Total Tayangan Halaman

Minggu, 20 Januari 2013

Isra’ Mi’raj dalam Tinjauan Naql dan Akal


Isra’ Mi’raj dalam Tinjauan Naql dan Akal (perjalanan dengan badan dan ruh, atau ruh saja atau terinci dari keduanya?!!) Oleh Ustad Sinar Agama
Bismilla
Banyak pertanyaan dari teman-teman tentang hakikat Isra’ Mi’raj ini. Saya sendiri kurang tertarik membahasnya. Karena terkadang sebagian orang hanya ingin tahu saja, atau bahkan ada yang bertanya karena mau menulis di sebuah buletin. Belajar yang model ini –model ingin tahu apa ceritanya atau ingin menuliskannya ke orang lain- sulit melahirkan ketakwaan. Karena itu saya kurang tertarik menuliskannya. Terlebih lagi, karena untuk menguak hakikatnya perlu kepada pembahasan filsafat, maka saya semakin tidak tertarik. Karena disamping hakikat ini tidak wajib diketahui secara detail, bisa-bisa pembahasan filosofisnya ini bahkan menjadikan diri kita bangga saja. Smentara kebanggaan seperti ini (hanya tahu, yakni tidak untuk diimani dan diamalkan) adalah kebanggaan yang kering dan kosong. Karena jelas, setinggi apapun argumentasinya, maka ia tetap merupakan Ilmu Hushuli yang akan hilang dikala kita mati. Tetapi kalau untuk diimani dan diamalkan, maka ia jelas akan menjadi Ilmu Khudhuri yang akan dibawa mati.
Baiklah saya akan coba memberikan sedikit penjelasan tentang Isra’ Mi’raj itu sesuai kemampuan, ruang dan waktunya.
Namun, sebagai anjuran, hendaknya kita membuat sistematika pembelajaran Islam. Setidaknya supaya kita tidak mempelajari Islam tergantung dengan situasi dan kondisi. Ini yang pertama.
Yang ke dua, hendaknya pandai-pandai memilih obyek pengetahuan Islam yang mau dipelajari, hingga bisa mendahulukan yang memang perlu didahulukan, dan dan mengenyampingkan yang tidak darurat atau stidaknya kurang emergency.
Ke tiga, penjelasan Isra’ Mi’raj ini, akan sangat tergantung pada penjelasan-penjelasan  saya sebelumnya tentang makhluk sesuai dengan pandangan filsafat. Karema itu saya akan memberikan ulasan ulang sedikit tentang hal tsb:
(1). Tatanan Wujud Ciptaan atau Gradasi Ciptaan
Sebelum ini , sudah sering saya jelaskan tentang gradasi alam semesta (bukan gradasi wujud) atau makhluk Tuhan. Ringkasnya sbb:
(1-a). Golongan pertama, makhluk Tuhan yang dikenal dengan Akal. Makhluk Akal ini dimulai dari Akal-pertama, ke dua, ke tiga ...dst sampai pada Akal-akhir.

Definisi makhluk Akal ini adalah keberadaan non materi mutlak dengan makna pertama, yaitu yang tidak mengandungi apapun kehinaan rangkapan materi, baik rangkapan materialnya atau sifat-sifatNya.
Rangkapan, merupakan kehinaan bagi wujud, karena menkonsekwensi-i keterikatan pada masing-masing rangkapannya itu. Karenanyalah maka semakin banyaknya rangkapan yang dikandungi sesuatu itu, akan membuatnya semakin terikat. Sedang wujud yang semakin terikat, dalam hakikat dan filsafat, dikatakan semakin hina dalam gradasi wujudnya. Karena semakin banyaknya keterikatan dalam wujudnya, walau hanya pada bagian-bagian dirinya, akan membuatnya semakin tergantung pada bagian-bagiannya tsb. Inilah makna hina dalam wujud dan filsafat, bukan dalam akhlak.
Jadi, ketergantungan sesuatu pada bagian-bagiannya, sama dengan ketergantungannya pada sebab pewujudnya. Karena bagian-bagiannya itu juga sebab bagi keberadaannya dimana kalau tidak ada bagiannya, pasti tidak akan penah ada keseluruhannya. Jadi, disamping sesuatu itu tergantung pada sebab adanya, ia juga tergantung pada sebab bagiannya. Dan semakin sesutu itu memiliki banyak ketergantungan ini, maka hal itu akan menyebabkannya semakin rendah dalam derajat wujudnya.
Sedang Wujud Akal yang tidak memeiliki rangkapan itu, sudah pasti merupakan wujud yang barada di maqam yang paling tinggi di antara makhluk-makhluk lainnya. Dan karena ketinggian mereka itulah maka mereka juga disebut dengan surganya orang-orang yang didekatkan (muqarrabun yang jauh di atas surganya mukminin). Dan, hanya yang paling tinggi diantara merekakah, yakni Akal-pertama yang hanya layak disentuh tangan Tuhan dan menjadi makhlukNya secara langsung. Karena itu, yang lainnya, seperti Akal-dua, tiga, empat ... dst diciptaNya melalui yang sekelas di atasnya. Misalnya Akal-dua, diciptaNya dengan perantaraan Akal-satu. Akal-tiga dengan perantaan Akal-dua ...dst.
Beda antara Tuhan yang tidak berangkap dengan wujud-wujud Akal yang juga tidak berangkap itu adalah pada keterbatasan mereka dan ketidak terbatasanNya  (dan jarak ini tidak sedikit, bakan juga tidak terbatas). Yang ke dua, mereka terikat padaNya dan pada sebab-sebab perantaranya (bagi selain Akal-pertama) sekalipun tidak terikat pada bagian-bagian diri mereka yang dikarenakan ketidak punyaan mereka terhadap rangkapan-rangkapan diri tsb.
Sebagai tambahan:
Akal-pertama juga dikenal dengan Nur Muhammad; Akal-akal itu dikenal dengan Jabarut atau Jannatulmuqarrabiin atau Surga yang didekatkan padaNya; Akal-akhir juga disebut ‘Arsy atau Maqam pertama di atas surga atau Lauhu al-Mahfuzh. Dan dalam Qur an juga biasa dikenal dengan Malaikat ‘Aaliin/tinggi:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
“Berkata –Allah: ‘Wahai iblis, apa yang membuatmu tidak bersujud kepada –Adam- yang telah Kubuat dengan kedua tanganKu sendiri. Apakah karena kamu sombong atau karena kamu tergolong dari yang tinggi?’” (QS: 38: 75)
Ayatullah Jawadi Omuli, walau tidak terlalu memastikan dalam pelajarn Filsafat dan Irfannya, mengatakan bahwa memang ada kemungkian terhadap adanya malaikat tinggi yang tidak diperintah sujud kepada nabi Adam as. Karena itu Allah berfirman:
“Apakah karena enkau sombong atau karena kamu tergolong dari yang tinggi –kedudukannya?
Dalam hadits juga banyak diriwayatkan yang secara bisa dipadukan setelah kita mengenali kaidah akal. Hadits2 yang dimaksud seperti berikut: lahiriahnya berbeda akan tetapi
في سئوالات الشامي عن أمير المؤمنين أخبرني عن أول ما خلق الله تبارك وتعالى فقال: النور  
“Yang termasuk pertanyaan orang Syam (Suriah) kepada imam Ali as adalah: ‘Beritahukan padaku tentang apa yang pertama kali dicipta Allah?’ Beliau menjawab: ‘Cahaya.’.” (Biharu al-Anwaaar, jld. 1, hlm. 96)
قال النبي (صلى الله عليه وآله): أول ما خلق الله نوري.  
“Nabi saww bersabda: ‘Pertama kali yang dicipta Allah adalah cahayaku.’.” (Bihaaru al-Anwaar, jld 1, hal. 97)
وفي حديث آخر أنه (صلى الله عليه وآله) قال: أول ما خلق الله العقل 
Dalam hadits yang lain Nabi saww bersabda: “Pertama kali yang dicipta Allah adalah Akal.” (Biharu al-Anwaar, jld 1, hal. 97)
Saya tidak akan menjelaskan tentang masalah Akal-pertama dan mengapa bisa diterapkan hadits Cahaya, Cahayaku atau Akal di atas. Karena memang kita sekarang tidak sdengan membahasnya dan, apalagi sepertinya saya dulu sudah pernah menuliskannya.
Dalil filosofisnya: Sudah sering pula saya jelaskan tentang dalil mengapa Tuhan mesti mencipta satu makhluk dulu, baik di keterangan-keterangan filsafat dan Irfan atau, bahkan di penjelasan tentang akidah.
Intinya adalah: Kalau Tuhan mencipta dua atau lebih makhluk secara langsung, maka Ia akan menjadi terpetak. Dan keterpetakanNya ini akan membuatNya terbatas dimana kalau Ia menjadi terbatas maka Iapun akan menjadi makhluk, bukan Tuhan.
Penjelasannya:
(1-a-1). Antara sebab dan akibat mesti memiliki kesejenisan (bc tidak asing). Karena itu mani manusia hanya akan menjadi manusia; biji jagung hanya menumbuhkan pohon jagung; api hanya melahirkan panas; es hanya menyebabkan dingin ....dst.
(1-a-2). Kalau Tuhan mencipta dua atau lebih makhluk yang berbeda secara hakikat dan esensi secara langsung, maka masing-masing esensi itu pastilah keluar dari KuasaNya tersendiri. Misalnya mencipta langit dan bumi. Karana kedua makhluk/esensi ini saling berbeda, dan karena antara sebab dan akibatnya harus memiliki kesejenisannya, maka sudah pasti langit dan bumi tsb diakibatkan oleh dua KuasaNya, bukan satu KuasaNya. Karena kalau diakibatkan oleh satu KuasaNya, maka salah satu dari keduanya itu sudah pasti tidak diabkibatkan oleh akibat yang senafas denganya.
Misalnya, kalau bumi yang diakibatkan oleh Kuasa kebumianNya, maka keluarnya langit dari sumber atau Kuasa yang sama membuatnya juga diakibatkan oleh Kuasa Kebumian tsb. Dan, kalau hal ini terjadi, berarti langit diakibatkan oleh akibat yang asing dan tidak sejenis atau senafas denganya. Ini berarti, kita telah mengingkari keharusan adanya kesejenisan antara sebab dan akibat. Akbitnya, sama saja dengan kita mengatakan bahwa telur ayam telah menetaskan anak harimau atau ikan paus atau manusia atau pohon jagung.
Tambahan penjelasan: Dari semacam penjelasan di atas itulah yang kemudian muncul tiori yang sangat kesohor di filsafat yang mengatakan: “Satu hanya melahirkan satu”, atau “Satu hanya akan diakibatkan dari satu”.
Sudah tentu satu disini adalah satu yang hakiki, bukan yang mengandungi rangkapan seperti mani dst. Karena kelau mengandungi rangkapan seperti mani tsb, maka ia juga akan mengakibatkan banyak (tidak satu), baik banyak yang dalam rangkapan atau bisa saja banyak yang terurai atau yang cerai berai.
Simpulan penjelasan tentang makhluk Akal:
Dengan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Akal-akal ini, khususnya Akal satu, tidak hanya dicipta sebagai makhluk pertama sebagai makhuk pertama saja dan makhluk-makhluk lainnya juga akan diciptakanNya secara langsung seperti dia setelah menciptanya. Karena kalau hal ini terjadi, maka kita harus mengingkari keharusan adanya kesenyawaan dan kesejenisan antara sebab dan akibat sebagaimana maklum. Akan tetapi ia (Akal-pertama), dan siapapun yang dicipta mendahului yang lainnya (tentu yang ada dalam satu garis, seperti mani yang telah menjadi kita, bukan mani yang tlh menjadi kakek tetangga dengan diri kita yang lahir setelahnya), maka ia adalah sebab perantara baginya. Inilah makna mendahului dalam filsafat. Yakni menjadi sebab bagi keberadaan wujud berikutnya.
Dengan demikian, maka satu-satunya makhluk Tuhan hanyalah Akal-pertama tsb. Dan yang lainnya diciptakanNya melaluinya secara berurut dan beruntun. Jadi, dari Akal-pertama akan tercipta Akal-dua, dari Akal-dua tercipta Akal-tiga ....dst sampai kepada Akal-akhir yang juga disebut ‘Arsy ini. Lalu dari Akal-akhir muncul makhluk Barzakh sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah ini.
Tambahan simpulan:
Karena Akal-pertama atau Akal-satu itu adalah makhluk yang telah diberikanNya kesempurnaan akan munculnya makhluk-makhluk berikutannya secara beruntun dan tertib, dan juga yang akan terus saling terikat disebabkan sistem sebab-akibat itu (lihat penjelasan lbh lanjut di makhluk Golongan ke dua alias Barzakh), maka perkataan bahwa Tuhan hanya mencipta Akal-pertama secara langsung itu, sama dengan mengatakan bahwa Tuhan mencipta alam ini dengan sekali ciptaan. Atau dapat dikatakan bahwa ketika Tuhan mencipta Akal-pertama, maka berarti Ia telah mencipta semua alam dengan segala susunannya, keterikannya dan kepengaturannya itu. Karena itulah, maka Akal-satu juga dikenal dengan Alam-Jaami’, Alam-Lengkap dan Alam-sempurna. Ia satu makhluk, tetapi karena ia adalah sebab, pengikat dan pengatur bagi semua wujud yang berada di bawahnya (langsung dan tidak langsung), maka ia adalah hakikat semesta  itu sendiri. Terlebih ketika ditamabahkan kaidah lain yang mengatakan bahwa akibat itu tidak akan pernah berpisah dari sebabnya.
(1-b). Golongan ke dua adalah Makhluk Barzakh. Hakikat Barzakh ini adalah non materi mutlak dalam arti kedua (yaitu yang zat dirinya non materi dan kerja-kerjanya tidak memerlukan kepada materi. lawan dari ruh –seperti ruh manusia- yang zat dirinya non materi tetapi dalam kerja-kerjanya memerlukan materi –non materi tidak mutlak). Yaitu wujud non materi dalam arti tidak memiliki material atau matter, akan tetapi memiliki sifat-sifatnya. Hakikatnya persis seperti api, apel, singa, pohon, ....dst yang ada dalam benak dan ide/khayal kita atau yang kita lihat dalam mimpi. Jadi, walaupun ia hakikat non materi, akan tetapi tidak terlalu bersih darinya. Karena itu ia memiliki warna, bentuk, rasa ..dst. Walhasil memiliki semua sifat materi selain matter dan bendawiahnya.
Karena itulah Barzakh ini juga disebut dengan Alam-Khayal (bukan khayalan manusia) disamping disebut dengan Alam-ide, Alam-mitsaal, tuhan-species-materi, kitab qada’ dan qadar,  ..dst.
Keberadaan Barzakh ini terwujud dari Akal-akhir. Saya tidak akan ceritakan adanya perbedaan bbrp filosof tentang hakikat Barzakh ini dari sisi hubungannya dengan Akal-akhir. Saya hanya mau membahas yang umum saja tentang asalnya, yaitu bahwa dia berasal dari Akal-akhir. Dan ia juga yang nantinya akan melahirkan Alam Materi sebagai susun akhir dari Tata Wujud Makhluk atau Gradasi Makhluk ini.
Wujud Barzakh ini, selain terikat dengan Tuhan sebagai pencipta aslinya, ia juga terikat dengan sebab-sebab perantara di atasnya dan, tentu saja ia juga terikat dengan bagian-bagiannya walaupun blm berupa bagian-bagian material dan hanya berupa sifat-sifat materi sj. Akan tetapi, karena ia memiliki bagian-bagian itu, maka ia sudah mulai terikat kepada bagian-bagian dirinya dimana hal ini tidak ada pada makhluk Akal.
Dalam al-Qur an, ia disebut dengan alam malaikat, malakut atau malaikat pengatur semesta (mudabbiraati amran) seperti dalam QS: 79: 5:
فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا
“Demi (malaikat-malaikat) yang mengatur segala urusan2 –dunia.”
Tambahan keterangan penamaan:
Di atas telah dikatakan bahwa Akal-akhir dikatakan juga sebagai ‘Asy Allah atau Singgasana Allah. Dalam QS: 10: 3, Allah berfirman
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
“Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Allah yang telah mencipta langit dan bumi dalam enam hari, kemudian Ia duduk di atas Singgasana –‘Arsy- mengatur semua urusan.”
Manusia, dengan akal yang diberikanNya, dapat mengerti kaidah-kaidah gamblang keberadaan yang, biasanya dibahas dalam suatu ilmu yang dikenal dengan Filsafat. Maka ia mengerti susunan tiga alam tsb (Akal, Barzakh dan Materi). Di lain pihak Tuhan juga memberikan penjelasan untuk membantu yang tidak biasa berfikir filsafati, dengan penjelasan-penjelasan ayatNya di atas itu. Karena itulah dapat disimpulkan bahwa Akal-akhir itu adalah ‘Arsy, karena setingkat di bawahnya terdapat Barzakh sebagai Pengatur Alam Materi (dunia).
Kata Ayatullah Jawadi Omuliy, Allah swt telah mengumpamakan PengaturanNya dengan para pengatur negara yang disebut raja yang duduk di kursi singgasananya dan mengatur negara/rakyatnya dimana dalam pengaturannya itu jelas tidak langsung, akan tetapi dengan memerintahkan menteri-materinya. Allah juga, sesuai dengan ayat-ayat di atas, duduk (menguasai, bukan duduk material) di atas (maqom dan bukan tempat materi) ‘Arsy untuk memberikan intruksi-instruksiNya kepada para malaikat mudabbir tsb (mudabbiraati amran).
Tambahan penjelasan tentang pengaturan:
Pengaturan dalam wujud semesta, tidak sama dengan pengaturan sosial manusia. Karena pengaturan dalam sosial manusia, satu sama lain sama-sama mandiri dari sisi wujud, tetapi terikat hanya dari sisi sosial dan kesepakatan. Karena itu, presiden, tidak mengakibatkan ada dan wujud rakyatnya. Akan tetapi karena dalam kesepakatan ia telah dipilih oleh rakyatnya untuk mengatur mereka, maka ia mengatur mereka.
Akan tetapi dalam kepengaturan wujud atau eksistensi, dimulai sejak awal wujud atau keberadaan yang akan diaturnya itu. Jadi, yang akan diaturnya itu adalah akibatnya sendiri. Artinya suatu wujud yang terlahir dari dirinya atas aturan Tuhannya. Dengan kata yang lebih gamblang, bahwa wujud pengatur itu adalah hakikat sebab wujud dan keberadaan bagi yang akan diaturnya tsb.
Keberadaan atau wujud, kalau tidak memiliki keterikatan sebab akibat, seperti pohon kelapa di depan rumah dengan pohon jagung yang ada di kebun, maka keduanya akan saling asing dan tidak berbubungan. Karena itu tidak bisa saling terikat dan apalagi mengatur secara wujud, bukan sosial. Begitu pula antara satu makhluk dengan makhluk lainnya. Karena itu, maka bagaimana mungkin bisa saling berhubungan secara wujud dan mengaturnya?
 “Kemudian masukkanlah Karena itulah, karena keterikatan wujud itu, hanya dengan dan hanya dalam, sistem sebab-akibat, maka sebuah wujud hanya akan terikat dengan sebabnya. Dan karena keterikatan kepada sebabnya itulah maka apapun yang terjadi padanya, hanya melalui pengaturan sebabnya, baik dari awal keberadaannya sampai kepada kesinambungan wujudnya.
Akan tetapi, karena sebab yang juga akibat itu sebenarnya juga tergantung kepada sebabnya sjk dari awal wujudnya sampai kepada kesinambungannya dan seluruh aktifitasnya, dan karena sebab hakiki yang tidak bersebab itu hanyalah Allah, maka Dia-lah penyebab dan pengatur hakiki itu. Dan yang lainnya hanyalah sebab dan pengatur perantara.
Karena itulah, kadang Tuhan mengatakan: “Aku Mencipta dan menurunkan hujan, ...”, tetapi kadang mengatakan: “Kami Mencipta dan menurunkan hujan.”
Artinya, ketika Tuhan mengatakan “Aku” maka Ia ingin mengatakan bahwa pencipta dan penyebab serta pengatur hakiki itu adalah Dia. Tetapi ketika mengatakan “Kami”, maka Tuhan ingin mengatakan bahwa penciptaan kita dan pengaturannya itu tidak langsung. Artinya memakai perantara atau wasilah.
Karena itulah dalam sistem doa dan berhubungan denganNya, sistem ini juga ada. Yakni sistem wasilah dan perantara ini, dan bahkan Tuhan sangat menekankan tentangnya. Karena itu dalam QS: 5: 35, Ia berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ 
“Wahai orang-orang yang beriman, berperantaraanlah kalian untuk mendekatiNya!”
Artinya, kalau dalam Tatanan Wujud Ciptaan, wujud yang ada di derajat lebih bawah menjadi ada/wujud karena wujud yang berada di derajat yang labih atas darinya, maka dalam mendekatiNya juga demikian. Yang berada di derajat iman dan ketakawaan yang lebih rendah “wajib” bertawassul dan berperantara dengan orang yang iman dan takwanya lbh tinggi darinya.
(c). Golongan ke tiga (akhir) adalah Alam-materi. Hakikatnya adalah keberadaan yang memiliki matter atau bendawiah serta sifat-sifatnya. Yaitu alam yang terhampar di hadapan kita ini dimana kita termasuk di dalamnya.
Ciri khusus materi adalah memiliki panjang, lebar dan tebal alias volume (isi) dan, tentu saja waktu (volume gerak).
Kalau keberadaan non materi mutlak (Akal dan Barzakh) adalah wujud yang hanya memiliki kebaikan mutlak, artinya tidak memiliki keburukan apapun, akan tetapi kalau Alam Materi sebaliknya. Karena ia juga memiliki keburukan. Akan tetapi keburukannya lbh sedikit dari kebaikannya. Karena itulah maka ia dikenal dengan keburukan di dalam al-Qur an (seperti: “....dari keburukan apa2 yang telah Ia cipta”), dan dikenal dengan efek samping di dalam filsafat.
Efek samping ini tidak bisa dihilangkan karena derajat wujud materi memang tidak bisa lepas darinya. Hakikat dan esensi Alam Materi, adalah suatu hakikat yang terikat dengan ruang (baca: volume/isi) dan waktu disamping keterikan2 yang lain. Dan karena hakikatnya yang demikian itulah maka ia memliki banyak kekurangan dimana kekurangannya itu yang dikatakan efek samping. Misalnya, manusia yang hakikatnya adalah suatu wujud yang bernafas dengan paru2, maka ia sudah pasti tidak akan bisa bernafas di dalam air. Jadi, kalau kekuranganya ini harus ditiadakan, maka sama halnya dengan tidak mencipta Alam Materi sama sekali. Karena yang tidak terikat dengan volume (panjang, lebar dan tebal) dan waktu hanyalah wujud-wujud non materi (Akal dan Barzakh).
Dan sudah tentu kalau Tuhan tidak menciptakannya, sudah pasti Ia akan terbatas. Karena Ia akan menjadi kikir, bakhil, zhalim, tidak mengetahui (jahil), tidak bijaksana ....dst. Hal itu karena Ia telah meninggalkan kebaikan yang banyak disebabkan keburukan yang sedikit. Ini berarti kezhaliman dan ketidak bijakan yang nyata. Mengapa demikian? Karena kalau Tuhan meninggalkan 90 % kebaikan supaya terhindar dari 10 % keburukan, maka sama halnya Ia telah melakukan keburukan 90 % demi melakukan kebaikan 10 %. Karena meninggalkan kebaikan sama dengan melakukan keburukan, begitu pula sebaliknya.
Karena itulah, maka Alam Materi yang penuh dengan batasan ini, dan mengandungi keburukan yang pada hakikatnya adalah efek samping, mesti dicipta. Hal itu karena ke-Bijakan, ke-Murahan, ke-Maha Kasih, ke-Maha PandaianNya ...dst. Jadi, tidak benar kalau ada orang berkata, mengapa Tuhan mencipta alam atau mencipta aku yang tidak memintanya??!!!
(2). Derajat Alam atau Makhluk Barzakh
Makhluk Barzak ini dikatakan Barzakh atau “Antara”, karena ia menempati posisi tengah antara Alam Non Materi Mutlak (Akal) dan Materi Mutlak. Mirip dengan alam kubur yang disebut Barzakh (Antara kehidupan dunia dan akhirat).
Dalam filsafat, telah dibuktikan bahwa Makhluk Barzakh ini adalah Asal dari Alam Materi ini. Karena itu ia disebut juga “Tanah Asal” atau “Negeri Asal” atau “Tanah Air” yang dimaksudkan dalam hadits yang berbunyi:
“Cinta tanah air/asal adalah bagian dari iman.”
Dengan demikian, maka esensi atau spesies apapun yang ada di dunia materi ini, sudah pasti berasal dari Barzakh. Karena itu pulalah ia disebut juga dengan “Alam Mitsal” (alam contoh dari semua spesies materi).
Kita melihat di dunia materi ini milyaran spesies makhluk, dari atom sampai ke manusia sebagai makhluk materi yang paling afdhal. Makhluk Materi ini, diadakan dan diatur oleh Makhluk Barzakh sebagai Pengatur atau Mudabbiraat-nya.
Akan tetapi, karena Makhluk Barzakh ini adl wujud non materi mutlak dan merupkan satu wujud global-mencakup (bukan global pahaman), dan karena Alam Materi adalah materi mutlak dan satu wujud yang banyak (individu), maka ia memerlukan kepada perantara dan barzakh lagi. Barzakh ke dua inilah yang dikenal dengan Ruh, Jiwa dan semacamnya. Karena itulah pada setiap wujud atau setiap spesies, diletakkannya wujud Non Materi Tidak Mutlak Dengan Makna Ke Dua (zat dirinya non materi akan tetapi dalam kerja2nya memerlukan kepad amateri) atau Non Materi Individu (syakhshi atau tasyakhkhush).
Dengan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa tidak ada satu wujud materipun kecuali ia memiliki ruh yang mengatur jalannya gerak dan apapun proses yang menyangkut dirinya, walau hanya gerakan putaran2 atomnya.
Ruh yang ada di Alam Materi ini memiliki 4 tingkatan: Ruh Tambang; Ruh Nabati; Ruh Hewani dan Ruh Akli (akal manusia). Terkadang, satu materi hanya memiliki satu tingkatan Ruh saja, seperti benda2 yang nampak mati yang hanya memiliki Ruh-tambang. Akan tetapi ada yang memiliki dua tingkatan ruh, seperti Ruh Nabati yang sudah pasti juga memiliki Ruh-Tambang. Hal itu karena tidak ada Nabati apapun yang tidak memiliki badaniahnya atau matternya atau materialnya yang perlu kepada pengaturan seperti putaran2 atomnya. Dan ada juga yang memilki tiga tingkatan (yaitu binatang atau hewani) dan bahkan ada yang memiliki empat tingkatan, yaitu manusia. Tingkatan2 ruh itu, kalau ada dalam satu materi (spesies), biasanya disebut dengan Quwwah atau Daya.
(3). Hakikat Surga-Neraka
Surga-neraka ini, merupakan ajaran agama langit yang dibawa oleh para nabi dan rasul. Surga-neraka ini, juga merupakan akibat atau hasil dari buah perbuatan manusia. Sudah tentu, sebab tunggalnya adalah karena manusia memiliki daya ruh yang dikatakan dengan akal dan pikiran.
Karena surga-neraka merupakan akibat dari wujudnya akal, dan akal ini hanya dimiliki oleh manusia, maka sudah tentu kesurgaan surga dan kenerakaan neraka diukur dari sesuai tidaknya kedua makhluk itu (surga-neraka) dengan manusia dan akalnya. Artinya, surga yang merupakan kenikmatan, adalah kenikmatan diukur dari manusia. Begitu pula neraka yang merupakan tempat siksa. Makanan segar dan enak, merupakan salah satu kenikmatan surga. Padahal ia merupakan makanan yang tidak enak bagi wujud lain yang bernama bakhteri. Tikus yang merupakan makanan enak bagi ular, tidak akan ditemui di dalam kenikmatan surga.

Dan karena surga-neraka ini berada di jalan balik manusia menuju Tuhan (dengan mati dan kiamat), maka sudah tentu ia berada di tingkatan yang lebih tinggi dari Alam Materi dan, sudah tentu keduanya berada di Alam Barzakh atau Makhluk Barzakh. Karena itu keduanya merupakan kenikmatan dan siksa yang jauh melebihi kenikmatan dan siksa yang ada di Alam Materi. Hal itu, karena Barzakh adalah sebab bagi Alam Materi.
Dengan kata yang lebih ilmiah dalam pandangan filsafat, dapat dikatakan bahwa tuhan2 spesies atau malaikat2 pengatur dari spesies2 yang ada di Alam Materi inilah yang dikatakan sebagai surga-neraka dan “Negeri Balik” atau “Tempat Balik” atau “Negari Asal”. Surganya, adalah malaikat2 spesies dari spesies apa saja yang sesuai dengan akal dan manusia, sedang Nerakanya, adalah asal spesies2 yang tidak sesuai, seperti api, duri, ular, babi, anjing ...dst.
Di dunia materi ini, hal-hal yang tidak sesuai dengan akal dan manusia itu, tetap diperlukan oleh manusia sebagai bekal hidupnya, baik langsung, seperti api, atau tidak langsung, seperti ular. Tetapi di kehidupan setelah mati, maka yang tidak sesuai dengan akal dan manusia itu, terlebih sebabnya dan asalnya dimana kedudukannya pasti lebih tinggi dan kuat, maka akan semakin lebih menyiksanya.
Dan karena hal-hal yang tidak sesuai dengan akal dan manusia itu adalah wujud-wujud yang tidak berkesesuaian dengan akal manusia, maka sudah tentu derajatnya dibawah wujud-wujud yang sesuai dengan akal manusia. Karena itu, Surga berada di atas Neraka. Artinya, Surga lebih dekat kepada Allah sebagai sumber segala keindahan dan kesempurnaan, sedang Neraka sebaliknya.
Tetapi kalau dilihat dari Alam Materi yang berada dibawah keduanya (surga-neraka), maka Neraka berada setahab di atas wujud Materi, sementara Surga berada di atas derajat Neraka.
Akal, sebegitu hebatnya, hingga dapat menerima percikan Cahaya2Nya hingga banyak mengetahui rahasia alam ini dengan akalnya dalam bentuk akal-gablang atau dalil-gamblang.
Dan Allahpun merestuinya serta membimbing yang lainnya yang tidak terlalu senang berfikir keras, dengan ayat2Nya, seperti, QS: 7: 176, dikala Tuhan mensifat orang-orang sesat yang sudah tentu ahli neraka. Yakni yang masuk ke Neraka karena tidak mau dinaikkan ke Surga. Dan penyebabnya, karena mereka tidak mau naik dan bahkan memilih untuk tetap bertahan di bumi/materi. Akhirnya, karena mereka yang bertahan di bumi ini harus mati, maka tidak ada jalan lain kecuali mereka masuk ke dalam Neraka yang berada diantara Surga dan Bumi (Alam Materi) tsb:
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ ِ
“Dan kalau Kami menghendaki, maka Kami angkat –derajatnya- dengannya –ayat2- akan tetapi ia mengekalkan dirinya ke dunia (memilih dunia) dan mengikuti hawa nafsunya, maka ia seperti anjing ....”
Begitu pula Tuhan berfirman:
ثم الجحيم صلوه * ثم في سلسلة ذرعها سبعون ذراعا فاسلكوه

ia ke dalam Jahim –neraka- * Kemudian ikatlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta!” (surat Al-Haaqah, 31-32)
Nabi tercinta saww bersabda:
لو أن حلقة واحدة من السلسلة التي طولها سبعون ذراعا، وضعت على الدنيا لذابت الدنيا من حرها
“Kalau saja satu mata rantainya saja dari rantai yang panjangnya 70 hasta –yang ada di neraka itu- diletakkan di dunia, maka dunia ini akan melebur/meleleh karena panasnya.” (Bihaaru al-Anwaar, 8: 280.)
Nabi saww diutus Tuhan untuk menyelamatkan manusia. Baik manusia ini adalah filosof atau orang biasa. Karena itulah, hakikat2 filosofis disampaikannya dalam bentuk kalimat2 sederhana karena tujuannya adalah supaya manusia mudah memahaminya dan mudah mengimani dan menjalaninya hingga mencapai keselamatan dan terangkat ke derajat yang layak. Yaitu Surga kenikmatan dan, yang terpenting, maqam keridhaan Tuhan.
Dan sudah tentu maqam Surga dan keridhaan ini,  adalah maqam yang sesuai dengan akal manusia. Karena itu, hal2 yang jauh dari nilai2 akal argumentatif gamblang, akan jauh pula dari maqam tsb. Dan bahkan sebaliknya, ia adalah kedudukan yang cocok untuk menempati maqam Neraka. Oleh sebab itulah, gunakanlah akal itu untuk memahami segala hal terutama Tuhan dan agamaNya, walau mungkin tetap bisa dikatakan relatif, akan tetapi jalan tsb adalah jalan paling selamat menuju Surga dan keridhaanNya.
Tambahan:
Karena Alam Materi adalah wujud paling rendah, maka penyintanya adl org2 yang lbh cocok untuk masuk ke Neraka. Karena ia harus meninggalkan Materi ketika mati, akan tetapi ruhnya tidak bisa naik ke Surga karena sejak ia masih hidup di dunia tidak mau mengangkat martabatnya.
Sementara yang tidak menyintainya, lbh cocok untuk masuk ke Surga. Karena dari sejak hidupnya, ia tidak menyintainya dan tidak menyukai yang bersifat kebumian dan kematerialan. Manusia seperti ini lebih suka kepada kebenaran akal dan agama serta ke-Maha BenaranNya.
Neraka, sudah tentu memiliki derajat2 yang tidak terhingga karena penyinta dunia materi ini juga memiliki berbagai tingkatan yang tidak terhingga (hiperbolik) pula. Sedang Surgapun juga seperti Neraka. Memiliki derajat2 yang juga bisa dikatakan tidak terhingga. Dimulai dari satu derajat di atas Neraka, sampai kepada martabat dan maqam menjelang ‘Arsy atau Akal-akhir, atau bahkan maqam di atas semua itu dimana dikenal dengan Surga Muqarrabun, atau kenikmatan makhluk-makhluk Akal tsb.
(4). Langit dan Tingkatannya
Akal manusia hanya bisa menjabarkan bahwa Neraka dan Surga itu memiliki tingkatan2. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa setiap manusia memiliki karakternya tersendiri yang terbentuk dari perbuatan2nya dimana satu sama lain pasti berbeda. Dan disebabkan pula oleh kenyataan akan kembalinya manusia ke arah sebabnya dengan karakter2nya itu. Karena itulah manusia datang dari wathan atau Negeri asalnya yang bernama Barzakh dalam keadaan bersih dari pengaruh kebaikan dan keburukan perbuatannya, dan akan kembali kepadanya dengan masing-masing perbuatannya. Jadi, kembali ke Barzakh dan dengan amalan2 dan karakter2 yang saling beda itulah yang menjadi salah satu bukti dari keberadaan tingkatan Surga dan Neraka tsb.
Dan Tuhan serta NabiNya saww, memberikan gambaran secara global tentang tingkatan2 tsb. Misalnya dengan mengatakan bahwa langit itu ada tujuh tingkat. Misalnya dalam QS: 23: 86:
قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
“Katakan: ‘Siapa Tuhan ketujuh langit dan Tuhan ‘Arsy –singgasana- yang agung itu?”
Di ayat ini nampak jelas bahwa ‘Arsy itu di atas ketujuh langit. Sebagaimana juga telah dijelaskan oleh Nabi saww dalam peristiwa mi’raj dengan sabdanya:
حملت على جناح جبرئيل حتى انتهيت إلى السماء السابعة فجاوزت سدرة المنتهى عندها جنة المأوى حتى تعلقت بساق العرش فنوديت من ساق العرش: إني أنا الله لا ......

“Aku dibawa di atas sayap Jibril as sampai ke langit ke tujuh, lalu kulewati Sidratu al-Muntahaa yang terdapat surga Ma’waa, hingga pada akhirnya aku sampai di kaki ‘Asry, kemudian aku diseru: Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan kecuali Aku ...” (Tafsir al-Miizaan, tafsir surat Isra’)
Secara global Tujuh Langit itu bisa dibagi kepada dua bagian:
(4-a). Bagian Pertama adalah Langit Pertama yang biasa disebut dengan Langit Dunia atau Langit Alam Materi. Langit ini bisa dipahami sebagai akhir Alam Materi atau batas akhir darinya. Allah berfirman:
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
“Sesungguhnya Kami hiasi Langit Dunia, dengan keindahan bintang gemintan.” (QS: 37: 6)
(4-b). Bagian ke dua, adalah langit ke dua sampai langit ke tujuh. Disini hampir dapat dipastikan bahwa yang dimaksudkan adalah Alan Non Materi. Karena dalam hadits Isra’ Mi’raj, Nabi saww bertemu dengan nabi Isa as dan Yahya di langit ke dua ini (sebagaimana nanti akan dijelaskan di kronologis Isra’ Mi’raj insyaAllah).
Dan karena Allah berfirman dalam QS: 53: 14-15:
عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى * عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى 
“Di Sidratu al-Muntahaa * Di salamnya terdapat Surga Ma’wa.”
Dan juga berfirman di QS: 51: 22:
و في السماء رزقكم و ما توعدون
“Dan di langitlah rejeki kalian dan apa2 yang telah dijanjikan kepada kalian –surga”
Sementara dalam kronologis Isra’ Mi’raj (sebagaimana yang akan dijelaskan di bawah nanti) dinyatakan bahwa Sidratu al-Muntaha itu setelah langit ke tujuh, maka dapat dipastikan bahwa Surga itu adalah Wujud Non Materi dan, sudah tentu Barzakhi, karena masih di bawah ‘Arsy. Dan batasan akhir surga itulah yang dikatakan dengan Sidratu al-Muntahaa (sebagaimana akan jelas di kronologis Isra’ Mi’raj nanti).
(5). Kronologis Isra’ Mi’raj
Peristiwa isra’ Mi’raj ini merupakan kejadian yang tidak bisa diingkari karena terurai dalam al-Qur an dan Hadits2 yang mutawatir, baik di Syi’ah atau di Sunni. Dalam Tafsir al-Mizaan, karya Allaamah Thaba Thabai ra telah diriwayatkan hadits yang panjang tentang Isra’ Mi’raj ini. Karena menerjemahkan secara detail tidak diperlukan untuk bahasan kita ini, karena bahasan kita ini hanya ingin mengetahui apakah Nabi saww telah melakukan Isra’ Mi’raj dengan badan atau hanya dengan ruh atau dengan dua2nya atau ada perincian lain, maka yang perlu sekali di terjemahkan adalah kronologisnya, bukan dettail2 kejadian dan apa2 saja yang telah dilihat Nabi saww dalam peristiwa tsb. Karena itu ringkasan kronoligisnya sbb:
(5-1). Datangnya malaikat Jibril as kepada Nabi saww yang ditemani dengan malaikat Miikaaiil as dan Israafiil as dengan membawa Buraq.
(5-2). Isra’nya Nabi saww (perjalanan malam) bersama malaikat Jibril as dari Makkah ke Bait Lahm (tempat lahirnya nabi Isa as) dan malakukan shalat dua rokaat. Dalam riwayat yang lain, ke Madinah dulu dimana setelah Nabi saww melakukan shalat dua rokaat sesuai perintahNya, diberitahu bahwa tempat tsb adalah Madinah yang akan dihijrahi di kemudian hari. Sudah tentu dalam perjalanan beliau itu, beliau banyak melihat hal2 yang memiliki makna serta takwilan2. Begitu pula pada perjalanan2 berikutnya. Akan tetapi saya hindari, supaya catatan ini tidak terlalu panjang.
(5-3). Isra’nya Nabi saww dari Bait Lahm ke Majidi al-Aqshaa di Palestina dan melakukan shalat dengan para nabi dengan imam shalatnya beliau sendiri.
(5-4). Mi’raj Nabi saww dari Masjidu al-Aqshaa ke langit dunia. Di perjalanan ke Langit Dunia ini, beliau banyak menyaksikan sesuatu yang memiliki makna dan takwilannya.
Di Langit Pertama ini beliau saww melihat Neraka. Dengan pendekatan yang lalu, dapat ditafsirkan bahwa Neraka yang Non Materi ini berada di akhir2 Langit Dunia Materi, atau di Awal2 Langt ke dua.
Di Langit Pertama ini juga beliau saww melihat nabi Adam as. Karena nabi Adam as adalah di alam Barzakh yang non materi dan karena langit dunia itu dihiasai dengan bintang2, maka dapat dipahami bahwa peristiwa penyaksian tsb terjadi di penghujung Langit Pertama atau di Awal2 Langit ke dua. Atau bisa juga dimaknai sebagai batinnya langit pertama. Akan tetapi tafsiran pertama itu lebih cocok.
(5-5). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke dua dimana bertemu dengan nabi Isa as dan Yahya as.

5-6). Meneruskan perjalan Mi’raj beliau saww ke Langit ke tiga dimana beliau saww bertemu dengan nabi Yusuf as.
(5-7). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke empat dimana beliau saww bertemu dengan nabi Isdriis as.
(5-8). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke lima dimana beliau saww bertemu dengan nabi Harun as.
(5-9). Meneruskan Mi’raj ke Langit ke enam dimana beliau saww bertemu dengan nabi Musa as.
(5-10). Meneruskan Mi’raj ke langit ke tujuh dimana beliau saww bertemu dengan nabi Ibarahim as.
(5-11). Meneruskan Mi’raj sampai ke Baitu al-Ma’muurdan melakukan shalat.
(5-12). Menerruskan Mi’raj sampai ke Kautsar (telaga di surga).
(5-13). Meneruskan Mi’raj hingga memasuki surga.
Perlu diketahui bahwa kronologis di atas itu berdasarkan pada lahiriah riwayatnya yang, kemungkinan besar memang tidak ingin mendetailkan semuanya karena tidak dianggap perlu. Karena itu, bisa saja Ruh2 nabi yang ditemui oleh Nabi saww itu menunjukkan derajat2 surga mereka, atau bisa saja dalam penyambutan mereka terhadap Nabi saww.
Bisa saja Ruh para Nabi saww itu memang belum masuk ke surga dengan sebenar-benarnya karena kiamat dan hisab atau hari perhitungan, sebagai syaratnya masuk surga secara hakiki, blm tiba.
Untuk masalah Baitu al-Ma’muur terdapat banyak riwayat. Diantaranya mengatakan suatu tempat di Langit Dunia, ada juga yang megatakan di Langit ke Empat. Akan tetapi di hadits Isra’ Mi’raj di atas (yang saya ringkas dalam bentuk kronologis itu) nampak bahwa Baitu al-Ma’muur itu setelah Langit ke tujuh.
Perbedaan itu bisa disebabkan kesalahan penukilan. Intinya, bisa menguatkan perkiraan ke dua di atas (bahwa Langit ke dua sampai dengan Langit ke tujuh itu, merupakan tingkatan barzakh atau tengah antara dunia dan surga sesungguhnya). Dengan demikian, maka surga itu sangat mungkin setelah Langit ke tujuh.
Apapun itu, apakah Surga itu di Langit ke dua, atau setelah Langit ke tujuh, maka tetap merupakan Wujud Non Materi Barzakhi.
Akan tetapi tidak bisa juga menafikan kemungkinan lain yang mengatakan bahwa surga itu memang sejak dari Langit ke dua, karena adanya riwayat2 yang menerangkan bahwa nabi Ibrahim as, di Surga, bersama anak2 kaum mukminin yang mati masih kecil.
Jalan paling bijaksana, adalah bahwa mereka di surga dalam artian belum seutuhnya. Hal itu karena surga seutuhnya itu hanya akan dimasuki oleh manusia setelah kiamat tiba dan selesai hisab di padang Makhsyar kelak telah selesai dilakukan. Jadi, dari satu sisi mereka tidak di surga, tetapi dari sisi lainnya mereka di dalam surga.
(5-14). Menruskan Mi’raj sampai ke Sidratu al-Muntahaa. Yakni akhir Surga dan Awal ‘Arsy yang disebut dalam hadits sebagai Kaki ‘Arsy. Nabi saww bersabda:
و انتهيت إلى سدرة المنتهي ............. فكنت منها كما قال الله تعالى "قاب قوسين أو أدنى" فناداني 

“.... dan aku berhenti di Sidratu al-Muntaha. ..... maka aku kala itu seperti yang dikatakan Tuhan: ‘Sedekat dua busur atau lebih dekat lagi –dengan Tuhan.’.”
(5-15). Mendapat perintah shalat 50 kali. Lalu dengan tawassulnya nabi Musa as kepada nabi Muhammad saww untuk kaum mukminin yang merupakan umat Nabi saww, dan dengan diterimanya tawassul itu oleh Nabi saww, maka pada akhirnya Nabi saww mensyafaati kita (kaum muslimin) hingga meminta keringanan kepada Allah swt.
Pada permintaan pertama itu diturunkan 10 shalat. Lalu peristiwa itu terulang lagi, hingga akhirnya hanya tinggal sepuluh shalat saja. Lalu setelah itu permohonan keringanan itu terulang lagi dan akhirnya diturunkan lagi hingga yang tersisan hanya lima shalat. Sudah tentu dengan pahala yang 50 shalat, karena Tuhan dalam QS: 6: 160, berfirman:
“Barang siapa berbuat kebaikan, maka ia akan mendapatkan sepuluh kali lipatnya.”
Rincian dan filsafat tentang tawar menawar shalat ini, mesti dibahas dalam topik tersendiri yang, sepertinya saya sudah pernah menjelaskan dan menuliskannya.
Hasil Kesimpulannya:
(1). Dengan berbagai mukaddimah dan keterangan di atas itu, dapat disimpulkan bahwa Isra’ Nabi saww dilakukan dengan Ruh dan Badan beliau saww. Begitu pula Mi’raj beliau yang ke Langit Pertama atau Langit Dunia.
(2). Sedang Mi’raj beliau saww dimulai dari Langit ke dua, atau akhir Langit pertama, ke seterusnya, dan dilakukan beliau dengan Ruh saja. Akan tetapi bukan berarti lepas dari badan. Melainkan persis dengan perjalanan ruhani manusia yang menjalani hidup takwa dan irfan yang tinggi atau perjalanan ruhani orang mukmin sejati yang melakukan shalat dengan khusyu’ karena disebutkan dalam hadits bahwa shalat itu mi’rajnya mukmin.
Perjalanan ruhani ini dapat diyakini keruhaniahannya karena yang didatangi, seperti para nabi as dan Neraka serta Surga, adalah wujud-wujud non materi sebagaimana maklum. Karena itulah perjalanan badani Nabi saww hanya berakhir di akhir Dunia Materi ini. Dan selanjutnya perjalanannya diteruskan dengan ruhani.
Artinya, ruhani Nabi saww yang Daya Tambang, Nabati dan Hewaninya, tetap mengurusi perputaran badaniah beliau, sementara Daya Akalnya, terus melesat sampai ke Sidratu al-Muntahaa tsb, tanpa adanya saling ganggu antara Ruh beliau yang Daya Akal dengan Ruh beliau yang Daya di bawahnya itu. Persis seperti ketika Nabi saww melakukan shalat di dunia ini, dimana Ruh Daya Tambang, Nabati dan Hewaninya tetap mengatur mobilitas badannya, sementara Ruh bagian Daya Akalnya melesat ke Sidratu al-Muntahaa.
Dan ingat, karena Ruh manusia itu satu dan non materi, maka Daya2 tadi tidak dalam bentuk bagian-bagian dan petakan2. Akan tetapi ia benar2 berupa satu wujud yang non materi dan tak berbagi, namun dapat mengatur dirinya baik di tingkatan badaniah dan akliahnya secara rapi dan teratur tanpa adanya saling ganggu. Tentu saja, tarik menarik di antara Daya2 itu tetap ada, manakala manusia belum menempati posisi Fana’ atau setidaknya belum menempati maqam Mati Sebelum Mati.

(3). Sedang pendapat yang mengatakan bahwa sejak dari Isra’nya saja sudah dilakukan Nabi saww dengan ruh saja, maka hal ini tidak perlu banyak ditanggapi. Karena Isra’ Mi’raj ini termasuk dalam katagori Mu’jizat dimana perlu kepada perjalan badani. Karena perjalanan ruhani bukanlah mu’jizat yang dapat mencengangkan pada Kuasa Tuhan dan Kebenaran Nabi saww.

Catatan:
(1). Terdapat perbedaan dalam waktu terjadinya Isra’ Mi’raj ini. Yang dikuatkan di madzahab Syi’ah adalah tgl 17 Ramadhan.
Dan di Sunni lebih menguatkan tgl 27 Rajab.
(2). Di Syi’ah, kejadian Isra’ Mi’raj ini terjadi sebanyak dua kali (setidaknya).

Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar