Ia dikenal sebagai
mistikus yang misterius tapi kaya ilmu. Beberapa karyanya dikabarkan sempat
hilang
Dalam alam pemikiran Islam dikenal apa yang disebut “Insan
Kamil”, alias manusia yang sempurna. Insan Kamil
merupakan derajat spritual yang paling tinggi, yang menjadi dambaan setiap
muslim. Bisa mencapai derajat sebagai Insan Kamil sangat berarti bagai seorang
yang beriman, karena mereka benar-benar dapat merasakan makna sebagai manusia
yang sesungguhnya.
Derajat sebagai Insan Kamil hanya dikenal dalam dunia tasawuf. Banyak cara
atau metode untuk mencapai derajat tersebut yang dirumuskan oleh para sufi
masyhur. Diantaranya, Al-Jilli, dalam kitabnya, Al-Insanul Kamil fi Makrifat al-Awakhir wa
Awa’il. Ia menulis pendapatnya tentang Insan Kamil dengan cukup Mendetail –
sehingga sering dikutip banyak penulis hingga kini.
Nama lengkapnya Abdul Karim ibnu Ibrahim ibnu Khalifah
ibnu Ahmad ibnu Mahmud al-Jilli. Kapan ia lahir dan
wafat, dimana ia lahir dan wafat, para sejarawan dan pengamat sufi berbeda
pendapat. Al-Jilli memang sufi yang misterius, karena riwayat hidupnya juga
sangat sulit dilacak. Menurut pengamat sufi Ignaz Goldziher, Al-Jilli lahir di
sebuah desa dekat Bagdad yang bernama Al-Jil – yang kemudian dinisbatkan di
belakang namanya.
Tetapi hal itu kemudian dibantah oleh Nicholson, pengamat sufi yang lain,
dalam sebuah bukunya ia menulis, Al-Jilli bisa diartikan sebagai pertalian nasab, keturunan.
Jil atau Jilan menunjukkan bahwa Al-Jilli keturunan orang Jilan, sebuah
daerah di wilayah Bagdad. Argumentasi ini sejalan dengan beberapa buku mengenai
karya Al-Jilli yang menyebutkan bahwa ia masih keturunan Syekh Abdul Qadir Al
Jilani, pendiri tarekat Qadiriyah.
Menurut Al-Jilli, garis nasabnya tersambung dari cucu perempuan Syekh Abdul Qadir Jailani. Tapi beberapa ulama dan
pengamat sufi sepakat, Al-Jilli lahir pada bulan Muharram tahun 767 H di
Baghdad, Irak. Namun mengenai wafatnya para ulama dan pengamat sufi – seperti
At-Taftazani, AJ. Arberry maupun Umar Ridha Kahhalah – tidak sepakat.
Ibnu Arabi
Al-Jilli kecil dididik dengan penuh disiplin oleh ayahandanya. Menginjak
masa remaja – ketika Bagdad dikuasai pasukan Mongol – ia dan keluarganya hijrah
ke Zabid di Yaman. Disinilah ia belajar agama secara intensif, antara lain ia
berguru kepada Syekh Syarafuddin Ismail ibnu Ibrahim Al-Jabarti (W. 806 H).
belakangan ia juga belajar kepada seorang sufi besar di Hindukusy, India, pada
709 H, tapi tidak ada catatan berapa lama ia tinggal di India.
Ia hanya menceritakan beberapa pengalamannya, antara lain ketika berkenalan
dengan tokoh-tokoh tarekat, terutama tarekat Naqsyabandiyah, Khistiyah, dan
Syuhrawardiyah. Ia juga menceritakan persahabatannya dengan teman
seperguruannya. Syihabuddin Ahmad Raddad (w. 821 H). perjalanannya ke Parsi (kini
Iran) untuk bertemu dengan beberapa guru
sufi di sana.
Pada akhir 799 H, ia menunaikan ibadah haji. Ketika itulah sempat
berdiskusi dengan beberapa ulama. 4 tahun kemudian, tahun 803 H, ia berkunjung
ke Kairo, sempat mampir Universitas Al-Azhar dan bertemu dengan beberapa ulama.
Ia sempat juga berkunjung ke Gaza di Palestina dan bermukim disana selama dua
tahun, tapi tak lama kemudian ia kembali ke Zabid, karena ingin mendalami
pengetahuannya dengan berguru lagi kepada guru lamanya, Al-Jabarti. Di kota
inilah ia wafat pada tahun 805 H / 1402 M.
Seperti halnya para sufi besar lainnya, ia juga menulis
kitab tasawuf. Karya-karyanya tergolong berat, salah satunya adalah
“Al-Insanul Kamil fi Makrifat Al-Awakhir wa Awail – yang telah disebut
dimuka, sebuah kitab yang dianggap mendapat pengaruh pemikiran Ibnu Arabi.
Kitab Lainnya, Arbaun Mautian, yang memuat perjalanan
mistisnya, masih tersimpan di Perpustakaan Dar el-Misriyah, Kairo, Mesir.
Kitab lainnya, Bahr al-Hudus wa al-Qidam wal Maujud wa al-Adam, naskahnya tidak ditemukan, tapi disebutkan dalam kitab Maratib al-Wujud.
Sementara kitab Akidah al-Akabir al-Muqtabasah min Ahzab wa Shalawat membahasa
akidah para sufi. Kitab ini tersipan di perpustakaan Tripoli, Libya.
Tapi karya Master Piece nya tetap Al-Insanul Kamil, yang diterbitkan
beberapa kali dan tersebar keseluruh dunia. Beberapa penerbit kesohor dengan
bangga menerbitkannya, seperti Muktabah Shabih dan Musthafa al-Babi Al- Halabi,
Kairo dan El-Fiqr, Bairut. Kitab yang terdiri dari dua jilid ini memuat 63 bab,
41 bab di jilid pertama, 22 bab di jilid kedua.
Saking menariknya, kitab yang menggelar gagasan Al-Jilli tentang Insan Kamil ini diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa. Titus Burkehardt, misalnya menerjemahkan ke dalam bahasa Prancis dengan
judul De I’Home Universal, yang kemudian disalin lagi oleh Angela
Culme Seymour dalam bahasa Inggris dengan judul Universal Man.
Akhlak Ideal
Syarah atau komentar tentang kitab ini ditulis oleh beberapa ulama dalam
beberapa kitab. Diantaranya Mudhihat al-Hal fi Sa’d Masmu’at al-Dajjal, susunan Syekh Ahmad
Muhammad ibnu Madani (w. 1071 H/1660 M), yang mengomentari bab 50-54, yang
naskahnya tersimpan di Liberary on India Office, New Delhi. Syarah lainnya, Kayf
Al-Bayan ‘an Asrar al-Adyan fi Kitab Al-Insanul Kamil oleh Abdul Ghani An-Nablusi (w. 1159 H) dan Syekh Ali ibnu Hijazi al-
Bayumi (w. 1183 H).
Kitab karangan Al-Jilli lainnya, Al-Kahf wa ar-Raqim, memuat dua naskah. Naskah pertama Al-Kahf ar-Raqim al-Kasyif al-Asrar bi Ism
Allah al-Rahman al-Rahim,naskah kedua, berjudul Al-Kahf wa Raqim fi Syarh
Bimillah al-Rahman al-Rahim. Belakangan kitab ini dicetak ulang oleh Dar
al-Ma’arif al-Nidzamiyah, Haiderabat, India, 1917 M. kitab ini merupakan tafsir
kesufian terhadap makna Basmalah. Yang menarik ia berusaha menafsirkan surat
Al-Fatihah, kata demi kata, kalimat demi kalimat.
Karya Al-Jilli lainnya yang berkaitan dengan tasawuf, antara lain, Maratib al-Wujud wa Haqiqat al-Kulli Maujud, yang
menguraikan secara panjang lebar beberapa hal tentang peringkat “Wujud” dalam
ajaran sufi, diterbitkan oleh Maktabah Al-Jundi, Kairo. Al-Jilli juga menulis
syarah atas karya Ibnu Arabi, Ar-Risalah Al-Anwar, dalam sebuah kitab yang berjudul cukup panjang: Al-Isfar
‘an al-Risalah al-Anwar fi ma Yatajalla li Ahl al-Dzikir min Asrar li Syekh
Al-Akbar.
Ada satu naskah lagi, Al-Sifah al-Nataij al-Asfar, ditemukan oleh
Broclemann, seorang peneliti tasawuf, di Leipzig, Austria. Ada sebuah kitab
Al-Jilli lainnya yang hilang,judulnya Al-Marqum al-Sirr
al-Tauhid al-Mahjul wa Ma’lum, yang membahas rahasia
kemahaesaan Allah SWT. Keberadaan naskah ini disebut dalam kitab Al-Kamalat
al-Ilahiyah.
Ada 28 jilid dari 30 jilid
kitab yang raib hingga kini. Ke-30 jilid itu termaktub dalam kitab
AL-Daqiqah al-Haqai, dua jilid yang masih bisa ditemukan itu adalah Kitab Al-Uqtah (jilid pertama) dan kitab Al-Alif (jilid kedua). Sampai
kini naskah kedua jilid tersebut tersimpan di Dar el-Kutub al-Misriyah, Kairo.
Al-Jilli juga menulis sebuah kitab tentang Akhlak yang luhur yang
seharusnya ditempuh oleh seorang sufi, judulnya, Al-Ghunyah Arbab al-Sama fi
Kasyf al-Ghina ‘an wajh al-Itsma, yang ia tulis pada 803 H di Kairo.
Bukan hanya mngenai akhlak ideal seorang sufi, ia juga menulis kitab mengenai
pengalaman-pengalaman sufistisnya. Dalam Al-Manadzir al-Ilahiyah. Kitab ini juga
menguraikan dasar-dasar akidah yang wajib diyakini orang muslim, terutama yang
menempuh jalan tarekat.
Itulah beberapa kitab yang dikarang oleh Al-Jilli. Produktivitas dan
gagasannya masih bisa dibaca hingga sekarang. Kekayaan intelektualnya sungguh
sangat mempesona publik tasawuf di seluruh jagat. Al-Jilli meninggal tahun 805
H / 1402 M.
Sumber
Kisah Alkisah Nomor 20 / 27 Sep – 10 Okto 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar