Tajalli (Manifestasi
Al-Haq) Dan Martabat Tujuh
Kata “tajali” (Ar.: tajalli) merupakan istilah tasawuf yang berarti
”penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat
terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya
“menyatakan diri”.
Konsep tajali beranjak
dari pandangan bahwa Allah Swt dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin
melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan
demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin melihat
diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan bahwa Tuhan
berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun menampakkan Diri-Nya dalam bentuk
tajali.
Proses penampakan diri
Tuhan itu diuraikan oleh Ibn ’Arabi. Menurutnya, Zat Tuhan yang mujarrad dan
transendental itu bertajali dalam tiga martabat melalui sifat dan asma
(nama)-Nya, yang pada akhirnya muncul dalam berbagai wujud konkret-empiris.
Ketiga martabat itu adalah martabat ahadiyah, martabat wahidiyah, dan martabat
tajalli syuhudi.
Pada martabat
ahadiyah, wujud Tuhan merupakan Zat Mutlak lagi mujarrad, tidak bernama dan
tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat dipahami ataupun dikhayalkan. Pada
martabat ini Tuhan—sering diistilahkan al-Haq oleh Ibn ’Arabi—berada dalam
keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-’amâ’); tidak sesudah, tidak
sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak
mempunyai nama, tidak musammâ (dinamai). Pada martabat ini, al-Haq tidak dapat
dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat diketahui.
Martabat wahidiyah
adalah penampakan pertama (ta’ayyun awwali) atau disebut juga martabat tajali
zat pada sifat atau faydh al-aqdas (emanasi paling suci). Dalam aras ini, zat
yang mujarrad itu bermanifestasi melalui sifat dan asma-Nya. Dengan manifestasi
atau tajali ini, zat tersebut dinamakan Allah, Pengumpul dan Pengikat Sifat dan
Nama yang Mahasempurna (al-asma al-husna, Allah). Akan tetapi, sifat dan nama itu
sendiri identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa,
tetapi Ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat
alam semesta atau entitas permanen (al-’a’yan tsabitah).
Martabat tajalli
syuhudi disebut juga faidh al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani
(entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua). Pada martabat ini
Allah Swt bertajali melalu asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam
kasatmata. Dengan kata lain, melalui firman kun (jadilah), maka entitas
permanen secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta.
Dengan demikian alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang
merupakan lokus atau mazhar tajali al-Haq. Alam yang menjadi wadah manifestasi itu
sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain
laksana ’aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi)
dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada.
Begitu pula dalam tasawuf. Menurut Ibn ’Arabi, selama ada Allah, maka alam akan
tetap ada, ia hanya muncul dan tenggelam tanpa akhir.
Konsepsi tajali Ibn
’Arabi kemudian dikembangkan oleh Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri
(ulama India abad ke-16) dalam tujuh martabat tajali, yang lazim disebut
martabat tujuh. Selain dari tiga yang disebut dalam konsepsi versi Ibn ’Arabi,
empat martabat lain dalam martabat tujuh adalah: martabat alam arwah, martabat
alam mitsal, martabat alam ajsam, dan martabat insan kamil.
Martabat alam arwah
adalah ”Nur Muhammad” yang dijadikan Allah Swt dari nur-Nya, dan dari nur
Muhammad inilah muncullah ruh segala makhluk. Martabat alam mitsal adalah
diferensiasi dari Nur Muhammad itu dalam ruh individual seperti laut melahirkan
dirinya dalam citra ombak. Martabat alam ajsam adalah alam material yang
terdiri dari empat unsur, yaitu api, angin, tanah, dan air. Keempat unsur
material ini menjelma dalam wujud lahiriah dari alam ini dan keempat unsur
tersebut saling menyatu dan suatu waktu terpisah. Adapun martabat insan kamil
atau alam paripurna merupakan himpunan segala martabat sebelumnya.
Martabat-martabat tersebut paling kentara terutama sekali pada Nabi Muhammad
saw sehingga Nabi saw disebut insan kamil.
Tajali al-Haq dalam
insan kamil ini terlebih dulu telah dikembangkan secara luas oleh Abdul Karim
bin Ibrahim al-Jili (1365-1428, tokoh tasawuf) dalam karyanya al-Insân al-Kâmil
fî Ma’rifat al-Awâkhir wa al-Awâ’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui [Allah]
Sejak Awal hingga Akhirnya). Baginya, lokus tajali al-Haq yang paling sempurna
adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia
bersifat kadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke
generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim,
Musa–salam Allah atas mereka semua—dan lain-lain hingga dalam bentuk nabi
penutup, Muhammad saw. Kemudian ia berpindah kepada para wali dan berakhir pada
wali penutup (khatam awliya), yaitu Isa as yang akan turun pada akhir zaman.
Dalam tradisi esoterisme
Syi’ah, para imam Syi’ah Imamiyah—sejak Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
hingga Imam Mahdi (yang digaibkan Allah)—merupakan wali-wali yang
memanisfetasikan diri sebagai insan kamil hakiki. Kepada merekalah, para
pengikut Syi’ah Dua Belas sering kali bertawasul agar kebutuhan
material-spiritual mereka terpenuhi.
Demikianlah proses
tajali al-Haq pada alam semesta. Wadah tajali-Nya yang paling sempurna adalah
insan, sementara insan yang paling sempurna sebagai wadah tajali-Nya adalah
insan kamil dalam wujud Nabi Muhammad saw. Allahumma shalli ’ala Muhammad wa
âli Muhammad! (Diolah dari Ensiklopedi Islam, jilid 5, hal.41, terbitan PT
Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 2001, lema ”tajali”, dengan sedikit
penyuntingan kembali).
Sumber:
qitori.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar