mengingat Tuhan), zuhud, tawakal, rela, tafwidl dalam segala hal, dan ikhlas

5. Al-Syahadah, pada tahap ini seseorang akan menyaksikan keindahan dan keagungan Tuhan yang sesungguhnnya

6. Al-Shiddiqiyah, pada tahap ini bisa disebut juga tahap makrifat karena seseorang pada tahap ini akan mendapatkan cahaya kebenaran secara berangsur dari asma-Nya hingga zat-Nya, yaitu:

a. ‘ilm al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh asma Tuhan
b. ‘ayn al-yaqin, pada tingkat ini seorang sufi disinari oleh sifat Tuhan
c. haqq al-yaqin,pada tingakat ini seorang sufi disinari oleh zat Tuhan

7. Al-Qurbah, pada tahap ini seseorang akan mendapatkan kedudukan di sisi Tuhan paling terdekat dengan-Nya, dan ada empat pendekatan kepada Allah, yaitu:

a. al-Khullah, adalah sebuah persahabatan dengan Tuhan, sehingga Tuhan dikenal secara intim. Dengan demikian sufi senantiasa berbuat sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya

b. al-Hubb, adalah sebuah percintaan antara sufi dan Tuhannya, sehingga yang satu merasakan apa yang dirasakan oleh yang lainnya

c. al-Khiram, adalah sebuah pencitraan Tuhan secara utuh terhadap seorang sufi, tetapi kesempurnaan Tuhan tidak tercapai oleh sufi secara keseluruhan, karena kesempurnaan-Nya tidak terbatas

d. al-Ubudiyah, adalah sebuah penghambaan seorang sufi terhadap Tuhannya, karena bagaimana pun ia tidak akan dapat menjadi Tuhan.

E. Kedudukan Insan Kamil

Seperti Ibn ’Arabi juga, Al-Jili memandang insan kamil berkedudukan sebagai khalifah Tuhan di bumi. Hal itu ada karena pada diri insan kamil terdapat kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan-kemampuan manusia kebanyakan, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan. Kelebihan itu, tidak lain adalah karena pada diri insan kamil terealisasi segenap asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Sebagai contoh, Al-Jili menunjuk nabi Daud a.s. ia mempunyai moral dan pengetahuan yang tinggi, melebihi manusia lain. Apalagi pada diirnya termanifestasi sifat-sifat afal (sifat-sifat aktif) Tuhan melebihi sifat-sifat-Nya yang lain. Hal demikian adalah karena kitab zabur merupakan tajalli dari sifat-sifat afal.

Kesimpulan
Seorang manusia yang menyandang Insan kamil sebagaimana yang dikemukakan Ibn ‘Arabi adalah merupakan manusia yang telah mencapai perkembangan spiritual tingkat tinggi dan secara sempurna mencerminkan citra Tuhan. Dan secara etimologi kata ‘Insan Kamil’ berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kalimat; al-insan dan al-kamil. Kata insan, dipandang berasal dari turunan beberapa kata. Misalnya saja uns, yang artinya cinta. Dan ada yang memandang berasal dari turunan kata nas, yang artinya pelupa, karena manusia sendiri secara historis berasal dari suatu lupa dan akan berakhir dengan lupa. Ada juga yang berpendapat bahwa itu berasal dari ‘ain san, yang artinya ‘seperti mata’. Namun dalam artian umum biasanya berarti manusia. Kata kedua, kamil, yang artinya adalah ‘sempurna’, yang menurut Murtadla Muthahhari kata ini sangat tepat sekali digunakan oleh al-Jilli, karena selain kata ini ada juga kata yang mirip artinya tetapi sangat berbeda maknanya, yaitu tamam (lengkap).

Kekuatan kata kamil (sempurna), menurutnya, melebihi kata tamam (lengkap). Karena kamil menunjukan sesuatu yang mungkin saja lengkap, namun masih ada kelengkapan lain yang lebih tinggi satu atau beberapa tingkat, dan itu lah yang disebut kamil (sempurna). Menurut al-Jilli, Lawh al-Mahfuzh yang dipandang sebagai ketentuan-ketentuan dan catatan-catatan ilmu Tuhan tentang makhluk-Nya identik dengan al-Nafs al-Kulliyah (jiwa universal) atau dalam bahasa Hallaj adalah ‘nur muhammad’ yang secara paripurna dapat ber-tajjali pada Insan Kamil, dan manjadi perantara antara Tuhan dan makhluk, karena ia (Insan Kamil) adalah khalifah yang diutus untuk menjaga dan melestarikan alam semesta. Dan ‘hakikat muhammadiyah’ ini dalam pandangan al-Jilli sendiri adalah sebagai makhluk dan bersifat baharu. Tidak seperti pandangan Ibn ‘Arabi yang menganggapnya qadim dan baharu, dan Al-Halaj menganggapnya qadim saja.
Hakikat Muhammad sebagai makhluk pertama yang diciptakan Tuhan di dalam ilmu-Nya, itu seperti cahaya Tuhan yang menerangi-Nya dari ketiadaan (nihilo).

Namun ketiadaan Tuhan disini bukan berarti tidak ada sama sekali, tetapi tidak ada karena kesucian-Nya yang terbebas dari segala ada selain Diri-Nya, segala persepsi dan keterbatasan ilmu pengetahuan manusia tentang Tuhan. Karena cahaya yang diciptakanNya pertama kali belum mampu memberikan gambaran tentang Diri-Nya. Kemudian dengan kekuasaan-Nya Ia ciptakan makhluk dari yang berupa non-materi hingga yang materi untuk menjadi saksi kewujudan-Nya, tetapi dari semua makhluk yang ia ciptakan hanya manusia lah yang memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang Diri-Nya sehingga manusia pun diberi amanat sebagai khlaifah untuk itu.

Dan dalam diri manusia lah terdapat ‘cermin’ yang mampu memantulkan citra Tuhan, dengan bantuan cahaya (Hakikat Muhammadiyah) yang Tuhan ciptakan pertama kali. Dan setiap manusia memiliki potensi untuk mendapatkan “hakikat muhammadiyah” atau “nur muhammad” dari Tuhan, tetapi manusia yang mampu mengaktualisasikan hakikat muhammadiyah itu sangat terbatas, dan manusia yang mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan itu lah yang disebut dengan Insan Kamil. Aktualisasi “nur muhammad” dalam pandangan al-Jilli dan Ibn ‘Arabi tidak dilihat secara ontologis saja tetapi juga secara epistemologis dan itu bisa dicapai dengan dua jalan, jalan pertama disebut tajjali dan jalan kedua disebut taraqqi. Dan tajjali adalah berkat ke-Rahman-Nya yang ia berikan kepada manusia yang ia kehendaki, sedangkan taraqqi adalah usaha dan ikhtiar manusia itu sendiri untuk mendapatkan status Insan Kamil.
الرجل المثالي.





1 komentar: