Total Tayangan Halaman

Minggu, 20 Januari 2013

MENJADI HAJI TANPA.....


~ MENJADI HAJI TANPA BERHAJI ~

Di tulisan terakhir ini saya ingin merefleksikan seluruh uraian tentang hikmah haji di tanah suci itu ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahwa ritual haji itu sebenarnyalah menjadi pedoman perilaku kita dalam mendekatkan diri kepada Allah, dimana pun kita berada. Bukan hanya saat di tanah suci. Kita bisa ‘menjadi haji’ meskipun belum pernah pergi haji, tentu saja secara substansi. Karena kewajiban berhaji tetap melekat kepada siapa saja yang mampu pergi ke tanah suci.

Proses mendekatkan diri kepada Allah adalah sebuah keniscayaan bagi seorang muslim. Dan Allah dengan sangat jelas memerintahkan kepada kita untuk mencari jalan mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan, ‘melarang’ untuk ‘kedahuluan mati’ kecuali sudah dalam keadaan berserah diri kepada-Nya.

QS. Al Maa-idah (5): 35
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan CARILAH jalan yang MENDEKATKAN DIRI kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat kesuksesan.

QS. Ali Imran (3): 102
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan JANGANLAH sekali-kali kamu MATI melainkan dalam keadaan BERSERAH DIRI ( kepada Allah).

Bagaimanakah caranya mencari jalan untuk berserah diri kepada Allah itu? Jawabnya adalah menerapkan ritual haji dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari Wukuf, Lempar Jamrah, Tawaf, sampai Sa’i. Bukan dalam arti ritual fisik seperti saat di tanah suci. Melainkan secara substansi. Karena, sebenarnyalah situs-situs yang ada di tanah suci itu adalah simbol-simbol yang harus kita pahami secara substansial, dan kita jabarkan secara spiritual.
                
Wuquf dalam bahasa Arab berasal dari kata waqafa yang bermakna ‘berhenti, berdiri, bimbang & ragu-ragu, memahami, dan mengerti’. Sehingga makna kata wuquf itu memang merupakan perpaduan antara proses kebimbangan, keraguan, sampai benar-benar memperoleh kepahaman secara substansial terhadap suatu masalah. Dan semua itu akan sangat baik jika dilakukan dengan berhenti dari aktifitas sejenak agar bisa menjadi lebih fokus.

Yang demikian ini, bisa kita lakukan dimana saja. Bukan hanya saat di Arafah. Meskipun, saat berada di Arafah, mestinya seorang jamaah haji bisa melakukan dengan lebih baik disebabkan oleh atmosfer ibadah dan kesejarahan yang meliputinya. Tetapi, kita juga bisa melakukan wukuf itu di rumah, di tempat kerja, di dalam kendaraan, bahkan di tempat wisata. Substansinya adalah fokus melakukan perenungan sampai memperoleh keputusan yang strategis.

Kenapa wukuf ini menjadi penting? Karena, ternyata banyak diantara kita yang seringkali membuat keputusan secara tergesa-gesa, tanpa memahami masalahnya dengan baik. Ini adalah tipikal orang yang tidak sabaran. Sebuah akhlak yang sangat tidak dianjurkan oleh Islam, karena akan berujung pada penyesalan di belakang hari. Allah memberikan stressing dan motivasi yang sangat kuat kepada siapa saja yang bisa bersabar dalam menyikapi masalah: innallaaha ma’ash shaabiriin – Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.

Keputusan yang diperoleh dengan cara wukuf Insya Allah akan jauh lebih baik dibandingkan dengan yang tergesa-gesa. Karena di dalam wukuf itulah kita diajari untuk membuka pikiran dan hati seluas-luasnya dalam menerima petunjuk Allah. Mengintensifkan dzikir untuk membuka hijab yang menutupi jiwa, sehingga menjadi lebih jernih dalam memahami masalah. Mulai dari soal rumah tangga, rezeki, keilmuan, sosial kemasyarakatan, sampai masalah negara dan keumatan.

Namun demikian, tak jarang hasil wukuf memperoleh hambatan saat diimplementasikan. Terutama jika kepentingan egoistik terlalu dominan. Disinilah setan menunggangi ego kita untuk menggagalkan petunjuk yang kita peroleh saat wukuf. Kejernihan spiritual yang sudah terbentuk bisa menjadi kabur kembali, jika kita menuruti ego pribadi.

Inilah saatnya kita menerapkan filosofi Lempar Jamrah. Yakni, mengusir sifat-sifat setaniyah yang menjurus kepada kepentingan sempit dan egois. Yang benar adalah, harus bersifat sosial sekaligus spiritual. Seperti substansi ritual berkorban itu. Jika kita egoistik, yang sosial dan spiritual akan terlewatkan. Tetapi jika kita menjalaninya dengan landasan sosial-spiritual, maka kepentingan yang bersifat egoistik akan terpenuhi dengan sendirinya. Hasilnya akan lebih holistik.

Setan bukan hanya terdapat di tanah suci. Apalagi berupa tugu-tugu jamarat bikinan pemerintah Arab Saudi. Semua itu hanya simbol. Setan yang sesungguhnya telah berada di dalam diri kita sendiri. Maka, kita harus memahami substansi, dan bukan terjebak kepada sekedar tradisi yang tanpa isi. Filosofi lempar jamrah itulah yang mesti kita terapkan dalam realitas. Agar kita termasuk orang-orang yang berada di jalan lurus yang diridhai-Nya.

Berikutnya, Allah mengajari kita untuk selalu bertawaf di Arsy-Nya. Mengingat-Nya dalam segala kondisi, dalam segala peristiwa. Siapa saja mengingat Allah, maka Dia akan mengingatnya pula. Dia akan selalu bersama dengan orang-orang yang ingat kepada-Nya, yakni orang-orang yang pandai bersyukur dan bersabar dalam segala aktivitasnya.

QS. Al Baqarah (2): 152-153
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat kepadamu. Dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari-Ku. Hai orang-orang yang beriman, minta tolonglah (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Dan penutup dari semua rangkaian substansi haji itu adalah Sa’i. Yakni, perintah Allah agar umat Islam pantang putus asa dalam menjalani hidupnya. Jangankan kita, para Nabi dan sahabatnya pun semua mengalami ujian, sampai mereka benar-benar berserah diri hanya kepada Allah, sebagai bukti yang tak terbantahkan bahwa mereka memang pantas memperoleh kesuksesan sejati di dunia maupun di akhirat nanti.

QS. Al Baqarah (2): 214
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘’Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat (yaitu bagi orang-orang yang berserah diri hanya kepada-Nya).

Maka, seseorang yang bisa mengaplikasikan pelajaran haji di dalam hidupnya, ia tidak akan pernah terombang-ambing dalam ketidakpastian. Kualitas berserah dirinya luar biasa kukuhnya. Allah selalu hadir dalam seluruh kesadarannya, mendampingi mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Niatnya penuh keikhlasan, perbuatannya selalu berbingkai ketaatan, perjuangannya berhias kesabaran, dan hidupnya penuh pengorbanan untuk kebajikan. Ia benar-benar telah menjadi seorang muslim yang paripurna: berserah diri hanya kepada Allah, Sang Maha Pemurah lagi Maha Bijaksana..

QS. Az Zukhruf (43): 68
Wahai hamba-hamba-Ku, tidak ada lagi kekhawatiran terhadapmu pada hari ini. Dan tidak pula kamu bersedih hati. (Yaitu bagi) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan orang-orang yang berserah diri.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar